Anda di halaman 1dari 11

Mari Berjuang di Jalan Allah

Disampaikan pada Khutbah Jumat


Di Masjid Kampus Unimus “11-11-2016” oleh Akhmad Fathurohman
Disarikan dai berbagai sumber.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada


Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan hrta
dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar." (QS: Al-Hujurat
49:15)

Sidang Jum'at yang dirahmati Allah

Salah satu tugas manusia adalah berjuang di jalan Allha SWT baik dengan harta maupun
dengan jiwa dan raga. Dalam arti bahwa sebagai umat Nabi Muhammad SAW hendaknya
selalu meningkatkan perjuangan di jalan Allah "Jihad fi Sabilillah".

"Jihad fi Sabilillah" ini jangan diartikan sebagai bom bunuh diri karena bom bunuh diri itu
sudah keluar dari kriteria yang diamanatkan oleh NAbi Muhammad SAW dan firman Allah
SWT.

Jihad dalam arti yang luas bukan seperti yang digembor-gemborkan oleh para teroris, sebab
di dalam Al-Qur'an dinyatakan bahwa kita dilarang mencampakkan dengan tangan,
kewenangan, dan kekuasaan kita kepada kerusakan, sebagaimana firman Allah SWT:

" Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Al-Baqarah 2: 195).

1
Sebagai umat Nabi Muhammad SAW dengan dalih dan sebab apapun kita dilarang untuk
mencampakkan orang lain. Ini merupakan hal yang fundamental dalam Islam, karena agama
Islam itu diturunkan untuk membawa rahmat dan kasih sayang bagi seluruh alam ini
"Rahmatan lil 'alamin", baik untuk manusia maupun untuk lingkungan sekitarnya.

Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah

1. Jihad dengan Harta


Orang-orang yang berjuang di jalan Allah "Jihad fi Sabiillah" itu yang pertama adalah dengan
hartanya "Biamwalihim". Mungkin diri kita sibuk dan berhalangan untuk melakukan jihad fi
sabilillah maka kita keluarkan harta-harta kita untuk meningkatkan jihad fi sabilillah.

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di


jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-
tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah: 261)

2. Dakwah Syiar Agama / Amar Ma’ruf Nahyil Munkar


Dalam segala segi kehidupan (sosial, politik ekonomi)
Pengertian jihad fi sabilillah itu luas sekali, diantaranya yang berhubungan dengan
syiar agama, yang berhubungan dengan kemaslahatan dan kesejahteraan umat adalah
termasuk dalam sabilillah, dan jangan hanya diartikan dengan berperang saja.

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah,
mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri”. [QS: Fushshilat:33].

2
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung (QS: Ali Imraan : 104).

3. Jihad dalam arti Perang (dijelaskan Oleh Majelis tarjih Muhammadiyah pada lampiran)

Al-Qur'an memberikan kriteria tentang jihad dalam arti perang, yaitu firman Allah dalam
surat Al-Hajj (22) ayat 39:

"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya


mereka telah dianiaya. Dan sesunggunya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka
itu".

Jihad, di dalam arti perang itu memiliki kriteria, diantaranya adalah ada musuhnya yang
jelas dan ada orang-orang yang teraniaya (jika umat Islam teraniyaya), yaitu pertama orang-
orang yang dibunuh tanpa alasan yang hak dan kedua orang-orang yang diusir dari tempat
tinggalnya. Dan dalam perangpun terdapat kriterianya yaitu dilarang melakukan kerusakan.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
3
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.

Dalam penjelasan lain pada Surat Al-Qashash (28) ayat 77 memberikan isyarat agar kita
mencari bekal untuk negeri akhirat, meskipun demikian jangan lupa nasib kita di dunia ini,
jangan sampai melarat, susah dan tidak bisa beribadah.

Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah

Allah SWT juga memerintahkan agar kita memelihara dan memperindah apa yang telah
dianugerahkan Allah kepada kita, diantaranya tanah air yang luas, banyak hasil tambang
yang menjadi kewajiban kita untuk memperbagus dan menyuburkan tanah air ini, misalnya
dengan hutan yang ada kita suburkan dan bukan digunduli.

Allah SWT memberikan negeri ini subur dan makmur, maka kewajiban kita untuk
memelihara dan meningkatkan kesuburan anugerah Allah itu. Allah juga melarang kita
untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini, sebagai penguasa maupun pengusaha dan
sebagai apapun kita dilarang untuk mencari-cari kerusakan di negeri ini.

Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan, misalnya para teroris yang
membunuh orang yang tidak berdosa, menghancurkan gedung-gedung yang indah itu
adalah termasuk berbuat kerusakan yang dilarang oleh Allah SWT.

4. Menuntut Ilmu / majelis Ilmu

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Menuntut ilmu adalah bagian dari jihad di jalan Allah karena agama ini bisa terjaga dengan
dua hal yaitu dengan ilmu dan berperang (berjihad) dengan senjata.

Sampai-sampai sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya menuntut ilmu lebih utama


daripada jihad di jalan Allah dengan pedang.”

Karena menjaga syari’at adalah dengan ilmu. Jihad dengan senjata pun harus berbekal ilmu.
Tidaklah bisa seseorang berjihad, mengangkat senjata, mengatur strategi, membagi
ghonimah (harta rampasan perang), menawan tahanan melainkan harus dengan ilmu. Ilmu
itulah dasar segalanya”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 108)

Di halaman yang sama, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata bahwa ilmu yang dipuji di sini adalah
ilmu agama yang mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah.

4
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz pernah ditanya, “Apakah afdhol saat ini untuk
berjihad di jalan Allah ataukah menuntut ilmu (agama) sehingga dapat bermanfaat pada
orang banyak dan dapat menghilangkan kebodohan mereka? Apa hukum jihad bagi orang
yang tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya, namun ia masih tetap pergi berjihad?”

Jawab beliau, “Perlu diketahui bahwa menunut ilmu adalah bagian dari jihad. Menuntut
ilmu dan mempelajari Islam dihukumi wajib. Jika ada perintah untuk berjihad di jalan Allah
dan jihad tersebut merupakan semulia-mulianya amalan, namun tetap menuntut ilmu harus
ada. Bahkan menuntut ilmu lebih didahulukan daripada jihad. Karena menuntut ilmu itu
wajib. Sedangkan jihad bisa jadi dianjurkan, bisa pula fardhu kifayah. Artinya jika sebagian
sudah melaksanakannya, maka yang lain gugur kewajibannya. Akan tetapi menuntut ilmu
adalah suatu keharusan. Jika Allah mudahkan bagi dia untuk berjihad, maka tidaklah
masalah. Boleh ia ikut serta asal dengan izin kedua orang tuanya. Adapun jihad yang wajib
saat kaum muslimin diserang oleh musuh, maka wajib setiap muslim di negeri tersebut
untuk berjihad. Mereka hendaknya menghalangi serangan musuh tersebut. Termasuk pula
kaum wanita hendaklah menghalanginya sesuai kemampuan mereka. Adapun jihad untuk
menyerang musuh di negeri mereka, jihad seperti ini dihukumi fardhu kifayah bagi setiap
pria.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 24: 74)

Sumber: https://almanhaj.or.id/2713-tugas-dakwah.html

Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah

Orang-orang yang berjuang di dalan Allah dengan harta dan dirinya maka disebut oleh Al-
Qur'an sebagai Shadiqin, yaitu orang-orang yang membela kebenaran dan orang-orang yang
jujur. Al-Qur'an juga memberikan predikat lain bagi orang-orang yang berjuang di jalan Allah
dengan harta dan dirinya adalah diangkat derajatnya oleh Allah SWT melebihi orang lain
yang tidak berjuang, dan orang yang berjuang di jalan Allah itu termasuk orang-orang yang
mendapat kemenangan "Faizin".

Selain jihad jiwa dan harta, Nabi Muhammad SAW juga mengisyaratkan untuk jidah
melawan hawa nafsu. memang berat mengendalikan hawa nafsu, sebab Allah memberikan
keleluasaan secara demokratis di dalam diri manusia, kejahan "Faalhamaha Fujuroha" dan
ketakwaan "Wa taqwaha". Rasulullah menyatakan bahwa manusia yang kuat adalah
seorang yang mampu berjihad melawan hawa nafsunya.

5
Lampiran:

Penjelasan Jihad Perang Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah

Perlu diketahui bahwa ayat tersebut tidaklah berdiri sendiri, melainkan masih erat
hubungannya dengan ayat lainnya, terutama ayat tentang perang. Maka untuk
memahaminya perlu dikutipkan ayat-ayat lain yang mempunyai tema yang sama, yaitu qital
(peperangan), sekalipun tidak semuanya. Baiklah kami kutipkan ayat-ayat dimaksud:

Artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah suatu yang kamu
benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui”. Al Baqarah: 216.

Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: Berperang
pada bulan haram itu adalah dosa besar; tetapi (menghalangi) manusia dari jalan Allah,
kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) masjid al haram dan mengusir penduduknya dari
sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya
daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat

6
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran,
maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. Al Baqarah: 217.

Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di
jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. Al-Baqarah: 218.

Artinya: “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu”. Al Hajj: 39.

Pada ayat 216 Surat Al Baqarah, ditegaskan bahwa Allah telah mewajibkan kaum muslimin
memerangi orang-orang kafir, padahal perang adalah pekerjaan yang sangat berat, sebab
perang itu akan menghabiskan harta, dan menghilangkan jiwa begitu banyak. Tetapi
kadang-kadang sesuatu yang dibenci di dalamnya terdapat kebaikan dan manfaat yang
besar, dan sesuatu yang disenangi di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak baik dan tidak
bermanfaat atau membahayakan. Maka janganlah merasa tidak senang terhadap kewajiban
berperang melawan musuh., sebab di dalamnya terdapat kebaikan, cepat atau lambat.
Sudah menjadi sunnah Allah atau tabiat, bahwa solusi suatu masalah harus melalui jalan
yang berat, sebagaimana penyembuhan penyakit, harus minum obat yang pahit.
Ayat ini adalah ayat yang pertama diturunkan mewajibkan berperang, diturunkan pada
tahun 2 H. Pada priode sebelumnya, yaitu pada priode Makkah, Allah belum mengizinkan
berperang, sebab pada priode tersebut kekuatan kaum muslimin belum memadai. Setelah
Nabi saw berhijrah, barulah diizinkan memerangi kaum musyrikin yang memerangi Nabi
saw, dengan diturunkan ayat 39 surat Al Hajj:

Artinya: “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya…”
7
Setelah itu barulah Allah mewajibkan berperang. (Al Maraghi, 1969, I: 132).
Telah menjadi sunnah Allah juga, bahwa hal-hal yang enak, yang menyenangkan, di
belakangnya terdapat hal-hal yang membahayakan. Misalnya meninggalkan jihad di jalan
Allah, atau berperang melawan musuh, pada permulaannya tidak menimbulkan korban,
baik jiwa maupun harta, dan tampak sangan aman dan tentram, tetapi sebenarnya di
belakang ketenangan tersebut terdapat bahaya yang mengancam, seperti penguasaan
orang-orang terhadap negara-negara kaum muslimin dan harta mereka, seperti kita
saksikan sekarang, betapa sombong negara-negara yang dikuasai orang-orang kafir terhadap
negara-negara muslim, mereka dengan seenaknya menuduh orang-orang muslim sebagai
teroris.
Hanya Allah-lah yang mengetahui hikmah segala macam peristiwa yang terjadi, dan kita
harus yakin bahwa Allah tidak memerintahkan sesuatu, melainkan untuk kebaikan dan
kemaslahatan. Kita harus meyakini bahwa Allah akan membela kebenaran dan
menghancurkan kebatilan, sekalipun jumlah pembela kebenaran hanya sedikit,
sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya:

Artinya:
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak
dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. Al Baqarah: 249.

Tentu saja dalam masalah jihad, harus mempersiapkan segala kemampuan, baik fisik
maupun non fisik.
Setelah menjelaskan bahwa perang adalah wajib bagi kaum muslimin apabila diserang
musuh, maka pada ayat berikutnya Allah menjelaskan pertanyaan para sahabat tentang
perang pada bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab.
Sebab turun (sababun nuzul) ayat ini, menurut riwayat dari Ibn ‘Abbas, bahwa Rasulullah
saw pada bulan Jumadal Akhirah, dua bulan sebelum perang Badar, mengutus ‘Abdullah Ibn
Jahsy membawa satu pasukan untuk menghadang kafilah orang Quraisy yang terdiri dari
8
‘Amr Ibn ‘Abdillah dan tiga orang lainnya. Pasukan tersebut berhasil membunuh ‘Amr dan
menahan dua orang dan menggiring kafilah tersebut beserta dagangannya. Peristiwa itu
terjadi pada awal bulan Rajab, tetapi mereka menyangka bulan Jumadal Akhirah. Maka
berkatalah orang-orang Quraisy: Muhammad telah menghalalkan bulan haram., yang
seharusnya pada bulan itu orang-orang merasa aman untuk mencari kehidupan. Kemudian
Rasulullah saw menghentikan kafilah tersebut, tetapi mereka berkata: Kami akan berhenti
hingga sampai ke tempat kembali kami. Kemudian turunlah ayat:

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram…”


Apakah dihalalkan perang berperang di bulan haram? Rasulullah saw menjawab setelah
menerima wahyu dari Allah swt: Perang itu sendiri masalah besar, tetapi menghalang-
halangi kamu dari jalan Allah, dan dari al Masjid al Haram, dan mengingkari Allah serta
mengusir kamu dari al Makkah al Mukarramah, padahal kamu adalah penghuninya, semua
itu lebih besar kejahatan dan dosanya menurut Allah dari membunuh seorang musyrik yang
selalu memfitnah kamu sekalian. Fitnah yang dilakukan oleh kaum musyrikin adalah lebih
besar dosanya menurut Allah dari pada pembunuhan. Tidak apalah kamu menyerang kaum
musyrikin pada bulan haram, sebab mereka telah melakukan kejahatan yang lebih keji,
mereka telah memfitnah agamamu, dan fitnah adalah lebih kejam dari pada pembunuhan.
Al maraghi dalam tafsirnya menjelaskan, dimaksudkan dengan fitnah yang dilakukan kaum
musyrikin terhadap kaum muslimin ialah memasukkan keragu-raguan dalam kalbu kaum
muslimin, atau melakukan penganiayaan, sebagaimana mereka lakukan terhadap ‘Ammar
Ibn yasir, Bilal Ibn Rabah, Khabbab Ibn al Arats dan lain-lainnya. Mereka menganiaya
‘Ammar dengan api agar kembali kepada kekafiran, dan menganiaya saudara dan ibunya.
Ketika mereka melakukannya dengan penganiayaan yang sangat keji itu, Rasulullah saw
bersabda: Sabarlah keluarga Yasir! Sabarlah! Tempatmu adalah surga. Yasir wafat dalam
penganiayaan tersebut, sedang ibunya wafat karena ditikam pada anggota kesuciannya.
Adalah Bilal disiksa oleh Umayyah Ibn Khalaf dengan tidak diberi makan dan minum satu
hari satu malam, kemudian punggungnya dilemparkan di atas pasir yang telah dipanaskan,
lalu ditekan dengan batu besar. Ketika itu berkatalah Umayyah Ibn Khalaf: Kamu akan
diperlakukan terus seperti ini hingga mati atau ingkar kepada Muhammad, dan menyembah
Lata dan ‘Uzza. Tetapi ia tetap tabah, tidak menyerah dalam meyakini dan menjaga
agamanya.
Kaum musyrikin tidak hanya menganiaya para sahabatnya, melainkan juga menganiaya
Rasulullah saw, dengan meletakkan isi perut unta di atas punggungnya ketika beliau
melakukan shalat, kemudian disingkirkan oleh Fatimah, dan tidak hanya sampai di situ,
sering sekali beliau diperlakukan dengan berbagai macam penganiayaan, yang kemudian
diselamatkan oleh Allah swt, sebagaimana diungkapkan dalam firmanNya:

9
Artinya: “Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari pada kejahatan orang-orang yang
memperolok-olokkan kamu”. Al Hijr: 95.
Setelah kaum muslimin berhijrah ke Madinah dan jumlah mereka bertambah besar,
barulah mereka memerangi kaum musyrikin untuk memusnahkan fitnah dan profokasi
mereka (Al Maraghi, 1969, I: 135).
Selanjutnya Allah mengungkapkan bahwa tujuan perang bagi kaum musyrikin adalah agar
Islam tidak tersebar di muka bumi ini, sebab permusuhan mereka terhadap Islam sangat
mendalam. Maka menunggu iman mereka hanya dengan dakwah, merupakan harapan
kosong belaka. Karena itulah Allah mengizinkan perang melawan kaum musyrikin di bulan
haram. Mereka memang sangat mengharapkan agar kaum muslimin kembali kepada
kekafiran, tetapi apabila iman sudah menjadi darah daging, tidaklah mungkin dapat
memurtadkan mereka.
Murtad adalah perbuatan yang sangat besar dosanya, maka Allah mengancam siapa saja
yang murtad dan mati dalam kekafiran, semua amal kebaikannya terhapus, seakan-akan
tidak pernah berbuat kebaikan, dan merugi baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian pada ayat berikutnya, yaitu ayat 218, Allah menerangkan bahwa orang-orang
yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah itulah yang benar-benar mengharapkan
rahmat Allah. Para ulama berbeda pendapat mengenai hijrah dari negara kafir ke negara
Islam pada masa sekarang. Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban berhijrah itu
tergantung kepada ‘illat (alasannya), apabila benar-benar tidak dapat melaksanakan
kewajiban agama, karena terancam jiwanya, maka berhijrah adalah wajib. (Rasyid Ridha, tt,
II: 320).
Dimaksudkan dengan jihad pada ayat tersebut, ialah mencurahkan segala kemampuannya
untuk membela agama Allah, dan jihad tidak selalu berarti perang. Sebab perang baru
diizinkan apabila telah didhalimi dan difinah., sebagaimana telah ditegaskan dalam surat al
Hajj : 39.
Al Quran telah menggariskan beberapa peraturan dan etika perang; kapan dan di mana
perang itu dibolehkan, apa yang harus dilakukan terhadap tahanan, bagaimana
pemanfaatan harta rampasan, dan kapan perang itu harus diakhiri, serta kapan harus
diadakan perdamaian.
Pertama, perang diizinkan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, seperti
ditegaskan dalam surat al Baqarah : 90. Kedua, untuk membalas karena telah didhalimi,
seperti ditegaskan dalam surat al Hajj : 39. Ketiga, untuk menegakkan kebenaran, seperti
disebutkan dalam surat al Bara’ah : 12. Keempat, untuk menghilangkan penganiayaan,
seperti disebutkan dalam surat al Baqarah : 193. Kelima, untuk mempertahankan
ketenangan agama, sebagaimana disebutkan dalam surat al Baqarah : 191.
Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perang dalam Islam prinsipnya
adalah untuk pembelaan diri (defensive). Islam melarang umatnya menyerang musuh lebih
dahulu, tetapi apabila diserang musuh, Islam dilarang mundur setapakpun, sebagaimana
ditegaskan dalam surat al Anfal: 15-16. Pada ayat tersebut Allah menegaskan, barang siapa
mundur dalam peperangan, maka ia akan membawa kemurkaan Allah swt. Jika kaum
muslimin diberi kemenangan pun tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap musuh
yang kalah, sebagaimana diatur dalam surat al Mumtahanah : 7-8. Terhadap tawanan
10
perang Islam memberikan dua alternatif; membebaskan tanpa tebusan, dan membebaskan
dengan tebusan, sebagaimana diatur dalam surat Muhammad : 4.
Perang dalam arti saling membunuh antara manusia memang telah terjadi sejak permulaan
sejarah kehidupan manusia, sebelum diturunkan kitab Taurat, Zabur, Injil dan al Quran.
Karena pada waktu itu jumlah manusia belum begitu banyak.

11

Anda mungkin juga menyukai