Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis tiroid merupakan komplikasi hypertiroidisme yang jarang terjadi
tetapi berpotensi fatal. Krisis tiroid harus dikenali dan ditangani berdasarkan
manifestasi klinis karena konfirmasi laboratoris sering kali tidak dapat
dilakukan dalam rentang waktu yang cukup cepat. Pasien biasanya
memperlihatkan keadaan hypermetabolik yang ditandai oleh demam tinggi,
tachycardi, mual, muntah, agitasi, dan psikosis. Pada fase lanjut, pasien dapat
jatuh dalam keadaan stupor atau komatus yang disertai dengan hypotensi.
Krisis tiroid adalah penyakit yang jarang terjadi, yaitu hanya terjadi
sekitar 1-2% pasien hypertiroidisme. Sedangkan insidensi keseluruhan
hipertiroidisme sendiri hanya berkisar antara 0,05-1,3% dimana
kebanyakannya bersifat subklinis. Namun, krisis tiroid yang tidak dikenali
dan tidak ditangani dapat berakibat sangat fatal. Angka kematian orang
dewasa pada krisis tiroid mencapai 10-20%. Bahkan beberapa laporan
penelitian menyebutkan hingga setinggi 75% dari populasi pasien yang
dirawat inap. Dengan tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini
krisis tiroid, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%.
Karena penyakit Graves merupakan penyebab hipertiroidisme terbanyak
dan merupakan penyakit autoimun yang juga mempengaruhi sistem organ
lain, melakukan anamnesis yang tepat sangat penting untuk menegakkan
diagnosis. Hal ini penting karena diagnosis krisis tiroid didasarkan pada
gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Hal lain yang penting
diketahui adalah bahwa krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang
memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus. Dengan
diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan
baik. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang tepat tentang krisis tiroid,
terutama mengenai diagnosis dan penatalaksaannya.
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa penertian dari krisis tiroid?
2. Apa sajakah etiologi dari krisis tiroid?
3. Bagaimanakah manifestasi klinis dari krisis tiroid?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari krisis tiroid?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan dari krisis tiroid?
6. Apa sajakah pemeriksaan penunjang yang dilakukan?
7. Apa sajakah komplikasi yang terjadi pada krisis tiroid?
8. Bagaimanakah asuhan keperawatan dari krisis tiroid?
9. Bagaimanakah contoh kasus pada krisis tiroid?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari krisis tiroid
2. Mengetahui etiologi dari krisis tiroid
3. Mengetahui manifestasi klinis dari krisis tiroid
4. Mengerti patofisiologi dari krisis tiroid
5. Memahamipenatalaksanaan dari krisis tiroid
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan
7. Mengetahui komplikasi yang terjadi pada krisis tiroid
8. Mengerti asuhan keperawatan dari krisis tiroid
9. Mengerti contoh kasus pada krisis tiroid
3
BAB II
KONSEP KRISI TIROID DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
I. Konsep Teori Krisis Tiroid
A. Pengertian Krisis Tiroid
Krisis tiroid adalah bentuk lanjut dari hipertiroidisme yang sering
berhubungan dengan stres fisiologi atau psikologi. Krisis tiroid adalah
keadaan krisis terburuk dari status tirotoksik. Penurunan kondisi yang sangat
cepat dan kematian dapat terjadi jika tidak segera tertangani (Hudak & Gallo,
1996).
Krisis tiroid merupakan eksaserbasi keadaan hipertiroidisme yang
mengancam jiwa yang diakibatkan oleh dekompensasi dari satu atau lebih
sistem organ (Bakta & Suastika, 1999).
B. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan atau mencetuskan krisis tiroid adalah:
1. Operasi pada kelenjar tiroid dan operasi pada bagian tubuh lainnya pada
penderita hipertiroid yang belum terkontrol hormon tiroidnya
2. Stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid
3. Pemakaian kontras iodium
4. Infeksi
5. Stroke
6. Trauma
7. Penyakit grave, Toxic multinodular, dan Solitary toxic adenoma
8. Tiroiditis
9. Penyakit troboblastik
10. Ambilan hormon tiroid secara berlebihan
11. Pemaikan yodium yang berlebihan
12. Kanker pituitari
13. Obat-obatan seperti amiodarone
4
Pasien yang berisiko terhadap terjadinya krisis endokrin pada mereka yang
telah mengetahui adanya gangguan endokrin antara lain :
1. Fakto pencetus :
a. Trauma
b. Infeksi
c. Penyakit medical yang bersamaan (seperti infark miokardium,
penyakit paru)
d. Kehamilan
e. Terpajan pada dingin
2. Pengobatan :
a. Terapi steroid kronik
b. Beta bloker
c. Narkotik anastetik
d. Alcohol, antidepresn trisiklik
e. Terapi glukortikoid
f. Terapi insulin
g. Diuretic tiasin
h. Fenitoin
i. Agen-agen kemoterapi
j. Agen-agen antiinflamasi nonsteroid
Pasein yang berisiko terhadap terjadinya krisis endokrin pada mereka yang
kondisi sebelumnya tidak diketahui antara lain :
1. Factor pencetus :
a. Tumor pituitary
b. Terapi radiasi pada leher dan kepala
c. Penyakit otoimun
d. Prosedur pembedahan neurologi
e. Metastasis malignansi (mis paru, payudara)
f. Pembedahan
g. Penyakit yang berkepanjangan
h. Syok
5
i. Postpartum
j. Trauma
Faktor pencetus krisis tiroid hingga kini belum jelas namun diduga dapat
berupa free-hormon meningkat, naiknya free hormon mendadak, efek T 3
paska transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Dan
faktor resikonya dapat berupa surgical crisis (persiapan operasi yang kurang
baik, belum eutiroid), medical crisis (stress apapun, fisik maupun psikologis,
6
C. Manifestasi klinis
Menutur Smeltzer dan Bare (2002), manifestasi klinis dari krisis tiroid, yaitu:
1. Takikardia (lebih dari 130x/menit
2. Suhu tubuh lebih dari 37,70C
3. Gejala hipertiroidisme yang berlebihan (Diaphoresis, kelemahan,
eksoftalamus, amenore)
4. Penurunan berat badan, diare nyeri abdomen
5. Psikosis, somnolen, koma
6. Edema, nyeri dada, dispnea, palpitasi
D. Komplikasi
Meski tanpa adanya penyakit arteri coroner, jika tidak diobati dapat
menyebabkan angina pectoris dan infark miokardium, gagal jantung konestif,
kolaps kardiovaskular, koma dan kematian (Hudak & Gallo, 1996).
E. Patofisiologi
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing
hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk
menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang
memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini
menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi
terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine
7
(T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat
dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding
globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi
dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon
tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar
pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya
tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang
diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase,
simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang
merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid
dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan
berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid.
Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin
(Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang
diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain
itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan
pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid
yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid
(dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon
tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini
sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan
kematian. Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan
reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan
reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun
norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori
berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid
8
dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien
dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total
tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang
muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin
merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid
meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek
katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan
munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti
pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau
normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun,
teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar
hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat
patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang
dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak
kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat
cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat
pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine
(RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi
jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik
pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid
sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.
9
F. Pathway
Produksi hormone
tiroid meningkat
penurunan curah
jantung
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada krisis tiroid mempunyai 4 tujuan yaitu
menangani faktor pencetus, mengontrol pelepasan hormon tiroid yang
berlebihan, menghambat pelepasan hormon tiroid, dan melawan efek
perifer hormon tiroid (Hudak & Gallo, 1996).
10
H. Pemeriksaan penunjang
Tes lab spesifik dilakukan untuk mendiagnosis dan memonitor
perkembangan penyakit tiroid. Sebagai perawat, penting untuk mengingat
bahwa pengobatan tertentu dapat mengganggu hasil tes tiroid, seperti
heparin, dopamine, dan kortikosteroid. Tes tiroksin bebas (free T4) dan TSH
(yang dilepaskan oleh kelenjar pituitary anterior) adalah dua tes lab utama
yang direkomendasikan oleh American Thyroid Association. (Cynthia Lea
Tery & Aurora Weaver.2013)
ALARM KEPERAWATAN
Tiga poin berikut ini harus ditekankan: (1) Dosis tinggi kortikosteroid dan
infuse dopamine dapat menekan level TSH. (2) Hormon tiroid meningkatkan
metabolism kolesterol. Dengan demikian, orang dengan hipertiroidisme
cenderung memiliki level serum kolesterol yang rendah, sementara orang
dengan hipotiroidisme cenderung memiliki level serum kolesterol yang
tinggi. (3) Hasil tes tidak bias dijadikan kesimpulan pada pasien yang kritis
karena stress akibat penyakit mengganggu produksi dan regulasi hormone
normal.
I. Komplikasi
Meski tanpa adanya penyakit arteri koroner, krisis tiroid yang tidak
diobati dapat menyebabkan angina pektoris dan infark miokardium, gagal
jantung kongestif, kolaps kardiovaskuler, koma, dan kematian
(Hudak&Gallo, 1996).
15
d. Sitem Perkemihan
Perubahan pola berkemih (poliuria, nocturia).
e. Sistem Pencernaan
Peningkatan metabolisme dan degradasi lemak dapat
mengakibatkan kehilangan berat badan. Krisis tiroid juga dapat
meningkatkan peningkatan motilitas usus sehingga pasien dapat
17
b. Amati massa tubuh dan kaitanya dengan status nutrisi, kondisi kulit,
status emosional, dan tanda eksoftalmos atau mata yang menonjol.
c. Evaluasi tes hasil diagiagnstik untuk menentukan peningkatan atau
penurunan lvel serum T4 dan T3.
d. Evaluasi glukosa yang menunjukan hiperglikemi dapat terjadi karena
peningkatan nutrisi dan tidak cukupnya pelepasan insulin.
e. Kaji tanda vital melalui palpasi dan auskultasi. Perhatian diberikan
pada suhu tubuh yang ekstrem rendah atau tinggi dan status kardiak
seperti takidistrimia dan PVC.
f. Palpasi kelenjar tiroid menggunakan pendekatan anterior dan
posterior berdasarkan rekomendasi yang bervariasi. Terdapat dua
pendapat tentang bagaimana cara mempalpasi kelenjar tiroid.
4. Pertimbangan Keperawatan Tambahan
a. Ukur berat badan harian untuk mencatat perubahan massa tubuh.
b. Berikan hidrasi yang adekuat untuk mengatasi efek kehilangan
cairan dari mual, diare, dan hipertermia jika komplikasi ini ada.
c. Gunakan selimut penghangat atau pendingin untuk menstabilkan
baik hipo- dan hipertermia.
d. Pasien psca pembedahan tiroid mungkin memiliki resiko karena
perdarahan atau cedera saraf laringeal. Perhatikan khusus harus
diberikan terhadap gangguan saluran pernapasan yang mungkin
terjadi.
e. Tanda-tanda badai tiroid yang akan datang harus dikaji dan diatasi.
f. Jika kelenjar paratoroid sudah dihilangkan atau mengalami cedera,
tanda-tanda tetanus juga memungkinkan terjadi.
g. Obat yang diresepkan harus diberikan seoerti asetaminofen untuk
demam dan pengobatan tiroid atau antitiroid tergantung pada kondisi
yang ada.
h. Lanjutkan mengevaluasi hasil lab untuk status kelenjar tiroid, level
glukosa darah, serta ketidakseimbangan cairan dan elktrolit.
19
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan status metabolik berkaitan dengan hipertermia dan kehilangan
pengatuturan suhu tubh
2. Penurunan Curah Jatung yang berhubungan dengan peningkatan kerja
jantung sekunder akibat peningkatan aktivitas adrenergik; Kekurangan
Volume Cairan sekunder akibat peningkatan metabolism dan diaforesis.
3. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
interkosta
4. ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan peningkatan metabolism.
(Susan B. Stillwell. 2011)
Intervensi:
a. Penentuan pasien
1) Pantau suhu inti secara kontinu (jika memungkinkan) untuk
mengevaluasi respon pasien terhadap terapi
2) Pantau TD secara kontinu karenan demam meningkatkan
vasodilatasi perifer yang dapaat menyebabkan hipotensi
b. Pengkajian pasien
1) Kaji pasien untuk mengetahui adanya diaforesis dan
mengigil :menggigil dapat meningkatkan kebutuhan metabolic
20
Intervensi:
a. Pemantauan pasien
1) Pantau EKG secara kontinu untuk mengetahui adanya disritmia
atau FJ ≥140 kali/menit yang dapat berpengaruh buruk pada
curah jantung dan pantau adanya perubahan segmen ST yang
mengindikasikan iskemia miokardium.
2) Pantau saturasi oksigen secara kontinu dengan oksimetri nadi
(Sp02). Waspada aktivitas pasien atau intervensi yang
berpengaruh buruk pada saturasi oksigen.
3) Pantau tekanan AP,CVP, swcara kontinu (jika dapat dilakukan),
dan TD. Dapatkan hasil pemeriksaan IJ dan PAWP untuk
mengevaluasi fungsi jantung dan respons pasien terhadap terapi.
Pantau MAP; MAP < 60mmHg berpengaruh buruk pada perfusi
serebral dan perfusi ginjal.
22
4) Pantau status volume cairan: ukur haluaran urine setiap jam, dan
tentukan keseimbangan cairan setiap 8 jam. Bandingkan berat
badan serial; perubahan yang cepat (0,5-1 kg/hari) menunjukkan
ketidakseimbangan cairan.
b. Pengkajian Pasien
1) Kaji status kardiovaskular: bunyi jantung tambahan (S3
merupakan tanda utama gagal jantung), keluhan ortopnea atau
dispnea akibat aktivitas fisik (DOE), peningkatan JVP, bunyi
krekels, dan pengisian kapiler yang lama menunjukkan
terjadinya gagal jantung, yang dapat berlanjut menjadi edema
paru peningkatan dispnea, sputum yang berbusa). Kaji adanya
nyeri iskemia miokardium pada pasien.
2) Kaji status hidrasi (mis; rasa haus, membrane mukosa, turgor
kulit) karena dehidrasi dapat menurunkan volume sirkulasi lebih
lanjut dan menyebabkan gangguan curah jantung.
Kaji pasien untuk mengetahui perkembangan sekuele klinis.
c. Pengkajian diagnostik
1) Tinjau pemeriksaan tyroid jika dapat dilakukan.
2) Tinjau kadar elektrolit serum, glukosa serum, dan kalsium serum
serial untuk mengevaluasi respons pasien terhadap terapi.
3) Tinjau GDA serial untuk mengetahui adanya hipoksemia dan
ketidakseimbangan asam-basa, yang dapat berpengaruh buruk
pada fungsi jantung.
4) Tinjau radiograf dada serial untuk mengetahui adanya
pembesaran jantung dan kongesti paru.
d. Penatalaksanaan Pasien
1) Berikan cairan intravena yang mengandung dekstrosa sesuai
instruksi untuk mengoreksi kekurangan cairan dan glukosa. Kaji
pasien secara cermat untuk mengetahui adanya gagal jantung
atau edema paru. Dopamine dapat digunakan untuk mendukung
TD.
2) Berikan oksigen tambahan untuk instruksi untuk membantu
memenuhi peningkatan kebutuhan metabolic. Setelah pasien
stabil secara hemodinamik, berikan hygiene paru untuk
mengurangi komplikasi paru.
23
Intervensi:
a. Pemantauan Pasien
1) Pantau saturasi oksigen secara kontinu dengan oksimetri nadi
(SpO2). Pantau aktivitas pasien dan intervensi yang dapat
berpengaruh buruk pada saturasi oksigen.
2) Pantau EKG secara kontim]nu untuk mengetahui adanya
disritmia yang mungkin berhubungan dengan hipoksemia atau
ketidakseimbangan asam-basa.
b. Pengkajian Pasien
1) Kaji status pernafasan: catat frekuensi, irama, dan kedalaman
pernafasan serta penggunaan otot bantu nafas. Observasi adanya
pola nafas paradoksikal dan peningkatan kegelisahan,
peningkatan keluhan dispnea dan perubahan tingkat kesadaran,
sianosis merupakan tanda akhir gawat nafas.
2) Kaji pasien untuk mengitahui perkembangan sekuele klinis.
c. Pengkajian diagnostik
1) Tinjau GDA serial untuk mengevaluasi oksigenasi dan
keseimbangan asam-basa.
2) Tinjau radiograf dada serial untuk mengetahui adanya kongesti
paru.
d. Penatalaksanaan Pasien
1) Berikan oksigen tambahan sesuai instruksi.
2) Ubah posisi pasien untuk memperbaiki oksigenasi dan
memobilisasi sekresi. Evaluasi respon pasien terhadap
perubahan posisi dengan menggunakan SpO2 atau GDA guna
menentukan posisi terbaik untuk oksigenasi.
3) Jika kondisi hemodinamik pasien stabil, berikan higiene paru
untuk mencegah komplikasi.
4) Kurangi kebutuhan oksigen (mis: turunkan demam, kurangi
ansietas, batasi pengunjung jika perlu, dan jadwalkan waktu
istirahat tanpa gangguan).
5) Berikan obat antitiroid sesuai dengan yang diresepkan.
Intervensi:
a. Pemantauan pasien
Pantau perubahan berat badan serial; perubahan yang cepat (0,5-1
kg/hari) mengindikasikan ketidakseimbanagn cairan dan bukan
ketidakseimbanagn atara kebutuhan nutrisi dan asupan.
b. Pengkajian pasien
1) Kaji status GI: tidak adanya bising usus atau bising usus
hiperaktif, muntah, diare, atau nyeri abdomen dapat
mengganggu absorbs nutrisi.
2) Kaji pasien untuk mengetahui perkembangan sekuele klinis.
c. Pengkajian diagnostic
1) Tinjau kadar glukosa serum serial untuk mengetahui adanya
hiperglikemia karena hormone tiroid sirkulasi yang berlebihan
meningkatkan glikogenolisis dan menurunkan kadar insulin
2) Tinjau kadar albumin serum; hipoalbuminemia dapat
menunjukkan kerusakan otot.
3) Tinjau nitrogen urea urin (UUN) sesuai indikassi untuk
memperkirakan keseimbangan nitrogen.
d. Penatalaksanaan pasien
1) Lakukan hitung kalori untuk memberikan informasi tentang
keadekuatan asupan yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan metabolic. Konsultasikan dengan ahli gizi untuk
memaksimalkan asupan kalori dan protein guna mengembalikan
keseimbangan nitrogen negative
2) Bantu pasien pada saat memberikan makanan dalam jumlah
kecil dan sering jika pasien dapat menoleransi asupan per oral.
Pemberian makanan enteral mungkin diperlukan.
3) Terapi insulin sliding scale mungkin diperlukan untuk
mengontrol hiperglikemia.
4) Hindari penggunaan produk kafein, yang dapat meningkatkan
peristalsis.
26
BAB III
CONTOH KASUS
A. Contoh Kasus
1. Ny. A (47 tahun) datang ke IGD pada tanggal 20 maret 2015 dengan
keluhan lemas, panas dan dada berdebar. Ny. A juga mengeluh sering
berkeringat, sebelumnya pasien pernah masuk rumah sakit dengan
diagnosa hipertiroid. Setelah dilakukan pemeriksaan terdapat pembesaran
di leher depan dan dengan hasil TTV yaitu TD : 160/90, Nadi :
140x/menit, Suhu : 38,8°C, RR: 24x/menit, BB 55 Kg
27
BAB IV
ASKEP KASUS PADA KRISIS TIROID
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Ny. A No. Reg : 297468
Umur : 47 tahun Tgl. MRS : 20 maret 2015 (15.00 WIB)
Jenis Kelamin : P Diagnosis medis : Krisis Tiroid
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Tgl Pengkajian : 22 maret 2015 (Jam 08.00 WIB)
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Alamat : Sendang Rejo, Banjardowo, Jombang
2. Keluhan Utama
Ny. A mengatakan badannya lemas, panas, sering berkeringat dan
dadanya berdebar
28
3. Riwayat Kesehatan :
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. A datang ke IGD dua hari yang lalu dengan keluhan lemas,
badannya panas, sering berkeringat dan dadanya berdebar. Pada
pemeriksaan di dapatkan pembesaran pada leher depan, TD :
160/90, Nadi : 140x/menit, Suhu : 38,8°C, RR: 24x/menit, BB 55
Kg.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Ny. A pernah masuk rumah sakit dengan diagnosa medis Hipertiroid
c. Riwayat penyakit keluarga
Ny. A mengatakan keluarganya tidak ada yang menderita Hipertiroid
4. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum Ny. A terlihat lemas dan berkeringat
5. Pemeriksaan PerSistem
a. Sistem Pernapasan
1) Hidung
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ditemukan darah/cairan
keluar dari hidung
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada hidung
2) Mulut
Inspeksi : Pucat
3) Leher
Inspeksi : Pembesaran kelenjar thyroid (+)
4) Dada
Inspeksi : Bentuk dada simetris, sesak napas
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-), weezing (-)
b. Sistem Cardiovaskuler
29
1) Wajah
Inspeksi : Pucat
2) Mata
Inspeksi : Ikterus (-), refleks cahaya (+), tanda anemis (-)
3) Leher
Inspeksi : Terdapat benjolan di leher depan
Palpasi : Terdapat nyeri tekan pada leher
4) Dada
Inspeksi : Bentuk dan gerakan dada tetap baik/simetris
Palpasi : Takikardia
Perkusi : Redup
Auskultasi : Gallop, murmur
c. Sistem Pencernaan-Eliminasi
1) Mulut
Inspeksi : Pucat
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
2) Lidah
Inspeksi : Warna putih, bentuk simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
3) Abdomen
Inspeksi : tidak ada Pembesaran
Auskultasi : Suara peristaltik usus 10x/menit
Perkusi : Timpani
Palpasi : Terdapat nyeri tekan
d. Sistem Muskuloskeletal & Integumen
Inspeksi: Pasien lemas
Palpasi : Turgor kulit menurun
e. Sistem Neurologi
Inspeksi : pasien meringis karena pusing
f. Ekstremitas
1) Ekstremitas Atas
Inspeksi : Tidak ada oedem, turgor kulit menurun
30
B. Diagnosa Keperawatan
1. Analisa Data
Symptoms Etiologi Problem
S: Hipertiroid Gangguan status
- Pasien mengeluh metabolik berkaitan
lemas, panas dan Aktivitas metablik dengan hipertermia dan
dada berdebar. meningkat kehilangan pengatuturan
- Pasien juga suhu tubuh
mengeluh sering Kalor meningkat
berkeringat
- Pasien mengatakan Suhu tubuh meningkat
sebelumnya pasien
pernah masuk rumah
sakit dengan
diagnosa hipertiroid.
O:
31
- Terdapat pembesaran
di leher depan
- TTV yaitu TD:
160/90, Nadi:
140x/menit, Suhu:
38,8°C, RR:
24x/menit,
- BB 55 Kg
S: Gangguan organic Kekurangan volume
- Ny. A mengatakan kelenjar tiroid cairan
badannya lemas,
panas serta Produksi hormone
berkeringat tiroid meningkat
Metabolism tubuh
O: meningkat
- Membran mukosa
kering Kebutuhan cairan
- Turgor kulit menurun meningkat
- Wajah pucat
- Nadi : 140x/menit Diaphoresis
- RR : 24x/ menit
- Suhu : 38,5°C
- BB : 55 Kg
- Intake : air putih,
cairan IV
- Output: BAB 2X,
BAK
2. Masalah Keperawatan :
a. Gangguan status metabolik berkaitan dengan hipertermia dan
kehilangan pengatuturan suhu tubh dtandai dengan Pasien mengeluh
lemas, panas dan dada berdebar, Pasien juga mengeluh sering
32
C. Intervensi Keperawatan
Tgl Dx Tujuan Tindakan Rasional
I Setelah dilakukan Penentuan pasien
tindakan keperawatan 1. Pantau suhu inti secara 1. Untuk mengevaluasi
selama 1x24 jam kontinu respon pasien terhadap
gangguan status terapi
metabolic dapat teratasi 2. Pantau TD secara 2. Karena demam
dengan kriteria hasil : kontinu meningkatkan
1. TTV normal vasodilatasi perifer yang
dapaat menyebabkan
hipotensi
Pengkajian pasien
3. Menggigil dapat
3. Kaji pasien untuk
meningkatkan kebutuhan
mengetahui adanya
metabolic
diaforesis dan mengigil
Penatalaksanaan pasien
4. Berikan asetaminofen 4. Untuk membantu
sesuai intruksi dan menurunkan suhu tubuh
evaluasi respon pasien 5. Menekan hipertiroid
5. Berikan agens
farmakologi antitiroid
sesua dengan yang
diresepkan : 6. Menjaga integritas kulit
6. Berikan tindakan
kenyamanan, dengan
memeriksa adanya
diaphoresis pada pasien
33
E. Evaluasi
Tgl Dx Waktu Catatan Perkembangan Paraf
I S:
- Pasien mengatakan panas badanya sudah berkurang
O:
- Nadi : 100x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 37,7.0°
O:
- KU: cukup,
- Turgor kulit cukup bai
- Membran mukosa cukup bail
36
- Nadi : 100x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 37,5.0°C
- BB : 55 Kg
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan
ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf,
dan sistem saluran cerna. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis
tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Krisis tiroid timbul saat
terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang
menyebabkan hipermetabolisme berat.
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,
terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan
laboratorium atas tirotoksikosis. Penatalaksanaan krisis tiroid harus
menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan
suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis
dan membalikkan dekompensasi multi organ. Angka kematian keseluruhan
akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-75%. Namun, dengan
diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan
baik.
37
B. Saran
1. Bagi mahasiswa/i dapat berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan
wawasan mengenai perawatan bagi klien dengan penyakit krisis tiroid.
2. Bagi pasien dan keluarga pasien yang ingin mengetahui cara perawatan
penyakit krisis tiroid
3. Bagi masyarakat umum yang berminat membaca dan ingin mengetahui
perawatan penyakit krisis tiroid
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I.M. dan Suastika, I.K. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam.
Jakarta: EGC
Cynthia Lea Tery & Aurora Weaver.2013. Keperawatan Kritis. Yogyakarta: Rapha
Publishing
Guyton, Arthur C. & John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9.
Editor: Irawati Setiawan. Jakarta :EGC.
Smeltzer dan Bare.2002.Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8.
Volume 3. Jakarta: EGC.
Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi IV. Jakarta : EGC