Anda di halaman 1dari 12

A.

ZAKAT

1. Pengertian Zakat

Zakat menurut bahasa adalah suci dan subur. Zakat menurut istilah syara’ ialah kadar harta tertentu yang
diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat.

Zakat adalah kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban tersebut
terkena kepada setiap muslim (baligh atau belum, berakal atau gila) ketika mereka memiliki sejumlah
harta yang sudah memenuhi batas nisabnya.

2. Syarat dan Harta Wajib Zakat

a. Syarat Wajib Zakat

Para ahli fiqih bersepakat bahwa zakat diwajibkan kepada orang yang merdeka, beragama Islam, baligh
dan berakal, mengetahui bahwa zakat adalah wajib hukumnya, lelaki atau perempuan. Dalam hal ini
banyak sekali perbedaan pendapat antara para ulama mengenai harta anak kecil dan orang gila, apakah
wajib zakat atau tidak atas mereka. Namun sebagian besar ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabillah
berpendapat bahwa zakat diwajibkan atas harta anak kecil dan orang gila yang ditunaikan oleh walinya.

b. Harta Wajib Zakat

Sejalan dengan ketentuan ajaran Islam yang selalu menetapkan standar umum pada setiap kewajiban
yang dibebankan kepada umatnya, maka dalam penetapan harta menjadi sumber atau objek wajib zakat
pun harus memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:

· Harta milik penuh (al-milku at-tam), yakni bahwa pemilik harta tersebut memungkinkan untuk
mempergunakan dan mengambil manfaat harta itu secara penuh. Harta yang dizakati ini harus
didapatkan melalui cara yang dibenarkan syara dan tidak diwajibkan atas harta yang didapat secara
haram.

· Berkembang (an namaa’), maksudnya harta tersebut dapat bertambah bila diusahakan atau
mempunyai potensi untuk berkembang. Kalau ulama terdahulu mengkategorikan zakat hanya pada 5
(lima) kategori, maka ulama kontemporer seperti Dr. Yusuf Qardhawi menambah 4 (empat) kategori baru
sesuai dengan perkembangan sarana untuk menumbuhkembangkan potensi kekayaan tersebut.

· Cukup nisbah, artinya harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan
syara.
· Lebih dari kebutuhan pokok, yakni lebih dari kebutuhan minimal yang harus dipenuhi setiap hari
seperti sandang, pangan dan papan. Apabila kebutuhan hidup minimal ini masih belum mampu untuk
dipenuhi setiap harinya, maka yang bersangkutan terbebas dari zakat.

· Bebas dari hutang. Orang yang memiliki hutang yang besar dan mengurangi nilai nisbah kena zakat,
maka ia tidak berkewajiban membayar zakat. Adapun hutang-hutangnya harus diselesaikan dahulu, oleh
karena itu zakat dikenakan bagi orang kaya yang memiliki harta lebih.

· Sudah satu tahun. Maksudnya kepemilikan harta tersebut sudah lewat dari 12 bulan Qomariyah.
[v]Masa satu tahun ini hanya berlaku bagi ternak, uang, harta benda yang diperdagangkan. Sedangkan
hasil pertanian, buah-buahan, rikaz (barang temuan) dan lain-lain yang sejenis tidak disyaratkan.

3. Macam-Macam Zakat

Zakat terbagi menjadi dua bagaian, yaitu:

1. Zakat Fitrah, yaitu zakat yang sebab diwajibkannya adalah pada bulan Ramadhan. Disebut pula
dengan sedekah fitrah. Zakat ini diwajibkan pada tahun kedua hijriah, yaitu tahun diwajibkannya puasa,
yang bertujuan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak ada
gunanya, untuk memberik makan pada orang-orang miskin dan mencukupkan mereka dari kebutuhan
dan meminta-minta pada Hari Raya Idul Fitri.

Zakat Harta (al-maal),yakni zakat yang dikeluarkan karena telah diperolehnya suatu harta kekayaan.
Harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat digunakan menurut lazimnya. Sesuatu dapat
disebut harta (al-maal)jika memenuhi dua syarat, yaitu :

a. Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun dan dikuasai;

b. Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan lazimnya.

Sedangkan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya meliputi:

a. Hasil pertanian;

b. Harta terpendam, barang tambang dan kekayaan laut;

c. Emas dan perak;

d. Perniagaan dan perusahaan;

e. Binatang ternak;

f. Saham dan surat berharga;

g. Hadiah atau harta tidak terduga, dan

h. Profesi.
4. Orang Yang Berhak Menerima Zakat

Adapun orang-orang yang berhak mendapatkan harta dari zakat terbagi ke dalam delapan golongan
(ashnaf ) sebagaimana dipaparkan sebagai berikut:

a. Fakir, adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan atau sumber pendapatan yang jelas dan tidak
mencukupi kebutuhan hidup minimalnya.

b. Miskin, ialah orang yang mempunyai pekerjaan atau sumber penghasilan yang jelas tetapi belum bias
memenuhi kebutuhan hidup minimalnya.

c. Rikab, yaitu orang yang keadaannya dapat dikategorikan sebagai budak, yakni orang yang secara
ekonomis tertekan oleh lingkungannya seperti pembantu rumah tangga atau orang yang hidupnya
menggantungkan diri kepada orang lain.

d. Gharimin, adalah orang yang tidak mampun melunasi hutangnya (pailit), atau kewajiban hutangnya
lebih besar dari pada kekayaannya.

e. Sabilillah, ialah orang yang sedang melakukan kegiataan atau usaha dalam rangka menegakkan
hukum Allah SWT, seperti penyelenggaraan pendidikan dan dakwah Islam.

f. Ibnu Sabil, adalah segala macam kegiatan atau usaha dalam rangka mendukung lancarnya suatu
perjalanan, pembangunan fasilitas transportasi, pembangunan sarana jalan, jembatan, atau komunikasi
untuk membuka daerah terpencil.

g. Muallaf, yaitu orang yang baru memeluk agama Islam, atau usaha-usaha dan kegiatan dalam rangka
meningkatkan pemahaman ajaran agama Islam terutama bagi orang muslim yang pengetahuan agamay
masih kurang.

h. Amil, yakni orang atau organisasi berikut system administrasinya untuk mendukung lancarnya kegiatan
penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat.

a. Landasan Kewajiban Membayar Zakat

Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua Hijriyah
setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat Fitrah. Ayat-ayat zakat, shodaqah dan infaq yang turun
di Makkah baru berupa anjuran dan penyampaiannya menggunakan metodologi pujian bagi yang
melaksanakannya dan cacian atau teguran bagi yang meninggalkannya. Landasan kewajiban membayar
zakat diantaranya:

v AL-QUR'AN

§ Surat Al-Baqaraah ayat 43: Artinya: “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama
dengan orang-orang yang ruku”.
§ Surat At-Taubah ayat 103: Artinya: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka karena sesungguhnya do'amu dapat
memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

§ Surat Al An'aam ayat 141: Artinya: "Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya
(kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)".

v AS-SUNNAH

§ Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar: Artinya:
"Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah,
menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan".

§ Hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat)
atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro
diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju
kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka
dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih".

6. Hikmah Zakat

Ajaran Islam memberikan peringatan dan ancaman yang keras terhadap orang yang enggan
mengeluarkan zakat. Kewajiban menunaikan zakat demikian tegas dan murlak, oleh karena di dalamnya
terkandung hikmah dan manfaat yang besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki, mustahik,
harta yang dikeluarkan maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Diantara hikmahnya adalah sebagai
berikut:

a. Sebagai perwujudan keimanan kepada Alla SWT,

b. Menolong, membantu dan membina para mustahik, terutama fakir miskin ke arah kehidupan yang
lebih baik dan sejahtera sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak,

c. Pemerataan pendapatan masyarakat, sehingga mengurangi kesejangan antara orang yang


mempunyai limpahan harta dengan orang yang kekurangan hartanya.

B. PAJAK

1. Pengertian Pajak

Pajak adalah beban kewajiban yang harus ditanggung oleh masyarakat didalam suatu negara, baik hal itu
bersifat personal maupun kelompok. Yang kegunaannya adalah untuk membiayai kebutuhan negara
didalam pembangunannya. Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukakn berbagai jenia
perbelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan
memperbaiki infrastuktur, menyediakan fasilitas pendidikan dankesehatan, dan membiayai setiap
kegiatan untuk menjaga keamanan negara merupakan pengeluaran yang tidak bisa dielakkan oleh
pemerintah, dana tersebut terutama diperoleh dari pemungutan pajak.
Sedangkan mengenai pajak, terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang
dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah:

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan)
yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.

Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut
kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat
kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving
yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu
pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun
wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang
langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan
pemerintahan.

2. Macam-Macam Pajak

Dalam hukum pajak terdapat pelbagai pembedaan jenis-jenis pajak, yang dibagi ke dalam golongan-
golongan besar. Pembedaan dan pembagian ini mempunyai fungsi yang berlainan pula. Ada yang
fungsinya hanya digunakan untuk memudahkan pekerjaan di dalam praktik, ada juga yang fungsinya
ditujukan kepada tujuan ilmiah. Berikut ini adalah penggolongan yang dibedakan menurut golongan,
sifat dan lembaga pemungutnya.

Menurut golongannya, secara garis besar berbagai jenis pajak-pajak yang dipungut pemerintah dapat
dibedakan kepada dua golongan, yaitu:

a. Pajak Langsung, adalah jenis pungutan pemerintah secara langsung dikumpulkan dari pihak yang
wajib membayar pajak. Setiap individu yang bekerja dan perusahaan yang menjalankan kegiatannya dan
memperoleh keuntungan wajib membayar pajak. Pajak yang dipungut dan dikenakan ke atas pendapatan
merekan dnamakan pajak langsung, yakni pajak itu diambil langsung dari orang atau badan sebagai wajib
pajak untuk membayar pajaknya. Dalam pengertian ekonomis pajak langsung adalah pajak yang
bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan, tidak boleh dilimpahkan kepada
orang lain. Dalam pengertian administratif pajak langsung adalah pajak yang dipungut secara berkala.
b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang bebannya boleh dipindah-pindahkan kepada pihak lain.
Pengertian secara ekonomis, pajak tidak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya dapat dilimpahkan
kepada pihak ketiga atau konsumen. Dalam pengertian administratif, pajak tidak langsung adalah pajak
yang dipungut setiap terjadi peristiwa atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya
terjadi penyerahan baran atau pembuatan akte.

Dalam memilih cara untuk menentukan apakah suatu pajak termasuk pajak langsung atau tidak langsung
dalam arti ekonomis dapat diikuti cara yang lazim dalam ilmu ekonomi. Terdapat tiga unsur yang melekat
pada kewajiban memenuhi pajak, yaitu:

1. Penanggung jawab pajak (wajib pajak) yakni orang yang secara formal yuridis diharuskan melunasi
pajak, yaitu bila padanya terdapat faktor-faktor atau kejadian-kejadian yang menimbulkan sebab
(menurut undang-undang) untuk dikenakan pajak.

2. Penanggung jawab adalah orang yang dalam faktanya (dalam arti ekonomis) memikul dulu beban
pajaknya.

3. Yang dituntut oleh pembuat Undang-Undang, juga dinamakan pemikul pajak, yaitu oleh yang
menurut maksud Undang-Undang harus dibebani pajak.

Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang, maka pajaknya adalah pajak langsung. Namun jika
terpisah atau terdapat pada lebih dari satu orang, maka disebut pajak tidak langsung.

Pembagian pajak menurut sifatnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pajak subjektif (bersifat perorangan)
dan pajak objektif (bersifat kebendaan).

1. Pajak Subjektif, adalah pajak yang memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi wajib pajak,
untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang objektif berhubungan erat dengan
keadaan matrialnya, yaitu yang disebut gaya pikulnya.

2. Pajak Objektif, adalah pajak yang pertama-tama memperhatikan kepada objeknya baik itu berupa
benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban
membayar pajak, kemudian barulah dicari subjeknya (orang atau badan) yang bersangkutan lansung,
dengan tidak mempersoalkan apakah subjek itu berkediatam di Indonesia atau tidak.

Menurut lembaga pemungutnya, pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu pajak negara (pajak pusat) dan
pajak daerah.

Pajak Negara, ialah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraanya dilaksanakan
oleh departemen keuangan dan hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada
umumnya. Contohnya adalah pejak yang dipungut oleh dirjen pajak sepertai Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan dan sebagainya.
Pajak Daerah, yaitu pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah seperti propinsi, kabupaten
maupun kotamadya berdasarkan peraturan pemerintah daerah masing-masing dan hasilnya digunakan
untuk pembiayaan Rumah Tangga Daerah masing-masing.

3. Fungsi Pajak

Pada dasarnya fungsi pajak adalah sebagai sumber pemasukan keuangan negara (fungsi budgeter), yang
nantinya dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran operasional maupun investasi oleh negara.
Namun ada fungsi lainnya yang tidak kalah pentingnya yaitu pajak sebagai fungsi mengatur.

1. Fungsi Budgeter, adalah fungsi yang letaknya pada sektor publik, dan pajak-pajak di sini sebagai alat
(atau suatu sumber) untuk memasukkan uang sebanyaknya ke dalam kas negara yang pada waktunya
akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Pajak-pajak ini terutama akan digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin, dan apabila setelah itu masih ada sisa (surplus), maka
surplus ini dapat digunakan untuk membiayai investasi pemerintah (public saving untuk public
investment).

2. Fungsi Mengatur (regularend), adalah digunakan sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan
negaran dalam bidang ekonomi dan sosial, untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar
bidang keuangan. Hal ini merupakan udaha pemerintah untuk turut camput tangan dalam hal mengatur
dan bilamana perlu mengubah susunan pendapatan dan kekayaan dalam sektor swasta.

4. Pajak Penghasilan

a) Konsep Penghasilan

Dari segi ekonomi penghasilan pada umumnya timbul karena adanya tindakan ekonomi. Penghasilan
secara istilah dalam kamus ekonomi adalah penerimaan uang oleh seseorang atau perusahaan dalam
bentuk gaji (wages), upah (salaries), sewa (rent), bunga (interest), dan laba (profit). Definisi tersebut
hanya menilai penghasilan berdasarkan hasil dari penerimaan uang saja, tanpa mempertimbangkan
unsur kenikmatan (benefit in kind) ataupun kepuasan yang dapat diperoleh seseorang. Pada setiap
penerimaan atas gaji, upah, sewa, bunga, dan laba terdapat kenikmatan atau kepuasan yang merupakan
bagian tersendiri dari penghasilan seseorang.

Definisi di atas seperti halnya yang telah diungkapkan oleh ekonom Amerika, Robert Murrray Haig, yang
menekankan bahwa penghasilan adalah tambahan kemampuan. Yang dihitung sebagai penghasilan
hanya berbentuk uang atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.

Penghasilan dapat juga berarti sebagai hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan
barang-barang (goods) dan jasa-jasa (sevices) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales
revenue).Penghasilan berdasarkan definisi ini dalam prinsipnya dapat diartikan sebagai total penerimaan
dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang
atau jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Penghasilan jika disandarkan pada analisis mikro
ekonomi digunakan berkenaan dengan aliran penghasilan dalam suatu periode waktu yang berasal dari
penyediaan faktor-faktor produksi sumber daya alam (natural resources), tenaga kerja (labour), dan
modal (capital).Masing-masing dalam bentuk sewa, upah dan bunga atau laba.

Definisi penghasilan untuk kepentingan perpajakan dapat berbeda dengan definisi secara ekonomis
karena adanya tujuan tertentu dari kebijakan perpajakan terutama berkaitan dengan fungsi pajak yang
berfungsi sebagai penerimaan (budgeter) dan mengatur (regulerend), dimana didalamnya mencakup
pertimbangan keadilan dalam pembebanan pajak. Definisi penghasilan menurut Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
tercantum dalam pasal 4 ayat (1).

Dari definisi penghasilan yang terdapat pada pasal tersebut, terdapat lima unsur definisi penghasilan,
yaitu:

1. Tambahan kemampuan ekonomis,

2. Diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak.

3. Berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,

4. Dengan nama dan dalam bentuk apapun,

5. Dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan.

Berdasarkan uraian definisi pajak dan penghasilan tersebut di atas, pajak penghasilan adalah beban
kewajiban pajak yang dikenakan pada setiap hasil usaha yang telah diperoleh oleh setiap orang atau
badan usaha. Undang-Undang Perpajakan menganut pengertian penhasilan yang luas, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik dari yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan
wajib pajak yang bersangkutan.

1. Subjek Pajak Penghasilan

Subjek pajak adalah subjek hukum yang oleh undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan.
Pengertian dan penggolongan subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan terdapat pada
pasal 2 dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi,
warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak, badan dan bentuk usaha
tetap. Sedangkan subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

2. Objek Pajak Penghasilan

Yang menjadi pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, grafifikasi, uang pensiun atau uang imbalan
dalam bentuk lain dalam undang-undang ini;

b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c. Laba usaha;

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta yang termasuk didalamnya.

5. Landasan Kewajiban Membayar Pajak

Di dalam Hukum Islam, Dasar membayar pajak itu hukumnya adalah wajib, berdasarkan kepada ayat Al-
Qur’an Surat At-Taubah: 29 "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula
kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah), yaitu orang-orang yang diberi Al-kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar "Jizyah" dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan
tunduk".

Pembebanan kewajiban membayar pajak hanyalah terhadap kaum laki-laki dan kaum Hawa yang normal,
sedangkan orang yang tidak mampu, dibebaskan dari kewajiban tersebut. Pembebanannya pun
disesuaikan dengan status sosial dan kondisi keuangannya.

Dalam pengaturan pajak tersebut haruslah sesuai dengan Undang-undang, yaitu pasal 23 UUD 1945
yang berbunyi: “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan undang-
undang”.

C. PERUMUSAN DAN PERBEDAAN ZAKAT DAN PAJAK

1. Perumusan Zakat dan Pajak

§ Unsur Paksaan

Bagi seorang muslim yang hartanya telah memenuhi syarat zakat maka ia harus menunaikan
kewajibannya yang diwakili oleh petugas zakat yaitu amil. Demikian halnya dengan orang yang sudah
masuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa kepadanya, baik secara langsung maupun
tidak langsung.

§ Unsur Pengelola

Asas pengelolaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60.
Pengelolaan zakat bukanlah semata-mata dilakukan secara individual, dari muzakki diserahkan langsung
kepada mustahik, akan tetapi dilakukan olah sebuah lembaga yang menangani zakat yang memenuhi
persyaratan tertentu. Sedangkan pengelolaan pajak, jelas harus diatur oleh negara.
2. Dari Sisi Tujuan

Dari sudut pembangunan kesejahteraan masyarakat, zakat memiliki tujuan yang sangat mulia bertujuan
untuk menciptakan kesejahteraan, keamanan dan ketentraman. Demikian pula dengan pajak sebagai
sumber dana untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan
berkesinambungan antara kebutuhan material dan spiritual.

3. Perbedaan Antara Zakat dan Pajak

No.

Macam

Zakat

Pajak

1.

Pengertian

Bersih, bertambah dan berkembang

Utang, upeti, iuran kepada negara

2.

Landasan Hukum

Al-Qur’an dan As-Sunnah

Undang-Undang suatu negara

3.

Nisab dan Tarif

Ditentukan Allah SWT dan bersifat mutlak nisbah zakat memiliki ukuran tetap

Ditentukan oleh negara dan bersifat relatif. Nisbahnya berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran
dihapuskan

4.

Sifat

Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus

Kewajiban bersifat kebutuhan dan dapat dihapuskan


5.

Subjek

Muslim

Semua warga negara

6.

Objek Alokasi Penerimaan

Tetap 8 golongan (ashnaf)

Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin

7.

Harta yang Dikenakan

Harta yang produktif

8.

Syarat Ijab Qabul

Disyaratkan

Semua harta

9.

Sanksi

Pahala dari Allah SWT

Dari negara

10.

Penghitungan

Dipercayakan kepada muzakki dan adanya amilin (petugas zakat)

Self. Assesment System, wajib pajak menghitung sendiri besarnya pajak terhutang melalui penyampaian
SPT
D. Pendapat para ulama tentang kewajiban membayar Zakat dan Pajak

Islam adalah agama yang anti kedzaliman. Pengutipan pajak tidak dapat dilakukan sembarangan dan
sekehendak hati penguasa. Pajak yang diakui dalam sejarah fiqih Islam dan sistem yang dibenarkan harus
memenuhi beberapa syarat yaitu:

1) Benar–benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain.

Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar-benar membutuhkan dana, sedangkan sumber
lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy.

Para ulama dan para ahli fatwa hukum Islam menekankan agar memperhatikan syarat ini sejauh
mungkin. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila Baitul Mal benar – benar
kosong. Para ulama benar – benar sangat hati – hati dalam mewajibkan pajak kepada rakyat, karena
khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya dan keserakahan pengelola
pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara melakukan korupsi hasil pajak.

2) Pemungutan Pajak yang Adil.

Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pengutipan
pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syara. Tetapi harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan
tidak memberatkan. Jangan sampai menimbulkan keluhan dari masyarakat. Keadilan dalam pemungutan
pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan
pembangunan.

3) Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan
hawa nafsu.

4) Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak.

Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk
mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan
dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.

Sedangkan mengenai pembayaran zakat, para ulama telah sepakat akan kewajiban zakat dan bagi yang
mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.

Anda mungkin juga menyukai