Anda di halaman 1dari 32

Laporan Tutorial Blok 12 Skenario 3

KELAINAN SISTEM SARAF TEPI NERVUS FACIALIS


PADA KASUS BELL’S PALSY

KELOMPOK 14 :
Aryo Seno G0010030 Fitroh Annisah G0010084
Asih Anggraini G0010032 Himmatul Fuad G0010094
Damar Dyah Mentari G0010048 Rizqi Ahmad Nur D. G0010168
Erma Malindha G0010074 Wahyu Aprillia G0010194
Fariz Edi Wibowo G0010078

Pembimbing:
Prof. Dr. Kiyatno, dr. PFK, M.Or

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
2011
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem saraf tepi terdiri dari nervi cranialis dan nervi spinalis.
Kerusakan pada nervi cranialis dapat memberikan manifestasi klinis yang
bermacam-macam, tergantung nervus yang terkena. Seperti kerusakan nervus
cranialis VII (nervus fascialis) dapatmenyebabkan wajah menjadi tidak
simetris.
Pada skenario kali ini akan dibahas tentang kelumpuhan yang
merupakan salah satu dari kelainan system saraf tepi. Berikut adalah
permasalahan dalam skenario 3.
Kasus 1

Seorang wanita usia 35 tahun dibawa ke polineurologi karena sejak 4


hari merasakan tebal pada pipi dan telinga kanan. Pada saat bercermin
terlihat wajahnya tidak simetris (merot). Saat tersenyum sisi kanan mulut
tidak bergerak. Kerutan dahi sisi kanan menghilang, kelopak mata kanan
tidak bias menutup sempurna dan didapatkan fenomena bell. Air mata keluar
terus-menerus dari mata kanan. Pasien merasakan kesulian berkumur dan
bila berbicara pelo terutama untuk mencobabunyi mi-mi-mi. Lidah sisi kanan
tidak dapat merasakan larutan manis, asam, dan asin. Pasien menjadi cema
memikirkan keluhan tersebut dan sering mengalami nyeri kepala.

Penderita sadar penuh, tanda vital normal, dan tidak ada riwayat
penyakit sebelumnya. Pemeriksaan kekuatan motorik lengan dan tungkai,
sensorik, tes koordinasi, refleks tendon dan cara berjalan masih dalam batas
normal. Dokter menilai derajat kelumpuhan otot wajah. Pada pemeriksaan
pendengaran, telinga kanan merasa lebih keras (hiperakusis). Dokter
memberi obat dan memberi latihan.
Kasus 2

Suami pasien di atas menanyakan ke dokter apakah istrinya juga


mengalami stroke seperti ibunya karena wajahnya juga merot.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi nervus facialis?

2. Bagaimana patofisiologi dan patogenesis gejala dalam skenario?

3. Apa saja macam-macam kelumpuhan otot wajah?

4. Bagaimana perbedaan stroke dengan Bell’s Palsy?

5. Bagaimana etiologi, faktor resiko dan epidemiologi pada penyakit Bell’s


Palsy?

6. Bagaimana cara anamnesis pada penyakit Bell’s Palsy?

7. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Bell’s Palsy termasuk pengobatan


dengan kortikosteroid?

8. Bagaimana pencegahan dan prognosis penyakit Bell’s Palsy?

9. Apa differential diagnosis yang mungkin pada kasus tersebut?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui anatomi dan fisiologi nervus facialis.

2. Mengetahui patofisiologi dan patogenesis gejala dalam skenario.

3. Mengetahui macam-macam kelumpuhan otot wajah.


4. Mengetahui perbedaan stroke dengan Bell’s Palsy.

5. Mengetahui etiologi, faktor resiko dan epidemiologi pada penyakit Bell’s


Palsy.

6. Mengetahui cara anamnesis pada penyakit Bell’s Palsy.

7. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Bell’s Palsy termasuk pengobatan


dengan kortikosteroid.

8. Mengetahui pencegahan dan prognosis penyakit Bell’s Palsy.

9. Mengetahui differential diagnosis dari kasus.

D. Manfaat Penulisan

1. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi system saraf tepi.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme terjadinya kelainan pada


penyakit Bell’s Palsy meliputi pathogenesis dan patofisiologinya.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan differential diagnosis yang berhubungan


dengan penyakit Bell’s Palsy.
BAB II
DISKUSI DAN STUDI PUSTAKA

Dalam skenario 3, disebutkan sebuah kasus dimana seorang wanita usia 35


tahun dibawa ke polineurologi karena sejak 4 hari merasakan tebal pada pipi dan
telinga kanan. Pada saat bercermin terlihat wajahnya tidak simetris (merot). Saat
tersenyum sisi kanan mulut tidak bergerak. Sisi kanan mulut tidak bergerak,
berarti wanita dalam skenario mengalami kelumpuhan pada otot wajah.
Menurut Daniel worthingham’s, penilaian derajat kekuatan otot wajah
dengan memakai 4 tingkatan yaitu :
1. 0 (zero) : tidak ada kontraksi yang nampak
2. 1 (trace) : kontrasi minimal
3. 3 (fair) : kontraksi sampai dengan simetris sisi normal dengan
usaha maksimal
4. 5 (normal) : kontraksi penuh, terkontrol, dan simetris (Palupi, 2010).
Wajah dipersarafi oleh nervus fascialis, oleh karena itu kita harus
mengetahui bagaimana anatomi fisiologi saraf tepi, khususnya dalam skenario ini
adalah nervus VII/fascialis.
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.
levator palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantarkan impuls dari alat pengecap di
dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh
otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius
Wrisberg yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi
kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap
pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu
masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis
ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi
kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar
sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus
abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan
melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di
bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan
(jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena
bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam
ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada
sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena
sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis
tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion
pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih
distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani.
Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian
melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-
otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus
nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya
berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan
disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang
terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan
mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika
lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis
fasial (wajah).

Dalam skenario juga disebutkan bahwa pasien kerutan dahi sisi kanan
menghilang, kelopak mata kanan tidak bisa menutup sempurna dan didapatkan
fenomena bell. Air mata keluar terus menerus dari mata kanan. Kemudian pasien
merasakan kesulian berkumur dan bila berbicara pelo terutama untuk mencoba
bunyi mi-mi-mi. lidah sisi kanan tidak dapat merasaka larutan manis, asam, dan
asin. Dari gejala-gejala tersebut yang terdapat pada kasus dalam skenario,
penyakit pasien mengarah ke diagnosis penyakit Bells Palsy.

BELLS PALSY

Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n.
fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy (Sukardi, 2000).

Epidemiologi
Kejadian tahunan bell’s palsy adalah sekitar 20 per 100.000 penduduk, dan
insiden meningkat sesuai dengan umur. Bell’s palsy mempengaruhi sekitar 40.000
orang di Amerika Serikat setiap tahun. Bell’s palsy tiga kali lebih mungkin
menyerang ibu hamil dibandingkan wanita yang tidak hamil. Hal ini juga
dianggap empat kali lebih mungkin terjadi pada penderita diabetes daripada
populasi umum.
Di Indonesia, insiden bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s
palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21–30
tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan
insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita
didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan
(Thamrinsyam, 1991).
Etiologi
Kausa kelumpuhan nervus fasialis perifer sampai sekarang belum
diketahui secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb.
1. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
2. Didapat
a. Trauma
b. penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
c. proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
d. proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
e. infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
f. sindroma paralisis nervus fasialis familial
1) Neurotmesis
- Terjadi karena axon, schwann cell dan myelin sheat terputus dan
terjadi degenerasi
- Saraf banyak mengandung serabut yang jika rusak dapat
mengakibatkan tipe lesi yang bermacam-macam sehingga sulit
mendiagnosis
2) Tekanan yang singkat pada saraf mengakibatkan hilangnya
konduksi yang dapat membuat ischemic dan secara cepat
reversible. Contoh: Duduk dengan kaki menyilang dapat
mengakibatkan hilangnya konduksi sementara di ibu jari (n.
peroneal)
3) Kompresi injury yang lebih lama mengakibatkan mechanical
displacement nodus of ranvier
4) Jika proses penekanan hilang sebelum terjadi perubahan struktur,
maka akan pulih dalam beberapa minggu.

Selain itu, faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan bell’s palsy


antara lain: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka,
tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit
vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik.

Faktor Risiko Bell’s Palsy


Bell’s palsy lebih sering terjadi pada orang yang:
1. Hamil, terutama selama trimester ketiga, atau yang pada minggu pertama
setelah melahirkan
2. Diabetes
3. Memiliki infeksi saluran pernapasan atas, seperti flu atau pilek
Dalam kasus-kasus lain, mungkin ada kecenderungan genetik untuk Bell’s
palsy.

Gejala Klinis
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat
bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah
merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya
memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak berputar ke atas (tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul
atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut
yang lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi.
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di
antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah
menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena
tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus
menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya
ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang
terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan
terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah
antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus
fasialis di kanalis fasialis.
3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya
hiperakusis.
4. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di
belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca
herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis
fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius
eksterna dan pina.
5. Lesi di daerah meatus akustikus interna
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli
sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
6. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga
nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa
Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata
bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais
menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis.
Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya
terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.
Patofisiologi dan Patogenesis Gejala di Skenario
Bell’s palsy merupakan proses inflamasi akut pada nervus fasialis di
daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir
selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu
atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau
kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit
pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik
tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi
supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras
kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang
dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan
udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela
yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena
itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.
Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari
otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak
dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang
berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan
platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa
disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
Pada iskemia primer terjadi Bell’s Palsy nervus fasialis yang disebabkan
oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara dinding kanal nervus wajah
dan waja. Karena vasodilatasi ini bervariasi, antara lain: infeksi virus, proses
imunologi, dan lain-lain. Iskemia terjadi gangguan mikrosirkulasi intraneural
utama penyebab yang menimbulkan iskemia sekunder yang disebabkan oleh
gangguan fungsi saraf wajah. Bell’s palsy terjadi erjepitnya nervus fasialis pada
foramen stilomastoideus.
Perubahan patologis ditemukan pada nervus fasialis sebagai berikut:
1. Tidak ada perubahan patologis kecuali untuk edema
2. Ada demielinisasi atau degenerasi mielin.
3. Ada degenerasi akson
4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak
Perubahan patologis yang terjadi tergantung pada tingkat keparahan
kompresi atau strangulasi dari nervus fasialis. Dalam beberapa kasus, bell’s palsy
bilateral telah dikaitkan dengan infeksi HIV akut (Kim YH et al., 2008).
Dalam beberapa penelitian, virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1)
diidentifikasi dalam sebagian besar kasus didiagnosis sebagai Bell palsy. Hal ini
telah memberikan harapan untuk terapi obat anti-inflamasi dan anti-virus
(prednison dan asiklovir. Penelitian lain Namun, mengidentifikasi HSV-1 hanya
31 kasus (18 persen), herpes zoster (zoster sine herpete) dalam 45 kasus (26
persen) dalam total 176 kasus klinis didiagnosis sebagai Bell Palsy. Selain itu,
virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) infeksi dikaitkan dengan demielinasi saraf.
Mekanisme kerusakan saraf yang berbeda dari yang disebutkan di atas - yang
edema, pembengkakan dan kompresi saraf dalam kanal tulang sempit bertanggung
jawab atas kerusakan saraf. Demielinasi bahkan mungkin tidak langsung
disebabkan oleh virus, namun tidak diketahui oleh sistem kekebalan respon.
Karena demielinasi saraf wajah yang disebabkan oleh HSV-1 reaktivasi, melalui
respon imun tidak diketahui, terlibat dalam patogenesis HSV-1 menginduksi
wajah lumpuh.
Bell’s palsy berbeda dengan stroke yang sama-sama membuat salah satu
bagian wajah mencong / ketarik. Bell's Palsy hanya menyerang syaraf wajah,
sedangkan fungsi tubuh berjalan normal. Namun, ada beberapa kasus di mana
Bell's Palsy menyerang syaraf otak, sehingga ada penderita yang tidak mampu
berbicara jelas seperti penderita stroke. Walau demikian, pasien masih memiliki
pikiran yang sangat jernih dan dia masih dapat berkomunikasi dengan cara
menulis (Cardoso JR, et alI., 2008).

DIAGNOSA
Pada kasus dalam skenario penderita sadar penuh, tanda vital normal, dan
tidak ada riwayat penyakit sebelumnya. Pemeriksaan kekuatan motorik lengan
dan tungkai, sensorik, tes koordinasi, reflex tendon dan cara berjalan masih dalam
batas normal. Dokter menilai derajat kelumpuhan otot wajah. Pada pemeriksaan
pendengaran, telinga kanan merasa lebih keras (hiperakusis). Dokter memberi
obat dan memberi latihan.
Untuk dapat menegakkan diagnosis Bells Palsy yaitu berdasarkan
anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa:
- Rasa nyeri.
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam
hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi
saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan fisik:
- Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer.
- Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
a. Mengerutkan dahi
b. Memejamkan mata
c. Mengembangkan cuping hidung
d. Tersenyum
e. Bersiul
f. Mengencangkan kedua bibir (Sidharta, 1985; Maisel et al, 1997)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan
derajat kerusakan saraf fasialis sbb:
a. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri
& kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5
mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA
menunjukkan kerusakan saraf fasialis irreversibel.
b. Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara
mengukur kecepatan hantaran listrik pada saraf fasialis kiri dan kanan.
c. Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau
tidaknya otot-otot wajah.
d. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah, Gilroy dan Meyer (1979)
menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana
yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).
Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat
dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah
terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada
bell's palsy menunjukkan letak lesi saraf fasialis setinggi khorda
timpani atau proksimalnya.
e. Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang
diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan.
Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter,
berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi saraf fasialis
setinggi ganglion genikulatum (Sukardi, 2000)

PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Prednison: pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus
BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk
mengurangi udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3
mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap
selama 2 minggu.
Pemberian Kortikosteoid pada pasien Bell’s Palsy:
Pada pasien Bells Palsy pemberian kortikosteroid sedikit berbeda
dengan pemberian pada umumnya.
Kortikosteroid adalah obat terlibat dalam berbagai pengembalikan
sistem fisiologis tubuh seperti respon stres , respon imun dan regulasi
peradangan , metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, tingkat
elektrolit darah, dan perilaku. Kebanyakan pasien Bell’s palsy sembuh
secara spontan dan mencapai fungsi normal. Banyak pasien yang dapat
menunjukkan tanda-tanda perbaikan dini selama 10 hari setelah onset atau
bahkan tanpa pengobatan. Obat kortikosteroid yang digunakan adalah obat
golongan Hidrokortison, prednisone/ prednisolon mengurangi
pembengkakan saraf fasialis (anti inflamasi). Sebuah kursus tablet steroid
biasanya diresepkan untuk sekitar 10 hari. Pengobatan kortikosteroid dosis
tinggi digunakan Bell’s palsy akut (Kawaguchi K et al., 2007).
Dengan pemberian steroid maka pasien memiliki prosentase pemulihan
penuh yang besar. Steroid sesegera mungkin diberikan setelah timbulnya
gejala terutama pada kasus bell's palsy yang secara elektrik menunjukkan
denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat
reinervasi.. Idealnya, steroid diberikan maksimal dalam waktu 72 jam
setelah gejala awal sebab jika diberikan setelah itu mungkin tidak terlalu
banyak berpengaruh. Dosis yang diberikan:
a. Dewasa: 60 mg/hari, selama 5 hari dilanjutkan dengan dosis 40
mg/hari selama 5 hari berikutnya.
b. Anak: 2 mg/kg BB/ hari, selama 7/10 hari (Sullivan FM et al., 2009).
Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang memiliki
beberapa efek samping yang berat seperti: hiperglikemia, resistensi insulin,
diabetes melitus, osteoporosis, katarak, kecemasan, depresi, kolitis,
hipertensi, tekanan ritmik, disfungsi ereksi, hipogonadisme, hipotiroidisme,
amenorea, dan retinopati.
Kortikosteroid memiliki efek teratogenik kecil tetapi signifikan
menyebabkan kecacatan lahir per 1.000 wanita hamil (Engström M et al.,
2008).
2. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena
dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila:
a. tidak terdapat penyembuhan spontan
b. tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison
c. pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain :
a. dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis parspiramidalis
mulai dari foramen stilomastoideum
b. nerve graft
c. operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi) (Sukardi,
2000).
3. Rehabilitasi Medik Pada Penderita Bell’s Palsy
Sebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s
palsy maka akan dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum.
Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan
guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan
kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah :
a. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
b. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
c. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup
dan bekerja dengan apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif
dan efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter,
fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog,
petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan
terpadu dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi
medik pada Bell’s palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis
menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta
psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan
sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi,
okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang
program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan.
4. Program Fisioterapi
a. Pemanasan
- Pemanasan superfisial dengan infra red.
- Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
Diathermy (Thamrinsyam, 1991).
b. Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses
regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan
faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi
dari aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta
mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah
onset (Sidharta, 1985).
c. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut.
Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi,
menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum,
bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan
tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut,
Bell’s palsy diberi gentle massage secara perlahan dan berirama.
Gentle massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan
relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot (Kendall et al, 1983).
Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum
latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage
memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe,
melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi
edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan
gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage
daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi.
Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
5. Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah.
Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk
permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat
kondisi penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat
berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan,
latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan
cermin (Sabirin J, 1990).
6. Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari
pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat
kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan
menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja
pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk
masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat
kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa
kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk
kesembuhan penderita (Sabirin J, 1990).
7. Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat
menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita
muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan
ia sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat
diperlukan.
8. Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut
mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam.
Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan
“Y” plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada
penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah
teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya
kontraktur (Sabirin J, 1990).
9. Home Program
a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
b. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan
dari sisi wajah yang sehat
c. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang
sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet
d. Perawatan mata:
1) Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
2) Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
3) Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.
PENCEGAHAN
Agar Bell's Palsy tidak mengenai kita, cara-cara yang bisa ditempuh
adalah:
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk
mencegah angin mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa
wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin
terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu
gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam
hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan
syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan
pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang
rendah berpotensi tinggi menyebabkan Anda menderita Bell's Palsy.
5. Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah
dengan air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin
langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.

PROGNOSIS
Sembuh spontan pada 75-90 % dalam beberapa minggu atau dalam 1-2
bulan. Kira-kira 10-15 % sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang
permanen.
Prognosis sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada
anak prognosis umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total.
Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada anak
90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa.
Jika dengan prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami
penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-
otot wajah, sinkinesis, tik fasialis dan sindrom air mata buaya (Sukardi, 2000).
Dalam menegakkan diagnosis, seorang dokter harus mampu menyingkirkan
berbagai macam pertimbangan dari differential diagnosis yang ada. Beberapa
differential diagnosis yang berkaitan dengan skenario 3 tentang Bell’s palsy yaitu
Otitis media, meastenia gravis, trauma capitis, Guillen Barre Syndrome, dan
tumor intrakranial. Berikut akan diuraikan sedikit penjelasan mengenai diagnosis
banding yang ada, disertai dengan perbedaan yang membedakan diagnosis
banding tersebut dengan bell’s palsy.
1. Otitis Media
Otitis Media terdiri atas :
a. Otitis Media supuratif
1) Otitis media supuratif akut atau otitis media akut
2) Otitis media supuratif kronik
b. Otitis media non supuratif, atau otitis media serosa
1) Otitis media serosa akut (barotrauma atau aerotitis)
2) Otitis media serosa kronik (glue ear)
c. Otitis media spesifik, seperti otitis media sifilitika atau otitis media
tuberkulosa
d. Otitis media adhesiva

Definisi
Otitis Media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau
seluruh periosteum telinga tengah. Disebabkan oleh bakteri piogenik seperti
Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus aureus, H.influenza, E. coli, S.
Anhemolyticus, P.vulgaris, dan P.aeurginosa.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah infeksi kronik telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga
tengah secara terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau
kental, bening, atau nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran.
Manifestasi klinis dapat berupa otore, vertigo, tinitus, rasa penuh di
telinga, atau gangguan pendengaran. Pada anak biasanya keluhan utama
adalah rasa nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh yang tinggi.
Patofisiologi
Pada gangguan otitis media akut biasanya terjadi disfungsi tuba
eustachii seperti obstruksi yang diakibatkan oleh infeksi saluran nafas atas,
sehingga timbul tekanan negative di telinga tengah. Sebaliknya, terdapat
gangguan drainase cairan telinga tengah dan kemungkinan refluks sekresi
esophagus ke daerah ini yang secara normal bersifat steril. Cara masuk
bakteri pada kebanyakan pasien kemungkinan melalui tuba eustachii akibat
kontaminasi secret dalam nasofaring. Bakteri juga dapat masuk telinga
tengah bila ada perforasi membran tymphani. Eksudat purulen biasanya ada
dalam telinga tengah dan mengakibatkan kehilangan pendengaran konduktif
(Ludman, 1996).
OMSK dibagi dalam dua jenis, yaitu benigna dan maligna atau tipe
mukosa, dan maligna atau tipe tulang. Berdasarkan sekret yang keluar dari
kavum timpani secara aktif juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang. Pada
OMSK benigna, peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak mengenai
tulang. Perforasi terletak di sentral. Jarang menimbulkan komplikasi
berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom. OMSK tipe maligna disertai
dengan kolesteatom. Perforasi terletak marginal, subtotal, atau di atik. Sering
menimbulkan komplikasi yang berbahaya atau fatal.
Bila tidak ditangani, kolesteatoma dapat tumbuh terus dan
menyebabkan paralysis nervus fasialis (N. Cranial VII), kehilangan
pendengaran sensorineural dan/ atau gangguan keseimbangan (akibat erosi
telinga dalam) dan abses otak.
Komplikasi nya antara lain paralisis nervus fasialis, fistula labirin,
labirintitis supuratif, petrositis, tromboflebitis sinus lateral, abses ekstradural,
abses subdural, meningitis, abses otak, dan hidrosefalus otitis (Mansjoer et al,
2009).

2. Meastenia Gravis

Miastenia gravis ialah gangguan autoimun yang menyebabkan otot


skelet menjadi lemah dan lekas lelah (Harsono, 1996).
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai
kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor
asetilkolin pada sambungan neuromuskular (Lombardo, 1995).

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu.


Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik
dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat
reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps
dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam
perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase.
Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan
membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor
tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan
local yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-
kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot
lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang
ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan
mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular
yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral
atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi
dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu
timbul setiap hari menjelang sore atau malam.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral
yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus
faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan
regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara
yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut
yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung (Sidharta, 1999).
3. Trauma Capitis

a. Ada riwayat kecelakaan atau benturan pada kepala


b. Bisanya ditandai dengan gangguan kesadaran (GCS dibawah normal)
c. Jika ada kelainan pada saraf wajah, biasanya didahului dengan
kerusakan bagian otak yang mengatur pergerakan sisi tubuh, termasuk
wajah.
d. Kadang disertai kelumpuhan ekstremitas (pada kasus yang berat)
e. Hasil CT scan dan MRI ada gangguan pada kepala (cedera atau
perdarahan)
Jelas dari yang disebut diatas bahwa yang paling penting untuk
membedakan bell’s palsy dan trauma kapitis adalah riwayat cedera
(kecelakaan atau benturan) dari anamnesis, serta pemeriksaan fisik(tingkat
kesadaran, refleks fisiologis/patologis), dan pemeriksaan penunjang (CT scan
dan MRI kepala) (Wanahita, 2006).

4. Guillen Barre Syndrome


Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang
ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis.
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun
ewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat
antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah
limfosit yang berubah responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer,
maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin
terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka
semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan
cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus.
Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau
karena axon telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses
remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses
keradangan terjadi.
Manifestasi Klinis
a. Gangguan motorik
1) Kelemahan otot secara asending dengan paralisis flaksid dan atropi
2) Kesulitan berjalan
3) Menurunnya atau tidak adanya reflex tendon dalam
4) Gangguan pernafasan (dispnea dan menurunnya bunyi nafas)
5) Kehilangan control bowel dan bladder
b. Gangguan sensorik
1) Paresthesia
2) Kram
c. Kerusakan saraf cranial
1) Kelemahan otot wajah
2) Dysphagia
3) Diplopia
4) Kerusakan saraf cranial (IX, X, XI, XII)
d. Gangguan saraf otonom
1) Tekanan darah tidak stabil
2) Kardiak disritmia
3) Takhikardia

5. Tumor Intrakranial
Definisi
Tumor intrakranial (termasuk lesi desak ruang) bersifat jinak maupun
ganas, dan timbul dalam otak, meningen, dan tengkorak. Tumor otak berasal
dari jaringan neural, jaringan otak penyokong, system retikuloendotelial,
lapisan otak, dan jaringan perkembangan residual, atau dapat bermetastasis
dari karsinoma sistemik.
Patofisiologi
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan
oleh dua faktor: gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan tekanan
intrakranial.
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jarinagn otak,
dan infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan
jaringan neural. Tentu saja disfungsi terbesar terjadi pada tumor infiltratif
yang tumbuh paling cepat yaitu glioblastoma multiforme.
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang tumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan mungkin
dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskular primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron
dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke
jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan
parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal
(Sylvia, 1995).
Kemudian di skenario ada juga kasus lain suami pasien di atas
menanyakan ke dokter apakah istrinya juga mengalami stroke seperti ibunya
karena wajahnya juga merot. Berikut perbedaan antara stroke dan bell’s palsy.
Stroke:
a. Biasanya bersifat permanen
b. Rusaknya bagian otak yang mengatur pergerakan sisi tubuh, termasuk
wajah (menyerang nervus fascialis sentral)
c. Disertai kelumpuhan anggota gerak atas atau bawah atau keduanya
(membutuhkan tes refleks fisiologis)

d. Biasanya hipertensi

e. Ada riwayat penyakit gula

f. Hasil CT scan dan MRI pada kepala menunjukkan ada gangguan pada
kepala

Bell’s Palsy
a. Tidak bersifat permanen, dapat sembuh sendiri atau dengan obat
b. Kerusakan yang terjadi langsung pada saraf yang mempersarafi wajah/
Nervus Fascialis (menyerang langsung nervus fascialis perifer)

c. Tidak disertai kelumpuhan anggota gerak

d. Tanda vital normal

e. Tidak ada riwayat penyakit gula

f. Hasil CT scan dan MRI pada kepala normal

Oleh karena itu, penting sekali untuk membedakan kedua penyakit di


atas, dari riwayat anamnesis (riwayat penyakit gula), serta pemeriksaan fisik
(vital sign dan refleks fisiologis), dan pemeriksaan penunjang (CT scan dan
MRI kepala) (Visnu, 2008).

Tabel Perbedaan Diagnosis Banding Bell’s Palsy


Penyakit Penyebab Manifestasi Klinis
Otitis media Bakteri patogen Onset bertahap, nyeri telinga,
demam, dan kehilangan
pendengaran konduktif
Miastenia gravis Proses autoimun Pada pagi hari ototnya normal,
tapi semakin sore semakin
lemah.
Guillain-Barré Respon autoimun Lebih sering bilateral
Syndrome
Tumor Metastasis, otak primer Onset bertahap, perubahan status
Intrakranial mental, riwayat kanker
trias tumor yaitu : nyeri kepala,
muntah, dan papiladema
Trauma Capitis Riwayat trauma gangguan kesadaran,
kelumpuhan ekstremitas (pada
kasus yang berat)
Stroke nervus fascialis sentral kelumpuhan anggota gerak atas
atau bawah atau keduanya
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Bell’s Palsy ialah kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya dengan lokasi lesi pada kanalis fasialis. Penyakit ini
lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
2. Bell’s palsy merupakan kelainan pada nervus facialis perifer, sedangkan
stroke merupakan kelainan nervus facialis central.
3. Etiologi kelumpuhan nervus facialis perifer sampai saat ini belum
diketahui secara pasti. Namun, kejadian ini oleh karena adanya
beberapa faktor risiko dan faktor predisposisi (penyakit vaskuler,
gangguan imunologik , hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes
mellitus dan faktor genetic).
4. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah berbagai differential
diagnosis lesi nervus fasialis perifer yang lain disingkirkan.
5. Differential diagnosis penyakit Bell’s palsy antara lain : Otitis media,
meastenia gravis, trauma capitis, corea stroma, Guillen Barre Syndrome,
dan tumor intrakranial.
6. Penatalaksanaan pasien Bell’s palsy adalah pemberian kortikosteroid
(prednisone/prednisolon) sedini mungkin atau pemberian anti-viral
fisioterapi dan operasi.
7. Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan.

B. Saran
1. Mahasiswa perlu menyebutkan sumber data yang digunakan pada saat
diskusi berlangsung.
2. Mahasiswa seharusnya menghubungkan data yang diperoleh dengan
hasil pemeriksaan pada skenario yang dihadapi.
3. Mahasiswa seharusnya jangan hanya membaca tetapi menerangkan
pada saat menyampaikan pendapat dalam diskusi.
4. Tutor sebaiknya memberikan feedback yang membangun setelah
diskusi selesai.
DAFTAR PUSTAKA

Cardoso JR, Teixeira EC, Moreira MD, Fávero FM, Fontes SV, Bulle de Oliveira
AS. 2008. Effects of exercises on Bell's palsy: systematic review of
randomized controlled trials. Otol Neurotol. Jun;29(4):557-60. [Medline].
Engström M, Berg T, Stjernquist-Desatnik A, Axelsson S, Pitkäranta A,
Hultcrantz M, et al. 2008. Prednisolone and valaciclovir in Bell's palsy: a
randomised, double-blind, placebo-controlled, multicentre trial. Lancet
Neurol. Nov;7(11):993-1000. [Medline].
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi klinis 2nded. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Kawaguchi K, Inamura H, Abe Y, Koshu H, Takashita E, Muraki Y, et al. 2007.
Reactivation of herpes simplex virus type 1 and varicella-zoster virus and
therapeutic effects of combination therapy with prednisolone and
valacyclovir in patients with Bell's palsy. Laryngoscope. Jan;117(1):147-
56. [Medline].

Kendall FP, Mc Creary EK. 1983. Muscle Testing and Function; 3th ed. Baltimore:
William & Wilkins.
Kim YH, Choi IJ, Kim HM, Ban JH, Cho CH, Ahn JH. 2008. Bilateral
simultaneous facial nerve palsy: clinical analysis in seven cases. Otol
Neurotol. Apr 29(3):397-400. [Medline].
Lombardo,M.C., 1995. Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem
Saraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit 4th ed. Jakarta: EGC.
Ludman, Harold, MB, FRCS. 1996. Petunjuk Penting pada Penyakit THT.
Jakarta: Hipokrates.

Maisel RH, Levine SC. 1997. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam: Adams dkk.
Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC.
Mansjoer, Arif. Triyanti, Kuspuji. Savitri, Rakhmi. Ika Wardani, Wahyu.
Setiowulan, Wiwiek. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
Palupi, Herni, dkk. 2010. Penatalaksanaan pada Kondisi Bell’s Palsy. Cilacap:
STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYAH

Sabirin J. 1990. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Sidharta P. 1985. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta:
Dian Rakyat.
Sidharta, P. 1999. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174,
421. Jakarta: Dian Rakyat.
Sukardi,dr. P Nara, dr (Subdivisi Nerologi, Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit Umum Ujung
Pandang, Ujung Pandang). 2000. Bell’s Palsy. Cermin Dunia Kedokteran.
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/sPalsy.pdf
Sullivan FM, Swan IR, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al.
2009. A randomised controlled trial of the use of aciclovir and/or
prednisolone for the early treatment of Bell's palsy: the BELLS study.
Health Technol Assess. Oct 13(47):iii-iv, ix-xi 1-130. [Medline].
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Thamrinsyam. 1991. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam:


Thamrinsyam dkk. Bell’s Palsy. Surabaya: Unit Rehabilitasi Medik RSUD
Dr. Soetomo/FK UNAIR.
Visnu, Jodi. 2008. Bell’s Palsy dan Stroke: Ini Bedanya. Jakarta: FK Universitas
Atmajaya.
Wanahita, Frans. 2006. Cedera Kepala. Jakarta: Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Husada, Fakultas Kedokteran Ukrida.

Anda mungkin juga menyukai