Anda di halaman 1dari 12

IMAM GAZALI DI DUNIA PENDIDIKAN ISLAM

Oleh

ABD RAHIM YNUS

Disampikan dalam Seminar STAI Al-Gazali Blukumba

Pada tanggal 14 April 2018

PENDAHULUAN

Pengaruh sosok seorang manusia hamba Allah yang populer dngan nama
marganya al-Gazali sungguh luar biasa di Dunia Islam, terutama dalam
bidang pendidkan. Namanya digunakan di belbagai macam lembaga,
organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, satu diantaranya adalah
lembaga pendidikan di Kota Panrita Lopi, Bulukumba yang tempat kita
seminar ini, Sekolah Tinggi Islam al-Gazali, dan beberapa STAI lainnya di
Sulawesi Selatan. Al-Gazali, adalah Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad, dengan kunyah Abu Hamid dan laqb al-Thisi. Ia lahir di Kota Thus
tahun 1058 M / 450 H., seoran dari suku bangsa Persia (bukan Arab), yang
dikenal di barat dengan panggilan „al-gazel. Gelar „al-gazali“ atau
„al-gazel“ yang populer sebagai namanya berasal dari nama daerah, di
mana ia di lahirkan, di kampun Ghazalah di Thusi. Sebagian pula yang
berpendapt bahwa terambil dari nama kakeknya yang bernama „al-gazzali“,
dan ada juga yang mengkaitkan dengan mata pencaharian keluarganya,
ayah dan kakeknya sebagai tukan tenun yang dalam bahasa arab
diungkapkan dengan kata al-gazzali.

Imam Ghazali memliki memori ingatan yang sangat kuat dan masuk kategori
„genius“ ditandai dengan karya-karya tulisnya yang begitu banyak dan
berpngaruh, dan kemampuannya berhujjah, sehingga dia memegang gelar
Hujjatul Islam. Dia sangat tersohor namanya, baik di Krajaan Abbasiyah,
apalagi di Kerajaan Bani Saljik, yang pada saat itu memilki gegemony
terkuat di Dunia Islam Sunni. Sejak kecil ia mendapat pendidikan dngan
karakter luhur shingga dalam perkembangannya dan perjalanan hidupnya,
ia menjauhi pola hidup mewah, megah, sombong, thamak dan seraka.

1
Sebaliknya ia amat kuat dalam ibadah, zuhud, wara`, dan menjaga dalam
dirinya akhlak mulia. Karakter yang terbentuk dalam dirinya melalui
pendidikan masa kecilnya mempengaruhi karakter perjalannan hidupnya,
pemikiran, sikap dan corak karya-karyanya.

PNGALAMAN BELAJAR / MENGAJAR

Di tingkat pendidkan msa kecilnya di Thusi, ia dengan kecerdasan


intelktualnya, mampu menguasai bahasa Arab dan Pesia dengan baik. Di
Thusi juga ia telah mendapatkan penddikan al-Qur`an dan Sunnah.
Pemahamannya yang mendalam tentang sunnah, beliau dapatkan dalam
Shahih Bukhari dan Muslim yang dipelajarinya dari Abu al-Fatyan Umar
al-Ruasai. Di samping itu, Shahih Bukhari juga dipelajarinya dari Abu Sahl
Muhammad bin Abdullah al-Hafshi. Semantara itu, Sunan Abu Dawud di
pelajarinya dari al-Hakim Abu Fath al-Hakim, sedangkan Maulid Nabi
diambilnya dari gurunya yang bernama Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad
al-Khawani. Masih di kampungnya Thusi, ia sudah belajar ilmu hukum dari
Shekh Ahmad bin Muhamad ar-Radzkani. Slanjutnya, karena belum merasa
memadai menimbah ilmu di negerinya maka ia melintas ke negeri Jurjan
dan di sana ia belajar dari seorang ulama yang bernama Imam Abu Nashr
al-Ismai`iliy, lalu ke kota Naisabur belajar sungguh dari Imam al-Hramain
al-Jwaini. Setelah guruny, al-Juwainy meninggal dnis, Imam Gazali
tinggalkan Naysabur dan pergi ke Mu`azkar bertemu dengan Perdana
Menteri Kerajaan Saljuk, Nizamul Muluk. Karena kedalaman ilmunya dan
kemampuannya yang tidak tertandingi dengan ulama pada masanya, maka
Raja Saljuk mengangkatnya sebagai guru besar di ahun 1091 di Universitas
Nizamiya yang didirikan oleh Nizamu Muluk. Di samping itu ia juga
dipercayakan sebagai mufti pleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah
dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat.
Ketika di Bagdad ia mendapat cobaan berat dengan kepergian tiga orang
sahabat dekatnya dari pejabat negara masing-masing Perdana Menteri
Saljuk Nizamul Muluk, Khalifah Abbasiyah al-Muqtadi bi Amrillah., dan
Raja Kerajaan Saljuk Malik Syah. Di samping itu terjadi pula terror yang
dilancarkan oleh kelompok anti pemerintah dengan menggunakan dalil
agama sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan Bagdad dan pergi ke
Damaskus. Di latarbelakangioleh situasi dan kondisi tajamnya

2
pertengkaran paham agama maka ia menulis bukunya yang diberi judul
Fadhihul al-Bathiniyah wa Fadhail al-Mustadiriyah (Kesalahan Paham
Bathiniyah dan kemuliaan Paham Mustadir).

Hanya 4 tahun lamanya mengajar lalu pindah di Damaskus dan tinggal


berkhalwat di Mesjid Damaskus, selama kurang lebih 2 tahun. Dari
perkhalwatannya itu, ia memperoleh berbagai pengalaman rohani yang ia
tuangkannya dalam bukunya Ihya` Ulumuddin. Buku ini mengadung
perpaduan antara pemikiran Fikhinya, Teologinya, Filsafat dan
Tasawwufnya. Seelah ia merasa telah memilkin kesucian hati, kematangan
akhlak, dan memperoleh sampai pada ma`rifat Allah swt, selanjutnya ia
tinggalkan perkhalwatannya pergi ke Palestina, mengunjungi Kota Hebron
dan Yerussalem, dan menyempatkan tempat tempat para nabi sejak nabi
Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu dari Allah swt. Dengan
didudukinya Yesussalm oleh pasukan Salib pada tahun 1099 M mka ia
tinggalkan kota suci penganut tiga agama (Yahudi, Kristen dan Islam) dan
pindah ke Islandariyah, Mesir. Ia memutuskan akan menruskan
perjalanannya ke Marokko atas undangan muridnya, Ibn Tumart (pendiri
Kerajaan Muwahhidun di Afrika Utara), akan tetapi ia batalkan dan
berangkat ke Tanah Suci Mekkah, menunaikan ibadah haji.

Mengakhiri perjalanannya, ia kembali ke Naisabur, dimana ia pernah


menibah ilmu dari gurunya Imam al-Haramain, al-Juwaini. Di sinilah ia
menetap untuk beberapa lamanya dan mendirikan Madrasah dengan model
bording school.

KARYA KARYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Imam Gazali mewariskan sejumlah besar karya-karya tulis hasil


karangannya dalam berbagai disiplin ilmu, yang meliputi Fikhi, Ilmu Kalam,
Filsafat, dan Tasawuf. Karena kedalam ilmunya dalam berbagai bidang
maka ia pantas jika diberikan julukan sebagai Hujjatul Islam. Dalam bidang
Filsafat, ia menulis Maqashidul Falasifah, Tahafutul Falasifah, dan
al-Ma`rifatul al-Aqliyah. Di bidang tashawwuf ia menulis Mizan al-Amal,
Kitab al-Arba`in, Mishkat al-Anwar, al-Adab fi al-Din, dan al-Risalah
al-Ladunniyah. Memadukan Fikhi, Tasawwuf, dan Kalam ia menulis Ihya’

3
`Ulum al-Din, al-Munqiz min al-Dalalah, dan Minhaj al-Abidin. Di bidang
ketatanegaraan ia menulis Shirat al-Alamin, Nashiat al-Muluk, dan Fadhaih
al-Bathiniyah wa Fadhail al-Mustadiriyah, Sulukal-Sulthanah, Dalam bidang
Ilmu Kalam ia menulis antara lain: Al-Maqashid al-Asna fi Ma`ani Asma’illah
al-Husna, Faishal al-Tafriq Bainal Islam wa al-Zindiq, dan Al-Iqtishad fi
al-I`tiqad. Dalam bidang Tafsir ia menulis Jawahir al-Qur`an. Dan masih
banyak lainnya yang tidak biasa disebutkan keseluruhannya.

Al-Subki dalam Thabaqat asy-Safi`iyah menyebutkan bahwa karya tulis


Imam Gazali berjumlah 58 buah buku. Thasi Kubra Zadeh dalam Miftah
as-Sa`adah wa Mishbah as-Siyadah menyebutkan bahwa karya-karyanya
mencapai 80 buah. Selanjutnya dikatan pula bahwa risalah-risalahnya
tidak terhitung jumlahnya dan tidak mudah bagi seorang untuk mengetahui
judul judul seluruh karyanya, sehingga ada yang mengatakan bahwa ia
memilki 999 buah tulisan. Menurut Ahma Daudi seperti dikutip Ahmad
Zaini, bahwa penelitian paling akhir tentang jumlah buku yang dikarang oleh
al-Gazali adalah yang dilakukan oleh Abdurrahman al-Badwi, yang hasilnya
dikumpulkan dalam Muallafat al-Gazali.Dalam buku tersebut , Abdurrahman
mengklasifikasi kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya al-Gazali
dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan
sebagai karya al-Gazali yang tediri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok
kitab yang diragukan sebagai karya al-Gazali yang terdiri atas 22 buah kitab.
Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, yang terdiri
atas 31 buah kitab.

KONTEKS SOSIAL POLITIK KEHADIRAN IMAM GAZALI

Imam Gazali lahir saat Dunia Islam mengalami proses politik disintegrasi
dan awal konflik Dunia Barat Kristen dan Timur Islam wilayah Suriya yang
saat itu dikuasaioleh Dinasti Saljuk dan Mesir yang dikuasai oleh Dinasti
Fatimiyah. Khalifah Abbasiyah yang berkedudukan di ibu kota Bagdad
tinggal memiliki kekuasaan spiritual atau penguasa agama saja yang diakui
oleh Dunia Sunni, sementara kekuasaan politik atau duniawi beraa di
masing masing dinasti. Dua dinasti yang paling berpengaruh pada masa
hidup Imam Gazali adalah Dinasti Saljuk (1045-1160) dan Dinasti Fatimiyah
(969 - 1171). Bani Saljuk bermazhab Islam Sunni sementara Fatimiyah

4
bermazhab Islam Syi`ah Ismailiyah. Wilayah Saljuk meliputi Bagdad,
Khurasan, Jazirah Arab, dan wilayah Syam (Suriya, Palestina, termasuk
Yerusalem), Sementara wilayah Fatimiyah meliputi Mesir. Fatimiyah juga
pernah menguasai Palaestina dan Hijaz di Jazirah Arab lalu direbut oleh
Saljuk.

Pertentangan yang tajam dalam bidang politik antara kaum Syi`ah dan
Sunni sejak masa Khulafa Rasyidun antara Pengikut Usman bin Affan dan
Pengikut Ali bin Abi Thalib terus menjadi duri dalam Dunia Islam duntuk
mewujudkan persaudaraan dan ukuwah sesama mslim, sehingga konflik
permusuhan antara dua kelompok ini menjadi bagian dasri sejarah
perjalanan dunia Islam. Syia`h menggunakan sistem imamamah, sementara
Sunni menggunakan sistem khilfah. Di samping itu, dalam perkembangan
Syariat, dalam Dunia Sunni saja telah muncul sedikitnya enam mazab yakni
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah, Hanbaliyah, Zahiriyah, dan Al Auza`iyah.
Dlam bidang teologi terdapat dua Mazhab besar Suni, yaitu Asy`ariyah dan
Maturidiyah, dan dalam Dunia Sy`ah paling sedikitnya telah berpengaruh
tiga aliran besar yaitu Zaidiyah, Ismailiyah, dan Imamiyaah Itsna `Asyriyah.
Belum lagi aliran teology Muktazilah, dan Khawarij dan berbagai macam
macam dan fiqahnya.

Perbedaan aliran politik- Syi`ah versus Sunni- tidak selamanya berjalan


paralel dengan perbedaan aliran teology atau syariat (fikih). Bani Abbasiyah
yang beraliran teology Asy`ariyah an Maturidiyah pernah berkejasama
dengan baik sekitar seratus tahun dengan Zaidiyah yang beraliran teology
Syi`h. Mukhtar as-Syinqity sebagaimana yang dikutip Aziz Anwar
menyebutkan bahwa di masa Abbaisyyah, hubungan Sunni dan Syi`ah itu
komunikatif (tawashshul), saling terbuka dan saling belajar. Tidak ada friksi
sektarian dalam skala yang massif antara Sunni dan Syi`a. Di masa itu,
Sunni dan Syi`ah berintegrasi dalam masyarakat. Tak jarang orang Sunni
belajar di Mesjid Syi`ah, demikian pula sebaliknya. Al-Hakim an-Naisabury,
misalnya yang menulis bukunya Al-Mushtadrak al-Shahihaen diakui sebagai
ulama Syi`ah, karena dialah yang menulis Kitab Mushthakah Hadis yang
diberikannya kepada murid-muridnya yang Syi`ah.1

1
As-Syinqity, As-Sunnah wa al Syi`ah baimnal Tawashul wa al Qathi`ah, dalam Azisanwar.com

5
Demikian pula di Mesir masa awal kekusaan Faimiyah yang beraliran Syi`ah
Ismailiyah bekerjaama dengan baik dengan pemimpin dinasti Zangki yang
beraliran Sunni dengan teology Asy`ariyah, terutama ketika menghadapi
musuhnya, paskan Salib. Dalam hal ajaran Tasawwuf, di mana Imam Gazali
termasuk pediri salah satu corak Tasawwuf ma`rifah Allah, sebelum
kehadirannya telah berkembang paham pham yang sangat ekstrim dalam
memahami Tuhan dengan hambanya seperti paham wahdatul wujud dari
Ibn al-Arabiy, paham hulul dari Al-Hallaj, paham itihad dari Zinnun al-Mishry,
serta paham fana dan baqa’ dari Abu Yazid al-Bustani. Di lain pihak telah
hadir pula paham agama yang sangat menentang praktek praktek kesufian
dan menganggapnya sebagai warisan dari paham paham keyakinan yang
bersumber dari luar Islam, sebagai mana yang dianut oleh Imam Ahmad bin
Hanbal. Selain sebagai tokoh mejtahid yang menetang praktek tasawwuf ,
Ibn Hanbal dikenal pula sebagai pelopor aliran teology salafiyah yang anti
ta`wil dalam memahami lafal-lafal tajsim. Dalam kondisi sosial politik,
keagamaan tersebut, Imam Gazali lahir yang mmilki konsep pemahaman
teology, tasawuf, fikih, filsafat, dan politik, yang banyak berpengaruh
terhadap perkembangan dunia pendidikan di dunia Islam, khususnya di Asia
Tenggara.

INOVASI MODERAT AL-GAZALI DAN PENGARUHNYA TERHADAP


DUNIA PENDIDKAN ISLAM

Imam Gazali dalam Ihya` Ulumiddin memberikan tempat pembahasan


husus pentingnya belajar dan mengajar untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Ilmu dalam pandangannya memilikitempat yang sangat
penting untuk kemuliaan seseorang. Begiu besarnya posisi ilmu, Ia
mengemukakan hadis yang menyatakan bahwa orang berilmu (`alim) jauh
lebih tinggi derajatnya, seratus derajat, dibandingkan orang yang ahli
ibadah. 2 Dia mengutip pula ungkapan Ali bin Abi Thalib yang berbunyi:
„al-`alimu afdhalu min al-sha’im al-qim al-mujahid“ (orang yang mmiliki ilmu

2 Bunyi Hadis “Bainal `alimi wal `abidi mi’ah darajah , Imam Gazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz I, (Bairut:
Maktabah Ilmiyah, hal. 17)

6
lebih mulia dri pada orang ahli puasa, ahli shalat, mujahid“).3 Selanjutnya ia
mengutip pula percakapan antara Ali dengn seorang sahabatnya ang
bernama Kamil, Ali berkata kepadanya , „Wahai Kamil, ilmu itu lebih baik
dari harta, karena ilmu menjagamu, sementara harta engkau menjaga
harta,ilmu adalah penguasa sementara harta dikuasai dan harta berkurang
karena dibelanjakan, sedangkan ilmu bertambah bila dibelanjakan“.4

Imam Gazali membagi ilmu kedalam dua jenis, yaitu ilmu fardhu `ain dan
ilmu fardhu kifayah. Yang pertama wajib setia orang untuk mempelajari dan
mengetahuinya untuk diamalkan. Masuk kategori ini adalah ilmu agama.
Sedangkan Ilmu Kifayah adalah yang wajib dipelajari oleh setiap muslim.
Masuk kategori ini adalah Ilmu Hitung, Ilmu Kedokteran, Teknik, Pertanian,
Industri danlain. Untuk membangkitkan semangat menuntut ilmu yang
sifatnya fardhu kifayah, maka ia mengangkat sebuah hadis yang berbunyi:
`Uthlubul `ilm wa lau bi al-shin“5 (Tuntutlah ilmu meskipun di negeri Cina).
Di sini Imam Gazali tidak mebedkan pentingnya dua jenis ilmu yakni
agama dan ilmu umum. Keduanya penting untuk dipelajari, meskipun ada
yang fardhun`ain dan ada yang fardhu kifayah.

Begitu mulianya ilmu, maka proses pembelajaran sangat dihargai dan


diapresiasi. Sejumlah kutipan yang dikutipnya, diantaranya ia mengatakan:
la an tagdu fa ta ta`allamu baban khaerun min an tushalli mi’ah raka`at“
(„melaksanakan pembelajaran satu bab (fasal) dari ilmu akan lebih baik dari
pada melakukan shalat seratus raka`at.) Dikemukakan pula satu peristiwa
yang dialami seorang ulama yang bernama Ibn Abd Hakim. Ia berkata
bahwa suatu ketika saya berada di samping Imam Malik, dan aku sedang
mempelajari satu pelajaran. Ketika waktu Shalat Lohor masuk aku dengan
segera mengumpulkan buku-buku untuk melakukan shalat. Maka melihat
apa saya lakukan, Imam Malik bertanya, „Shalat yang ingin anda lkukan itu,

3 Ibid, hal. 18.

4 Ibid

5
Ibid.

7
tidaklah lebih afdhal (mulia) dari pada kegiatan belajar yang sementara anda
lakukan jika niat anda baik“.6

Apresiasi yang begitu dahsyat yang diberikan kepada yang mepelajari ilmu,
apa lagi terhadap orang yang mentrasfe imunya, yaitu tenaga pendidik,
guru atau dosen, termasuk tenaga pependidikan yang menyiapkan dan
mengurus pendidikan. Surat Ali Imran ayat 187, dijadikan alasan unuk
menegaskan agar orang yang memilki ilmu jangan disembunyikan termasuk
ilmunya para ulama dari ahlul kitab, sebagaimana firman Allah yang
berbunyi: Waits akhatsallahu mitsaqa al-lazina utul kitaba litubayyinannahu
linnas wa la taktumunahu“ (and remember whwn Allah took a convenant
from those who were given the Book, saying, You shalll expound it to the
people not to hide it.).7 Al Gazli mengutip ayat ini, menunjukkan bahwa
dalam pandangannya ia tidak melarang untuk belajar dari ilmunya orang
bukan muslim, seperti para orientalis, yang memang ahli dalam bidangnya
termasuk dalam bidang agama Islam, atau islamolog.

Betapa tingginya penghargaannya terhadap tenaga pendidik, Al-Gazali


mengangkat sebuah hadis yang berbunyi: Innallaha swt wa malaikatahu wa
ahla samawatihi wa ardhihi hatta al-namlah fi hujriha, hatta al-huta fi al-bahri
la yushalluna `ala mu`allim al-nas al-khaerat. (Sungguh Allah dan
Malaikat-Nya dan penghuni langit-Nya serta penghuni bumi-Nya sampapi
juga semutpun di sarannnya, dan ikan di laut berselawat kepada orang yang
mengajar / mendidik manusia kebaikan) 8 Suatu ketika, suatu ketika
mendatangi dua majelis pertemuan, yang satu majelis zikir dan doa`, dan
satunya lagi majelis pendidikan. Lalu Beliau memilih duduk pada majelis
yang disebut kedua, yaitu majelis pendidikan dan berkata, saya ini diutus
sebagai pendidik.9

6
Ibid. hal. 20

7
The Holy Qur’an (UK: Islam International Publication Ltd, 2016), hal. 247)

8
Dirawikan oleh Imam Turmizi dari Abu Umamah. Lihat Imam Gazali, hal. 21.

9
Hadis Riwayat Ibn Majah dari Abdullah bin `Amer. Ibid.

8
Corak pemikiran Imam Gazali yang moderat dalam berbagai disiplin ilmunya
juga mencerminkan sikap moderasinya dalam pendidikan Islam. Ia bersikap
moderat menyikapi pertentangan sengit secara politik antara ulama ektrim
yang tidak mau bekerjasama dengan penguasa dengan ulama yang
menjadi corong penguasa. Ketika ia berada di Bagdad ia berkunjung ke
Perdana Menteri Nizamul Mulukdan ditawari menjadi Guru Besar di Bagdad
ia terimanya dan melaksanakan tugasnya dengan baik. Kendatipun ia
bermazhab Syafiiyah sementara Nizamul Muluk bermazhab Hanafiyah.
Menghadapi perkembangan paham Syi`ah di Mesir yang dikembangkan
oleh Dinasti Fatimiyah melalui Universitas al-Azhar, ia menghadapinya
dengan kompetisiang sehat. Ia tidak melahirkan fatwa untuk melakukan
peperangan dengan mereka. Tapi ia mengembangkan pemahmannya
yang Sunni, dengan Mazhab Syafiyah dalam syariatnya, mazhab asy-Ariyah
dalam teologinya, dan ilmu ma`rifat dalam tasawufnya. Ia kembangkan
corak pemahaman agamanya itu dalam menghadapi perkembangan paham
teology, syariat, dan tasawuf Syiah di Jamia`ah Al-Azhar.

Ia tidak menampakan pandangan ekstrimnya dam teology. Ia berada antara


teology Salafiyah yang anti ta`wil denga teology Mu`tazilah yang berat ke
penggunaan rasio atau akal. Dalam fikih, ia mengembangkan metode ijtihad
Imam Syafi`. Ia memilih Syafi`iyah yang merupakan moderasi antara
Malikiyah yang tekstual dengan Hanafiyah lebih banyak menggunakan dalil
akliyah. Dalam pengamalan sufistiknya, ia tidak membunuh
ataumengaramkan pengamalam tasawuf, yang sudah berkembang lama
dan juga tidak mengikutinya keseluruhannya. Ia melakukan inovasi
moderasitasawuf fana, baqa, hulul, ittihad, dan wahdatul wujud, menjadi
tasawwuf ma`rifatullah. Dalam bidang Filsafat, meskipu ia menulis bukunya
Tahafutul Falasifah, akan tetapi ia tidak membunuh filsafat sebagaimana
yang dilakukan Ibn Taimiyah di kemudian hari dengan bukunya al-Raddu
`alal Manthiqiyyin. Imam Gazali mangakui dan mengajarkan filsafat logika
atau Mantiq, dan Etika atau akhlaq. Wal hasil Imam Gazali keluar dari
pandangan ekstrim lama dan tidak sampai pada ekstrim kutu yang
berseblahan.

9
Dengan pandangan moderasinya, maka ia tidak gampang mengeluarkan
fatwa mengkafirkan orang yang berbeda paham dengannya. Imam Gazali
dalam Faushal at-Tafriqah menyatakan bahwa tidak boleh mengkafirkan
orang yang memegangi kalimat syahadat. Di tempat lain ia menagatakan
bahwa tidak boleh mengkafirkan mazhab yang tidak melanggar hal pokok
(ushul) dalam agama yang mutawatir. Dan perbedaan dalam kemutawatiran
suatu sistem akidah tak bisa dijadikan dasar untuk mengkafirkan. Selama
mengikti kiblat shalatnya di Mekkah maka tidak boleh dikafirkan. Karena itu
baginya Syi`ah tidak boleh dikafirkan karena karena merka juga
berkiblat shalat ke Ka`bah Mekkah.10 Sejalan dengan pandangan al-Gazali
yang moderat atau bainal extrimain itu, dalam muktamar al-`alami alislamiy
, yang dihadir 200 ulama ari 50 negara di Amman, Mamlakah al-Urduniyah
al-Hasyimiyah, dihasilkan sebuah deklarasi yang dikenal denga Risalah
Amman“. Salah satu isinya adalah bahwa delapan aliran atau mazhab
besar dalam Islam dewasa ini, semuanya adalah muslim yang benar,
empat (4) di kalangan Sunni, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah, dan
Hanbaliyah, dua di kalangan Syi`ah yaitu Zaidiyah dan Iamaiyah Itsna
`Asyriyah, dan satu Khawarij yaitu Mazhab Ibadiyah, dan satu nya adalah
Mahab Zahiriyah.11 Sikap moderasi yang penuh innovativ itulah maka ia
mendapat pengakuan oleh ulama sesudahnya, sehingga ia mendat julukan
Hujjatul Islam.
Moderasi pemikiran dan pengamalan Imam Gazali yang pernah mengajar
4 tahun di Lembaga Pendidikan Madrasah Nizamiyah, kemudian
melenjutkannya lagi di kota Naysabur selama sekitar 10 tahun setelah ia
kembali dari Damaskus, Palestina, Mesir dan Mekkah berpengaruh besar
dalam perkembangan pendidikan di Dunia Islam sejak masanya hingga kini.
Di Indonesia, yang pada masa awal masuknya Islam, Corak Islam yang
pesat perkembangannya adalah Islam corak ahlussunnah wal jamaah
sebagai mana corak pendidikan yang dikembangkan Imam pada masa
hidupnya baik di Bagdad maupun di Naysabur. Di Pondok Pondok

10
Azizanwar.com

11
Lihat KonfrensiUlama pada tanggal 9 Nopember 2004 bertepatan dengan 27 Ramadhan 1425.
http//id.m.wilkipedia.org

10
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional Nusantara,
dikembangkan ilmu ilmu agama, dalam bidang teology diajarkan ilmu
kalam Mazhab Asy`ariyah melalui Imam Gazali dan Imam al-Junaidi,
dalam bidang Fikih mengacu pada fikihi Mazhab Syafi`iyah, dalam bidang
Tasawuf mengacu pada Tasawuf Imam Gazali, dan dalam bidang fisafat
diajarkan Ilmu al-Manthiq yang dibenarkan oleh Imam Gazali unuk
dipelajari.

KESIMPULAN

Dari uraian diatas, setelah memahami riwayat hidupnya, lingkungan soasial


politik dan keagamaannya, riwayat belajar dan mengajarnya, dan sampai
pada moderasi dan inovasinya, Imam Gazali yang dulu dipandang
sebagaihujjatul Islam, juga dapat dipandang sebagai mujaddid dalam
bidang edukasi. Ia, selain menekankan pendidikan yang berwawasan
pembentukan moral dan karakter yamg melahirkan kecerdasan spiritual dan
emosional, ia juga tidak meninggalkan pendidikan yang berwawasan
kecerdasan intelektual yang yang berakhlakul karimah. Tujuan
pendidikan yang harus dicapai dalam pendidkan adalah tercapainya
kesempurnaan manusia yang bermakrifat kepada Tuhannya, untuk
kebahagiaan bukan saja untuk akhirat, akan tetapi juga di Dunia. Karena
itu, korikulum yang diajarkan kepada anak didik tidak hanya korikulum yang
berbasis pada ayat ayat tanziliyah ( Qur`an dan Kitab Kitab terdahul,
akan tetapi juga tidak mengabaikan korikulum berbasis pada ayat ayat
kauniyah, dan akliyah. Ilmu bisa ditimbah dari berbagai pihak sesuaim
keahliannya, termasuk dari orang-orang ahlul kitab, di negeri Muslim atau di
negeri sekuler.

11
12

Anda mungkin juga menyukai