Anda di halaman 1dari 7

Rasa senasib sepenanggungan dengan sesama untuk mengubah jalan hidup menjadi lebih baik

merupakan pemicu yang mendorong seseorang untuk berjerih payah sampai mengorbankan hidupnya
dalam perang. Pengorbanan yang dilakukan Ranggong Daeng Romo nyatanya tak sia-sia. Bersama Lapris
(Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi) yang merupakan gabungan sejumlah organisasi
perjuangan se-

Sulawesi Selatan, Daeng Romo berhasil mewujudkan perbaikan bagi lingkungan dan masyarakatnya.

Ranggong Daeng Romo dilahirkan di kampung Bone-Bone, Polongbangkeng,

Sulawesi Selatan, pada tahun 1915. Ia menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsch School dan Taman
Siswa di Makassar setelah sebelumnya menimba ilmu agama di salah satu pesantren di Cikoang. Ia
bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan pembelian padi milik pemerintah militer Jepang ketika
menduduki tanah Sulawesi.

Pada waktu itu pemerintah Jepang menerapkan kebijakan yang mengharuskan penduduk pribumi untuk
menyerahkan hasil panennya berupa padi kepada tentara Jepang. Karena merasa tak tega, ia pun
memutuskan untuk mengundurkan diri dan meninggalkan jabatannya tersebut.

Sebagaimana halnya dengan para pemuda lainnya pada masa kependudukan Jepang, Ranggong Daeng
pun memasuki barisan pemuda Seinendan. Tak lama setelah ia memutuskan bergabung dalam
kelompok tersebut, ia pun diangkat menjadi pemimpin Seinendan di Bontokandatto. Para pemuda
sangat terbantu dengan pelatihan yang diberikan oleh tentara Jepang di Seinendan. Pelatihan itu sangat
berguna mempersiapkan para pemuda dalam kemiliteran yang tidak pernah diperoleh pada zaman
penjajahan Belanda.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 mengharuskan pembentukan pemerintah RI


di

Sulawesi Selatan. Namun sayang, sebelum pemerintahan itu terbentuk, tentara Jepang telah terlebih
dahulu dilucuti oleh pasukan Australia yang mendarat di Makassar pada akhir September 1945.

Kedatangan pasukan dari negeri kangguru tersebut juga dibarengi dengan aparat pemerintah Belanda
yang bernama NICA (Nederlandsch Indosche Civiel Adminitration). NICA bermaksud untuk kembali
menguasai Indonesia.
Tentu saja hal itu mendapat perlawanan dari segenap masyarakat Sulawesi Selatan, terutama para
pemuda. Mereka kemudian mendirikan berbagai organisasi perjuangan untuk menghadapi tentara
Belanda itu. Gerakan Muda Bajeng (GMB) merupakan salah satu organisasi yang didirikan kelompok
pemuda tersebut. Organisasi yang didirikan di Palekko, Polongbangkeng pada pertengahan Oktober
1945 itu kemudian dalam bidang kemiliteran dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo.

Pada waktu memimpin militer dalam organisasi tersebut, ia sering terlibat dalam sejumlah pertempuran
melawan pasukan Belanda. Seperti pada Februari 1946, Ranggong memimpin serangan terhadap
kedudukan Belanda di Pappa Takalar dan Bonto Cender.

Laskar Lipan Bajeng kemudian dipilih sebagai nama baru pengganti GMB. Posisi sebagai pemimpin
tertinggi dipercayakan pada Ranggong Daeng Romo. Polongbangkeng menjadi pusat perlawanan dan
pusat kegiatan para pemuda Makassar yang terdesak. Para pemimpin berbagai laskar pada bulan Juli
1946 berkumpul di Polongbangkeng untuk menghadiri sebuah pertemuan.

Hasil dari pertemuan tersebut kemudian dicetuskan ide pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat
Indonesia Sulawesi (Lapris). Ranggong Daeng Romo kemudian diangkat sebagai panglima Lapris, laskar
yang terbentuk dari gabungan organisasi-organisasi perjuangan se-Sulawesi Selatan. Sebagai panglima,
ia berusaha meningkatkan kemampuan tempur di Komara.

Serangan terhadap tentara Belanda pun dapat ditingkatkan dengan terbentuknya Lapris. Belanda
membalas serangan tersebut dengan meningkatkan operasi-operasi militer. Pasukan khusus di bawah
komando Kapten Raymond Westerling didatangkan. Pasukan yang datang pada akhir tahun 1946 itu
dikenal sangat kejam. Mereka tak segan membunuh rakyat tanpa pandang bulu, korban jiwa dari
kalangan rakyat pun berjatuhan. Secara diam-diam, untuk membantu perjuangan para pemuda
Makassar, beberapa kesatuan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) memasuki wilayah Sulawesi Selatan.

Mereka kemudian menggelar pertemuan bertempat di Pacekke untuk membentuk sebuah divisi
pasukan yang dinamakan Divisi Hasanudin pada awal bulan Januari 1947. Ranggong Daeng Romo
kemudian membantu pertemuan itu agar berjalan aman dengan mengikat pasukan Belanda di tempat
lain.

Serangan pasukan Lapris terhadap tentara Belanda dilakukan di selatan Makassar. Semenjak itu,
pertempuran-pertempuran sengit pun terus terjadi. Pada 23 Januari 1947 meletus pertempuran di
Batua. Dalam kejadian tersebut banyak tokoh Lapris yang terbunuh atau tertangkap. Kubu Lapris yang
terus-menerus mendapat serangan dari pasukan Belanda mulai kehilangan kekuatannya. Terlebih saat
markas besar Lapris yang berkedudukan di Langgese tercium oleh Belanda.

Ranggong Daeng kemudian merencanakan untuk memindahkan markas ke tempat lain yang lebih aman
untuk menyelamatkan pasukan yang tersisa. Pada 27 Februari 1947 pemindahan pun dilakukan, namun
bersamaan dengan itu, Belanda kembali melancarkan serangan. Ranggong Daeng Romo pun terkepung
bersama pasukannya. Walaupun pasukannya menganjurkan dia agar meloloskan diri namun hal itu tidak
dilakukannya. Sebagai panglima, ia tak tega meninggalkan pasukannya begitu saja. Lapris akhirnya
kehilangan sang panglima. Jenazahnya dikebumikan di Bangkala (Mo'mara).

Atas jasa-jasanya kepada negara, Ranggong Daeng Romo dianugerahi gelar

pahlawan Nasional berdasarkan SK

Presiden RI No. 109/TK/Tahun 2001, tanggal 3 November 2001. e-ti

© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/939-setia-terhadap-teman-
seperjuangan

Copyright © tokohindonesia.com

NAMA :

RANGGONG DAENG ROMO

LAHIR :

KAMPUNG BONE-BONE, SULAWESI SELATAN

JABATAN :

PANGLIMA LASKAR PEMBERONTAK RAKYAT INDONESIA SULAWESI (LAPRIS)

MENINGGAL:

27 FEBRUARI 1947
MAKAM :

BANGKALA (MO’MARA)

PENDIDIKAN :

 PESANTREN DI CIKOANG
 HOLLANDSCH INLANDSCHE SCHOOL
 TAMAN SISWA DI MAKASSAR
 BARISAN PEMUDA SEINENDAN

KARIR :

 Pegawai sebuah perusahaan pembelian padi milik pemerintah militer jepang


 Pemimpin seinendan di bontokandatto
 Pemimpin Gerakan Muda Bajeng (GMB) bidang kemiliteran
 Pemimpin tertinggi Laskar Lipan bajeng
 Panglima Lapris

Perjuangan / jasa- jasa :

 Terlibat dalam sejumlah pertempuran melawan pasukan belanda


 Memimpin serangan terhadap kedudukan Belanda di Pappa Takalar dan Bonto cender Februari
1946
 Meningkatkan kemampuan kedudukan tempur di Komara
 Membantu pertemuan di Pacekke agar berjalan aman dengan mengikat pasukan belanda di
tempat lain, januari 1947

Gelar kepahlawanan

Pahlawan Nasional (SK Presiden RI no 109/TK/Tahun 2001,tanggl 3 November 2001


A sense of camaraderie with others to change the way of life for the better is the trigger that drives
someone to toil to sacrifice his life in the war. Sacrifices made Ranggong Daeng Romo fact not in vain.
Together Lapris (People's Army rebels Indonesia Sulawesi) which is a combination of a number of
organizations struggle

South Sulawesi, Daeng Romo managed to realize improvements for the environment and society.

Ranggong Daeng Romo was born in the village Bone-Bone, Polongbangkeng,

South Sulawesi, in 1915. He was educated at Hollandsch Inlandsch School and Student Park in Makassar
after studying religion at one of the schools in Cikoang. He worked as an employee of a company owned
by the government rice purchase Japanese military when it occupied the land Sulawesi.

At that time the Japanese government implemented a policy that requires the natives to surrender their
crops such as rice to the Japanese army. Because they feel no heart, he decided to resign and leave the
office.

As with other youth at the time of the Japanese population, Ranggong Daeng was entered Seinendan
youth ranks. Shortly after he decided to join the group, he was appointed to be the leader in
Bontokandatto Seinendan. The youth is helped by the training provided by the Japanese army in
Seinendan. The training was very useful to prepare the young men in the military who never acquired
the Dutch colonial era.

The proclamation of Indonesian independence on August 17, 1945 requires the establishment of the
Indonesian government in

South Sulawesi. Unfortunately, before the government was formed, the Japanese army was first
stripped by Australian troops landed in Singapore at the end of September 1945.

The arrival of troops from the kangaroo country is also accompanied by Dutch government officials
called NICA (Nederlandsch Indosche Civiel Adminitration). NICA intends to regain control of Indonesia.

Of course, it was met with resistance from South Sulawesi whole society, especially the youth. They then
set up various organizations struggle to cope with the Dutch army. Bajeng Youth Movement (GMB) is
one of the organization founded the youth group. Organization founded in Palekko, Polongbangkeng in
mid-October 1945 was then in the military field led by Ranggong Daeng Romo.

At the time the military lead in the organization, he is often involved in a number of battles against the
Dutch troops. As in February 1946, Ranggong leading the attack on the Dutch position in Pappa Takalar
and Bonto Cender.

Warriors Centipede Bajeng then chosen as the new name replacement GMB. Position as supreme leader
entrusted to Ranggong Daeng Romo. Polongbangkeng become a center of resistance and youth activity
centers Makassar is pressed. The leaders of various irregulars in July 1946 gathered in Polongbangkeng
to attend a meeting.

Results of the meeting then initiated the idea of the establishment of the People's Army rebels
Indonesia Sulawesi (Lapris). Ranggong Daeng Romo was then appointed as commander Lapris, army
formed from the combined organizations struggle of South Sulawesi. As commander, he tried to
improve the combat capability in Komara.

Attacks on Dutch soldiers can be enhanced by the establishment of Lapris. Dutch retaliated by increasing
military operations. Special forces under the command of Captain Raymond Westerling imported. Forces
which came at the end of 1946 it was known to be very cruel. They did not hesitate to kill people
indiscriminately, casualties from among the people fell down. Secretly, to help fight youth Makassar,
some of the unity of the Indonesian People's Army (TRI) entered the territory of South Sulawesi.

They then held a meeting held at Pacekke to form a division called the Division of Hasanuddin force at
the beginning of January 1947. Ranggong Daeng Romo then assist the meeting in order to walk safely by
tying the Dutch troops elsewhere.

Lapris force attack against Dutch troops in southern Makassar done. Since then, fierce battles continued
to occur. On January 23, 1947 fighting erupted in Batua. In the event Lapris many figures were killed or
captured. Lapris camps are constantly under attack from the Dutch troops began to lose its power.
Especially when Lapris headquarters based in Langgese wafted by the Netherlands.
Ranggong Daeng then plans to move the headquarters to another place that is safer to save the
remaining troops. On February 27, 1947 the transfer was done, but at the same time, the Dutch again
launch an attack. Ranggong Daeng Romo was besieged with his army. Although troops recommends him
to escape, but it did not. As commander, he could not leave his troops away. Lapris eventually lose the
commander. His body was interred in Bangkala (Mo'mara).

For his services to the state, Ranggong Daeng Romo was awarded the title

National hero by Presiden RI No. 109/TK/Tahun 2001, tanggal 3 November 2001. e-ti

Anda mungkin juga menyukai