A. Independensi Audit
Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan
publik. Independensi berarti bahwa auditor harus jujur, tidak mudah dipengaruhi dan tidak
memihak kepentingan siapapun, karena auditor tersebut melakukan pekerjaannya untuk
kepentingan umum. Auditor berkewajiban untuk jujur tidak hanya pada manajemen dan
pimpinan dalam instansi, namun juga kepada masyarakat dan pihak lain yang meletakkan
kepercayaan pada pekerjaan auditor tersebut.
Sikap mental independen tersebut meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun
independen dalam penampilan (in appearance).
1. Independen dalam fakta adalah independen dalam diri auditor, yaitu kemampuan
auditor untuk bersikap bebas, jujur, dan objektif dalam melakukan penugasan audit.
Hal ini berarti bahwa auditor harus memiliki kejujuran yang tidak memihak dalam
menyatakan pendapatnya dan dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang dipakai
sebagai dasar pemberian independen dalam fakta atauindependen dalam kenyataan
harus memelihara kebebasan sikap dan senantiasa jujur menggunakan ilmunya
2. Sedangkan independen dalam penampilan adalah independen yang dipandang dari
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap entitas yang di audit yang mengetahui
hubungan antara auditor dengan kliennya.
Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk
memberikan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, hasil usaha,
perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia. Laporan auditor merupakan sarana bagi auditor untuk menyatakan pendapatnya,
atau apabila keadaan mengharuskan, untuk menyatakan tidak memberikan pendapat. Baik
dalam hal auditor menyatakan pendapat maupun menyatakan tidak memberikan pendapat, ia
1
ADINDA SOLIDA – 1720532012 Auditing Keuangan Lanjutan
harus menyatakan apakah auditnya telah dilaksanakan berdasarkan standar auditing yang
ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia. Standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan
Indonesia mengharuskan auditor menyatakan apakah, laporan keuangan yang disajikan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia dan, menunjukkan adanya
ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode
berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode
sebelumnya.
1. Independensi merupakan syarat yang sangat penting bagi profesi akuntan publik untuk
memulai kewajaran informasi yang disajikan oleh manajemen kepada pemakai
informasi.
2. Independensi diperlukan oleh akuntan publik untuk memperoleh kepercayaan dari klien
dan masyarakaat, khususnya para pemakai laporan keuangan.
3. Independensi diperoleh agar dapat menambah kredibilitas laporan keuangan yang
disajikan oleh manajemen.
4. Jika akuntan publik tidak independen maka pendapat yang dia berikan tidak mempunyai
arti atau tidak mempunyai nilai.
5. Independensi merupakan martabat penting akuntan publik yang secara
berkesinambungan perlu dipertahankan.
Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas auditnya, seorang auditor tidak hanya
dituntut untuk memiliki keahlian saja, tetapi juga dituntut untuk bersikap independen.
Walaupun seorang auditor mempunyai keahlian tinggi, tetapi dia tidak independen, maka
pengguna laporan keuangan tidak yakin bahwa informasi yang disajikan itu kredibel.
Selain itu AICPA juga memberikan prinsip-prinsip berikut sebagai panduan yang
berkaitan dengan independensi, yaitu sebagai berikut:
1. Auditor dan perusahaan tidak boleh tergantung dalam hal keuangan terhadap klien.
2. Auditor dan perusahaan seharusnya tidak terlibat dalam konflik kepentingan yang akan
mengangggu obyektivitas mereka berkenaan dengan cara-cara yang mempengaruhi
laporan keuangan.
3. Auditor dan perusahaan seharusnya tidak memiliki hubungan dengan klien yang akan
menganggu obyektivitasnya auditor.
2
ADINDA SOLIDA – 1720532012 Auditing Keuangan Lanjutan
B. Kompetensi Audit
Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa audit
harus dilaksanakan oleh seorang atau yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang
cukup sebagai auditor. Sedangkan, standar umum ketiga (SA seksi 230 dalam SPAP, 2001)
menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit akan penyusunan laporannya, auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Oleh karena itu, maka
setiap auditor wajib memiliki kemahiran profesionalitas dan keahlian dalam melaksanakan
tugasnya sebagai auditor.
Lee dan Stone (1995) mendefinisikan kompetensi sebagai suatu keahlian yang cukup
secara eksplisit dapat digunakan untuk melakukan audit secara objektif. Pendapat lain adalah
dari Dreyfus dan Dreyfus (1986) dalam Elfarini (2007), mendefinisikan kompetensi sebagai
keahlian seorang yang berperan secara berkelanjutan yang mana pergerakannya melalui
proses pembelajaran, dari “pengetahuan sesuatu” ke “mengetahui bagaimana”, seperti
misalnya: dari sekedar pengetahuan yang tergantung pada aturan tertentu kepada suatu
pertanyaan yang bersifat intuitif. Lebih spesifik lagi Dreyfus dan Dreyfus (1986) dalam
Elfarini (2007) membedakan proses pemerolehan keahlian menjadi 5 tahap:
Tahap pertama disebut Novice, yaitu tahapan pengenalan terhadap kenyataan dan
membuat pendapat hanya berdasarkan aturan-aturan yang tersedia. Keahlian pada tahap
pertama ini biasanya dimiliki oleh staf audit pemula yang baru lulus dari perguruan tinggi
Tahap kedua disebut Advanced Beginner. Pada tahap ini auditor sangat bergantung
pada aturan dan tidak mempunyai cukup kemampuan untuk merasionalkan segala tindakan
audit, namun demikian, auditor pada tahap ini mulai dapat membedakan aturan yang sesuai
dengan suatu tindakan,
Tahap ketiga disebut Competence. Pada tahap ini auditor harus mempunyai cukup
pengalaman untuk menghadapi situasi yang kompleks. Tindakan yang diambil disesuaikan
dengan tujuan yang ada dalam pikirannya dan kurang sadar terhadap pemilihan, penerapan,
dan prosedur aturan audit.
3
ADINDA SOLIDA – 1720532012 Auditing Keuangan Lanjutan
Tahap keempat disebut Profiency. Pada tahap ini segala sesuatu menjadi rutin,
sehingga dalam bekerja auditor cenderung tergantung pada pengalaman yang lalu. Intuisi
mulai digunakan dan pada akhirnya pemikiran audit akan terus berjalan sehingga diperoleh
analisis yang substansial.
Tahap kelima atau terakhir adalah Expertise. Pada tahap ini auditor mengetahui
sesuatu karena kematangannya dan pemahamannya terhadap praktek yang ada. Auditor sudah
dapat membuat keputusan atau menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan demikian segala
tindakan auditor pada tahap ini sangat rasional dan mereka bergantung pada intuisinya bukan
pada peraturan-peraturan yang ada.
1) Pengetahuan
Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena dengan
demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan) mengenai
bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih
mendalam. Selain itu, auditor akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang
semakin kompleks (Meinhard, et al., 1987).
2) Pengalaman
4
ADINDA SOLIDA – 1720532012 Auditing Keuangan Lanjutan
akurat, (3) Mencari penyebab kesalahan. Guntur, dkk. (2002) dalam Mayangsari (2003)
menyebutkan bahwa pengalaman kerja auditor (lebih dari dua tahun) dapat menentukan
profesionalisme, kinerja komitmen terhadap organisasi, serta kualitas auditor melalui
pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman melakukan audit.