Anda di halaman 1dari 11

Penggunaan Data Penginderaan Jauh Dalam Kegiatan Identifikasi Kekeringan

Dengan Memanfaatkan Sistem Informasi Geografis

Abstrak

Kekeringan merupakan fenomena alam yang sering terjadi di negara yang memiliki iklim tropis
seperti di Indonesia. Fenomena kekeringan berdampak pada sektor penting yang ada di Indoensia
antara lain pertanian, kehutanan, perkebunan dan sumberdaya air. Pendugaan fenomena
kekeringan sangat penting terkait untuk mempersiapkan lebih dini mengurangi dampak tersebut
pada sektor agraris. Teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat
dimanfaatkan untuk dapat mengidentifikasi potensi kekeringan yang ada di Indonesia. Berbagai
metode telah dikembangkan untuk dapat mendeteksi potensi kekeringan dengan menggunakan
indeks vegetasi, indeks kecerahan tanah dengan berbagai algoritma. Indeks-indeks yang telah
dikembangkan yaitu NVDI (Normalized Difference Vegetation Index), EVI (Enhanced Vegetation
Index), MSAVI (Modified Soil-Adjusted Vegetation Index), PVI (Perpendicular Vegetation Index),
VDI (Vegetation Dryness Index), TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index), VHI (Vegetation
Health Index), VegDRI (Vegetation Drought Response Index), SBI (Soil Brightness Index), dan SPI
(Standardized Precipitation Index). Dengan metode skoring potensi kekeringan dapat dihasilkan
melalui SIG sehingga pendektesian dini kekeringan dapat diterapkan.

Kata kunci : kekeringan, indeks vegetasi, indeks kecerahan, penginderaan jauh, SIG

Abstract

Drought is a natural phenomenon that often occurs in countries that have a tropical climate such
as in Indonesia. The drought phenomenon has an impact on the important sectors in Indonesia
including agriculture, forestry, plantations and water resources. Estimating the drought
phenomenon is very important related to preparing earlier to reduce the impact on the agrarian
sector. Remote sensing technology and Geographic Information System (GIS) can be used to
identify potential droughts in Indonesia. Various methods have been developed to detect drought
potential by using vegetation indices, soil brightness indices with various algorithms. Indexes that
have been developed are NVDI (Normalized Difference Vegetation Index), EVI (Enhanced
Vegetation Index), MSAVI (Modified Soil-Adjusted Vegetation Index), PVI (Perpendicular
Vegetation Index), VDI (Vegetation Dryness Index), TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index),
VHI (Vegetation Health Index), VegDRI (Vegetation Drought Response Index), SBI (Soil Brightness
Index), and SPI (Standardized Precipitation Index). The drought potential scoring method can be
generated through GIS so that early detection of drought can be applied.

Keywords: drought, vegetation index, brightness index, remote sensing, GIS


PENDAHULUAN
Kekeringan merupakan fenomena alam yang memiliki dampak negatif untuk
keberlangsungan hidup umat manusia. Secara umum definisi dari kekeringan yaitu
kurangnya cadangan air yang bersifat sementara secara signifikan dibawah ambang
normal dalam jangka waktu tertentu. Kekeringan adalah suatu kejadian yang dapat
mengancam dan mengganggu berlangsungnya hidup manusia. Kekeringan berkaitan erat
dengan cadangan air yang ada di dalam tanah, baik cadangan air untuk lahan maupun
untuk kebutuhan manusia sehari-hari. Di bidang pertanian, kekeringan membawa dampak
yang cukup signifikan.
Berdasarkan sejarah kekeringan ekstrim pernah terjadi pada saat bersamaan
dengan fenomena anomali suhu permukaan laut Pasifik tropis yang dikenal dengan El
Nino - Southern Oscillation (ENSO) pada tahun 1982/1983, 1986/1987, 1991/1992,
1997/1998, 2002/2003 dan 2009/2010 (Adiningsih 2014). Dampak kekeringan dapat
dirasakan secara langsung dan tidak langsung. Dampak kekeringan secara langsung yaitu
seperti rusaknya lahan pertanian, perkebunan, kehutanan, sumberdaya air dan
lingkungan. Dampak kekeringan secara tidak langsung yaitu terhambatnya perputaran
sektor pereekonomian pertanian dan timbulnya kelaparan secara masal. Permasalahan
timbul ketika informasi mengenai kekeringan sangat minim sehingga dalam
penanggulangan secara dini masih sangat lambat. Kegiatan monitoring dan prediksi
kekeringan menjadi kegiatan yang penting agar dampak dapat diantisipasi secara minimal.
Perkembangan teknologi penginderaan jauh dewasa ini memberikan
kemungkinan untuk dapat digunakan memperoleh data atau informasi dipermukaan bumi
yang relatif cepat, terbaru dan akurat. Selain itu penginderaan jauh sebagai salah satu
ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan sebagai alat analisis yang berupa data citra
satelit. Dari berbagai jenis satelit baik jenis satelit cuaca, satelit sumberdaya, maupun
satelit militer teknik penginderaan jauh memiliki peran besar didalam kegiatan
inventarisasi sumberdaya alamataupun sebagai alat evaluasi dipermukaan bumi. Setiap
satelit memiliki sensor yang berbeda-beda untuk merekam kondisi permukaan bumi,
antara lain Landsat, SPOT, NOAA, ALOS, dan lain sebagainya dan setiap sensor satelit
memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik pada tiap sensor seperti halnya,
resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi temporal dan resolusi radiometrik. Perbedaan
karakteristik resolusi tiap sensor satelit memberikan variasi pengguna dalam memilih
sesuai dengan kebutuhan serta tujuan yang akan dicapai.
Pemanfaatan penginderaan jauh dalam mendeteksi dan memetakan kekeringan
telah dilakukan sejak tahun 1980 (Adiningsih 2014). Berbagai metode telah digunakan
terkait identifikasi kekeringan seperti memepertimbangakan indeks vegetasi, indeks
kecerahan tanah dengan berbagai algoritma. Indeks-indeks yang telah dikembangkan
yaitu NVDI (Normalized Difference Vegetation Index), EVI (Enhanced Vegetation Index),
MSAVI (Modified Soil-Adjusted Vegetation Index), PVI (Perpendicular Vegetation Index),
VDI (Vegetation Dryness Index), TVDI (Temperature Vegetation Dryness Index), VHI
(Vegetation Health Index), VegDRI (Vegetation Drought Response Index), SBI (Soil
Brightness Index), dan SPI (Standardized Precipitation Index).
Dalam penggunan indeks vegetasi dan indeks lainnya banyak diterapkan dalam
identifikasi sumberdaya alam dan kebencanaan. Hingga saat ini belum ada indeks yang
digunakan sebagai standar pengolahan terkait deteksi kekeringan. Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan Pasal 19 ayat (1) huruf d menyebutkan
bahwa pengolahan data penginderaan jauh dapat meliputi deteksi parameter dari aspek
geo-bio-fisik. Informasi terkait kondisi permukaan sangat diperlukan, baik data numerik
maupun spasial. Informasi fisiografis wilayah dapat digunakan dalam mendiskripsikan
kondisi permukaan sebagai rekomendasi pembangunan dalam bidang sumberdaya air.
Kemampuan fisik lahan dalam merespon air hujan sebagai masukan menjadikan bentuk
riil-riil aliran sungai yang merupakan merupakan tempat aliran air yang berlebih.
Pemanfaatan data penginderaan jauh dan SIG dapat menjadi solusi dalam
identifikasi dan moniting sehingga dapat meminimalisir fenomena kekeringan di
Indonesia.

DEFINISI KEKERINGAN
Pengertian kekeringan berdasarkan Undang Undang Nomor 24 tahun 2007 terkait
Penanggulangan Bencana, kekeringan dikategorikan ke dalam bencana alam. Bencana
alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Secara umum kekeringan didefinisikan
sebagai keadaan dimana suplai air berada di bawah kebutuhan air bagi makhluk hidup an
lingkungan dalam periode tertentu.Secara spesifik, Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan kekeringan adalah ketersediaan air
yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi
dan lingkungan. Adapun yang dimaksud kekeringan di bidang pertanian adalah kekeringan
yang terjadi di lahan pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lain-lain) yang
sedang dibudidayakan.
Selain definisi umum tersebut, kekeringan dapat didefinisikan menurut berbagai
disiplin ilmu dan kepentingan. Khairullah (2009) mengemukakan lima definisi kekeringan
yaitu secara meteorologis, hidrologis, pertanian, sosial ekonomi, dan antropogenik.
Adapun definisi kekeringan tersebut adalah sebagai berikut (Khairullah, 2009):
a) Kekeringan Meteorologis adalah kekeringan yang berhubungan dengan tingkat curah
hujan yang terjadi berada di bawah kondisi normal dalam suatu musim. Perhitungan
tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi
kekeringan.Intensitas kekeringan meteorologis diklasifikasikan sebagai berikut:
 kering: apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal;
 sangat kering: apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal;
 amat sangat kering: apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi normal.
b) Kekeringan Hidrologis adalah kekeringan akibat berkurangnya pasokan air permukaan
dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan
air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya
ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis
bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan. Intensitas kekeringan hidrologis
dikelompokkan menjadi:
 kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah periode 5
tahunan;
 sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh di
bawah periode 25 tahunan;
 amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran
amat jauh di bawah periode 50 tahunan.
c) Kekeringan Pertanian berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah
(lengas tanah) sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada
suatu periode tertentu. Kekeringan ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan
meteorologis. Intensitas kekeringan pertanian dikelompokkan sebagai berikut:
 kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan s/d
sedang)
 sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung daun
(terkena berat)
 amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso).
d) Kekeringan Sosial Ekonomi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi
yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekeringan
meteorologis, pertanian dan hidrologis. Intensitas kekeringan sosial ekonomi
diklasifikasikan berdasarkan ketersediaan air minum atau air bersih sebagai berikut:
 Kering langka terbatas: apabila ketersediaan air (dalam liter/orang/hari) > 30
dan < 60, air mencukupi untuk minum, memasak, mencuci alat masak/makan,
tetapi untuk mandi terbatas, sedangkan jarak dari sumber air 0.1 – 0.5 km.
 Kering langka: apabila ketersediaan air (dalam liter/orang/hari) > 10 dan < 30,
air hanya mencukupi untuk minum, memasak, dan mencuci alat masak/makan,
sedangkan jarak dari sumber air 0.5 – 3.0 km.
 Kering kritis: apabila ketersediaan air (dalam liter/orang/hari) < 10, air hanya
mencukupi untuk minum dan memasak, sedangkan jarak dari sumber air >3.0
km.
e) Kekeringan Antropogenik terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan
oleh kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat
ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan
kawasan tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia. Intensitas
kekeringan antropogenik diklasifikasikan menjadi:
 Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
 Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
 Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%.

Citra Penginderaan Jauh Digital


Citra penginderaan jauh digital merupakan citra yang diperoleh, disimpan,
dimanipulasi, dan ditampilkan dengan basis logika biner (Danoedoro, 2012). Biasanya citra
digital diperoleh dari hasil skaner (scanner), dan atau sesuai dengan perkembangan
teknologi citra digital diperoleh melalui sistem foto kamera digital yang berada pada
wahana berupa pesawat atau satelit. Format penyimpanan citra digital disimpan pada
media magnetik, optik, ataupun media lainnya (diket, hard disk, compact disk, CCT atau
computer compatible tape, optical disk, dan flash disk), serta dapat ditampilkan menjadi
gambar pada layar monitor komputer (Danoedoro, 2012).
Dengan kata lain pengertian dari citra digital penginderaan jauh adalah citra yang
menggambarkan kenampakan permukaan bumi dengan proses perekaman pantulan
(reflectance), pancaran (emittance), atau hamburan balik (backscatter) gelombang
elektromagnetik dengan sensor optik-8 elektromagnetik yang terpasang pada suatu
wahana (platform), baik itu wahana pada menara (crane), pesawat udara maupun wahana
ruang angkasa. (Danoedoro, 2012).

Sistem Informasi Geografis (SIG)


SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan
dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG diranancang untuk mengumpulkan,
menyimpan, dan menganalisa objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi
merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG
merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani
data yang bereferensi geografi a. masukan, b. manajemen data, c. analisis dan manipulasi
data, d. keluaran (Aronoff 1989).
Pengertian lain dari SIG yaitu suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras,
perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara
efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola,
memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu
informasi berbasis geografis/geospasial.
Sistem informasi geografis (SIG) memiliki kelebihan dibanding dengan sistem lain
yaitu dalam sifatnya yang mudah di-update sesuai dengan perkembangan yang ada dan
dapat disajikan dengan media yang berfariatsi. Berbeda dengan metode manual yang
tidak dapat diubah bila ada perubahan informasi, data dalam SIG dapat diubah sesuai
perkembangan yang ada dan disesuakan dengan kebutuhan sehingga SIG dapat menjadi
media yang real time dalam menyikapi perubahan data yang ada.

Karakteristik Citra Landsat-8


Landsat-8 atau seing dikenal dengan Landsat Data Continuity Mission (LDCM)
merupakan satelit sumberdaya generasi terbaru dari Program Landsat. Landsat-8
merupakan join produk kerjasama antara USGS dengan NASA beserta NASA Goddard
Space Flight Center yang diluncurkan 11 Februari 2013. Landsat-8 dirancang mempunyai
misi durasi 10 tahun yang dilengkapi dengan dua sensor hasil dari pengembangan Landsat-
7. Kedua sensor tersebut adalah Sensor OLI (Onboard Operational Land Imager) yang
terdiri dari 9 band dan TIRS (Thermal Infrared Sensor) yang terdiri dari 2 band.
Karakteristik band landsat-8 secara jelas terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik band Landsat-8

Band Spektral Panjang Gelombang Resolusi Spasial


Band 1-Coastal Aerosol 0,43-0,45 µ 30 meter
Band 2-Blue 0,45-0,51 µ 30 meter
Band 3-Green 0,53-0,59 µ 30 meter

Band 4-Red 0,64-0,67 µ 30 meter

Band 5-Near InfraRed 0,85-0,88 µ 30 meter

Band 6-Short 30 meter


1,57-1,65 µ
Wavelength InfraRed
Band 7- Short 30 meter
2,11-2,29 µ
Wavelength InfraRed
Band 8-Panchromatic 0,50-0,68 µ 15 meter
Band 9-Cirrus 1,36-1,38 µ 30 meter
Band 10-Long 100 meter
10,60-11,19 µ
Wavelength InfraRed
Band 11- Long 100 meter
11,50-12,51 µ
Wavelength InfraRed

Kelebihan landsat-8 dilengkapi dengan band thermal pada band 10 dan band 11. Band
thermal tersebut dapat dimanfaatkan dalam melakukan pendugaan potensi kekeringan
melalui LST (Land Surface Temperature).

Identifikasi Parameter kekeringan Dari Data Satelit


Transformasi citra banyak digunakan untuk pengolahan citra satelit, misalnya
transformasi tasseled cap yang memanfaatkan feature space tiga saluran yang menghasilkan
sumbu kecerahan (brightness), kehijauan (greenness), kelayuan (yellowness), dan ketidak
tentuan (noneesuch). Modifikasi tasseled cap untuk 6 saluran pada Landsat TM, yaitu
saluran 1-5, dan 7 (Murdiyati et al., 2016). Hasilnya adalah indeks kecerahan (brightness
index), indeks kebasahan (wetness index), dan indeks kehijauan (greeness index). Salah
satu indeks vegetasi adalah normalized difference vegetation index (NDVI) yang
merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra (Maru dan
Hidayati, 2016).
Perkembangan teknologi identifikasi vegetasi menggunakan indeks vegetasi yang
dihitung dari perbedaan nilai reflektansi pada kanal tampak dan infra merah dekat. Dalam
perkembangannya, indeks tersebut dimodifikasi menjadi indeks vegetasi yang
dinormalkan (Normalized Difference Vegetation Index atau NDVI) yang merupakan selisih
antara reflektansi kanal infra merah dekat dengan kanal tampak dan dinormalkan dengan
penjumlahan kedua nilaireflektansi. Penggunaan NDVI sebagai parameter untuk
mendeteksi kehijauan dan kekeringan vegetasi semakin meluas, baik untuk tujuan
pemantauan maupun perkiraan terjadinya kekeringan vegetasi. Penggunaan NDVI bahkan
meluas untuk sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, dan lingkungan. Selain nilai NDVI
untuk mendapatkan informasi tutupan vegetasi, analisis diperkuat dengan faktor
temperatur permukaan. Identifikasi temperatur permukaan sering disebut LST (Land
Surface Temperature).

METODE PENELITIAN
Kajian identifikasi kekeringan menggunakan Citra Landsat-8 yang telah mengalami
koreksi geometrik dadn radiometrik. Menggunakan transformasi indeks vegetasi NDVI
sebagai tahap identifikasi tutupan vegetasi dan non vegetasi. Kemudian memanfaatkan
band thermal sebagai data tambahan untuk mengetahui suhu permukaan dengan
algoritma LST (Land Surface Temperature). Alur kerja identifikasi kekeringan dijelaskan
pada gambar 1.
Citra
Landsat-8

Koreksi Radiometrik

Koreksi Geometrik

Kroping Citra

Klasifikasi Penutup Lahan Indeks NDVI Transformasi LST

Peta Peta Peta LST


Penutup Lahan Kerapatan
Vegetasi

Overlay

Scoring

Validsai Data

Peta Potensi
Kekeringan
Skala 1:25.000

Gambar 1. Alur kerja identifikasi kekeringan


PEMBAHASAN
Peta potensi kekeringan lahan merupakan peta yang berasal dari pengolahan
data/parameter yang berpengaruh terhadap kekeringan lahan. Parameter yang digunakan
dalam pengolahan peta potensi kekeringan yaitu penggunaan yaitu peta penggunaan
lahan, peta kerapatan vegetasi dan peta suhu permukaan/LST (Land Surface). Hubungan
parameter tersebut kemudian dilakukan pembobotan/scoring sesuai dengan pengkelasan
bobot yang terdapat pada tabel 2.
Kalsifikasi kekeringan terbagi menjadi 5 kelas yaitu kelas potensi kekeringan sangat
rendah, potensi kekeringan rendah, potensi kekeringan sedang, potensi kekeringan tinggi,
dan potensi kekeringan sangat tinggi.

Anda mungkin juga menyukai