Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

Limfoma Non Hodgkin merupakan salah satu jenis bentuk keganasan dari
Limfoma Maligna. Limfoma Maligna (LM) adalah proliferasi abnormal dari
sistem limfoid dan struktur yang membentuknya; dapat menyerang kelenjar getah
bening atau organ di luar kelnjar getah bening. Limfoma non Hodgkin (LNH)
adalah kelompok keganasan primer limfosit yang berasal dari limfosit B, Limfosit
T, dan dapat juga berasal dari sel NK (Natural Killer) yang berada pada sistem
limfe. Pada LNH terjadi proliferasi dari sel limfosit yang tak terkendali sehingga
menyebabkan terbentuknya tumor.1
Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada
anak, hampir sepertiga dari keganasan pada anak setelah leukemia dan keganasan
susunan syaraf pusat. Angka kejadian tertinggi pada umur 7-10 tahun dan jarang
dijumpai pada usia di bawah 2 tahun. Laki-laki lebih sering bila dibandingkan
dengan perempuan dengan perbandingan 2,5:1. Angka kejadiannya setiap tahun
diperkirakan meningkat dan di AS 16,4 persejuta anak di bawah usia 14 tahun.
Angka kejadian limfoma malignum di Indonesia sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti.2,3
Manifestasi Klinis dari penderita Limfoma non-hodgkin yaitu
pembesaran kelenjar getah bening tanpa adanya rasa sakit, demam, keringat
malam, rasa lelah yang dirasakan terus menerus, gangguan pencernaan dan
nyeri perut, hilangnya nafsu makan, nyeri tulang, bengkak pada wajah dan
leher dan daerah-daerah nodus limfe yang terkena, dan limphadenopati.1,2,3
Limfoma non-hodgkin menjadi permasalahan kesehatan yang serius
dari komplikasi yang berakibat langsung seperti mudahnya terjadi infeksi,
penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas, usus, dan saraf.1,2,3

1
BAB 2
I. STATUS PASIEN

A. Identitas Penderita
Nama : TN. S
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : LAKI-LAKI
Alamat : Bobotsari
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
No.CM : 009170xx

2.3. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Benjolan pada leher disebelah kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dari IGD dengan keluhan
utama benjolan di leher sebelah kiri sejak 2 bulan yang lalu. Benjolan
hanya ada satu pada bagian kiri leher. Awalnya benjolan sebesar kelereng.
Benjolan dirasakan semakin lama semakin membesar .Benjolan dirasakan
tidak menjalar, tidak terasa nyeri, tidak terasa panas, dan benjolan tidak
pernah luka hingga bernanah.
Pasien juga mengeluh demam sejak 2 bulan yang lalu. Demam
dirasakan naik turun. Demam menurun saat diberikan obat penurun panas.
Demam tidak disertai menggigil, mimisan, gusi berdarah, nyeri menelan,
keluar cairan dari telinga, , BAK lancar, dan BAB berwarna hitam. Pasien
mengeluh nyeri diseluruh badan. Nyeri berpindah-pindah tidak ada.
Pasein juga mengeluh mual dan muntah sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien muntah setiap apa yang dimakan dimuntahkan, tetapi pasien masih
banyak minum. Selain itu juga mengeluh nyeri pada perut bagian atas
ditengah. Nyeri tidak dirasakan menjalar. BAK dan BAB lancar serta tidak
nyeri.
Selain itu, pasien mengatakan bahwa pasien mengalami penurunan
nafsu makan yang mengakibatkan penurunan berat badan
2
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat memiliki operasi usus buntu ± 2 bulan yang lalu di RSUD
Sultan Imanduddin Pangkalanbun
2. Riwayat TB Paru (+) sejak 1 tahun yang lalu. Pengobatan sudah
tuntas, keluhan batuk sudah tidak ada.
3. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
1. Riwayat antenatal : ANC 4x selama masa kehamilan di Puskesmas

Jenis Dasar (umur dalam hari/bulan)


BCG 1 Bulan
POLIO 2,4,6 bulan
HEPATITIS B 2,4,6 bulan
DPT 2,4,6 bulan
CAMPAK 9 bulan

2. Riwayat natal : Lahir Spontan


3. Nilai APGAR : Saat lahir langsung menangis
4. Berat badan lahir : 2700 gr
5. Tempat dan Penolong : Lahir dirumah dan ditolong bidan puskesmas
6. Riwayat neonatal : Tidak ada membiru pada bibir atau tangan dan
kaki, tidak ada demam atau badan kuning.
4. Riwayat Perkembangan
Perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa dan kemandirian
sudah sesuai dengan usia. Usia sekarang os dapat melompat, menendang
benda, menggambar garis, bisa berbicara banyak kata ke orang lain, bisa
mencuci tangan dan menyuap makan sendiri.
5. Riwayat Imunisasi
Tabel 1. Riwayat Imunisasi

Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia


6. Riwayat Makanan
Tabel 2. Riwayat Makanan

3
USIA MAKANAN

0-1 Tahun Susu ASI semau anak

6 Bulan Bubur nasi dan sayuran dilunakkan 3xhari

1 tahun Bubur saring + telur, sayuran 3-4 kali sehari

2-8 tahun Makan Nasi biasa + telur + tempe + tahu sekitar 3 kali sehari

Kesan : Makanan Sehat

7. Riwayat Penyakit Keluarga


Pada keluarga pasien, nenek pasien memiliki kanker payudara.

= Perempuan

= Laki-laki

= An.M

= Nenek pasien
yang mengalami Gambar 1. Skema Riwayat Penyakit

kanker payudara Keluarga

8. Riwayat Sosial Lingkungan


4
1. Keadaan lingkungan rumah yang bersih.
2. Ventilasi yang cukup baik dan sinar matahari yang cukup masuk ke
dalam rumah.
3. Jarak septik tank dengan sumber air minum berjarak sekitar 5 meter.
4. Keadaan sosial ekonomi yang kurang
5. Sekitar rumah ada pembuangan sampah

2.4. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan Umum : Tampak lemas, tampak sangat kurus, tampak
seperti orang tua
Kesadaran : Kompos Mentis
GCS : E4M6V5
2. Pengukuran
Tanggal : 12-01-2017
Umur : 8,6 tahun
Tanda vital: Nadi : 110 x/menit (reguler, isi cukup, dan kuat angkat)
Suhu : 36,00C
Respirasi : 21 x/menit

Antopometri :
Berat badan : 19 kg
Tinggi badan : 127 cm
Lingkar Lengan Atas : 10 cm (51%) Gizi buruk
Status Gizi (BB/TB) : 76% Gizi Kurang (Waterlow)

5
3. Kulit
Warna : Sawo Matang
Sianosis : Tidak ada
Hemangioma : Tidak ada
Turgor : Tidak cepat kembali
Kelembapan : Kering, keriput
6
Pucat : Tidak Ada
Lain-lain : Lemak Subkutan tipis
4. Kepala
Bentuk : Mesosephal
Sefal hematom : Tidak ada
Caput suksadenum : Tidak ada
Lain-lain : Wajah tampak seperti orang tua
Rambut: Warna : Hitam
Tebal/tipis : Tipis
Distribusi : Merata
Alopesia : Tidak ada
Lain-lain : Mudah dicabut
Mata: Palpebra : Edem (-/-), cekung (-/-)
Alis, bulumata : Hitam, jarang, tidak mudah tercabut
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Produksi air mata : Cukup
Pupil: Diameter : 3 mm / 3 mm
Simetris : +/+
Refleks cahaya : Langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
Kornea : Jernih
Telinga: Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : Minimal
Nyeri : Tidak ada

Hidung: Bentuk : Simetris


Pernapasan cuping hidung: (-/-)
Epistaksis : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
Lain-lain : Memakai NGT
Mulut: Bentuk : Normal
7
Bibir : Sianosis, kering (+)
Gusi : - Tidak mudah berdarah
- Tidak ada pembengkakan
Lain-lain : tidak ada
Lidah: Bentuk : Normal
Pucat : Tidak ada
Tremor : Tidak tremor
Warna : Merah muda
5. Leher
Vena jugularis: Pulsasi : Tidak teraba
Tekanan : Tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher : ada region colli sinistra
Pembesaran berukuran ± 6x8 cm, tidak
ada nyeri tekan, immobile, konsistensi
keras, tidak ada tanda radang pada
benjolan, permukaan tidak rata
Massa : Tidak ada
Tortikolis : Tidak ada
6. Thoraks
Dinding dada/paru
Inspeksi : Bentuk : Simetris kanan-kiri, ketinggalan gerak
(-), barrel chest (-), pectus carinatum
(-), pectus excavatum (-)
Retraksi : (-)
Dispnea : (-)
Pernapasan : Thorakal-abdominal
Palpasi : Fremitus fokal : Normal (+/+)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi: Suara napas dasar : Vesikuler (+/+)
Suara napas tambahan: Ronki (-/-) wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi: Ictus cordis : Tidak terlihat
8
Palpasi: Apeks : Teraba di SIC V linea midclavicula
sinistra
Auskultasi: Frekuensi : 110 x/menit, irama: reguler
Suara dasar : S1-S2 reguler, thrill (-),
Bising : Gallop (-), murmur (-)
7. Abdomen
Inspeksi: Bentuk : Cembung, Distensi (+)
Lain-lain : ada bekas jahitan operasi
Palpasi: Hati : Tidak teraba membesar
Lien : Tidak teraba membesar
Massa : Tidak ada
Perkusi: Timpani/pekak : Timpani
Asites : Tidak ada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
8. Ekstremitas
Umum : Akral hangat, CRT < 2 detik, edem (-),
ikterik (-), pucat (-), clubbing finger (-).

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.5.1. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Makroskopik :
Jaringan warna putih ukuran 1 x 1 x 1 cm. pada pemotongan warna putih.
Mikroskopik :

9
Sediaan dari operasi tampak jaringan ikat limforetikuler dan sebukan sel-sel
limfosit, beberapa sel histosit. Pada bagian lain tampak sel-sel bulat, oval
berkelompokkan dengan ratio inti sitoplasma besar, khromatis kasar, anak inti
nyata.
Diagnosis/kesimpulan :
Histopatologis mengesankan Diffuse Non Hodgkin Lymphoma Maligna,
Large Cell Type.

2.5.2. Pemeriksaan Darah Tepi


Kesan : Leukositosis dengan Neutrofilia dan aktivasi neutrophil + monositosis
DD/ - Infeksi berat
- Infeksi bakterial

2.5.3 Laboratorium
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal / Waktu
06-01-2017 (20.13 WIB) 09-01-2017 11-01-2017 (06.36 WIB)
a. Darah Lengkap Kimia Darah Darah Lengkap

10
WBC = 23.590 /uL GDS = 85 mg/dL WBC = 34.070 /uL
RBC = 4.760.000 /uL Ureum = 81 mg/dl RBC = 4.500.000 /uL
HGB = 11,4 g/dL Kreatinin = 0,74 mg/dl HGB = 11,1 g/dL
HCT = 33,2 % SGOT/AST = 33 U/L HCT = 33,5 %
MCV = 69.7 fL SGPT/ALT = 26 U/L MCV = 74,4 fL
MCH = 23,9 pg Albumin = 2,60 g/dl MCH = 24,4 pg
MCHC = 34,4 g/dL MCHC = 32,9 g/dL
PLT = 63.000/uL Elektrolit PLT = 59.000 /uL
b. Kimia Darah Natrium = 122 mmol/L
GDS = 102 mg/dL Kalium = 4,1 mmol/L
Calcium = 1,04 mmol/L

Elektrolit ( 12-01-2017) Kimia Darah (13-01-2017)


Natrium = 121 mmol/L Ureum = 107 mg/dl
Kalium = 5,3 mmol/L
Calcium = 0,99 mmol/L

PJB

2.6 Diagnosis
Diagnosis Banding
Limfoma Non-
Hodgkin
Keganasan
Limfoma Hodgkin
Pembesaran KGB 11
Non-Keganasan Limfadenopati
Tubercukulosa

KEP Ringan
Penurunan Berat
Badan KEP Sedang
Marasmus

KEP Berat
Kwashiorkor
Diagnosis Kerja:
Limfoma Non Hodgkin, KEP Berat, Hiponatremia

2.7 Penatalaksanaan
1. Infus D5 ½ NS 15 tpm
2. Infus Nacl 15 tpm
3. Inj. Ceftriaxone 3 x 650 mg
4. Inj. Meropenem 2x750 mg
5. Inj. ranitidin 2x20 mg
6. Inj. Ondancetron 3 x 2 mg
7. Inj. ketorolac 3 x 10 mg
8. PCT 200 mg (k/p)
9. Diet 3x nasi biasa TKTP
10. Diet ditambahkan susu F75 5x100cc
11. Konsul dokter spesialis bedah ongkologi

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Limfoma Non Hodgkin

12
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner
limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal
dari sel NK ("natural killer") yang berada dalam sistem lirnfe; yang sangat
heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap
pengobatan, maupun prognosis.1
3.2 Epidemiologi
Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada
anak, hampir sepertiga dari keganasan pada anak setelah leukemia dan keganasan
susunan syaraf pusat. Angka kejadian tertinggi pada umur 7-10 tahun dan jarang
dijumpai pada usia di bawah 2 tahun. Laki-laki lebih sering bila dibandingkan
dengan perempuan dengan perbandingan 2,5:1. Angka kejadiannya setiap tahun
diperkirakan meningkat dan di AS 16,4 persejuta anak di bawah usia 14 tahun.
Angka kejadian limfoma malignum di Indonesia sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti.2,3
3.3 Etiologi
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya
tidak diketahui, tetapi sering dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr
yang ditemukan pada limfoma Burkitt. Terdapat kaitan jelas antara limfoma
Hodgkin dan infeksi virus Epstein Barr. Pada kelompok terinfeksi HIV, insiden
limfoma Hodgkin agak meningkat dibanding masyarakat umum, selain itu
manifestasi klinis limfoma Hodgkin yang terkait HIV sangat kompleks, sering
kali terjadi pada stadium lanjut penyakit, mengenai regio yang jarang ditemukan,
seperti sumsum tulang, kulit, meningen, dan lain-lain.4,5,6
Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya
limfoma non Hodgkin, bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi.
Virus RNA, HTLV-1 berkaitan dengan leukemia sel T dewasa, virus
imunodefisiensi humanus (HIV) yang menyebabkan AIDS, defek imunitas yang
diakibatkan berkaitan dengan timbulnya keganasan limfoma sel B yang tinggi,
virus hepatitis C (HCV) berkaitan dengan timbulnya limfoma sel B indolen. Gen
dari virus DNA, virus Epstein Barr (EBV) telah ditemukan terdapat di dalam
genom sel limfoma Burkitt Afrika. Infeksi kronis Helicobacter pylori berkaitan
jelas dengan timbulnya limfoma lambung, terapi eliminasi H. Pylori dapat
13
menghasilkan remisi pada 1/3 lebih kasus limfoma lambung. Defek imunitas dan
menurunnya regulasi imunitas berkaitan dengan timbulnya limfoma non Hodgkin,
termasuk AIDS, reseptor cangkok organ, sindrom defek imunitas kronis, penyakit
autoimun.5,6
3.4 Manifestasi Klinis5,6,7
Gejala umum penderita limfoma non-Hodgkin yaitu :
1. Pembesaran kelenjar getah bening tanpa adanya rasa sakit
2. Demam
3. Keringat malam
4. Rasa lelah yang dirasakan terus menerus
5. Gangguan pencernaan dan nyeri perut
6. Hilangnya nafsu makan
7. Nyeri tulang
8. Bengkak pada wajah dan leher dan daerah-daerah nodus limfe yang
terkena.
9. Limphadenopati

Tabel 4. Gejala dan Penyebab dari Limfoma Non Hodgkin4,5,6,8


Gejala Penyebab Kemungkinan
timbulnya
gejala

14
Gangguan pernafasan Pembesaran kelenjar getah 20-30%
Pembengkakan wajah bening di dada
Hilang nafsu makan Pembesaran kelenjar getah 30-40%
Sembelit berat bening di perut
Nyeri perut atau perut
kembung
Pembengkakan tungkai Penyumbatan pembuluh getah 10%
bening di selangkangan atau
perut
Penurunan berat badan Penyebaran limfoma ke usus 10%>
Diare halus
Malabsorbsi
Pengumpulan cairan di Penyumbatan pembuluh getah 20-30%
sekitar paru-paru bening di dalam dada
(efusi pleura)

Daerah kehitaman dan Penyebaran limfoma ke kulit 10-20%


menebal di kulit yang
terasa gatal
Penurunan berat badan Penyebaran limfoma ke seluruh 50-60%
Demam tubuh
Keringat di malam hari
Anemia Perdarahan ke dalam saluran 30%, pada
(berkurangnya jumlah sel pencernaan akhirnya bisa
darah merah) Penghancuran sel darah merah mencapai 100%
oleh limpa yang membesar &
terlalu aktif
Penghancuran sel darah merah
oleh antibodi abnormal (anemia
hemolitik)
Penghancuran sumsum tulang
karena penyebaran limfoma
Ketidakmampuan sumsum tulang
untuk menghasilkan sejumlah sel
darah merah karena obat atau
terapi penyinaran
Mudah terinfeksi oleh Penyebaran ke sumsum tulang 20-30%
bakteri dan kelenjar getah bening,
menyebabkan berkurangnya
pembentukan antibody

3.5 Patofisiologi
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu gen pada salah satu sel dari sekelompok sel
15
limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas
(terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Beberapa perubahan yang terjadi
pada limfosit tua antara lain: 1.) Ukurannya semakin besar, 2). Kromatin inti
menjadi lebih halus, 3) Nukleolinya terlihat, 4) Protein permukaan sel mengalami
perubahan.7
Beberapa faktor resiko yang diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya
limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin seperti infeksi virus-virus seperti virus
Epstein-Berg, Sitomegalovirus, HIV, HHV-6, defisiensi imun, bahan kimia,
mutasi spontan, radiasi awalnya menyerang sel limfosit yang ada di kelenjar getah
bening sehingga sel-sel limfosit tersebut membelah secara abnormal atau terlalu
cepat dan membentuk tumor/benjolan. Tumor dapat mulai di kelenjar getah
bening (nodal) atau diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal). Proliferasi
abnormal tumor tersebut dapat memberi kerusakan penekanan atau penyumbatan
organ tubuh yang diserang. Apabila sel tersebut menyerang Kelenjar limfe maka
akan terjadi Limfadenophati Dampak dari proliferasi sel darah putih yang tidak
terkendali, sel darah merah akan terdesak, jumlah sel eritrosit menurun dibawah
normal yang disebut anemia. Selain itu populasi limfoblast yang sangat tinggi
juga akan menekan jumlah sel trombosit dibawah normal yang disebut
trombositopenia. Bila kedua keadaan terjadi bersamaan, hal itu akan disebut
bisitopenia yang menjadi salah satu tanda kanker darah.7
Gejala awal yang dapat dikenali adalah pembesaran kelenjar getah bening
di suatu tempat (misalnya leher atau selangkangan)atau di seluruh tubuh. Kelenjar
membesar secara perlahan dan biasanya tidak menyebabkan nyeri. Kadang
pembesaran kelenjar getah bening di tonsil (amandel) menyebabkan gangguan
menelan.7
Pembesaran kelenjar getah bening jauh di dalam dada atau perut bisa
menekan berbagai organ dan menyebabkan: gangguan pernafasan, berkurangnya
nafsu makan, sembelit berat, nyeri perut, pembengkakan tungkai.7
Jika limfoma menyebar ke dalam darah bisa terjadi leukimia. Limfoma
non hodgkin lebih mungkin menyebar ke sumsum tulang, saluran pencernaan dan
kulit. Pada anak–anak, gejala awalnya adalah masuknya sel–sel limfoma ke dalam
sumsum tulang, darah, kulit, usus, otak, dan tulang belekang; bukan pembesaran
16
kelenjar getah bening. Masuknya sel limfoma ini menyebabkan anemia, ruam
kulit dan gejala neurologis (misalnya delirium, penurunan kesadaran).7
Secara kasat mata penderita tampak pucat, badan seringkali hangat dan
merasa lemah tidak berdaya, selera makan hilang, berat badan menurun disertai
pembengkakan seluruh kelenjar getah bening: leher, ketiak, lipat paha, dan lain-
lain.7

3.6 Klasifikasi
Ada 2 klasifikasi besar penyakit ini yaitu:
1. Limfoma non Hodgkin agresif
Limfoma non Hodgkin agresif kadangkala dikenal sebagai limfoma non
Hodgkin tumbuh cepat atau level tinggi. Karena sesuai dengan namanya,
limfoma non Hodgkin agresif ini tumbuh dengan cepat. Meskipun nama
‘agresif’ kedengarannya sangat menakutkan, limfoma ini sering memberikan
respon sangat baik terhadap pengobatan. Meskipun pasien yang penyakitnya
tidak berespon baik terhadap standar pengobatan lini pertama, sering berhasil
baik dengan kemoterapi dan transplantasi sel induk. Pada kenyataannya,
limfoma non Hodgkin agresif lebih mungkin mengalami kesembuhan total
daripada limfoma non Hodgkin indolen.8
2. Limfoma non Hodgkin indolen
Limfoma non Hodgkin indolen kadang-kadang dikenal sebagai
limfoma non Hodgkin tumbuh lambat atau level rendah. Sesuai dengan
namanya, limfoma non Hodgkin indolen tumbuh hanya sangat lambat. Secara
tipikal ia pada awalnya tidak menimbulkan gejala, dan mereka sering tetap
tidak terditeksi untuk beberapa saat. Tentunya, mereka sering ditemukan secara
kebetulan, seperti ketika pasien mengunjungi dokter untuk sebab lainnya.
Dalam hal ini, dokter mungkin menemukan pembesaran kelenjar getah bening
pada pemeriksaan fisik rutin. Kadangkala, suatu pemeriksaan, seperti
pemeriksaan darah, atau suatu sinar-X, dada, mungkin menunjukkan sesuatu
yang abnormal, kemudian diperiksa lebih lanjut dan ditemukan terjadi akibat
limfoma non Hodgkin. Gejala yang paling sering adalah pembesaran kelenjar
getah bening, yang kelihatan sebagai benjolan, biasanya di leher, ketiak dan
17
lipat paha. Pada saat diagnosis pasien juga mungkin mempunyai gejala lain
dari limfoma non Hodgkin. Karena limfoma non Hodgkin indolen tumbuh
lambat dan sering tanpa menyebabkan stadium banyak diantaranya sudah
dalam stadium lanjut saat pertama terdiagnosis.8

3.7 Pemeriksaan Diagnostik


Anamnesis dan pemeriksaan fisik : ada tumor sistem limfoid, febris
keringat malam, penurunan berat badan, limfadenopati dan
hepatosplenomegali.
1. Pemeriksaan laboratorium : Hb, leukosit, LED, hapusan darah, faal hepar,
faal ginjal, LDH.
2. Limfografi, IVP, Arteriografi. Foto organ yang diserang, bone – scan, CT–
scan, biopsi sunsum tulang, biopsi hepar, USG, endoskopi
3. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan
histopatologi. Untuk LH memakai krioteria lukes dan butler (4 jenis).
Untuk LNH memakai kriteria internasional working formulation (IWF)
menjadi derajat keganasan rendah, sedang dan tinggi
4. Penentuan tingkat/stadium penyakit (staging)
5. Stadium ditentukan menurut kriteria Ann Arbor (I, II, III, IV, A, B, E)
6. Ada 2 macam stage: Clinical stage dan pathological stage

3.8 Penatalaksaan
Terapi NHL tergantung histologi, stage, dan immunophenotype. Untuk
anak dengan stage I dan II NHL diberikan multi agen khemoterapi (doxorubicin,
vincristine, cyclophospamide, dan prednison) diikuti 6 bulan daily oral 6 MP dan
metotrexate setiap minggu dengan long term free survival 90 %. Tidak ada
perbedaan bermakna dengan lokal irradiasi.9 Penderita limfoma tingkat rendah
mungkin tidak memerlukan pengobatan segera, tetapi harus menjalani
pemeriksaan sesering mungkin untuk meyakinkan bahwa penyakitnya tidak
menyebabkan komplikasi yang serius.8
Kemoterapi dilakukan pada penderita limfoma tingkat menengah.
Penderita limfoma tingkat tinggi memerlukan kemoterapi intensif segera karena
18
penyakit ini tumbuh dengan cepat.8 Jika dimulai sesegera mungkin, pemberian
kemoterapi dengan atau tanpa terapi penyinaran pada limfoma tingkat menengah
dan tingkat tinggi, bisa menyembuhkan lebih dari separuh penderitanya. Sebagian
besar penderita sudah mencapai stadium lanjut (stadium III dan IV) pada saat
penyakitnya terdiagnosis.7 Terapi penyinaran pada limfoma tingkat menengah
biasanya akan memperpanjang harapan hidup penderita sampai 2-5 tahun,
sedangkan pada limfoma tingkat tinggi hanya 6 bulan sampai 1 tahun.8
Radioterapi secara umum jarang digunakan kecuali untuk beberapa pasien dengan
penyakit lokal yang residual setelah terapi induksi. Pasien dengan refractory atau
relapse NHL juga diterapi dengan kemoterapi dosis tinggi yang diikuti dengan
autologus atau allogenic bone marrow transplantation (BMT). 5,6
Terapi untuk stadium IV dengan dosis tinggi arabinoide-C (ara-C) dan
dosis intermediate metotrexate memperbaiki survival sampai 50 %. Anak-anak
dengan penyakit yang lanjut memerlukan profilaksis CNS dengan intrathecal
metotrexate atau radiasi cranial atau keduanya dan memerlukan terapi dengan
durasi yang lebih lama. VP-16 (epipodophyllotoxin) dan ara-C bermanfaat untuk
menangani NHL yang relapse. 5
Hanya pada pasien dengan tumor kepala dan leher diberikan terapi
intrathecal sebagai profilaksis. Untuk anak dengan LBLs lanjut (stage III)
diberikan 10 –drug program (LSA2L2) dengan hasil 76 % relapse free survival.
Regimen ini tidak efektif untuk tumor sel B limfoma. (28 % relapse free survival).
Penggunaan COMP (cyclophospamide, vincristine, netotrexate dan prednisone),
dimana tidak efektif untuk LBL, memperbaiki relapse free survival pada limfoma
cell B sampai 57 %.8
Tersedia beberapa sediaan kemoterapi yang sangat efektif. Obat
kemoterapi bisa diberikan tunggal (untuk limfoma tingkat rendah) atau dalam
bentuk kombinasi (untuk limfoma tingkat menengah dan tingkat tinggi).
Pemberian kemoterapi disertai faktor pertumbuhan dan pencangkokan sumsum
tulang masih dalam tahap penelitian. 9
Pengobatan baru yang masih dalam penelitian adalah antibodi monoklonal
yang telah digabungkan dengan racun, yang memiliki bahan racun (misalnya
senyawa radioaktif atau protein tanaman yang disebut risin), yang menempel di
19
antibodi tersebut. Antibodi ini secara khusus akan menempel pada sel-sel limfoma
dan melepaskan bahan racunnya, yang selanjutnya akan membunuh sel-sel
limfoma tersebut. 9
Kemoterapi dengan menggunakan protokol COMP terdiri dari :
Fase induksi :
1. Siklofosfamid 1,2 g/m2 iv (hari ke-1)
2. Vinkristin 2 mg/m2 iv (hari ke-3, 10, 18, 26)
3. Metotreksat 300 mg/m2 iv (hari ke-12)
4. Metotreksat 6,25 mg/m2 it (hari ke-4, 30, 34)
5. Prednison 60 mg/m2 po (hari ke-3 sampai 30 kemudian diturunkan bertahap
sampai hari ke-40. 10

Fase rumatan :
1. Siklofosfamid 1,0 g/m2 iv (minggu ke-0, 4, 8, 12, 16, 20)
2. Vinkristin 1,5 mg/m2 iv (minggu ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20)
3. Metotreksat 300 mg/m2 iv (minggu ke-2, 6, 10, 14, 18)
4. Metotreksat 6,25 mg/m2 it (minggu ke-4, 8, 12, 16, 20)
5. Prednison 60 mg/m2 po selama 5 hari (minggu ke-0, 4, 8, 12, 16, 20)
Selama kemoterapi dilakukan pemeriksaan fungsi hati, ginjal tiap bulan.10

Tabel 5. Sediaan kombinasi kemoterapi pada Limfoma Non-Hodgkin. 5,7


Sediaan Obat Keterangan
Obat tunggal Klorambusil Digunakan pada limfoma tingkat rendah
Siklofosfamid untuk mengurangi ukuran kelenjar getah
bening & untuk mengurangi gejala

20
CVP (COP) Siklofosfamid Digunakan pada limfoma tingkat rendah &
Vinkristin (onkovin) beberapa limfoma tingkat menengah untuk
Prednison mengurangi ukuran kelenjar getah bening
& untuk mengurangi gejala
Memberikan respon yang lebih cepat
dibandingkan dengan obat tunggal
CHOP Siklofosfamid Digunakan pada limfoma tingkat
Doksorubisin (adriamisin) menengah & beberapa limfoma tingkat
Vinkristin (onkovin) tinggi
Prednison
C-MOPP Siklofosfamid Digunakan pada limfoma tingkat
Vinkristin (onkovin) menengah & beberapa limfoma tingkat
Prokarbazin tinggi Juga digunakan pada penderita yang
Prednison memiliki kelainan jantung & tidak dapat
mentoleransi Doksorubisin
M-BACOD Metotreksat Memiliki efek racun yg lebih besar dari
Bleomisin CHOP & memerlukan pemantauan ketat
Doksorubisin (adriamisin) terhadap fungsi paru-paru & ginjal
Siklofosfamid Kelebihan lainnya menyerupai CHOP
Vinkristin (onkovin)
Deksametason
ProMACE/C Prokarbazin Sediaan ProMACE bergantian dengan
ytaBOM Metotreksat CytaBOM
Doksorubisin (adriamisin) Kelebihan lainnya menyerupai CHOP
Siklofosfamid
Etoposid
Sitarabin
Bleomisin
Vinkristin (onkovin)
Metotreksat
MACOP-B Metotreksat Kelebihan utama adalah waktu pengobatan
Doksorubisin (adriamisin) (hanya 12 minggu)
Siklofosfamid Kelebihan lainnya menyerupai CHOP
Vinkristin (onkovin)
Prednison
Bleomisin

21
3.8 Prognosis
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik: Indolent
Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH memiliki prognosis yang relatif
baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat
disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler
atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih
pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi
kombinasi intensif. Resiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran
histologik “divergen” baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.11
Derajat keganasan rendah: tidak dapat sembuh namun dapat hidup
lama. Derajat keganasan menengah: sebagian dapat disembuhkan. Derajat
keganasan tinggi: dapat disembuhkan, cepat meninggal apabila tidak diobati.11

3.9 Komplikasi
Akibat langsung penyakitnya11,12
a. Penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas, usus dan saraf
b. Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Akibat efek samping pengobatan11,12
a. Aplasia sumsum tulang
b. Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
c. Gagal ginjal oleh obat sisplatinum
d. Neuritis oleh obat vinkristin
3.10 KEP
WHO mendefinisikan malnutrisi sebagai ketidakseimbangan seluler
antara suplai nutrien dan energi terhadap kebutuhan tubuh untuk menjamin
pertumbuhan, pemeliharaan dan fungsi-fungsi spesifik. Definisi lain dari
malnutrisi adalah suatu keadaan kekurangan gizi yang disebabkan rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak
memenuhi Angka Kecukupan Gizi.13
1. Klasifikasi KEP menurut WHO
Penilaian status gizi berdasarkan berat terhadap tinggi (atau panjang),
tinggi (atau panjang) terhadap umur, dan edema terdapat pada tabel 6. Juga
22
ditunjukkan kriteria untuk klasifikasi malnutrisi berat sebagai edema, “severely
wasted” atau “severely stunted”.13,14,15,16

Tabel 6. Klasifikasi malnutrisi menurut WHO


2. Klasifikasi KEP menurut Gomez : 13,14,15,16
BB/U % standar baku
Derajat KEP
WHO-NCHS
Normal > 90 %
1 – ringan 75 – 89 %
2 – sedang 60 – 74 %
3 – berat < 60 %
Tabel 7. Klasifikasi KEP menurut Gomez

3. Modifikasi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI


BB/U % standar baku
Derajat KEP
WHO-NCHS
0=Normal > 80 %
1 = gizi kurang 60-79 %
2 = gizi buruk < 60 %

Tabel 8. Klasifikasi KEP Modifikasi Depkes13,14,15,16

23
BAB 4
PEMBAHASAN

Dilaporkan kasus seorang datang ke IGD dengan keluhan utama benjolan


dileher sebelah kiri. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang didiagnosa sebagai Limfoma Non Hodgkin,
1. Limfoma Non Hodgkin
Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan pasien adanya benjolan dileher
sebelah kiri sejak 2 bulan yang lalu. Benjolan hanya ada satu pada bagian kiri
leher. Awalnya benjolan sebesar kelereng. Benjolan dirasakan semakin lama
semakin membesar sampai sekarang sebesar telur ayam. Benjolan dirasakan tidak
menjalar, tidak terasa nyeri, tidak terasa panas, dan benjolan tidak pernah luka
hingga bernanah. Selain itu, pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya benjolan
di leher sebelah kiri sejak 2 bulan yang lalu. Benjolan berukuran ± 6x8 cm, tidak
ada nyeri tekan, immobile, konsistensi keras, tidak ada tanda radang pada
benjolan, dan permukaan tidak rata.
Hal ini sesuai berdasarkan teori bahwa benjolan akibat keganasan meliputi
ukuran yang lebih dari 1 cm, konsistensi keras seperti batu, padat seperti karet,
multiple, immobile dan tidak adanya nyeri. Hal ini sesuai pada hasil biopsi
didapatkan suatu keganasan yaitu limfoma non Hodgkin. Pada gejala klinis yang
paling sering dari Limfoma Non Hodgkin adalah pembesaran kelenjar getah
bening tanpa adanya rasa sakit. Selain itu, ukuran yang semakin membesar pada
benjolan pada leher pasien ini merupakan perubahan sel limfosit normal menjadi
sel limfoma yang merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu gen dari
sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi
menjadi imunoblas, dimana perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain :
1.) Ukurannya semakin besar, 2.) Kromatin inti menjadi lebih halus, 3.)
Nukleolinya terlihat, 4.) Protein permukaan sel mengalami perubahan.

24
Gambar 2. Large cell Lymphoma

Selain itu, pada pasien didapatkan hasil pemeriksaan penunjang


laboratorium didapatkan leukositosis dan hasil MDT yaitu leukositosis dengan
neutrofilia dan aktivasi neutrophil + monositosis dengan DD infeksi berat dan
infeksi bakterial. Hal ini sesuai berdasarkan teori pada penderita Limfoma Non
Hodgkin penyebab leukositosis atau mudahnya terinfeksi oleh bakteri karena
penyebaran ke sumsum tulang dan kelenjar getah bening dimana hal ini
menyebabkan berkurangnya pembentukan antibodi.5,6
Pada pasien didapatkan hasil laboratorium didapatkan bahwa pasien
mengalami anemia dengan hasil HB 11,4 g/dl dan HB 11,1 g/dl. Berdasarkan teori
bahwa anemia atau berkurangnya jumlah sel darah merah disebabkan pendarahan
ke dalam saluran pencernaan. Penghancuran sel darah merah oleh limpa yang
membesar dan terlalu aktif. Penghancuran sel darah merah oleh antibodi abnormal
(anemia hemolitik). Penghancuran sumsum tulang karena penyebaran limfoma.
Ketidakmampuan sumsum tulang untuk menghasilkan sejumlah sel darah merah
karena obat atau terapi penyinaran.5
2. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin
Pada pasien ini diberikan infus D5 ½ NS 15 tpm, infus Nacl 15 tpm, inj.
Ceftriaxone 3 x 650 mg, inj. Meropenem 2x750 mg, inj. ranitidin 2x20 mg, inj.
Ondancetron 3 x 2 mg, inj. ketorolac 3 x 10 mg, PCT 200 mg (k/p), Diet 3x nasi

25
biasa TKTP, Diet ditambahkan susu F75 5x100cc, dan konsul dokter spesialis
bedah ongkologi.
Terapi yang diberikan di Rumah Sakit hanya bersifat suportif. Menurut
teori terapi pada Limfoma Non Hodgkin adalah kemoterapi. Tetapi pada pasien
ini melakukan pulang paksa, sehingga terapi lanjut tidak bisa diberikan.

26
BAB 5
KESIMPULAN

Tn. S dirawat dengan keluhan benjolan dileher sebelah kiri sejak 2 bulan
yang lalu. Benjolan hanya ada satu pada bagian kiri leher. Awalnya benjolan
sebesar kelereng. Benjolan dirasakan semakin lama semakin membesar. Benjolan
dirasakan tidak menjalar, tidak terasa nyeri, tidak terasa panas, dan benjolan tidak
pernah luka hingga bernanah. Selain itu disertai gejala penyerta demam
intermitten, dan penurunan nafsu makan. Selama dua bulan mengalami penurunan
berat badan.
Pada kasus tatalaksana yang diberikan hanya bersifat suportif. Menurut
teori terapi pada Limfoma Non Hodgkin adalah Kemoterapi. Terapi NHL
tergantung histologi, stage, dan immunophenotype.
Prognosis pada pasien ini derajat tinggi, hal ini dapat disembuhkan tetapi
cepat meninggal apabila tidak diobati. Hal sesuai pada teori dari prognosis
Limfoma Non Hodgkin yaitu LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok
prognostik: Indolent limfoma dan Agresif limfoma. LNH memiliki prognosis
yang relatif baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat
disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau
folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek,
namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi
intensif. Resiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologik
“divergen” baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Setioyohadi, B. 2009. Limfona Non-Hodgkin. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam;
1251-1260.
2. Quade, G., Treatment statement for Health professionals, Childhood Non-
Hodgkin Lymphoma Treatment, The National Cancer Institute, available
at: file:///cancer.gov/index.html, last update at: February 25, 2011.
3. Childhood Non-Hodgkin Lymphoma, The National Cancer Institute,
available at: file:///cancer.gov/index.html, update at: November 02, 2003.
4. Bakta IM. 2007. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan I.
Jakarta: EGC;.p.192- 219.
5. Emmanouillides C, Casciato DA. 2004. Hodgkin and non-Hodgkin
lymphoma. In Manual of clinical oncology, 5th Ed. Lippincot Williams &
Wilkins : 435-56.
6. Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma
Non-Hodgkin Yang Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit
Dalam volume 2; 96-102
7. Bruce D. Cheson. 2007. Revised Response Criteria for Malignant
Lymphoma. Journal Of Clinical Oncology. Volume 25(5); 581
8. Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi
4. Jakarta: EGC; 185-198
9. Santoso, M., Krisfu, C. 2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan LNH. Dexa
media: No. 4(17).
10. Bakta IM. 2007. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan I.
Jakarta: EGC;.p.192- 219.
11. Emmanouillides C, Casciato DA. 2004. Hodgkin and non-Hodgkin
lymphoma. In Manual of clinical oncology, 5th Ed. Lippincot Williams &
Wilkins : 435-56.
12. Bruce D. Cheson. 2007. Revised Response Criteria for Malignant
Lymphoma. Journal Of Clinical Oncology. Volume 25(5); 581
13. Behrman, Richard E., MD., et. al. 2000. Nelson Textbook of Pediatrics
16th ed. Pennsylvania : W. B. Saunders Company.
14. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Pedoman Tata Laksana
Kekurangan Energi Protein pada Anak di Rumah Sakit Kabupaten/Kodya,
edisi revisi. Jakarta : Departemen Kesehatan.
15. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2000. Pedoman Kekurangan Energi
Protein (KEP). Jakarta.
16. Pudjiadi, Solihin. 2003. Ilmu Gizi Klinis pada Anak, edisi keempat. Hal
95-137. Jakarta : FK UI.
17. Chen K dan Pohan H.T. 2007. Penatalaksanaan Syok Septik dalam
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K,
Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp:
187-9

28
18. Hermawan A.G. 2007. Sepsis daalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 1840-3
19. Purwadianto A dan Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi.
Jakarta: Bina Aksara. Pp: 55-6

29

Anda mungkin juga menyukai