PENDAHULUAN
Radikalisme adalah suatu paham atau aliran yang radikal dalam berpolitik;
paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan
politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990). Radikalisme sudah menjadi
momok di berbagai negara di dunia untuk beberapa dekade ini. Saat ini,
radikalisme sudah tersebar di seluruh dunia termasuk di negara Indonesia. Akhir-
akhir ini Indonesia digemparkan oleh suatu peristiwa yang mengakibatkan banyak
korban meninggal dunia. Peristiwa ini disebabkan oleh suatu kelompok yang
memiliki paham radikalisme yang ingin memaksakan paradigma mereka terhadap
keberagaman yang sudah ada di Indonesia dan dikemas dengan ajaran agama yang
menyimpang. Hal inilah yang ditakutkan oleh Bangsa ini. Paham radikalisme
sangat berbahaya bagi keselamatan bangsa ini karena dapat melahirkan terorisme
dan paham ini juga dapat menyebabkan rusaknya toleransi dalam bermasyarakat.
1
dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan
tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat
berkembang. Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat
yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan
(Hendroprioyono, 2009).
2
BAB II
ISI
Radikal berasal dari bahasa Latin yaitu radix yang artiya akar. Dalam
bahasa Inggris kata radical dapat bermakna ekstrim, menyeluruh, fanatik,
revolusioner, ultra dan fundamental (A.S.Hornby, 2000). Sedangkan radicalism
artinya doktrin atau praktik penganut paham radikal atau paham ekstrim (Nuh,
2009). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme diartikan sebagai
paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara keras atau drastis
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990). Sementara Sartono Kartodirdjo
mengartikan radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh
tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang
kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak
istimewa dan yang berkuasa (Kartodirdjo, 1985). Radikalisme adalah suatu paham
atau aliran yang menginginkan suatu perubahan dan pembaharuan ekonomi, sosial
dan politik dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang sudah ada secara
memaksa dan drastis melalui kekerasan (violence), dan aksi-aksi yang ekstrem.
Dengan demikian, radikalisme merupakan gejala umum yang bisa terjadi dalam
suatu masyarakat dengan motif beragam, baik sosial, politik, budaya maupun
agama, yang ditandai oleh tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai
wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.
Terdapat tiga faktor yang bisa kita lihat sebagai penyebab radikalisme.
Pertama, warisan sejarah umat Islam yang konfl iktual dengan rezim, karena ada
modus-modus penindasan politik Islam yang terjadi pada beberapa fragmen
sejarah, khususnya Orde Baru. Kelompok yang termarjinalkan secara historis
tersebut, dengan kesadaran sejarah, mencoba mengembalikan posisi politik Islam
dengan jalan-jalan nonnegara dan struktural. Dalam konteks global, adanya
marjinalisasi politik Islam oleh hegemoni dalam politik internasional (Amerika
Serikat) menyebabkan adanya kesadaran untuk mengembalikan daulat politik
3
Islam. Transnasionalisme membawa kesadaran tersebut ke Indonesia dalam
bentuk gerakan-gerakan politik Islam. Kedua, fenomena ekonomi-politik. Selain
adanya penindasan politik, argumen kedua dari artikel ini adalah adanya
penindasan ekonomi-politik. Dengan argumen ini, radikalisme muncul karena
ekses kapitalisme yang menciptakan mereka yang tak memiliki akses pada
sumber-sumber modal. Dalam bahasa ekonomi-politik, pendekatan ini dikenal
dengan “pendekatan kelas”. Artinya, respons radikalisme pada dasarnya adalah
respons kelas untuk melawan hegemoni kapital yang oligarkis dengan negara.
Dengan demikian, radikalisme dibaca sebagai potret kesadaran sejarah yang
berpadu dengan kesadaran kelas. Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil
yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar
karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari
(Asy’arie, 1992),bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk
melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak
sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai antitesis
terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang
dianggap sebagai 120 musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta
sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas
negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban Barat sekarang ini merupakan
ekspresi dominan dan universal umat manusia. Barat telah dengan sengaja
melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan Muslim sehingga
umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat dengan sekularismenya
sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa Timur dan
Islam sekaligus dianggap bahaya terbesar dari keberlangsungan moralitas Islam.
Hal ini bisa dilihat dari perubahanperubahan sehari-hari, seperti semakin masifnya
pola konsumsi umat beragama pada produk-produk Barat, misalnya ATM,
handphone, internet, dan produk global lainnya (Qodir, 2011)
4
sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme,
sampai terrorisme. Bahkan negara-negara Barat pascahancurnya ideologi
komunisme (pascaperang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan
peradaban yang menakutkan (Madjid, 1995).
5
2.2 PENGARUH RADIKALISME DI KEHIDUPAN MASYARAKAT
INDONESIA
6
arti penting di Indonesia. Berbagai kelompok Islam radikal ini muncul. Sebagian
adalah gerakan Islam yang berskala internasional seperti gerakan Salafi dan
Hizbut Tahrir. Sebagian yang lain 118 adalah gerakan berskala nasional seperti
Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Lasykar Mujahidin, Ikhwanul
Muslimin Indonesia. Selain itu muncul gerakan Islam radikal lokal seperti Front
Pemuda Islam Surakarta (FPIS) di Surakarta dan Front Thariqah Jihad (FTJ) di
Kebumen (Sun Choirol Ummah, 2012). Dengan adanya kelompok yang dinilai
“radikal” atau “populis”— meminjam istilah Vedi R Hadiz— yaitu gerakan-
gerakan Islam Radikal yang dituduh sebagai pelaku teror memiliki basis massa
yang dekat dengan akar-rumput. Mereka merepresentasikan kelas yang direpresi
sehingga menjadi sebuah kekuatan politik tertentu (Hadiz, 2010). Radikalisme di
Indonesia selalu berkaitan dengan ajaran agama khususnya agama Islam.
Radikalisme di Indonesia dapat berkembang luas dan cepat dikarenakan paham ini
dikemas baik dengan ajaran keagamaan.
Menurut van Bruinesen (2002), kelahiran apa yang ia sebut sebagai “Islam
radikal” dapat dilacak pada munculnya Darul Islam di beberapa kota dan partai
politik Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kerap membangun
jaringan transnasional dengan beberapa gerakan di Timur Tengah (Bruinesen,
2002). Gerakan yang dimaksud beragam, misalnya Wahabi di Arab Saudi dan
Ikhwanul Muslimin di Mesir. Di kemudian hari muncul Hizbut-Tahrir dari
Yordania. Darul Islam membangun fragmen kelompoknya dengan kekuatan
militer. Beberapa pemberontakan lahir di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar),
Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar), Jawa Barat (Kartosuwiryo), dan Aceh (Daud
Beureueh). Dengan kekuatan ini, Darul Islam melancarkan pemberontakan kepada
pemerintah RI secara terbuka, kendati kemudian dapat diberangus oleh rezim
politik ketika itu. Adapun Masyumi membawa gagasan Islam dalam kerangka
kenegaraan di parlemen dan berhasil menempati posisi kedua di Pemilu 1955.
7
Awal kemunculan Sarekat Islam tersebut diawali oleh inisiatif pedagang-
pedagang muslim untuk melindungi kepentingan dagang mereka dari ekspansi
pedagang Cina. Mereka sadar bahwa untuk mengalahkan lawan bisnis harus
dengan persatuan. Perkembangan berikutnya, Sarekat Islam pasca-Tjokroaminoto
terfragmentasi menjadi SI-Merah yang akhirnya kita kenal sebagai Partai
Komunis Indonesia. Pasca-Sarekat Islam, muncul kekuatan baru yang bernama
Partai Komunis Indonesia. Sejarah kemunculan PKI, walaupun pada awalnya
dibawa oleh orang-orang Belanda, tak terlepas dari adanya faksionalisasi di kubu
Sarekat Islam. Faksi Semaun, Alimin, dan Tan Malaka. Kubu ini lahir dari
Sarekat Islam Semarang yang notabene berada di kawasan yang penuh dengan
petani miskin. Marjinalisasi ekonomi-politik, dalam konteks ini, tidak lagi terjadi
pada pedagang muslim, tetapi terjadi pada para buruh dan petani yang dilindas
oleh borjuis lokal. Sehingga, muncul SI Merah yang bersinergi dengan paham
sosialisme melahirkan sebuah kekuatan politik baru: PKI (Ricklefs, 1991).
8
Oktober 2014 sejak 2011 diperkirakan 15,000 orang dari belahan dunia telah
bergabung ke ISIS. Di Indonesia, penyebaran ISIS cukup massif karena beberapa
tokoh radikal yang berpengaruh telah menyatakan diri bergabung ke gerakan ini
seperti ABB, Oman Abdurrahman dan Santoso. Di samping itu beberapa
kelompok radikal lama juga banyak mendeklarasikan diri mendukung gerakan
ISIS seperti Mujahidin Indonesia Timur, Jamaah Ansharut Tauhid, Jama’ah
Islamiyah, Forum Aktivis Syariat Islam, Awhid wal Jihad, Forum Pendukung
Daulah, Asybal Tauhid Indonesia, Mimbar Tauhid wal Jihad, KUIB (Bekasi) dan
masih banyak yang lain dalam bentuk nama yang berubah-rubah. Dari gerakan ini
banyak ditemukan para pejuang asing yang telah bergabung ke ISIS. Bahkan
untuk pejuang dari Indonesia pada Oktober 2014, dibentuk IS Melayu “Katibah
Liddaulah” di suriah oleh Bachrumsyah & Abu Jandal yg menampung warga
Indonesia dan Malaysia yang diperkirakan jumlah 100 orang. Selain
menggunakan penyebaran langsung, ISIS di merupakan gerakan yang sangat
pandai memanfaatkan media internet sebagai media propaganda. ISIS merupakan
salah satu gerakan teroris yang mampu memanfaatkan media sosial sebagai media
propaganda sekaligus rekuritmen keanggotaan. Untuk konteks di Indonesia
hingga Maret 2015 kicauan tentang ISIS dari Indonesia berkontribusi 20% dari
total tweet dunia (112.075 /dunia 21.722 /Indonesia). Video pertama muncul pada
31 Juli di Youtube mengajak warga Indonesia bergabung dengan ISIS.
Propaganda dilanjutkan dengan video lain yang berisi ancama ISIS terhadap TNI
Jend Muldoko, Kapolri, Baser dan seluruh bangsa Indonesai, akan membantai
orang 5 orang yang tidak sepaham dengan mereka dan masih ada contoh-contoh
lain pola propaganda ISIS di Indonesia.Warga Indonesia ini beberapa saat lalu
pergi ke Suriah atau Irak untuk bergabung dengan ISIS ( Islamic State of Iraq and
Syria). Masing-masing dari mereka kembali ke Indonesia melalui proses
deradikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, termasuk
memantau proses deradikalisasi setiap individu saat dilepas ke
masyarakat. Beberapa serangan terorisme, seperti serangan Thamrin, dikendalikan
oleh orang-orang yang kembali atau ekstremis lokal yang bersumpah untuk NIIS.
Pada 8 hingga 10 Mei 2018, sebuah peristiwa kerusuhan terjadi di Markas Korps
Brigade Mobil di Depok, Jawa Barat, dan menyebabkan 5 polisi gugur dalam
9
bertugas. Saat itu, sebanyak 155 narapidana terorisme menyandera polisi yang
bertugas pada sel khusus teroris. Setelah peristiwa tersebut, polisi menembak mati
empat orang yang diduga teroris yang diduga kabur "untuk membantu para
tahanan kerusuhan". NIIS mengaku bertanggung jawab akibat kejadian tersebut.
Kejadian pengeboman ini tersebar diberbagai wilayah di Indonesia yaitu, Gereja
Khatolik Tak Bercela, GKI Diponegoro, GPPS Jemaat Sawahan, Rusunawa
Wonocolo, Polrestabes Surabaya. Peristiwa ini pun mendapatkan reaksi dan
dampak tidak langsung yaitu,
10
Menurut Jenderal Tito Karnivian motif dibalik serangan di Indonesia akhir-akhir
ini yaitu:
Pertama, ISIS ditekan oleh kekuatan-kekuatan besar, mulai dari Irak dan beberapa
kota yang berhasil direbut. Sehingga, ada instruksi dari Baqdadi untuk melakukan
serangan dunia, supaya mengalihkan perhatian."Termasuk di Indonesia ada
kelompok JAT yang berubah JAD. Mereka juga aktif untuk melakukan serangan,
ditambah dengan yang kembali dari Suriah, ini seperti fenomena saudara pelaku
pengeboman. Ini ideologi mereka adalah ideologi baru kembali dari Turki," jelas
Tito.
Kedua, terang Tito, para pelaku pengeboman marah karena para pimpinannya
ditangkap. Mulai dari Aman Abdurrahman, Abu Bakar Baasyir, dan juga Iwan
Rois. Mulailah terjadi reaksi dari jaringan-jaringan struktur tersebut, dan mulai
ada kemarahan.
Aman Abdurrahman saat ini berada di rutan Mako Brimob. Setelah Aman
ditangkap, kepemimpinannya dipindahkan kepada Ketua JAD Jawa Timur yang
bernama Zainal Anshorin. Namun, Zainal kemudian ditangkap oleh Polri terkait
dugaan penyelundupan senjata oleh seorang pelaku bernama Suryadi Mas'ud.
Kemudian, tim Polri mulai melakukan monitoring. Salah satunya kelompok yang
dipimpin oleh Dita Upriyanto, pelaku utama bom tiga gereja di Surabaya beberapa
waktu lalu.
"Tapi hampir 4 bulan tim kita masuk ke sana secara tertutup dengan berbagai
teknik, melihat si dita tidak ada perubahaan signifikan. Sehingga tim ini
menganggap ini clear, dan dialihkan ke tim lain. Kepada sel lain yang dianggap
lebih aktif dari tim ini," jelas Tito.
11
Oleh karena itu, paham radikalisme harus diberantas sejak dini sebelum nasi
menjadi bubur. Paham radikalisme melahirkan suatu aksi yang lebih parah yaitu
terorisme. Aksi terorisme memiliki banyak dampak yang sangat buruk di segala
aspek sehingga dapat memperlambat perkembangan negara Indonesia dan
memperburuk kacamata dunia terhadap Indonesia.
12
2.3 UPAYA PENANGGULANGAN DAN PENCEGAHAN TERHADAP
RADIKALISME
Deradikalisasi bukanlah hal baru bagi Indonesia. Dalam konteks gerakan Islam
radikal, deradikalisasi terhadap eks NII, Komando Jihad, Mujahidin Kanyamaya,
Laskar Jihad, dan lain-lain, merupakan contoh dan pembelajaran bagi kinerja
deradikalisasi yang saat ini gencar dilakukan. Deredekalisme merupakan upaya
mendeteksi secara dini, menangkal sejak awal, dan menyasar berbagai lapisan
potensial dengan beragam bentuk dan varian yang relevan bagi masing-masing
kelompok yang menjadi sasaran. Tujuan utama dari deradikalisasi, bukan hanya
mengikis radikalisme, memberantas potensi terorisme tapi yang utama adalah
mengokohkan keyakinan masyarakat bahwa terorisme memberikan dampak yang
buruk bagi stabilitas nasional bahkan dapat memberikan citra Negara yang buruk
bagi dunia Internasional.
13
Keuangan, aparat penegak hukum, dan kerja sama internasional untuk mendeteksi
adanya suatu aliran dana yang digunakan atau diduga digunakan untuk pendanaan
kegiatan terorisme. Dengan adanya upaya tersebut, maka meminimalisir celah-
celah terorisme.
14
BAB III
KONKLUSI
3.1 KESIMPULAN
15
Terorisme dan paham radikalisme mengakibatkan instabilitas dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Gerakan terorisme yang berkembang di
berbagai Negara dan termasuk di Indonesia yang mengakibatkan kerusakan yang
bersifat sistematis. Oleh karena itu, peran serta yang bersifat sinergis diantara
seluruh elemen diperlukan, baik itu pemerintah sebagai organ yang memiliki
kewenangan untuk pemberatasan terorisme melalui amanat konstitusi/UUD NRI
1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Peran
pemerintah melalui BNPT (Pemerintah mengeluarkan Perpres No. 46 Tahun 2010
tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang
pada tahun 2012 diubah dengan Perpres No. 12 Tahun 2012. Pembentukan
BNPT) dan peran masyarakat diperlukan secara aktif dalam menekan terjadi
faham radikalisme yang berujung kepada tindakan terorisme serta lembaga
pendidikan yang harus berperan aktif melalui pembangunan karakter secara aktif
sesuai UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
16
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
A.S.Hornby. (2000). Dalam Dictionary of Current English (hal. 691). UK: Oxford University
Press.
Asy’arie, M. (1992). Dalam Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta:
LESFI.
Black, H. C. (1891). Black's Law Dictionary. St. Paul: West Publishing.
Bruinesen, M. V. (2002). Genealogies of Islamic Radicalism in PostSoeharto. Dalam South East
Asia Research (Vol. 10, hal. 117-154).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1990). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (hal.
354). Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Hadiz, V. R. (2010). Political Islam in PostAuthoritarian (Vol. 2). CRISE.
Hendroprioyono, A. (2009). Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi dan Islam. Jakarta: Buku
Kompas.
Kartodirdjo, S. (1985). Dalam Ratu Adil (hal. 38). Jakarta: Sinar Harapan.
Madjid, N. (1995). Dalam Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.
Muladi. (2002, Desember). Hakikat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam
Kriminalisasi. Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no II, 1.
Nuh, N. M. (2009, Juli-September). Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham/ Gerakan Islam
Radikal di Indonesia. HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius Vol VIII, 36.
Qodir, Z. (2011). Dalam Sosiologi Agama: Esai-esai Agama di Ruang Publik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ricklefs, M. C. (1991). Dalam Sejarah Indonesia Modern (D. Hardjowidjono, Penerj.).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Riddel, P. G. (2002). The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto. Dalam Islam and
Christian-Muslim Relations (Vol. 13, hal. 1).
Sun Choirol Ummah, M. (2012, September Kamis). HUMANIKA. Dipetik Agustus 23, 2018, dari
HUMANIKA: https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3657/3130
Putri, T.H. (2018, Mei). "Awal Mula Gerakan Terorisme Indonesia hingga Rentetan Bom
Mei 2018". Dipetik Agustus 23, 2018, dari IDN Times:
https://www.idntimes.com/news/indonesia/teatrika/awal-mula-gerakan-terorisme-indonesia-
hingga-rentetan-bom-mei/full
17
18