Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN
Penggunaan obat pada lanjut usia merupakan masalah tersendiri yang perlu mendapat
perhatian khusus dari bidang profesi kedokteran, apalagi dengan semakin bertambahnya
jumlah populasi lanjut usia.
Karena terjadinya proses menua tidak selalu sama pada setiap orang, penggunaan obat
yang efektif dan aman adalah suatu masalah individualisasi terapi. Menua fisiologis tidak
selalu berjalan pararel dengan menua kronologis, namun terlepas dari adanya penyakit
penyerta yang sering berpengaruh besar, proses menua fisiologislah yang menentukan nasib
dan kerja dari suatu obat.
Hal-hal berikut ini menggambarkan keadaan-keadaan yang dihadapi dalam hubungan
farmakoterapi pada lanjut usia:
 Penyakit pada lanjut usia cenderung terjadi pada banyak organ dan bersifat kronik
sehingga pemberian obat juga cenderung bersifat polifarmasi, belum lagi kalau diingat
kecenderungan mengunjungi banyak dokter, sehingga polifarmasi lebih sering terjadi.
 Polifarmasi menyangkut biaya yang besar untuk pembelian obat. Juga lebih banyak terjadi
interaksi obat, efek samping obat dan reaksi samping yang merugikan.
 Proses menua yang fisiologis menyebabkan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat, juga penurunan fungsi dari berbagai organ, sehingga tingkat
keamanan obat dan efektifitas obat berubah dibanding usia muda.
 Keadaan gizi dan kepatuhan berobat yang kurang mendapat perhatian pada lanjut usia.
Oleh karena itulah, seorang dokter diharapkan memahami perubahan-perubahan fisiologi
dan farmakologi yang terjadi sejalan dengan proses menua sehingga bisa memberikan
pengobatan yang lebih rasional, individualistik dan cermat mengevaluasi respons-respons
terapi yang terjadi.
Beberapa Istilah Pokok
Farmakologi klinik ialah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia
dengan tujuan mendapatkan dasar ilmiah untuk penggunaan suatu obat.
Farmakoterapi ialah cabang ilmu farmakologi yang berhubungan dengan penggunaan
obat dalam pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Baik dalam farmakologi klinik
maupun farmakoterapi dipelajari aspek farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat.
Farmakokinetik mempelajari nasib obat di dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme (biotransformasi) dan ekskresinya.
Farmakodinamik mempelajari efek obat, baik efek terapeutik maupun efek non-
terapeutik (efek samping / side effect / adverse drug reaction), terhadap fisiologi dan
biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya.
II. FARMAKOKLINIK DAN LANJUT USIA
Setiap memberikan obat kepada penderita lanjut usia, diharapkan timbulnya respons
yang tentunya merupakan suatu respons terapeutik yang menguntungkan. Namun untuk
mencapai efek terapeutik ini, ada banyak hal yang berpengaruh. Secara ringkas, berbagai
faktor yang dapat mempengaruhi respons penderita lanjut usia terhadap obat dapat dilihat
pada gambar berikut:
Jumlah obat, dosis dan aturan pakai
 kepatuhan penderita
 ketepatan medikasi
Dosis yang diminum

Faktor-faktor farmakokinetik
 absorpsi
 distribusi
 metabolisme (biotransformasi) - kondisi fisiologis
 ekskresi - kondisi patologik

- interaksi obat
Kadar obat di jaringan - gizi dan diet
tempat kerja obat - faktor genetik
Faktor-faktor farmakodinamik - toleransi
 sensitivitas reseptor
 mekanisme homeostatik

Intensitas efek farmakologik = Respons penderita


(termasuk efek terapeutik dan non-terapeutik)

Faktor-faktor farmakokinetik menentukan dari jumlah obat yang diminum berapa yang
dapat mencapai jaringan tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor
farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologi yang ditimbulkan oleh kadar obat
di reseptor. Sedangkan faktor-faktor lain yang turut berpengaruh mencakup kondisi
fisiologis dan patologis, interaksi obat, keadaan gizi dan diet, serta kepatuhan penderita.
Semua faktor-faktor ini akan dibahas lebih terperinci sebagai berikut:
1. Perubahan Fisiologis
Kapasitas fungsional kebanyakan sistem organ menunjukkan penurunan yang
dimulai sejak dewasa dan berlangsung seumur hidup. Seperti tampak pada gambar di
bawah ini, tidak terdapat “middle age plateau” (plateau usia pertengahan), namun
perubahan fisiologis merupakan penurunan linear yang sudah dimulai pada usia tidak
lebih dari 45 tahun. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada semua orang. Kurang lebih 1/3
orang mengalami penurunan fungsi yang tidak berhubungan dengan usia, misalnya
penurunan klirens kreatinin.

Perubahan fisiologis dalam komposisi tubuh mencakup:


o Penurunan berat badan total termasuk lean body mass, akibat penurunan jumlah
cairan intraselular (body water). Keadaan ini berakibat menurunnya distribusi obat
yang sebagian besar terikat pada air, misalnya litium.
o Penurunan massa otot menyebabkan distribusi obat yang sebagian besar terikat pada
otot akan menurun, misalnya digoksin.
o Peningkatan kadar lemak tubuh mengakibatkan peningkatan kadar obat yang larut
dalam lemak , misalnya diazepam.
o Penurunan kadar albumin terutama pada lanjut usia yang sakit, menyebabkan
penurunan ikatan obat dengan protein, misalnya salisilat, tiroksin, warfarin.

Distribusi obat dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh keadaaan komposisi tubuh.
Perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi respons tubuh terhadap obat, dengan kata
lain mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Secara ringkas perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik dapat dilihat pada gambar berikut:
Tabel 1. Perubahan yang Berkaitan dengan Menua yang Mempengaruhi Farmakokinetik Obat.
Variabel Dewasa Muda Usia Lanjut
(20 – 30 tahun) (60 – 80 tahun)
Air tubuh (% dari berat badan) 61 53
Lean body mass (% dari berat badan) 19 12
Lemak tubuh (% dari berat badan) 26 – 33 (wanita) 38 – 45
18 – 20 (pria) 36 – 38
Albumin serum (g/dL) 4,7 3,8
Berat ginjal (% dari dewasa muda) 100 80
Aliran darah hepar (% dari dewasa muda) 100 55 – 60
a. Farmakokinetik
Dari keempat faktor farmakokinetik pada lanjut usia, yang terpenting adalah faktor ekskresi
oleh ginjal.
 Absorbsi
Absorbsi menentukan bioavailabilitas atau availabilitas sistemik (F). Bila obat
diberikan secara intravena maka F=1, bila diberikan secara oral maka F biasanya kurang
dari 1. Penyerapan obat per oral terjadi terutama di lambung dan usus halus. Kecepatan dan
tingkat absorbsi obat dari lambung dan usus praktis secara keseluruhan tidak mengalami
perubahan yang berarti, kecuali pada beberapa obat seperti Fenitoin, Barbiturat, dan
Prazosin. Perubahan ini tidak bermakna secara klinis, terutama selama pengobatan jangka
panjang. Kadang malah dapat terjadi keadaan sebaliknya yaitu meningkatnya
bioavailabilitas Levodopa dan Propanolol akibat menurunnya inaktivasi di saluran cerna.
Peningkatan pH lambung mempengaruhi proses ionisasi dan daya kelarutan beberara jenis
obat. Penurunan aliran darah usus mengurangi kecepatan absorbsi aktif obat-obat seperti
Fe, Ca, Tiamin, Levodopa dan obat-obat antineoplastik. Penurunan motilitas tidak
memberikan banyak pengaruh. Absorpsi melalui otot dengan pemberian obat
intramuskular cenderung sedikit melambat dikarenakan turunnya aliran darah pada otot,
seperti pada obat Lidokain dan Klordiazepoksid.
 Distribusi
Parameter distribusi disebut volume distribusi (Vd) yang menunjukkan volume
penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Besarnya Vd ditentukan
oleh ukuran dan komposisi tubuh, fungsi kardiovaskular, kemampuan obat memasuki
kompartemen tubuh dan derajat ikatan protein plasma. Obat yang tertimbun dalam jaringan
sehingga kadar plasma rendah memiliki Vd yang besar, seperti digoksin. Sebaliknya, obat
yang terikat kuat pada protein plasma mempunyai Vd yang kecil seperti warfarin. Vd dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Vd = X X = jumlah obat dalam tubuh
C C = kadar obat dalam plasma
Hal terpenting dalam distribusi obat berhubungan dengan penyebaran obat dalam
cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, atau pada
beberapa obat lain α1 glikoprotein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh, termasuk
dengan organ target. Pada lanjut usia, terdapat penurunan massa tubuh tanpa lemak (lean
body mass) dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh, penurunan albumin plasma.
Volume distribusi obat yang larut air seperti Furosemid dan Paracetamol mungkin
menurun pada lanjut usia dengan akibat meningkatnya konsentrasi dalam darah dan
jaringan. Contoh obat-obat lain yang dapat mengalami hal yang sama ialah antibiotika
Aminoglikosida dan Digoxin. Sedangkan untuk obat yang larut lemak (lipofilik) seperti
Lidokain, Amitriptilin, dan Diazepam distribusi terjadi lebih luas dan mempunyai waktu
paruh yang lebih panjang. Penurunan albumin plasma sedikit saja pada lanjut usia yang
sehat dapat menjadi lebih berarti bila terjadi pada lanjut usia yang sakit, bergizi buruk atau
sangat lemah. Selain itu, juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan
aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi dengan
eliminasi yang lebih cepat. Kadar obat-obat terutama dari jenis asam lemah yang
meningkat karena penurunan albumin plasma misalnya Fenitoin, Digitoxin, Warfarin,
Klorpropamid, Klofibrat dan Furosemid.
Perubahan fisiologis yang terjadi seiring dengan proses menua memang tidak banyak
berpengaruh pada distribusi obat, tetapi untuk obat-obat yang disebutkan di atas,
hendaknya faktor distribusi obat menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan dalam
farmakoterapi lanjut usia.
 Metabolisme
Kapasitas fungsi hepar sebagai tempat metabolisme utama obat-obatan pada lanjut usia
menurun banyak oleh karena faktor-faktor penurunan aktivitas intrinsik enzim mikrosomal
hati, berkurangnya massa hepar dan penurunan aliran darah hepar. Aktivitas enzim-
enzimnya dapat dirangsang (induced) misalnya rifampisin, luminal dan diazepam, maupun
dihambat (inhibited) misalnya oleh Simetidin, Eritromisin, Allopurinol, Kalsium antagonis
dan Siprofloksasin. Obat-obat yang mengalami metabolisme di hepar misalnya
Parasetamol, Salisilat, Diazepam, Prokain, Propanolol, dan Warfarin, eliminasinya akan
menurun sejalan dengan kemunduran kapasitas fungsional hepar. Penurunan massa hati
konstan sesuai dengan berat badan (massa hepar 2,5% dari berat badan total). Mulai usia
pertengahan, massa hati mengalami penurunan sebesar 0,2% per tahun. Aliran darah hati
juga berkurang 0,3-1,5% pertahun. Hal ini menyebabkan kecepatan metabolisme hati
menjadi bekurang, sehingga waktu paruh eliminasi obat dalam plasma juga meningkat.
Obat-obat yang terpengaruh adalah: Propranolol, Imipramin, Desipramin, Amitriptilin,
Nortriptilin.
 Ekskresi
Perubahan fisiologis yang mempengaruhi farmakokinetik obat meliputi penurunan
massa ginjal, penurunan aliran darah ginjal (laju filtrasi glomerulus menurun 30% pada
usia 65 tahun dan tinggal ± 35% pada usia 90 tahun), penurunan fungsi sekretorik.
Pemberian dosis obat pada pasien lanjut usia memerlukan acuan nilai bersihan/klirens
kreatinin (creatinine clearance). Nilai ini bisa diperoleh dengan rumus Cockroft-Gault,
yaitu:
Kl kreatinin = (140-umur <thn>) x berat badan <kg>
72 x kreatinin serum <mg/dl>
Untuk wanita, nilai ini dikalikan lagi dengan 0,85.

Selain dengan rumus Cockroft-Gault, perkiraan klirens kreatinin bisa didapatkan


dengan normogram Sierbaek-Nielsen. Selanjutnya, hasil bersihan kreatinin ini dimasukkan
ke dalam formula Giusti Hayton. Formula ini sebenarnya dipakai pada pasien gagal ginjal,
namun karena pada pasien lanjut usia juga terjadi penurunan fungsi ginjal maka formula ini
dapat dipakai.
G = ( 1-fR ) x (1- Kl kreatinin pasien )
Kl kreatinin normal
G = Faktor penyesuaian dosis.
fR = fraksi obat yang diekskresi utuh oleh urin dari dosis yang bioavailabel

Dosis yang ingin diberikan bisa dihitung dengan cara:


 Dosis per kali pemberian tetap, interval diperpanjang
T = TN x 1/G
 Dosis per kali pemberian diperkecil, interval tetap
D = DN x G
 Cara gabungan kedua cara diatas, yaitu dosis per kali pemberian diperkecil dan interval
diperpanjang, asalkan dosis per satuan waktu sama dengan nilai tersebut pada ginjal
normal dikali dengan G.
Perhitungan ini bisa membantu dalam memperkirakan dosis, namun pemeriksaan
kadar obat plasma beberapa obat yang relatif toksik perlu dilakukan seperti digoksin dan
antibiotik aminoglikosida. Selain itu, harus diingat bahwa perhitungan tersebut hanya
didasarkan atas penurunan fungsi ginjal penderita yang bersangkutan (berlaku untuk obat-
obat yang ekskresinya melalui filtrasi glomerulus maupun yang melalui sekresi tubulus)
dan belum memperhitungkan berbagai perubahan lainnya yang terjadi pada lanjut usia.
Oleh karena itu, perhitungan ini hanya berguna sebagai perkiraan awal yang harus diikuti
penyesuaian lebih lanjut sesuai respons klinik penderita dan/atau kadar plasma obatnya.
Fungsi ginjal adalah suatu kerja yang dinamis, sehingga dosis rumatan perlu diubah
sesuai kondisi patologis yang terjadi pada pasien. Pasien lanjut usia mudah mengalami
kerusakan ginjal akibat dehidrasi, gagal jantung kongestif, hipotensi, retensi urin, dan
nefropati diabetikum.
Beberapa obat yang terutama mengalami ekskresi utama di ginjal adalah simetidin,
penisilin, litium, obat anti diabetik oral, pankuronium dan tetrasiklin.
Paru-paru penting dalam ekskresi obat berupa gas. Sebagai akibat berkurangnya
kapasitas respiratori dan peningkatan penyakit paru aktif pada lanjut usia, pemakaian
anestesi inhalasi menjadi pertimbangan tersendiri dan bisa diganti dengan anestesi
parenteral.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu dan rambut tetapi
dalam jumlah kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.

Tabel 2. Hal-hal yang Mempengaruhi Farmakokinetik Obat pada Lanjut Usia


Parameter Perubahan fisiologis Kondisi/penyakit
farmakokinetik yang berhubungan dengan terkait
penuaan
Absorpsi Peningkatan pH lambung Akloridia
Penurunan permukaan Diare
absorbsi Gastrektomi
Penurunan aliran darah Sindrom
spanknik malabsorpsi
Penurunan motilitas Pankreatitis
saluran cerna

Distribusi Penurunan output jantung Gagal jantung


Penurunan jumlah air kongestif
tubuh Dehidrasi
Penurunan lean mass body Edem atau asites
Penurunan albumin serum Gagal hati
Malnutrisi
Gagal ginjal
Metabolisme Peningkatan -1 Gagal jantung
glikoprotein kongestif
Peningkatan lemak tubuh Demam
Penurunan massa hati Insufisiensi hepar
Penurunan aktivitas enzim Keganasan
Malnutrisi
Penyakit tiroid
Infeksi virus atau
imunisasi

Ekskresi Penurunan aliran darah Hipovolemia


hati Insufisiensi ginjal
Penurunan aliran darah
ginjal
Penurunan laju filtrasi
glomerulus
Penurunan sekresi tubulus

b. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Perubahan-perubahan dari
aspek farmakodinamik lanjut usia meliputi penurunan maupun peningkatan sensitivitas
obat dengan reseptor (interaksi obat-reseptor), penurunan jumlah reseptor, kejadian pasca
penangkapan oleh reseptor, serta perubahan mekanisme homeostatis.
Obat menimbulkan serentetan reaksi biokimiawi dari reseptor sampai efektor. Di
dalam sel terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respons selular. Respons ini pada
lanjut usia secara keseluruhan menurun. Penurunan ini tidak dapat diprediksi dengan
ukuran-ukuran matematis seperti yang terjadi pada farmakokinetik.
Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimiawi selular
intensitas pengaruhnya akan menurun, misalnya agonis β untuk terapi asma bronkial
diperlukan dosis yang lebih besar, padahal dengan dosis yang besar, efek samping akan
lebih besar pula. Sebaliknya obat-obat yang cara kerjanya menghambat proses
biokimiawi selular, pengaruhnya akan menjadi lebih nyata sekali terlebih-lebih dengan
mekanisme regulasi homeostasis yang melemah, efek farmakologi obat dapat sangat
menonjol sehingga toksik, misalnya obat-obat antagonis β dan antikolinergik.
Secara umum, didapatkan peningkatan kepekaan sistem saraf pusat usia lanjut
terhadap psikotropika seperti Morfin, Benzodiazepin, sebagian besar antipsikotik dan
analgesik. Sebaliknya didapatkan penurunan efek obat kardiovaskular terutama
Propanolol karena penurunan sensitivitas reseptor yang terjadi.
Berkurangnya efisiensi mekanisme homeostatik merupakan bagian dari proses
menua dengan akibat berkurangnya kemampuan lanjut usia menetralkan berbagai efek
obat sehingga lebih rentan terhadap efek sampingnya. Akibat mundurnya fungsi
baroreseptor, hipotensi postural akibat obat sering terjadi, seperti pada penggunaan
diuretika tiazid. Kemampuan termoregulasi juga berkurang nyata dan hipotermia akibat
obat yang disebabkan oleh efek farmakologi langsung atau tak langsung melalui
berkurangnya mobilitas, adalah masalah utama pada usia lanjut. Fenotiazin menimbulkan
kesukaran yang nyata dalam hal ini. Jatuh pada lanjut usia juga dapat disebabkan oleh
efek obat pada mekanisme pengendalian sikap tubuh, misalnya kejadian aritmia oleh
obat.
Pemeliharaan fungsi intelektual yang normal, pengaturan kadar gula darah dan
pengendalian saraf atas fungsi berkemih dan buang air besar juga menjadi kurang efisien.
Akibatnya, meningkatlah kepekaan terhadap efek farmakologi atau efek samping obat.

2. Kondisi Patologis
Penderita lanjut usia biasanya menderita beberapa penyakit sekaligus. Penyakit-
penyakit ini biasanya bersifat kronis seperti gagal jantung/gagal ginjal, hipertensi,
aterosklerosis, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, diabetes, artritis,
osteoporosis, katarak demensia dan sebagainya. Selain itu, masih ada lagi komplikasi dari
berbagai penyakit yang diderita. Dari uraian ini, dapat dilihat bahwa lanjut usia
memerlukan obat-obat yang di antaranya memiliki batas keamanan yang sempit seperti
digitalis, anti-aritmia, antidiabetik oral, antipsikotik dan lain-lain. Hendaknya diingat
bahwa kadang terjadi perubahan respons terhadap penyakit sehingga memungkinkan
diagnosa dan pengobatan yang keliru dengan segala akibatnya. Salah satu contoh adalah
keluhan-keluhan psikis yang sering muncul sebagai gejala penyakit somatis.
Diantara penyakit-penyakit yang sering diderita lanjut usia, yang dapat
mempengaruhi respons terhadap obat adalah:
- Penyakit yang menurunkan aliran darah ke organ, diantaranya adalah gagal jantung
kongestif (cardiac heart failure/CHF). Pada pasien CHF terjadi pengurangan luasnya
distribusi obat seperti lidokain, digoksin dan teofilin sehingga dosis awal obat-obat
tersebut harus dikurangi paling sedikit 1/3nya. Berkurangnya aliran darah pada hepar
akan mengurangi metabolisme obat-obat seperti Propanolol, Lidokain dan Morfin. Pada
ginjal, berkurangnya aliran darah akan mengurangi ekskresi obat-obat dengan klirens
tinggi di ginjal, terutama obat yang tidak hanya difiltrasi oleh glomerulus tetapi juga
disekresi aktif oleh tubulus ginjal, seperti Penisilin dan Neostigmin.
- Penyakit hati, dibedakan antara penyakit hepar yang kronik seperti sirosis hepatis dan
yang akut seperti hepatitis viral akut. Pada penyakit hati kronik terjadi penurunan aliran
darah hepar, penurunan produksi albumin dan penurunan aktivitas intrinsik enzim-
enzim metabolisme sehingga pengurangan dosis obat-obat tertentu yang dimetabolisme
maupun terikat albumin perlu dikurangi seperti Fenitoin dan Warfarin. Berapa besar
dosis yang dikurangi diperkirakan dari respons klinik atau monitoring kadar plasma
obat. Pada penyakit hepar akut, aliran darah dapat meningkat dengan aktivitas enzim
yang bisa meningkat atau menurun, kadar albumin plasma tetap atau menurun dengan
kadar bilirubin meningkat. Oleh karena itu, klirens obat-obat dapat meningkat,
menurun atau tetap.
- Gagal ginjal, jelas mengurangi klirens obat-obat yang bentuk utuhnya atau metabolit
aktifnya diekskresi oleh ginjal sehingga dosis obat perlu diturunkan, terutama obat
dengan batas keamanan yang sempit. Besarnya penurunan dosis dapat diperkirakan dari
mengukur atau menghitung klirens kreatinin.

Tabel 3. Perubahan Respons Terhadap Obat pada Lanjut Usia


OBAT RESPONS MEKANISME UTAMA
* Digoksin Intoksikasi Berat badan ↓, filtrasi
glomerulus ↓, adanya
gannguan elektrolit, dan
penyakit kardiovaskular
yang lanjut

* Antihipertensi Sinkope akibat hipotensi Mekanisme homeostatik


(terutama postural, insufisiensi kerdiovaskular ↓
penghambat saraf koroner
adrenergik)
* Diuretik tiazid, Hipotensi, hipokalemia, Berat badan ↓, fungsi
furosemid hipovolemia, hiperglikemia, ginjal ↓, dan mekanisme
hiperurikemia homeostatik
kardiovaskular ↓
* Antikoagulan Perdarahan Respons hemostatik
vaskular ↓
* Antikoagulan Perdarahan Respons hemostatik
oral vaskular ↓, sensitivitas
reseptor di hati ↑, dan
ikatan protein plasma ↓
* Barbiturat Bervariasi dari gelisah Sensitivitas otak ↑,
sampai psikosis (terutama metabolisme hepar ↓
kebingungan mental)
* Diazepam, Depresi SSP ↑ Sensitivitas otak ↑,
nitrazepam, metabolisme hepar ↓
flurazepam
* Fenotiazin (mis. Hipotensi postural, Sensitivitas otak ↑,
klorpromazin) hipotermia, reaksi koreiform metabolisme hepar ↓
* Triheksifenidil Kebingungan mental, Sensitivitas otak ↑,
halusinasi, konstipasi, eliminasi ↓
retensi urin
* Streptomisin, Ototoksisitas Fungsi ginjal ↓
asam etakrinat
* Isoniazid Hepatotoksisitas Metabolisme hepar ↓
* Klorpropamid Hipoglikemia Berat badan ↓, filtrasi
glomerulus ↓

3. Interaksi Obat
Interaksi obat dari segi efek yang ditimbulkan bisa bersifat menguntungkan seperti
kombinasi obat antihipertensi dan kombinasi antituberkulosis, atau merugikan seperti
interaksi warfarin dengan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS). Efek yang
menguntungkan mencakup peningkatan efektifitas obat, efek samping yang berkurang,
mencegah resistensi antagonisme efek toksik oleh antidotnya. Sedangkan pada efek yang
merugikan mencakup penurunan efektifitas obat yang berinteraksi (misalnya antagonisme)
dengan akibat efek terapi tidak tercapai, peningkatan efek samping dan/atau toksisitas.

Mekanisme interaksi obat secara garis besar dibagi 3


yakni interaksi farmaseutik atau inkompatibilitas, interaksi
farmakokinetik, dan interaksi farmakodinamik
Interaksi farmaseutik / inkompatibilitas terjadi di luar
tubuh sebelum obat diberikan antara obat yang tidak dapat
dicampur (inkompatibel). Pada pencampuran ini terjadi
interaksisecara kimiawi dan fisik, yang hasilnya dapat dilihat
seperti endapan dan perubahan warna. Contohnya pemberian
infus
amfoterisin B yang mengendap dalam larutan garam fisiologis atau Ringer laktat.
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorbsi,
distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua
meningkat atau menurun dengan akibat meningkatnya toksisitas atau penurunan
efektivitas. Contohnya adalah antasid yang mengurangi absorpsi Fe (tingkat absorpsi),
asam mefenamat yang menggeser ikatan protein warfarin sehingga efek/toksisitas
warfarin meningkat (tingkat distribusi), fenitoin menginduksi enzim metabolisme
kortikosteroid (tingkat metabolisme), furosemid menghambat sekresi gentamisin dalam
tubuli ginjal (tingkat sekresi).
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem
reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif,
sinergistik atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik ini mempunyai arti yang penting
dalam klinis. Contoh interaksi pada reseptor ialah reseptor kolinergik dengan asetilkolin
(agonis) dan atropin (antagonis), interaksi fisiologik seperti antihipertensi dengan
diuretik, interaksi digitalis dan diuretik sehingga terjadi hipokalemia sehingga toksisitas
digitalis meningkat.

Anda mungkin juga menyukai