Refarat Peritonitis Tilah

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa
terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh
infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang
biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi
post operasi, iritasi kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan
normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-
kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang
menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-
faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa
terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh
infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang
biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular
dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori
sebagai primary peritonitis (Fauci et al, 2008).

2.2. Anatomi
Peritoneum merupakan membran serosa tipis yang melapisi dinding kapiti
abdomen dan kapiti pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis. Peritoneum
dapat dianggap sebagai sebuah “balon” yang kedalamnya organ-organ didorong
ke dalam dari luar. Peritonium terdiri atas peritoneum parietal dan peritoneum
visceral. Peritoneum parietal melapisi dinding kapitas abdomen dan kapitas
pelvis, sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-organ. Rongga potensial
di antara peritoneum parietal dan visceral yang berfungsi sebagai bagian dalam
dari balon dinamakan kavitas peritonealis. Pada laki-laki kavitas peritonealis
merupakan ruang tertutup, tetapi pada perempuan terdapat hubungan dengan
dunia luar melalui tuba uterine, uterus, dan vagina (Snell, 2006) .
Rongga peritoneum dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu peritonealis
yang merupakan ruang utama kavitas peritonealis yang terletak dari diaphragma
ke bawah sampai pelvis dan bursa omentalis yang berukuran lebih kecil dan
terletak di belakang lambung. Kavitas peritonealis dan bursa omentum ini
berhubungan bebas satu dengan yang lainnya melalui sebuah jendela oval yang
dinamakan foramen omentale atau foramen epiploicum. Sekret peritoneum

2
berbentuk cairan serosa dalam jumlah kecil yang membasasi permukaan
peritoneum dan memungkinkan pergerakan diantara visera (Snell, 2006) .
Istilah intraperitoneal dan retroperitoneal dipergunakan utuk melukiskan
hubungan berbagai organ dengan peritoneum yang meliputinya. Sebuah organ
dikatakan intraperitoneal kalau hampir seluruh organ tersebut diliputi oleh
peritoneum visceral. Gaster, jejunum, ileum, dan lien merupakan contoh organ-
organ intraperitoneal. Organ-organ retroperitoneal terletak dibelakang peritoneum
dan hanya sebagian diliputi oleh peritoneum visceral. Prankreas, colon asendens,
dan colon desendent merupakan contoh organ retroperitoneal (Snell, 2006) .

Gambar 2.1. Penempangan tranversal abdomen memperlihatkan susunan


peritoneum

3
Peritoneum parietal peka terhadap rasa nyeri, suhu, raba, dan tekan.
Peritoneum parietal dipersyarafi oleh enam nervi thoracici bagian bawah dan
nervus lumbalis l yaitu syaraf yang meyarafi kulit dan otot-otot yang ada
diatasnya. Bagian sentra peritoneum diaphragmatika dipersarafi oleh nervus
phrenicus. Sedangkan di perifer, peritoneum diaphragmatika dipersarafi oleh
enam nervi thoracici bagian bawah. Peritoneum parietal didalam pelvis
terutama dipersararafi oleh nervus obturatorius, sebuah cabang plexus lumbalis
(Snell, 2006) .
Peritoneum visceral hanya peka terhadap regangan atau robekan, dan tidak
peka terhadap rasa raba, tekan, dan suhu. Peritoneum visceral dipersarafi oleh
saraf aferen otonom yang mensarafi visceral atau yang berjalan melalui
mesenterium. Peregangan yang berlebihan dari organ berongga menimbulkan rasa
nyeri (Snell, 2006) .
Cairan peritoneal yang berwarna kuning pucat dan sedikit kental,
mengandung leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin visceral
abdomen dapat bergerak dengan mudah satu sama lainnya. Sebagai akibat
pergerakan diaphragma dan otot-otot abdomen, disertai dengan pergerakan
peristaltik saluran pencernan, cairan peritoneal tidak statis (Snell, 2006) .
Lipatan peritoneum memegang peranan penting untuk
menggantungkan berbagai organ di dalam kavitas peritonealis dan memegang
peranan sebagai tempat jalannya pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf-saraf
ke organ-organ tersebut (Snell, 2006)

2.3. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), penyebab dari peritonitis antara lain :
a. Infeksi bakteri :
Organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari
organ reproduktif internal. Bakteri paling umum yang terkait adalah E. coli,
klebsiella, proteus, dan pseudomonas.
b. Sumber eksternal:
Seperti cedera atau trauma (misal luka tembak atau luka tusuk) atau inflamasi
yang luas yang berasal dari organ diluar peritoneum seperti ginjal.

4
c. Penyakit gastrointestinal :
Appendicitis, ulkus perforasi, divertikulitis dan perforasi usus, trauma abdomen
(luka tusuk atau tembak) trauma tumpul (kecelakaan ) atau pembedahan
gastrointestinal.
d. Proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal

2.4. Klasifikasi
Berdasarkan pathogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis bacterial primer
Akibat kontaminasi bacterial secara hematogen pada cavum peritoneum
dan tidak ditemukan focus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E.coli, Streotokokus atau Pneumococus, peritonitis ini
dibagi menjadi dua yaitu:
 Spesifik : Seperti Tuberculosa.
 Non-spesifik : Pneumonia non tuberculosis dan tonsillitis.
Factor yang beresiko pada peritonitis ini adalah malnutrisi, keganasan intra
abdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.
b. Peritonitis bacterial akut sekunder (supurative)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akaut atau perforasi traktus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umunya organism tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multiple organism dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
bacteroides dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
peritonitis. Kuman dapat berasal:
 Luka trauma atau penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
 Perforasi organ-organ dalam perut. Seperti di akibatkan oleh bahan kimia.
Perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi dari proses inflamasi
organ-organ intra abdominal, misalnya appendicitis.

5
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis ini terjadi akibat timbulnya abses atau flagmon dengan atau
tanpa fistula. Yang disebabkan oleh jamur, peritonitis yang sumber kumannya
tidak dapat ditemukan. Seperti disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya
empedu, getah lambung, getah pancreas, dan urine.

2.5 Patofisiologi
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-
organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal
peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa,
kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.

Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada peritonitis


lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme
pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan
usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus,
kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ
intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal. Timbulnya
perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul
ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam usus mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat
terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.

2.6 Gejala Klinis


Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat
dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat
ataupun tersebar di seluruh abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat
penderita bergerak.
Gejala lainnya meliputi:
 Demam
Temperatur lebih dari 380 C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia

6
 Mual dan muntah
Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat
iritasi peritoneum.
 Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong
diafragma mengakibatkan kesulitan bernafas.
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.
 Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak
terdengar bising usus
 Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai
respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun
involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
 Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
 Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
 Tidak dapat BAB/buang angin.

2.7 Diagnosis
Anamnesa

Penderita akan mengeluhkan adanya :

1. Nyeri abdominal akut yang terjadi secara tiba - tiba, hebat, dan pada
penderita perforasi (misalnya perforasi usus), nyeri akan menyebar ke
seluruh abdomen. Pada keadaan lain, misalnya apendisitis, nyeri mula -
mula dikarenakan penyebab utamanya, kemudian menyebar secara gradual
dari fokus infeksi dan bila pertahanan tubuh cukup, maka peritonitis tidak
akan berlanjut menjadi peritonitis umum.
2. Nausea dan vomitus biasanya terjadi.
3. Kolaps yang tiba - tiba dapat terjadi pada awal peritonitis kimiawi.

7
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada peritonitis dilakukan dengan cara yang sama
seperti pemeriksaan fisik lainnya yaitu dengan:
 pasien tampak dalam mimik menderita
 tulang pipi tampak menonjol dengan pipi yang cekung, mata cekung
 lidah sering tampak kotor tertutup kerak putih, kadang putih
kecoklatan
 pernafasan kostal, cepat dan dangkal. Pernafasan abdominal tidak
tampak karena dengan pernafasan abdominal akan terasa nyeri akibat
perangsangan peritoneum.
 Distensi perut
1. Palpasi
 nyeri tekan, nyeri lepas dan defense muskuler positif
2. Auskultasi
 suara bising usus berkurang sampai hilang
3. Perkusi
 nyeri ketok positif
 hipertimpani akibat dari perut yang kembung
 redup hepar hilang, akibat perforasi usus yang berisi udara sehingga
udara akan mengisi rongga peritoneal, pada perkusi hepar terjadi
perubahan suara redup menjadi timpani.

RT (Rectal Toucher)

 Perineum : Normal
 Sfingter ani : Longgar
 Mukosa : Licin, nyeri pada seluruh lapangan
 Ampula recti : Kosong
Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium
 Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan
adanya shift to the left. Namun pada pasien dengan immunocompromised

8
dan pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV)
keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leukopenia
 PT, PTT dan INR
 Test fungsi hati jika diindikasikan
 Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis
 Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
 Kultur darah, untuk menentukan jenis kuman dan antobiotik
 BGA, untuk melihat adanya asidosis metabolik
2. Radiologis
 Foto polos
Foto polos abdomen (tegak/supine, setengah duduk dan lateral
dekubitus) adalah pemeriksaan radiologis utama yang paling sering
dilakukan pada penderita dengan kecurigaan peritonitis. Ditemukannya
gambaran udara bebas sering ditemukan pada perforasi gaster dan
duodenum, tetapi jarang ditemukan pada perforasi kolon dan juga
appendiks. Posisi setengah duduk berguna untuk mengidentifikasi udara
bebas di bawag diafragma (seringkali pada sebelah kanan) yang
merupakan indikasi adanya perforasi organ.
 USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada kuadran kanan
atas (abses perihepatik, kolesistitis, dll), kuadran kanan bawah dan
kelainan di daerah pelvis. Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu
karena penderita merasa tidak nyaman, adanya distensi abdomen dan
gangguan distribusi gas abdomen.
USG juga dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan peritoneum
(asites), tetapi kemampuan mendeteksi jumlah cairan < 100 ml sangat
terbatas. Area sentral dari rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan
dengan baik dengan USG tranabdominal. Pemeriksaan melalui daerah
flank atau punggung bisa meningkatkan ketajaman diagnostik. USG dapat
dijadikan penuntun untuk dilakukannya aspirasi dan penempatan drain
yang termasuk sebagai salah satu diagnosis dan terapi pada peritonitis. (7)

9
 CT Scan
Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, maka CT
Scam tidak lagi diperlukan. CT Scan abdomen dan pelvis lebih sering
digunakan pada kasus intraabdominal abses atau penyakita pada organ
dalam lainnya. Jika memungkinkan, CT Scan dilakukan dengan
menggunakan kontra ntravena. CT Scan dapat mendeteksi cairan dalam
jumlah yang sangat minimal, area inflamasi dan kelainan patologi GIT
lainnya dengan akurasi mendekati 100%. Abses peritoneal dan
pengumpulan cairan bisa dilakukan aspirasi dan drain dengan panduan CT
Scan.

2.8 Komplikasi

 Hipovolemia pada penderita peritonitis kimiawi.


 Sepsis pada penderita peritonitis bakterial.
 Abses abdominal dan perlengketan yang dapat menyebabkan obstruksi
abdominal di kemudian hari.

2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,
gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu.

2.10 Terapi
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik
(Doherty, 2006).
1. Penanganan Preoperatif
 Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang
intersisial.
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status

10
hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit
dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood).
Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang
(Doherty, 2006).
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih
murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena
kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan
dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).
 Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,
sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis,
pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil
kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih
terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan
penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik
harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji
sensitivitas .
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis
trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar
terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama
dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus
segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam
dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga
memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit

11
dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur
merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap
penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik
daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram
negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty,
2006).
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal
awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan
aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal
merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik
diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah
putih yang normal (Doherty, 2006).
 Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism
tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator
dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk
menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50
mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang
dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.
 Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada
usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan
pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration
rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk
serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.

12
2. Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau
dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang
didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan
membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.
 Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab
utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang
terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika
didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis,
jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh
permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan
hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi
(ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase
(pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik
aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum
(Doherty, 2006).
 Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta
bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna
bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-
iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level
bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian
bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat
menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini
menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat

13
mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang
permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).
 Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang
terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan
kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah
pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan.
Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang
tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).
3. Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang
tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk
perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada
keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang
normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum
membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat
menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

2.11 Prognosis
Tergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan
terapi. Prognosa baik pada peritonitis lokal dan ringan.

14
BAB 3
KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput


organ perut (peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-tanda
peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi,
dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut
akan teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi
lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas
antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ
multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz, Seymour I, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, EGC, Jakarta,


2000
2. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
3. Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized
Disease) is not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients
with Intra Abdominal Infection.
4. Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1,
McGraw Hill, Peritonitis halaman 808-810, 1916-191.
5. Schwartz SI, peritonitis dan Abses intra abdomen, in Intisari Prinsip-
Prinsip Ilmu Bedah, Shires GTS, Spencer FC, Husser WC, Eds, EGC 9.
Lee JA, Peritonitis, last update Juli 2006, Available from URL :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/0006487.htm
6. Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal
Infection. Critical Care Medicine.
7. De jong W., Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta
: EGC.
8. Schrock. T. R.. 2000. Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7.
9. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta

16

Anda mungkin juga menyukai