Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

Tidur dan bernapas merupakan bagian proses fisiologis yang mendasar


dalam kehidupan manusia sehari-hari. Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan
bawah sadar dimana orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang
sensorik atau dengan rangsang lainnya. Bila terjadi gangguan pada proses tidur akan
berakibat gangguan pada kualitas hidup. Demikian pula bila proses benapas berhenti
sementara dalam beberapa menit, kehidupan manusia juga berhenti.1
Sleep apnea adalah timbulnya episode abnormal pada frekuensi nafas yang
berhubungan dengan penyempitan saluran nafas atas pada keadaan tidur yang dapat
berupa henti nafas (apnea) atau menurunnya ventilasi (hypopnea) . Sleep apneu
ditandai oleh terhentinya aliran udara di hidung dan mulut pada saat tidur dan
lamanya lebih dari lebih dari 10 detik, terjadi berulang kali, dapat mencapai 20-60
kali per jam, dan disertai dengan penurunan saturasi oksigen lebih dari 4%. Ada tiga
tipe apnea/hipopnea yaitu tipe obstruktif (Obstruktive Sleep Apnea/OSA) ialah
penghentian airan udara namun usaha napas tetap ada , tipe sentral (Cental Sleep
Apnea/CSA) ialah penghentian aliran udara dan usaha napas secara bersamaan dan
tipe campuran (Mixed Sleep Apnea/MSA) yang merupakan campuran dari
keduanya.1,2
Obstruktive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu bentuk gangguan nafas
terkait tidur yang paling sering terjadi. 1,3 Diperkirakan bahwa lebih dari 12 juta orang
dewasa di Amerika mengalami obstruktif sleep apneu. Obstructive sleep apnea lebih
sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan sekitar 24% pria dan 9% persen
wanita atau sekitar 1 dari 25 pria paruh baya yang menderita OSA, dan untuk 1 dari
50 wanita paruh baya. OSA adalah penyempitan berulang tenggorokan saat tidur baik
sebagian atau seluruhnya yang menghambat saluran udara. Penyumbatan ini bisa
menyebabkan masalah pernapasan, atau bahkan dapat terjadi henti napas untuk 10
3,4
sampai 20 detik atau lebih, dan berberapa kali setiap malam. Central sleep apnea
(CSA) lebih jarang terjadi dibanding OSA. Ciri khas dari tipe ini adalah menurunnya
frekuensi napas atau henti napas akibat menurunnya ventilasi atau tak ada ventilasi
selama paling tidak 10 detik atau lebih. Keadaan ini abnormal bila terjadi lebih dari 5
kali perjam. Kejadian Mixed sleep apnea (MSA) biasanya dimulai dengan CSA lalu
diikuti OSA.
Selama beberapa dekade terakhir, sindrom henti napas saat tidur (sleep apnea)
muncul sebagai suatu faktor penyebab potensial beberapa penyakit kardiovaskular.
Kondisi ini mencakup antara lain hipertensi, penyakit arteri koroner, infark
miokard,gagal jantung, dan stroke, dan hipertensi pulmonal 2. Selain itu keadaan
hipersomnolen pada siang hari menyebabkan pasien OSA kehilangan kewaspadaan
yang dapat berakibat pada gangguan sosial, kecelakanan kerja dan kecelakaan lalu
lintas.1
Melihat tingginya peningkatan resiko kardiovaskular dan serebrovaskular
akibat dari sleep apnea, maka diperlukan pembahasan mengenai sleep apnea. Berikut
akan dibahas mengenai mengenai tipe-tipe dari sleep apnea beserta gejala klinis,
diagnosis, patogenesis maupun penatalaksanaan yang mungkin dapat menambah
wawasan mengenai sleep apnea dan membantu praktisi kesehatan dalam melakukan
deteksi dini kejadian sleep apnea dan memahami patogenesis dan menatalaksana
pasien dengan sleep apnea.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Faring sendiri dibagi menjadi 3 area yaitu nasofaring, orofaring dan
hipofaring (laringofaring). Di belakang mukosa dinding belakang faring terdapat
dasar tulang sphenoid dan dasar tulang oksiput di sebelah atas, kemudian bagian
depan tulang atlas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring
membuka ke arah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak
pada mukosa atap nasofaring. Di samping, muara tuba eustachius kartilaginosa
terdapat di depan lekukan yang disebut fossa Rosenmüller. Kedua struktur ini berada
di atas batas bebas otot konstriktor faringis superior. Otot tensor veli palatini,
merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba eustachius, masuk ke
faring melalui ruangan ini. otot ini membentuk tendon yang melekat di sekitar
hamulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi
oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.5
Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal
dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsila,
arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan di belakang arkus faring
posterior disusun oleh otot palatofaringeus. Otot-otot ini membantu menutupnya
orofaring bagian posterior. Semuanya dipersarafi oleh pleksus faringeus.4
Tonsila disusun oleh jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel skuamosa yang
berisi beberapa kripta. Celah di atas tonsila merupakan sisa dari endodermal muara
arkus brankial kedua; dimana fistula brankial atau sinus internal bermuara.4
Hipofaring terbua ke arah depan masuk melalui introitus laring. Epiglotis
dilekatkan pada dasar lidah oleh dua frenulum lateral dan satu frenulum di garis
tengah. Hal ini menyebabkan terbentuknya dua valekula di setiap sisi. Di bawah
valekula adalah permukaan laringeal dari epiglotis. Di bawah muara muara glotis
bagian medial dan lateral terdapat ruangan yang disebut sinus piriformis yaitu di
antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot
dari lamina krikoid, dan terdapat muara esofagus.4

Pembagian daerah faring

Nasofaring

Otot-otot faring terdiri dari otot konstriktor superior, media dan inferior. Serta
otot salfingofaringeus,otot stilofaringeus dan otot faringopalatinus. 5
Otot-otot faring

Otot-otot faring (dari posterior)


Aliran darah faring berasal dari beberapa cabang sistem karotis eksterna.
Beberapa anastomosis tidak hanya dari satu sisi tetapi dari pembuluh darah sisi
lainnya. Ujung cabang arteri maksilaris interna, cabang tonsilaris arteri fasialis,
cabang lingual arteri lingualis bagian dorsal, cabang arteri tiroidea suprior, dan arteri
faringeal yang naik semuanya menambah jaringan anastomosis yang meluas. 5
Persarafan otot konstriktor faring dan salfingofaringeus berasal dari
percabangan pleksus faringeus, otot konstriktor faring juga mendapat persarafan
tambahan dari nervus laringeus eksterna dan nervus rekurens. Dan otot stilofaringeus
dipersarafi oleh nervus glosofaringeus.5

2.2 Obstructive Sleep Apnea (OSA)


2.2.1 Definisi
Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peristiwa kolapsnya saluran napas bagian atas secara periodik pada saat tidur yang
mengakibatkan apnea (penghentian aliran udara selama 10 detik sehingga
menyebabkan 2-4% penurunan saturasi oksigen) dan hipopnea (penurunan aliran
udara paling sedikit 30-50% penurunan saturasi oksigen ) atau keduanya dengan
periode antara 10 dan 30 detik , akibat adanya sumbatan total atau sebagian jalan
napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM
sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat, dan menyebabkan
pengurangan mendadak saturasi oksigen darah, dengan kadar oksigen jatuh sebanyak
40 persen atau lebih pada kasus yang berat.4,5,6
OSA terjadi karena penyempitan berulang tenggorokan saat tidur baik
3.
sebagian atau seluruhnya yang menghambat saluran udara Hal ini ditandai dengan
episode sering dari kolapsnya saluran udara bagian atas selama tidur, yang
menyebabkan arousals berulang, hipoksemia intermiten, fragmentasi tidur dan
kualitas tidur yang buruk.7. Penyumbatan ini bisa menyebabkan masalah pernapasan,
atau bahkan dapat terjadi henti napas untuk 10 sampai 20 detik atau lebih, dan
berberapa kali setiap malam. Gejala OSA dapat mencakup mendengkur keras,
tersedak atau terengah-engah saat tidur, tidur yang tidak nyenyak, dan mengantuk
3
sepanjang hari. Obstructive sleep apnea (OSA) terjadi ketika otot-otot berelaksasi
saat tidur sehingga menyebabkan jaringan lunak di bagian belakang tenggorokan
kolaps dan memblokir saluran udara bagian atas.4

2.2.2 Epidemiologi
OSA dapat terjadi dalam setiap kelompok umur, namun terjadi kenaikan
prevalensi antara usia pertengahan dan usia tua dengan prevalensi meningkat
setidaknya menjadi 1 dari 10 orang di antara orang yang berusia di atas 65 tahun 4,8.
Diperkirakan bahwa lebih dari 12 juta orang dewasa Amerika menderita obstructive
sleep apnea. Data lain menunjukkan sekitar 4 - 7% dari orang paruh baya menderita
onstruktif sleep apnea 9. Obstructive sleep apnea lebih sering terjadi pada laki-laki,
dengan 1 dari 25 pria paruh baya yang menderita OSA dan 1 dari 50 wanita untuk
wanita paruh baya 8
Tingkat prevalensi pada orang dewasa dengan obstruktif sleep apnea
menujukan hasilnya berbeda di tiap negaranya (tabel 1) 7. Namun dapat diperkirakan
sekitar 3 - 7 % untuk laki-laki dewasa dan 2-5 % untuk wanita orang dewasa pada
populasi umum Dengan demikian, dapat disimpulkan OSA lebih umum terjadi pada
pria, kira-kira 2 - 3 kali lipat dari perempuan 10. Selain itu, prevalensi OSA pada etnis
caucasians dan asian kurang lebih menunjukan angka yang sama , hal ini menjelaskan
bahwa ini kejadian tidak hanya sering di negara maju tetapi juga di negara
bekembang 7
Tabel 1. Epidemiologi OSA 7

Obstructive sleep apnea juga menunjukan prevalensi yang berbeda


berdasarkan gejala yang muncul, misalnya OSA dengan gejala kantuk di siang hari
terjadi pada setidaknya 4% dari pria dan 2 % dari wanita sedangkan Sekitar 24 % dari
pria dan 9% dari wanita yang menderita OSA dengan atau tanpa kantuk di siang
hari. Walaupun kejadian OSA sudah menjadi pusat perhatian namun diperkirakan
sekitar 80 % sampai 90 % dari orang dewasa dengan OSA masih belum terdiagnosis
Kejadian OSA erat kaitannya dengan bebagai faktor risiko misalnya
termasuk kelebihan berat badan/obesitas (lebih dari setengah orang dengan OSA
kelebihan berat badan), saluran udara yang sempit, tekanan darah tinggi, leher tebal,
merokok, penggunaan alkohol, pengunaan obat penenang , atau adanya riwayat
3
penyakit dalam keluarga. diperkitakan sekitar 70% dari pasien OSA dengan klinis
obesitas, sekitar 30% - 50% dari pasien dengan penyakit jantung, dan 60% dari
pasien yang menderita stroke9

2.2.3 Etiologi, Faktor Resiko, dan Klasifikasi


Etiologi OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi berupa
neural, hormonal, muskular dan struktur anatomi yang menyebabkan kolapsnya
saluran nafas atas, contohnya : kegemukan terutama pada tubuh bagian atas
dipertimbangkan sebagai risiko utama untuk terjadinya OSA. Angka prevalensi OSA
pada orang yang sangat gemuk adalah 42-48% pada laki-laki dan 8-38% pada
perempuan. Penambahan berat badan akan meningkatkan gejala-gejala OSA. 11

Faktor risiko untuk terjadinya OSA : 4,5,7 12, 13, 14,


A. Terdapat tiga faktor risiko yang diketahui :
1. Umur : prevalensi dan derajat OSA meningkat sesuai dengan bertambahnya
umur sekitar 10% ada umur > 65 tahun. Kolompok beresiko menderita OSA
adalah pria paruh baya dan lebih tua dengan usia > 65 tahun, dan wanita
pasca-menopause.
2. Jenis kelamin : risiko laki-laki untuk menderita OSA adalah 2 kali lebih
tinggi dibandingkan perempuan sampai menopause, hal ini kemungkinan
dikarenakan laki-laki memiliki penumpukan lemak di sekitar saluran napas
faring yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Selain itu, terdapat beberapa hipotesis yang menjelaskan hubungan jenis kelamin
dengan timbulnya OSAS antara lain karena efek hormonal yang dapat mempengaruhi
muskulatur saluran nafas bagian atas, perbedaan distribusi lemak dan perbedaan
struktur dan fungsi faring.
3. Ukuran dan bentuk jalan napas :
a. Struktur kraniofasial (palatum yang bercelah, retroposisi mandibular).
b. Micrognathia (rahang yang kecil).
Micrognatia dan retrognatia akan menyebabkan palatum mole, lidah
dan jaringan lunak sekitar faring terdorong ke posterior sehingga
saluran nafas akan menyempit.
c. Macroglossia (lidah yang besar), pembesaran adenotonsillar.
d. Trakea yang kecil (jalan napas yang sempit).
e. Ukuran lingkar leher ( 17 inci atau lebih untuk pria, 16 inci atau lebih
untuk perempuan, atau >42,5 cm) berhubungan dengan peningkatan
AHI )
f. Hipertropi tonsil, hipertropi konka, hipertropi adenotonsil
Mekanisme hipertrofi tonsil dapat menyebabkan OSA melalui
penurunan diameter faring oleh karena hipertrofi dari tonsil pada
dinding lateral faring. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi. Hipertrofi tonsil selain faring ialah hipertrofi tonsil lingual.
Berdasarkan penelitian oleh Abdel-Aziz et al (2011), tindakan
tonsilektomi pada 16 anak-anak dengan hipertrofi dan OSA
menunjukan prognosa yang baik terhadap OSA. Oleh karena itu,
hipertrofi tonsil memiliki hubungan risiko terjadinya OSA.
g. Deviasi septum
h. Retrognathia ( rahang yang tertarik kebelakang) menyebabkan palatum
mole, lidah dan jaringan lunak sekitar faring terdorong ke posterior
sehingga saluran nafas akan menyempit
i. Kelainan pada tulang hyoid dapat menyebabkan terjadinya OSAS.
Hyoid yang terlalu inferior akan menyebabkan lidah tertarik ke
posterior karena hyoid menjadi salah satu insersio dari otot-otot
pembentuk lidah
j. Posisi maksila yang terlalu posterior juga dapat menjadi faktor resiko
terjadinya OSAS. Hal ini terjadi karena palatum durum dan jaringan
lunak di sekitar faring terdorong ke posterior sehingga ukuran lumen
saluran nafas mengecil
B. Faktor risiko penyakit : Kegagalan kontrol pernapasan yang dihubungkan dengan :
1. Emfisema dan asma.
2. Penyakit neuromuscular (polio, myasthenia gravis, dll).
Faktor yang dapat menyebabkan OSA ialah gangguan respon neuromuskular.
Respon neuromuskular adalah keadaan fisiologis tubuh dalam
mempertahankan patensi jalan nafas. Pada penderita stroke memiliki risiko
untuk terjadinya OSA oleh karena gagalnya respon neuromuskular dalam
menjaga patensi jalan nafas. Penderita stroke meningkatkan insidensi
terjadinya OSA dibandingkan dengan individu yang normal
3. Obstruksi nasal.
4. Kelainan endokrin: Hypothyroid, akromegali , amyloidosis, paralisis pita
suara, sindroma postpolio, kelainan neuromuskular, Marfan's syndrome dan
Down syndrome.
C. Risiko gaya hidup :
1. Merokok
Rokok mempengaruhi OSA melalui mekanisme gangguan tidur yang tidak
stabil karena kadar nikotin yang turun pada malam hari. Asap rokok memicu
inflamasi dan kerusakan mekanik dan saraf pada saluran napas atas, serta
meningkatkan risiko kolaps otot-otot faring selama tidur.
2. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol
Kebiasaan minum alkohol terbukti pula memicu peningkatan resistensi nasal
dan faring secara akut. Konsumsi alkohol menjelang waktu tidur akan
mempengaruhi timbulnya hipopnea dan apnea saat tidur.
3. Kelebihan berat badan dan obesitas : pasien OSA adalah orang yang berbadan
gemuk yang setidaknya memiliki indeks massa tubuh (IMT) satu tingkat di
atas normal (IMT normal 20-25 kg/m2 yaitu dengan IMT mulai dari 25-29,9
dan obesitas dengan IMT mulai dari 30 dan di atas 30. Diperkirakan sekitar
30-60 % penderita OSA dengan kelebihaan berat badan. Obesitas dapat
mengubah volume dan bentuk anatomi, lidah dapat terangkat sehingga
mengurangi volume saluran napas atas). 5
Obesitas berhubungan dengan perubahan anatomi yang menjadi
predisposisi terjadinya obstruksi saluran nafas atas selama tidur. Perubahan
tersebut terjadi oleh karena adanya perubahan komposisi adiposit pada
jaringan lunak sekitar saluran nafas atas. Pertama, peningkatan lingkar leher
dan lemak yang terdeposit di sekitar saluran nafas pada pasien obesitas
menurunkan diameter saluran nafas atas tersebut. Kedua, kecenderungan
untuk terjadinya kolaps saluran nafas atas lebih besar pada individu menderita
obesitas dibanding dengan individu tidak menderita obesitas. Hal ini
disebabkan karena faring tidak dapat dilatasi. Ketiga, obesitas sentral
berhubungan dengan penurunan volume paru yang ditandai dengan adanya
hilangnya fungsi traksi kaudal pada saluran nafas atas sehingga cenderung
untuk terjadinya kolaps pada saluran nafas atas. Oleh karena itu, obesitas
meningkatkan beban mekanik pada saluran nafas. Walaupun obesitas sentral
berhubungan dengan defek struktural yang akan berpengaruh terhadap patensi
jalan nafas tetapi mekanismenya masih belum jelas.
Obesitas kemungkinan memodulasi kontrol neuromuskular
saluran nafas atas. Data tersebut dibuktikan melalui percobaan pada
penderita OSA yang sedang mengikuti program penurunan berat badan
adanya penurunan fungsi saluran nafas. Akan tetapi, penderita OSA
pada saat terbangun akan terjadi peningkatan kontrol neuromuskular
dibanding dengan orang normal oleh karena mekanisme kompensasi.
Peningkatan respon tersebut dapat menyebabkan denervasi
neuromuskular sehingga terjadi penurunan fungsi kontrol
neuromuscular . Obesitas sentral kemungkinan berperan dalam
menganggu fungsi kontrol neuromuskular. Hal ini menjelaskan
mekanisme pria lebih cenderung untuk OSA dibandingkan dengan
perempuan karena obesitas sentral cenderung terjadi pada pria
dibandingkan dengan perempuan.
Faktor-faktor risiko yang berperan pada OSA
Umum  Obesitas (IMT >30 kg/m2)
 Gender (pria> wanita)
 Riwayat OSA pada keluarga
 Pasca-menopause

Genetik atau Kongenital  sindrom Down


 sindrom Pierre-Robin
 sindrom Marfan
Abnormalitas  Rinitis
hidung/faring  Polip nasi
 Hipertrofi tonsil dan adenoid
 Deviasi septum nasi

Penyakit lain  Akromegali


 Hipotiroidisme
Kelainan struktur saluran  Lingkar leher >40cm
napas atas  Abnormalitas sendi temporomandibula
 Mikrognatia
 Retrognatia
 Makroglosia
 Abnormalitas palatum
 Kraniosinostosis

Tabel 2. Faktor risiko OSA 15

Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI)


yang ditetapkan oleh The American Academy of Sleep Medicine. AHI adalah indeks
yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan dari sleep apneu berdasarkan
jumlah apnea dan hypopnea yang terjadi per jam atau dapat dirumuskan sebagai
tidur AHI didefinisikan sebagai jumlah apneas ditambah hypopneas dibagi dengan
waktu total tidur. AHI dikelompokan menjadi 3 golongan : 4,6,16
1. Ringan yaitu dengan nilai AHI 5-15/jam).
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama kegiatan yang
memerlukan sedikit perhatian, seperti menonton TV atau membaca.
2. Sedang (nilai AHI 15-30/jam).
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama kegiatan yang
membutuhkan perhatian, seperti pertemuan atau presentasi.
3. Berat (nilai AHI >30/jam).
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama kegiatan yang
membutuhkan perhatian lebih aktif, seperti berbicara atau mengemudi.
2.2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSA: Pertama ; obstruksi
saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang yang
dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang menyebabkan terhentinya
aliran udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada saat tidur. Sehingga
timbul apnea, asfiksia sampai periode arousal atau proses terbangun yang singkat dari
tidur dan terjadi perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat
diteruskan kembali. Dengan perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai
kejadian berikutnya terulang kembali. 5,17

Obstruksi jalan napas pada pasien OSA 12

Faktor kedua adalah ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator
faring (m. pterigoid medial, m. Tensor veli palatini, m. genioglosus, m. geniohiod,
dan m. sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat
terjadinya tekanan negatif intratorakal akibat kontraksi diafragma. Kelainan fungsi
kontrol neuromuskular pada otot dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran
napas. Defek kontrol ventilasi di otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya
refleks otot dilator faring, saat pasien mengalami periode apnea hipopnea. 5
Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi melebihi
kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas. Beberapa penderita
dengan penyempitan saluran napas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertropi
adenotosilar, magroglossia atau akromegali. Reduksi ukuran orofaring menyebabkan
complaince saluran napas atas meningkat sehingga cenderung kolaps jika ada tekanan
negatif . 17
Saat bangun, aktivitas otot saluran napas atas lebih besar dari normal,
kemungkinan kompensasi dari penyempitan dan tahanan saluran napas yang tinggi.
Aktivitas otot yang menurun saat tidur menyebabkan kolaps saluran napas atas
sewaktu inspirasi. Reduksi fisiologis aktivitas saluran napas atas terjadi selama tidur
REM. Alkohol dan obat sedatif menyebabkan depresi aktivitas otot saluran napas atas
sehingga terjadi kolaps17
Beberapa penderita juga tampak obstruksi hidung, tahanan tinggi merupakan
predisposisi kolaps saluran napas atas karena tekanan negatif meningkat di faring saat
inspirasi menyebabkan kontraksi diafragma meningkat untuk mengatasi tahanan
aliran udara di hidung. Akhir obstruktif apnea tergantung proses terbangun dari tidur
ke tingkat tidur yang lebih dangkal dan diikuti oleh aktiviti otot dilator dan abduktor
saluran napas atas dan perbaikan posisi saluran napas17.
Pada orang normal, ukuran dan panjang palatum lunak, uvula dan besar
lidah,saluran napas atas pada tingkat nasofaring, orofaring dan hipofaring ukuran dan
konturnya normal (gambar 1).18
Saluran napas atas normal dibandingkan dengan penderita mendengkur17

MRI Potongan Trasversal Faring pada orang normal dan orang dengan OSA 29

Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai


hipofaring yang dapat menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas. Kelainan
daerah ini dapat menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan
predisposisi kolapsnya saluran napas atas. Kolaps nasofaring ditemukan pada 81%
dari 64 pasien OSA dan 75% diantaranya memiliki lebih dari satu penyempitan
saluran napas atas.5
Obesitas juga berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan yang
berlebihan pada dinding dada dan disfungsi diafragma mengganggu upaya ventilasi
saat tidur dan jaringan lemak pada leher dan lidah menurunkan diameter saluran
napas yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan prematur saat jaringan otot
relaksasi waktu tidur 17
Periode apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih.
Periode hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak lebih-
kurang 30% selama 10 detik yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen
darah sebesar 4%. Apnea terjadi karena kolapsnya saluran napas atas secara total,
sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian, namun jika terjadi secara terusmenerus
dapat menyebabkan apnea. 19

2.2.5 Gejala Klinik


Manifestasi klinis dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dominan
neuropsikiatri dan perilaku dan kelompok dominan kardiorespirasi. Manifestasi klinis
tersering adalah neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering rasa mengantuk
berat di siang hari. Gejala malam yang tersering adalah suara dengkuran keras yang
disebabkan jalan napas yang sempit. Akhir tiap episode apnea biasanya ditandai
dengan hembusan napas dengkuran keras yang diikuti gerakan tubuh, penderita tidak
menyadari tetapi dikeluhkan oleh teman tidurnya. Kadang penderita terbangun dan
tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak nyenyak, disorientasi dan sakit kepala
dipagi hari. 20
Selain itu tanda dan gejala yang umum dihubungkan dengan kejadian OSA
dapat juga dikelompokan menjadi gejala malam saat tidur dan gejala saat pagi atau
siang 6

Gejala malam hari saat tidur


a. Mengeluarkan air liur saat tidur (Drooling / ngiler)
b. Mulut kering
c. Tidur tak nyenyak / terbangun saat tidur
d. Terlihat henti napas saat tidur oleh rekan tidurnya
e. Tersedak atau napas tersengal saat tidur
Gejala saat pagi atau siang hari
a. Mengantuk
b. Pusing saat bangun tidur pagi hari
c. Refluks gastroesofageal
d. Tidak bisa konsentrasi
e. Depresi
f. Penurunan libido
g. Impotensi
h. Bangun tidur terasa tak segar

Gejala klinis yang umum terjadi pada OSA tampak pada tabel 1 14,17

Gejala klinis Insidensi (%)


Suara dengkur 95
Mengantuk 75
Restless sleep 99
Mental abnormal 58
Perubahan personaliti 48
Impotensi 40
Sakit kepala siang hari 35
Nokturia 30
Enuresis tidak diketahui
Nocturnal choking tidak diketahui

Tabel 4 Gejala klinis pada OSA14,17

Akibat gangguan pola tidur normal, penderita dengan apnea tidur sering
merasa mengantuk, gangguan konsentrasi dan aktivitas di siang hari. Termasuk
didalamnya depresi, iritabiliti, sulit belajar, gangguan seksual dan tertidur saat bekerja
atau saat menyetir kendaraan. Diperkirakan sampai 50% penderita apnea tidur
mempunyai tekanan darah tinggi meskipun tidak diketahui dengan jelas apakah
merupakanpenyebab atau efek apnea tidur. Risiko serangan jantung dan stroke
meningkat pada penderita apnea tidur.21

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola
tidur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus.
Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat
mengarahkan kepada indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSA. 3, 5
Baku emas untuk diagnosis OSA adalah melalui pemeriksaan tidur semalam
dengan alat polysomnography / PSG. Parameter-parameter yang direkam pada
polysomnogram adalah electroencephalography (EEG), electrooculography
(pergerakan bola mata), electrocardiography (EKG), electromyography (pergerakan
rahang bawah dan kaki), posisi tidur, aktiviti pernapasan dan saturasi oksigen.

Variabel yang direkam pada polisomnografi


Stadium tidur
Upaya pernafasan
Aliran udara
Saturasi oksihemoglobin arteri
Posisi tubuh
Gerakan anggota badan
Irama dan denyut jantung

Tabel 5. Variabel yang direkam pada polisomnografi 6

Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG adalah penurunan saturasi


oksigen berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari jalan napas atas (kadang-
kadang pada kasus yang berat terjadi beberapa ratus kali) yang disertai dengan ≥ 50%
penurunan amplitudo pernapasan, peningkatan usaha pernapasan sehingga terjadi
perubahan stadium tidur menjadi lebih dangkal dan terjadi desaturasi oksigen. 6
Gambaran polisomnogram obstructive apnea dan central apnea 17

Sebelum dilakukan PSG, pasien akan diminta kesediaannya untuk mengisi


kuesioner Berlin, bertujuan untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi
terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama berisi tentang
apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah sampai
mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah tidur, seberapa
sering merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi
tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body
Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling
sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini mempunyai validiti yang tinggi.7,12
Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat : 22
1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena
sebab lain.
2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa
kali ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah
sepanjang hari dan gangguan konsentrasi.
3. Hasil PSG menunjukkan ≥ 5 jumlah total apnea ditambah terjadi hipopnea
per-jam selama tidur (AHI ≥ 5).
4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.
Gambar 5 : Algoritma pemakaian portable polisomnografi untuk mendiagnosis OSA6

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Polisomnografi
Saat ini, polisomnografi tidak lagi hanya menjadi sebuah pemeriksaan
penunjang, tetapi telah menjadi modalitas diagnosa standar bagi berbagai gangguan
tidur, termasuk OSA. Konfirmasi diagnosa dan tingkat keparahan OSA melalui
polisomnografi sangat direkomendasikan sebelum intervensi terapi dilakukan. 6
Polisomnografi atau studi tidur (sleep study) merupakan suatu tes
multiparameter yang dilakukan untuk mendapatkan rekaman komprehensif mengenai
perubahan-perubahan biofisikal yang terjadi pada tubuh seseorang selama fase tidur.
Hal ini dilakukan selama tidur malam (nocturnal sleep), di bawah supervisi dari
seorang teknisi dan dapat dilakukan dalam sebuah laboratorium, rumah sakit, rumah
pasien, atau bahkan hotel.11
Mekanisme
Ada 3 peralatan utama yang dipakai dalam polisomnografi: 11
 Elektroensefalografi (EEG)
Memiliki 6 elektroda eksplorasi yang dilekatkan dengan pasta khusus,
masing-masing 2 buah di scalp frontal, sentral dan oksipital. EEG
memberikan rekaman “aktivitas” otak selama tidur, berupa beberapa
gelombang yang khas terjadi dalam fase tidur tertentu.
 Elektrookulografi (EOG)
Memiliki 2 elektroda yang diletakkan 1 cm di atas batas terluar canthus okuli
dekstra dan 1 cm di bawah batas terluar canthus okuli sinistra. EOG
memberikan rekaman perbedaan elektropotensial antara kornea dan retina
selama tidur.
 Elektromiografi (EMG)
Memiliki 6 elektroda yang diletakkan di dahi (2 buah), di atas dagu (1 buah),
di bawah dagu (1 buah) dan di daerah tibialis anterior (2 buah). EMG
mengukur tegangan otot-otot tubuh dan memonitor pergerakan kaki selama
tidur.
Selain itu, terdapat beberapa peralatan penunjang:
 Elektrokardiografi (EKG)
Elektroda yang dipakai biasanya hanya 2 sampai 3 buah dan diletakkan di
dada. EKG mengukur aktivitas elektrik jantung.
 Pressure transducer atau thermocouple, lengkap dengan ikat pinggangnya.
Alat ini diletakkan di dalam atau dekat dengan nostril dan berfungsi mengukur
kecepatan respirasi dan mengetahui adanya interupsi pernafasan. Ikat
pinggang di dada yang melebar selama pernapasan memberikan input tentang
usaha napas (respiratory effort) yang terjadi.
 Pulse oxymetri
Diletakkan di jari atau cuping telinga. Alat ini akan mendeteksi perubahan
saturasi oksigen darah dengan mengukur banyakna oksihemoglobin dalam
darah.
 Video monitor
Berfungsi memantau aktivitas tidur pasien.
 Perekam suara
Diletakkan di leher dan berfungsi merekam suara ‘ngorok’ (snoring) yang
terjadi.
Prosedur
1. ± 1 minggu sebelum pemeriksaan, beberapa persiapan harus dilakukan pasien:
o Mempertahankan siklus bangun-tidur regular
o Menghindari konsumsi pil tidur
o Menghindari konsumsi alkohol
o Menghindari konsumsi stimulant
o Menghindari latihan dan aktivitas yang menguras tenaga
2. Pasien datang ke tempat pemeriksaan pada sore hari.
3. 1-2 jam pertama dilakukan introduksi dan pemasangan elektroda.
4. Perekaman data mulai dilakukan saat pertama lampu dimatikan.
5. Hasil perekaman dijadikan data yang akan diolah oleh sebuah sistem operasi
komputer, dan akan ditampilkan secara tertulis dalam sebuah kertas dengan
format khusus yang memuat hasil bacaan seluruh peralatan detik per detik,
yang disebut polisomnogram. Untuk mempermudah pembacaan dan
interpretasi, dalam hasil bacaan kertas dibuat batas tiap 30 detik yang disebut
epoch.
6. Studi dilakukan selama seluruh waktu tidur malam hingga keesokan pagi dan
pasien dapat dipulangkan setelah jam 7 pagi. 11

Hasil
 Sleep onset latency
Awal mula tidur dihitung dari waktu pertama lampu dimatikan. Awal mula
tidur ditentukan dengan kriteria EEG. 11
Normal: ≤ 20 menit.
 Sleep efficiency (efisiensi tidur)
Rasio waktu tidur (dalam menit) dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan
di tempat tidur (dalam menit). 11
Normal: ≤ 85-90%.
 Sleep stages (stadium tidur)
Stadium tidur ditentukan dari hasil EKG, EOG dan EMG. Berdasarkan hasil
tersebut, tidur dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase bangun, non-REM dan REM.
Fase non-REM dibagi lagi menjadi stadium 1 sampai 4. Penilaian tiap fase
dan stadium ini memperhitungkan berbagai hal, mulai dari gelombang khas
EEG, gerakan mata dalam EOG dan tonus otot dari EMG.11
Gelombang-gelombang khas EEG:12

Gelombang α θ (terbanyak) δ
Frekuensi 8-13 cps 3-7 cps 0.5-2 cps
Area dominan oksipital sentral verteks frontal
crescendo-
Amplitudo tanpa amplitudo > 75 mN
decrescendo
Stadium-stadium tidur: 12
EEG EOG EMG
Bangun α (> 50% epoch) Slow-rolling eye Relatively high muscle
movements or eye tone
blinks
Stad. 1 α (< 50% epoch) Slow-rolling eye Relatively high
θ (> 50% epoch)
movements submental tone
Stad. 2 θ (hampir seluruhnya) - High tonic submental
tone
Stad. 3 δ (20- 50% epoch) - Submental muscle tone
may be slightly reduced
Stad. 4 δ (> 50% epoch) - Submental activity
slightly reduced
REM Gambaran gerigi Rapid eye movements Low tonic submental
(saw-tooth waves)
tone

 Breathing irregularities (irregularitas pernafasan)


Irregularitas pernapasan dinilai berdasarkan beberapa kriteria yang tegas.
Terdapat beberapa pedoman dasar dalam penilaian tersebut:
o
Tiap gangguan pernafasan harus diukur sampai pada fase REM jika
pasien dapat mencapai fase tersebut. Hal ini dikarenakan pada fase
REM terjadi penurunan tonus otot-otot pernafasan sehingga gangguan
pernafasan, terutama obstruksi dapat terlihat lebih jelas dan berat pada
fase ini.
o
Tiap gangguan pernafasan harus memiliki durasi minimal 10 detik.
o
Tiap gangguan pernafasan harus menyebabkan penurunan saturasi
oksigen minimal 3%.
o
Arousal (perubahan tiba-tiba aktivitas otak atau gelombang EEG)
umumnya terjadi pada sebagian besar gangguan pernafasan.12
Setiap gangguan pernafasan yang terjadi harus memenuhi 4 kriteria dasar di
atas selain kriteria diagnosanya sendiri. Beberapa kriteria diagnosa tersebut
adalah: 12

Gangguan Kriteria
 Reduksi aliran udara pernafasan (airflow) ≥ 50%
Hypopnea  Penurunan SaO2 ≥ 3%
 Peningkatan usaha napas
Obstructive  Tidak ada airflow ≥ 10 detik
 Penurunan SaO2 ≥ 3%
apnea  Peningkatan usaha napas
 Tidak ada airflow nasal maupun oral ≥ 10 detik
Central apnea  Penurunan SaO2 ≥ 3%
 Tidak ada (complete absence) usaha napas
 Tidak ada airflow nasal maupun oral ≥ 10 detik
 Penurunan SaO2 ≥ 3%
Mixed apnea  Tidak ada usaha napas pada awal gangguan, diikuti
peningkatan gradual usaha napas, yang pada akhirnya
mengakhiri apnea dan menyebabkan arousal.

 Abnormalitas ritme jantung


 Pergerakan kaki
 Posisi tubuh selama tidur

Interpretasi polisomnogram tetap harus dilakukan dengan memperhitungkan


faktor-faktor lain, misalnya: 11
 Riwayat kesehatan pasien
 Obat-obatan yang sedang dikonsumsi
 Waktu makan terakhir

Diagnosa OSA berdasarkan polisomnogram:



Skor AHI (Apnea-Hypopnea Index) minimal 5 kali per jam.
AHI merupakan penjumlahan dari AI (Apnea Index = jumlah episode
obstructive apnea yang terjadi per jam) dan HI (Hypopnea Index = jumlah
episode hypopnea yang terjadi per jam). 6

Tingkat keparahan OSA juga dinilai berdasarkan skor AHI: 9
o Mild OSA: AHI 5-15
Mengantuk involunter selama aktivitas yang membutuhkan
sedikit atensi, seperti nonton TV atau membaca.
o Moderate OSA: AHI 15-30
Mengantuk involunter selama aktivitas yang membutuhkan
atensi yang cukup, seperti pada rapat atau presentasi.
o Severe OSA: AHI lebih dari 30
Mengantuk involunter selama aktivitas yang membutuhkan
atensi yang lebih aktif, seperti berbicara atau menyetir.

Polisomnogram pada penderita OSA yang berat.


b. Split-night study
Split-night study pada dasarnya merupakan kombinasi dari polisomnografi
(sleep study) dengan Continous Positive Airway Pressure (CPAP) titration study.
Split-night study biasanya dilakukan setelah diagnosa OSA dengan polisomnografi
ditegakkan dan tata laksana CPAP diperlukan bagi terapinya. Namun beberapa ahli
sleep apnea menganjurkan untuk dilakukan split-night study tanpa polisomnografi
terlebih dahulu agar menghemat biaya dan tidak perlu melakukan pemeriksaan yang
sama dua kali kepada pasien. 11
Split-night study dibagi menjadi 2 tahapan yang dilakukan dalam satu malam
(oleh karena itu disebut split-night), yaitu:

Polisomnografi diagnostik
Dilakukan pada 2 sampai 3 jam perekaman pertama. Jika diagnosa OSA
dengan polisomnografi telah dilakukan, polisomnografi diagnostik tidak lagi
dilakukan secara detail tetapi hanya untuk konfirmasi diagnosa OSA
sebelumnya. 11

CPAP titration study
Setelah 2 jam manifestasi OSA dalam polisomnografi, teknisi menginterupsi
studi untuk melakukan pemasangan masker (nasal, atau nasal dan oral). Pasien
terbangun untuk mencocokkan masker kemudian tidur lagi dengan udara
pernafasan tekanan positif yang dialirkan melalui masker tadi. Tekanan yang
diberikan ditingkatkan perlahan hingga obstructive apnea dan hypopnea tidak
lagi terjadi. 11
Tujuan dari CPAP titration study:
o
Menentukan besar tekanan positif yang efektif bagi pasien.
o
Menentukan ukuran masker yang nyaman.
o
Memastikan bahwa pasien toleran terhadap tata laksana terapi. 11
c. Pemeriksaan penunjang lainnya
Beberapa pemeriksaan penunjang lain yang dapat dipakai untuk memperkuat
diagnosa OSA adalah:

Fiberoptic nasopharyngoscopy

Pemeriksaan radiologis, seperti lateral cephalometric radiographs,
fluoroskopi, CT-scan dan MRI.
Namun karena efektifitas pemeriksaan-pemeriksaan tersebut masih diragukan,
ditambah lagi dengan biaya yang mahal, penggunaannya untuk diagnosa OSA masih
belum populer. 6

2.2.8 Tatalaksana
Secara umum terapi untuk mengatasi gangguan tidur pada OSA dapat dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu : 6
1. Intervensi bedah : Pembedahan hidung; bedah plastik untuk palatum, uvula
dan faring; somnoplasty; trakeostomi.
2. Perubahan gaya hidup : Menurunkan berat badan; menghindari alkohol dan
obat-obatan pembantu untuk tidur; menghindari kelelahan yang sangat dan
mengkonsumsi kafein.
3. Alat-alat buatan : Alat untuk mereposisi rahang dan mencegah lidah jatuh ke
belakang (mempertahankan posisi lidah); cervical collars atau bantal; CPAP.
Penanganan OSA ringan dapat satu atau beberapa modalitas seperti oral
appliances, positive airway pressure devices, pembedahan. Sedangkan penanganan
pasien dengan OSA sedang dan berat yaitu penggunaan positive airway pressure
devices. Pasien yang tidak toleran dengan pemberian tekanan jalan napas positif atau
tidak adekuat dengan pemberian tekanan udara positif saja, dapat dianjurkan untuk
tindakan bedah. 23
Penatalaksanaan yang Berkaitan dengan Gaya Hidup
1. Perubahan gaya hidup
Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala,
seperti: 23
• Penurunan berat badan
• Mengurangi konsumsi alkohol, khususnya sebelum tidur
• Tidur dengan posisi miring (dibandingkan supine)
• Good sleep hygiene
• Pemakaian PAP yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur
2. Konsumsi alhohol
Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan
kafein pada malam hari dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan
mekanisme pernapasan sentral5
Kadar alkohol saat tidur (0,5-0,75 mL/kg) dapat meningkatkan resistensi
inspirasi selama stage 2 non-rapid eye movement (nREM) tidur pada laki-laki
muda normal. Efek terhadap pusat respirasi bervariasi tergantung dari metoda
pengukuran yang digunakan. Tekanan oklusi inspirasi yang diukur dengan
menilai otot-otot inspirasi, cenderung meningkat selama tidur setelah
mengkonsumsi alkohol. Namun demikian, respons ventilasi terhadap hiperkapnia
menurun pada banyak subjek dan respons terhadap hipoksia isokapnik bervariasi,
meningkat pada sebagian subjek. Mendengkur kemungkinan terjadi karena
resistensi inspirasi yang tinggi selama tidur. 23
3. Obesitas
OSA dapat berkaitan dengan berat badan.Tambahan jaringan lemak di
sekitar leher dapat menyebabkan saluran napas menjadi lebih sempit, sehingga
obstruksi pun beresiko lebih tinggi untuk terjadi. Untuk pasien dengan masalah
overweight yang ringan, penurunan berat badan dapat menjadi tatalaksana yang
efektif. Selain itu, menurunkan berat badan pada pasien overweight juga
memberi dampak yang baik bagi kesehatannya.
Penelitian epidemiologik menunjukkan ada hubungan kuat antara obesitas
dan OSA. Namun demikian, secara kausal hubungan antara berat badan berlebih
dan sleepdisordered breathing masih sulit ditemukan. Insidens OSA diantara
pasien obese adalah 12 sampai 30 kali lebih tinggi dibandingkan populasi lain
dan pasien ini dapat bariatric surgery, meskipun rekurensi jangka panjang
kemungkinan dapat terjadi. Pendekatan baik bedah maupun bukan bedah untuk
menurunkan berat badan telah dilakukan, meskipun kebanyakan penelitian
mempunyai banyak keterbatasan. 23
Lingkar leher, merupakan prodiktor kuat untuk sleep-disordered breathing
diantara beberapa penelitian antropomorfik, sehingga obesitas tubuh bagian atas,
dibandingkan dengan distribusi lemak tubuh secara keseluruhan, lebih
berpengaruh terhadap terjadiny OSA. Penurunan berat badan harus dianjuran
pada pasien OSA, termasuk juga mereka yang dengan peningkatan berat badan
sedang. Kombinasi diet sangat rendah kalori dengan pengaturan kebiasaan adalah
aman dan hemat sebagai penanganan utama OSA.24
4. Posisi Tubuh
Posisi supine merupakan posisi yang efektif untuk menurunkan AHI pada banyak
pasien. Ada beberapa alat bantu guna mempertahankan posisi tubuh lateral. Nilai
Apnea- Hyponea Index (AHI) pada pasien dengan posisi tidur apneik dianalisis
dengan tahapan tidur (sleep stage) untuk menentukan apakah perbedaan posisi
mempengaruhi nREM. Perbedaan beratnya apnea dikaitkan dengan posisi tidur
didapatkan menetap pada REM sehingga penanganan posisi tidur perlu
dipertimbangkan.10 Hasil penelitian menunjukkan meskipun pasien dengan OSA
berat memiliki jumlah apneik yang banyak pada posisi supine dan lateral,
kejadian apneik lebih berat pada posisi tidur supine daripada tidur lateral. 6,23
Apneu cenderung memburuk ketika pasien tidur dengan posisi telentang
atau supine, karena efek gravitasi menyebabkan lidah jatuh ke belakang dan
menutupi jalan napas, demikian juga yang terjadi pada otot-otot sekitar
pernapasan dan jaringan lain (seperti tonsil) akan kolaps dan memblok jalan
napas. Untuk menghindari posisi supine, dapat dilakukan berbagai cara, mulai
dari yang sederhana seperti meletakkan bantal pengganjal, hingga pemakaian
bantal khusus (yang telah lulus uji FDA) yang berfungsi memposisikan leher
lebih tinggi daripada kepala sehingga saluran napas lebih paten. 16
Penatalaksanaan OSA Ringan, Sedang dan Berat
1. CPAP
Positive airway pressure (PAP) diketahui merupakan terapi baku emas
untuk OSA. Bentuk umum dari PAP adalah continuous positive airway pressure
(CPAP). Alat ini dapat digunakan melalui masker nasal, masker oral atau
variasivariasi lain. Sullivan dkk melaporkan penggunaan nasal CPAP sebagai
terapi OSA. Konsep CPAP antara lain bekerja melalui tekanan positif di jalan
napas atas pada tingkat yang konstan atau berfungsi untuk menjaga jalan napas
atas tetap paten / terbuka selama tidur dan mempertahankan volume paru
sehingga membantu faring tetap paten. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya
apnea dan dapat mengeliminasi kejadian mendengkur. Terapi menggunakan
CPAP akan meningkatkan kualiti hidup dan menurunkan tekanan darah. Terapi
ini dianggap efektif untuk pasien OSA sehingga merupakan terapi lini pertama
dan pilihan utama serta merupakan terapi seumur hidup karena jika pasien
menghentikan pemakaian CPAP maka gejala-gejala OSA akan terulang kembali.
11,23.

Kelemahan CPAP adalah adanya rasa tidak nyaman pada saat


penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit kepala, rinitis, iritasi wajah
dan hidung serta aerofagia. 3,4,16
Tekanan CPAP umumnya diatur secara manual dan dititrasi selama
polisomnogram, hingga didapatkan tekanan yang tepat untuk mengatasi episode
apneik dan hipopneik pada semua tahap tidur dan posisi tubuh, mengurangi
fragmentasi tidur, snoring dan desaturasi oksigen, yang pada akhirnya
memperbaiki kehidupan sehari-hari. AutoPAP (AutoPAP, Self-Titrating CPAP,
Auto- Adjust CPAP) dapat dapat pula digunakan untuk mendapatkan tekanan
CPAP yang efektif. 23
Tanda keberhasilan terapi OSA adalah pasien OSA dapat tidur lebih baik,
merasa lebih segar pada waktu bangun tidur dan terjadi penurunan tekanan darah
serta menghilangkan gejala-gejala OSA. Pasien-pasien OSA yang mendapatkan
terapi OSA merasakan peningkatan dalam hal : vitaliti dan motivasi, kinerja
dalam bekerja, mood, kendali dan tindakan yang berkenaan dengan seks,
kewaspadaan saat mengendarai kendaraan dan kualiti hidup. 6,23
Keberhasilan dari terapi ini sangat bergantung pada kepatuhan pasien
untuk menggunakan alat tersebut, sehingga alat ini menjadi kurang efektif jika
tidak digunakan secara teratur. Variabel-variabel seperti umur, jenis kelamin,
tingkat keadaan mengantuk pada siang hari dan tingkah laku yang berhubungan
dengan penggunaan CPAP merupakan faktor-faktor penentu terhadap kepatuhan
menggunakan CPAP.11,23
Sebaliknya, jika terjadi kegagalan pada penggunaan CPAP akan
meningkatkan salah satu risiko yang berkaitan dengan OSA yang tidak diobati,
yaitu: hipertensi (OSA meningkatkan risiko sebanyak 5 kali untuk terjadi
hipertensi), stroke dan Congestive heart failure (CHF). 11,25
Metode ini adalah yang paling banyak dikembangkan dan diterapkan
pada pasien OSA yang tidak membutuhkan tindak operatif. Nasal CPAP bekerja
dengan mengaplikasikan udara bertekanan positif pada saluran napas bagian atas,
dan bertindak secara efektif menyerupai pompa pneumatik yang akan
mempertahankan patensi saluran napas. Secara fisiologis, nasal CPAP
meningkatkan tekanan intraluminal untuk mempertahankan tekanan udara berada
di atas tekanan kolaps jalan napas, baik selama inspirasi maupun ekspirasi. Alat
ini juga dinyatakan dapat meningkatkan volume paru, sehingga akan
memperbaiki oksigenasi. 14

Cara kerja nasal CPAP


Gambar ... Nasal C PAP

Tekanan nasal CPAP yang efektif dalam terapi terhadap OSA


bervariasi, tergantung pada posisi tidur, berat badan, stadium tidur, patensi
nasal, dan adanya penggunaan obat-obat sedatif.Tekanan CPAP harus dititrasi
secara individual dan mungkin membutuhkan periode penyesuaian.Penentuan
tekanan yang tidak tepat dapat menyebabkan under-treatment apneu sehingga
pasien mengalami penurunan kedalaman tidur dan bergerak saat tidur,
sehingga memungkinkan alat terlepas.Sebaliknya pada tekanan yang terlalu
tinggi, pasien dapat terbangun secara spontan, mengalami apneu sentral, dan
intoleransi.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan nasal CPAP
dalam mengatasi OSA adalah tergantung pada: 1) Tekanan mesin yang tepat,
2) Pemakaian masker yang ketat tapi tetap nyaman, 3) Toleransi pasien, dan 4)
Kerjasama pasien. Permasalahan yang sering timbul pada penggunaan nasal
CPAP biasanya berhubungan dengan rhinitis, rasa tidak nyaman pada
pemakaian masker, klaustrofobia, disfungsi tuba eustachius, dan suara bising.
14

2. Bi-level PAP
Bi-level PAP merupakan suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang
mengalirkan tekanan inspirasi (IPAP) dan ekspirasi (EPAP) yang berbeda
kepada pasien yang bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap
terbuka. Dengan mengalirkan tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan
total yang ada di jalan napas kemudian dapat diturunkan sehingga mendekati
pernapasan normal. Bi-level memiliki aliran tambahan untuk mendapatkan
ventilasi yang diingingkan pada pasien dengan berbagai masalah respirasi dan
telah digunakan pada terapi OSA. Keuntungan metode ini adalah menurunkan
kerja pernapasan (work of breathing), menurunkan rerata tekanan. Karenanya
bilevel dapat digunakan pada pasien OSA yang tidak toleran terhadap CPAP
atau AutoPAP. Metode ini baik untuk pasien PPOK eksaserbasi berulang atau
PPOK berat atau sindroma hipoventilasi, terutama yang menglamai
hiperkapnia. Biarpun demikian pengunaan bi-level sebagai terapi awal OSA
tidak dianjurkan, karena metoda ini tidak lebih baik dibandingkan CPAP.
Kalaupun digunakan, tekanan IPAP dan EPAP harus diatur secara manual
selama pemeriksaaan polisomnogram dan kebanyakan pasien dapat CPAP ini
jika titrasi bertulang ternyata memperbaiki sleep-disordered breathing dengan
mengatur tekanan. 23

Gambar Perbedaan CPAP dan Bi PAP


3. Oral Appliances
Oral appliances dianjurkan pada pasien OSA ringan yang tidak respons dengan
melakukan perbaikan gaya hidup atau yang yang tidak tidak toleran dengan
pemberian tekanan positif jalan napas. Mandibular repositioning devices dapat
memberikan keberhasilan pada pasien OSA ringan dengan obstruksi di orofarings
dan dasar lidah. Tongue retaining devices dapat menolong pasien dengan
keterbatasan atau hilangnya natural dentition, kelainan temporomandibular dan
keterbatasan membuka mulut. Mandibular repositioning devices ini bekerja dengan
meningkatkan ukuran jalan napas faringeal atau dengan dengan kata lain
menurunkan kolaps. Penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan alat ini
memberikan keberhasilan menurunkan nilai AHI (45%) tetapi kurang efektif
dibandingkan CPAP hidung (menurunkan nilai AHI 70%). 14,23
Pasien lebih menyukai terapi dengan mandibular repositioning device daripada
CPAP hidung. Keberhasilan metoda ini sekitar 50% sampai 80%. Perbaikan metode
pengobatan ini selama beberapa tahun terakhir berkaitan dengan desain, bahan dan
dapat diatur, selain tu metoda ini memberikan keuntungan karena tidak invasif,
mudah dibuat dan dapat diterima pasien. 14,23
Perangkat oral yang umum digunakan untuk tatalaksana OSA adalah perangkat
mandibula dan perangkat penahan lidah.Perangkat mandibula atau mandibular
advance devices terdiri dari cetakan plastik dari gigi-geligi pasien. Bentuknya mirip
dengan mouth guard yang sering digunakan oleh atlet tinju, football, dan olahraga
dengan kontak fisik lainnya. Perangkat ini bertujuan untuk menjamin protrusi
mandibula dan keterbukaan pasase udara selama tidur.
Perangkat mandibula

Perangkat penahan lidah atau tongue-retaining device yang bentuknya juga


serupa, dilengkapi dengan suction/penghisap. Pada penggunaan perangkat ini, lidah
diletakkan pada bagian penghisap sehingga posisinya selama tidur adalah tetap di
bagian depan mulut dan tidak terjatuh ke belakang. Tujuan akhirnya adalah mengatasi
obstruksi jalan napas oleh basis lidah. 15
4. Tindakan bedah
Tujuan utama terapi operatif adalah untuk menciptakan jalan napas yang lebih
terbuka sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya obstruksi.Terdapat berbagai
prosedur operasi, dengan angka keberhasilan yang berbeda-beda pula.Keputusan
untuk melaksanakan operasi adalah berdasarkan motivasi pasien, derajat beratnya
penyakit pada pasien sebagaimana ditunjukkan oleh polisomnografi, dan lokasi serta
tingkat keparahan kolaps saluran napas atas.Sebelum melakukan tindak operasi,
pasien perlu menjalani pemeriksaan secara medis dan psikologis.
Berikut ini adalah indikasi dilaksanakannya terapi operatif pada pasien OSA: 6
a. Indeks apneu-hipopneu (AHI) > 15
b. Desaturasi oksihemoglobin < 90%
c. AHI > 5 dan <14, dengan rasa ngantuk berlebihan di siang hari
d. Sindrom resistensi saluran napas atas dengan disfungsi neurokognitif
e. Aritmia jantung signifikan yang berkaitan dengan obstruksi
f. Terapi non-operatif yang tidak berhasil atau ditolak pasien (dan lebih
menginginkan terapi operatif)
g. Cukup stabil secara medis untuk menjalani prosedur operasi.

Setelah diagnosis OSA ditegakkan dengan pengawasan melalui


polisomnografi dan lokasi potensial obstruksi telah diidentifikasi dengan pemeriksaan
preoperative, rekonstruksi saluran napas atas dapat dipertimbangkan.Sesuai dengan
lokasi terbanyak terjadinya obstruksi, tindak operatif dapat dibagi menjadi tiga bagian
besar, yaitu operasi pada daerah nasal, palatal, dan hipofaringeal. Berbagai alternatif
tatalaksana operasi yang dapat dilakukan bagi pasien OSA adalah: 6
 Operatif Nasal
a. Septoplasti nasal
b. Turbinektomi inferior
c. Adenoidektomi
d. Eksisi tumor atau polip nasal
e. Rekonstruksi klep nasal
 Operatif Palatal
a. Uvulopalatofaringoplasty (UPPP)
b. Flap uvulopalatal
c. Tonsilektomi
d. Transpalatal advancement pharyngoplasty
e. Uvulopalatoplasty dengan laser
f. Palatal radiofrequency
 Operatif Hipofaringeal
a. Osteotomi maxilomandibular
b. Osteotomi mandibula dengan genioglossus advancement
c. Miotomi dan suspensi hyoid
d. Tongue base radiofrequency
e. Glosektomi parsial
f. Tonsilektomi lingual
g. Repose tongue suspension
Pada dasarnya, trakeostomi merupakan gold standard manajemen operatif
karena memungkinkan bypass secara komplit terhadap obstruksi saluran napas atas.
Akan tetapi, alternatif terapi ini jarang dipilih pasien karena faktor ketidaknyamanan
pasien dan masyarakat masih kurang dapat menerima keadaan pasien dengan
trepasang trakeostomi.
Prosedur Nasal
Rasionalisasi dari prosedur operatif nasal adalah untuk memperbaiki patensi
rongga hidung, sebagai usaha untuk mengembalikan pernapasan fisiologis; untuk
memfasilitasi CPAP; dan meminimalisasi pernapasan melalui mulut selama tidur. 1
Deviasi septum nasi, hipertrofi konkha, serta kolaps katup nasal dan alae nasi,
dikoreksi dengan septoplasty, reduksi konkha, implan kartilago katup nasal.
Hipertrofi adenoid diterapi dengan adenoidektomi.
Prosedur Palatal
Operasi jaringan lunak meliputi obstruksi pada area palatum mole atau
velofaring. Berbagai variasi prosedur baru telah muncul dalam usaha mengatasi
obstruksi pada tingkat ini, setelah diperkenalkankannya Uvulopalatofaringoplasty
(UPPP) oleh Fujita pada tahun 1981. 6
Prosedur UPPP bertujuan memperpendek dan menegangkan palatum durum
dengan cara mengangkat uvula secara parsial dan mereduksi tepi palatum durum.Kini
metode UPPP telah mengalami berbagai modifikasi, dimana anestesi hanya secara
lokal, tonsil tidak dieksisi, dan penutupan jaringan lunak tetap berada pada aspek
superior pilar tonsil.Teknik ini terutama dipakai pada tatalaksana pasien mendengkur.

Metode operatif uvulopalatopharyngoplasty

Flap uvulopalatal juga dapat dipertimbangkan. Prosedur ini dapat mencapai


hasil anatomis yang serupa dengan prosedur UPPP, tapi dengan nyeri post-operatif
yang lebih ringan dan lebih sedikit keluhan mengenai sekresi kental atau sensasi
benda asing pada daerah palatal.
Metode operatif uvulopalatal flap

Prosedur Hipofaringeal dan Dasar Lidah


Faktor-faktor yang perlu diwaspadai dalam kecurigaan obstruksi hipofaring
antara lain adalah faktor obesitas (IMT > 31 kg/m 2), defek skeletal mandibula, PAS <
11 mm pada radiogram sefalometri lateral, penyempitan airspace retrolingual, kolaps
dinding faring lateral, dan AHI moderat hingga berat (> 30).
Prosedur-prosedur yang digunakan untuk menatalaksana lokasi hipofaring dan
basis lidah dapat dikelompokkan dalam 3 kategori berdasarkan mekanisme aksinya: 6
a. Reduksi jaringan
Yang termasuk dalam kategori ini adalah glosektomi midline dengan laser,
lingualplasty, dan radiofrequency tongue ablation. Prosedur-prosedur ini
bertujuan untuk eksisi, ekstirpasi, atau mengecilkan lidah dan volume jaringan
di sekitarnya.

b. Meningkatkan tonus
Prosedur yang tergolong dalam ketgori ini adalah genioglossal advancement,
miotomi hyoid, dan osteotomi maksilomandibula.Tujuan prosedur-prosedur
ini adalah meningkatkan tonus otot-otot genioglossus dan geniohyoid,
sehingga mencegah lidah kolaps ke jalan napas akibat hipotonia otot saat
tidur.

Prosedur miotomi dan suspensi hyoid yang telah dimodifikasi

c. Meningkatkan airway space


Termasuk dalam kategori ini adalah prosedur miotomi hyoid dan osteotomi
maksilomandibula.Tujuannya adalah meningkatkan airway space dengan
memperbaiki jaringan saluran napas atas di sebelah anterior.

Prosedur maxillomandibular osteotomy and advancement (MMA)

5. Kesuksesan Teknik Operatif


Metaanalisis oleh Sher, Shechtman, dan Piccirillo1, mendeskripsikan ambang
kesuksesan tatalaksana operatif OSA sebagai reduksi AHI sebesar 50% (dengan AHI
post-operatif <20) atau reduksi AI sebesar 50% (dengan AI post-operatif <10).
Definisi lain yang lebih ketat hanya mempergunakan AHI sebagai pedoman, yaitu
harus mencapai perbaikan hingga 50% dengan nilai post-operatif sebesar <20.
Selain peningkatan signifikan pada hasil pemeriksaan polisomnograf, pasien
juga harus mengalami perbaikan dari kebiasaan mendengkur dan hygiene tidur.
Perbaikan lain tampak dari penurunan gejala-gejala OSA, seperti berkurangnya rasa
mengantuk berat di siang hari, peningkatan daya konsentras, dan peningkatan
performa kerja.

Gambar 6. Algoritma penatalaksanaan OSA ringan, sedang dan berat 23

2.2.8 Prognosis dan Komplikasi


Konsekuensi yang didapat jika OSA tidak diobati dapat dibagi menjadi 2
kategori
yaitu : 25,26,27,28
2.2.8.1. Gangguan tidur : penampilan yang buruk dalam mengerjakan pekerjaan,
menurun daya ingat jangka pendek, kecelakaan kerja dan kendaraan
bermotor (pasien OSA memiliki risiko 15 kali lebih sering mendapat
kecelakaan kendaraan bermotor dibandingkan pada populasi umumnya),
kehilangan energi sepanjang hari, sakit kepala pada pagi hari, penambahan
berat badan, gangguan mood dan depresi, impotensi dan penurunan
hubungan seksual.
2.2.8.2. Hiipertensi (pada 50% pasien OSA) yang jika OSA tetap tidak ditangani
maka kejadian hipertensi akan meningkatkan risiko untuk terjadinya
serangan jantung atau stroke), aritmia jantung, dan stres pada sistem
kardiovaskular karena OSA menyebabkan jantung dan paru bekerja lebih
keras. Hipertensi yang terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosa ataupun
tidak mendapat pengobatan OSA dapat menjadi sulit diatasi, dan berbagai
konsekuensi yang akan terjadi. Hal ini mengharuskan pengobatan OSA
yang efektif akan memperbaiki dan terkontrolnya tekanan darah pada
beberapa pasien.
2.2.8.2.1. Penyakit kardiovaskuler
Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan
hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular
pada penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang
yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi
pelepasan faktor-faktor protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada
terjadinya aterosklerosis.1
Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui
dua komponen:1,3
1. Efek mekanis dari henti napas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi
jantung.
2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan
simpatis yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.

Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur. OSA
dikenal sebagai faktor risiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana OSA
menyebabkan peningkatan tekanan darah belum sepenuhnya diketahui. Ada
kemungkinan peranan hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan tekanan darah pada
penderita OSA. Mekanisme lain yang berpotensi meningkatkan tekanan darah pada
penderita OSA adalah hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan kadar
angiotensin II dan aldosteron, disfungsi sel-sel endotel dan gangguan fungsi
barorefleks.1
OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit
aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa
kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari OSA, di antaranya:1
 Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan
stres oksidatif.
 Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I
dalam plasma, penurunan produksi nitrit-oksida dan peningkatan respons
peradangan terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan
interleukin-6.

Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara


OSA dan infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung dari
hipertensi, aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis,
peningkatan koagulopati dan respons inflamasi.1,3
Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke.
Kemungkinan peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses
aterosklerosis, hipertensi, berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding
arteri karotis, output jantung yang rendah, peninggian tekanan intrakranial,
peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko terbentuknya bekuan darah akibat
aritmia. 1
Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi,
sinus arrest dan blokade jantung komplet. Risiko untuk terjadinya aritmia
berhubungan dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita
OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh
kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.1
Hipoksia menurunkan hantaran oksigen yang akan meyebabkan iskemia
miokard. Hipoksia juga mengganggu diastolik dan kontraksi jantung. Kombinasi
hipoksia dengan usaha inspirasi dan retensi CO2 memicu fase arousal OSA yang
akan menstimulasi aktifitas simpatik. Jika hal ini berlangsung terus menerus,
maka akan terjadi kardiomiopati hipertrofik, hipertensi dan gagal jantung. Hal ini
dibuktikan dengan hasil penelitian yang menyatakan pasien dengan gejala
kardiomiopati hipertrofik dan OSA mengalami perbaikan setelah menjalani terapi
OSA dengan baik. Penelitian mendapatkan nilai abnormal nokturnal oksimetri (71%)
pada pasien dengan kardiomiopati hipertrofik yang berkaitan dengan OSA.
Penelitian lain juga melaporkan bahwa pasien dengan kardiomiopati hipertrofik
mengalami penurunan gejala dan obstruksi jalan napas setelah OSA yang ada
diterapi dengan CPAP.
Peningkatan aktivitas simpatis yang juga terjadi pada OSA dapat
mengakibatkan gangguan hemostasis seperti takikardi, kerusakan kardiovaskuler,
disfungsi endotel, dan inflamsi sistemik. Pada penderita OSA, gangguan hemostasis
ini terus terjadi walaupun pasien sedang terjaga dan belum terdeteksi sebagai
penderita penyakit kardiovaskuler.

2.2.8.3.1 OSA berhubungan dengan manifestasi klinis kardiometabolik


termasuk hipertensi dan DM tipe 2
Diperkirakan sekitar 40% pasien OSA akan mengalami DM tipe 2, dan pasien
DM tipe 2 memiliki prevalensi OSA hingga 23%. Perkiraan prevalensi OSA pada
obesitas berat telah dilaporkan berkisar 40-90%. Tidak ada uji klinis acak
yang mendukung penurunan risiko kardiovaskuler dengan pengobatan CPAP,
namun dijumpai peningkatan risiko kardiovaskuler pada OSA, bahkan berhubungan
dengan komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati, dan neuropati
diabetik.

Beberapa mekanisme pada OSA yang dihubungkan dengan gangguan


metabolisme glukosa atau DM tipe 2, yaitu:
a. Aktivasi Sistem Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis memegang peran utama dalam regulasi
metabolisme glukosa dan lemak. OSA menyebabkan peningkatan aktivitas
simpatis tidak hanya selama tidur, namun juga pada saat subjek
sadar. Aktivasi simpatis diperkirakan predominan karena hipoksia
nokturnal. Kejadian terbangun berulang saat tidur yang diikuti kejadian
napas obstruktif juga cenderung mengeksaserbasi efek ini.
b. Efek Langsung Hipoksia
Beberapa studi pada subjek normal menunjukkan gangguan tidur dan
hipoksia intermiten dapat mengurangi sensitivitas insulin dan
memperburuk toleransi glukosa. Studi pada hewan percobaan
menunjukkan hipoksia intermiten selama jam sadar mereduksi sensitivitas
insulin.

c. Disfungsi Hipotalamik-Pituitari-Adrenal (HPA)


Hipoksia dan gangguan tidur menyebabkan aktivasi aksis HPA dan
peningkatan kadar kortisol dengan pola abnormal dan berlebihan,
dengan potensi konsekuensi negatif terhadap sensitivitas dan sekresi
insulin.

d. Inflamasi sistemik
Pasien OSA memiliki kadar penanda inflamasi lebih tinggi yang ditunjukkan
dengan peningkatan aktivasi monosit dan limfosit yang independen
dari adipositas. Efek ini diperkirakan karena efek hipoksia intermiten, namun
aktivasi simpatis mungkin juga dapat berperan.

e. Adipokin
Adipokin merupakan faktor biologik aktif yang disekresi oleh adiposit
dan mempengaruhi homeostasis energi dan glukosa. Faktor turunan
adiposit seperti leptin, adiponektin, dan resistin diperkirakan berperan
secara integral dalam terjadinya abnormalitas-terkait obesitas pada
metabolisme glukosa. Leptin memiliki peran di sentral untuk regulasi
rasa lapar dan peningkatan berat badan dengan meningkatkan
anoreksigenik dan menurunkan oreksigenik ekspresi neuropeptida pada
hipotalamus dan peran di perifer melibatkan homeostasis glukosa.
Adiponektin disintesis oleh adiposit diperkirakan memiliki properti
sensitisasi insulin. Rendahnya konsentrasi adiponektin merupakan faktor
risiko kejadian diabetes, aterosklerosis, dan dislipidemia. Studi pada
hewan percobaan menunjukkan kurangnya adiponektin berhubungan
dengan resistensi insulin dan kadar adiponektin yang tinggi pada studi
manusia memiliki efek protektif terhadap diabetes. Pada OSA dijumpai
peningkatan kadar leptin dan penurunan kadar adiponektin bila
dibandingkan dengan individu sehat. Namun, apakah peran
peningkatan konsentrasi leptin dan penurunan konsentrasi adiponektin
memperantarai resistensi insulin dan disfungsi.
Gambar mekanisme penyebab hubungan OSA dan DM tipe 2 (Shaw, et al, 2008)
BAB III
KESIMPULAN

Sleep apnea adalah kondisi dimana timbulnya episode abnormal pada


frekuensi nafas yang berhubungan dengan penyempitan saluran nafas atas pada
keadaan tidur yang dapat berupa henti nafas (apnea) atau menurunnya ventilasi
(hypopnea) . Sleep apneu ditandai oleh terhentinya aliran udara di hidung dan mulut
pada saat tidur dan lamanya lebih dari lebih dari 10 detik, terjadi berulang kali, dapat
mencapai 20-60 kali per jam, dan disertai dengan penurunan saturasi oksigen lebih
dari 4%. Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peristiwa kolapsnya saluran napas bagian atas secara periodik pada saat tidur yang
mengakibatkan apnea dan hipopnea atau keduanya dengan periode antara 10 dan 30
detik , akibat adanya sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi
secara berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM.
OSA dapat terjadi dalam setiap kelompok umur, namun terjadi kenaikan
prevalensi antara usia pertengahan dan usia tua dengan prevalensi meningkat
setidaknya menjadi 1 dari 10 orang di antara orang yang berusia di atas 65 tahun.
CSA lebih dominan terjadi pada laki-laki dan jarang terjadi pada wanita
premenopause, pada usia lebih dari 60 tahun. Etiologi OSA adalah keadaan kompleks
yang saling mempengaruhi berupa neural, hormonal, muskular dan struktur anatomi
yang menyebabkan kolapsnya saluran nafas atas. Faktor risiko untuk terjadinya OSA
meliputi umur, jenis kelamin, ukuran dan bentuk jalan nafas, penyakit lain seperti
emfisema, asma, kelainan endokrin, penyakit neuromuskular, dan terkai gaya hidup
seperti merokok,mengkonsusi alkohol dan kelebihan berat badan.
Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI) yang
ditetapkan oleh The American Academy of Sleep Medicine dikelompokan menjadi 3
golongan yaitu, ringan (nilai AHI 5-15/jam), sedang (nilai AHI 15-30/jam) dan berat
(nilai AHI >30/jam).
Faktor yang berperan pada patogenesis OSA yaitu obstruksi saluran napas
daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang yang dapat
menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, ukuran lumen faring, dan kelainan
kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring. Tanda dan gejala yang umum
dihubungkan dengan kejadian OSA dapat juga dikelompokan menjadi gejala malam
saat tidur dan gejala saat pagi atau siang.
Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola
tidur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus.
Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat
mengarahkan kepada indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSA berupa
pemeriksaan tidur semalam dengan alat polysomnography / PSG. Terapi untuk
mengatasi gangguan tidur pada OSA dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu intervensi
bedah berupa pembedahan hidung; bedah plastik untuk palatum, uvula dan faring;
somnoplasty; trakeostomi, perubahan gaya hidup berupa menurunkan berat badan;
menghindari alkohol dan obat-obatan pembantu untuk tidur; menghindari kelelahan
yang sangat dan mengkonsumsi kafein, dan pengunanaan alat-alat buatan yaitu alat
untuk mereposisi rahang dan mencegah lidah jatuh ke belakang (mempertahankan
posisi lidah); cervical collars atau bantal; CPAP.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumardi. Hisjam, Barwani. Ryanto, Bambang Sigit. Budiono, Eko.Sleep


Apnea (Gangguan Bernafas saat Tidur. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. FKUI. 2006.hlm .2347-2352

2. Anthariksa, Budi. Dkk. Obstructive Sleep Apnea (OSA) dan Penyakit


Kardiovaskular. 2009. Dept Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
FKUI – RS Persahabatan dan Dept Kardiologi dan Ilmu Kedokteran Vaskular,
FKUI – RSPN Jantung Harapan Kita.

3. American Lung Association State of Lung Disease in Diverse Communities.


Obstructive Sleep Apnea or Sleep-Disordered Breathing.
http://www.lung.org/assets/ documents /publications/solddc-chapters/osa.pdf.

4. American Academy of Sleep Medicine. Obstruktif Sleep Apnea. http://www


.aasmnet.org/resources/factsheets/sleepapnea.pdf.

5. Cahyono, Arie. Dkk. Hubungan Obstructive Sleep apnea dengan Penyakit


Kardiovaskular. Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit dr.Cipto
Mangunkusumo Jakarta – Indonesia. http://www.perhati.org/wp-
content/uploads/2011/11/Final-edit-nadya-Hubu ngan-obstructive-sleep-apnea-
_2_.pdf.

6. Anthariksa, Budi. Obstruktive Sleep Apnea (OSA). Department Pulmonologi


&Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. 2010.
http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/EDITORIAL%20Obstructive
%20Sleep%20Apnea.pdf.
7. Lam, Jamie C.M. Sharma , S.K. Lam , Bing. Obstructive sleep apnoea:
Definitions, epidemiology & natura history. 2010. Indian J Med Res 131.
http://icmr.nic.in/ijmr/2010/february/0206.pdf.

8. National Heart, Lung and Blood Institute. Sleep Apnea: What is Sleep Apnea?
May 2009. Available at
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/SleepApnea/SleepApneaWhoIsA
tRisk.html.

9. Brown , J.R. Obstructive Sleep Apnea. http://www.faa.gov/pilots/safety/


pilotsafet ybrochures/media/Sleep_Apnea.pdf.
10. Punjabi NM. The epidemiology of adult obstructive sleep apnea. Proc Am
Thorac Soc 2008; 5 : 136-43.

11. Dixon JB, Schachter LM, O’Brien PE. Sleep disturbance and obesity. Arch
Intern Med 2001;161:102-6.

12. Madani M. Snoring and obstructive sleep spnea. Arch of Iranian Med 2007;
10(2):215-26.

13. JA , Rowley. Et All.. Patient Information Series : What is Obstructive Sleep


Apneu In Adult?. 2009. American Thoracic Society. 9.
http://patients.thoracic.org/information-series/en/resources/obstructive-sleep-
apnea.pdf.

14. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of Obstructive Sleep


Apnoea/Hypopnoea Syndrome in Adults. 2003.
http://www.sign.ac.uk/pdf/sign73.pdf.

15. Arter JL, Chi DS, Girish M, Fitzgerald SM, Guha B, Krishnaswamy G.
Obstructive sleep apnea, inflamation and cardiopulmonary disease. Frontiers in
Bioscience 2004; 9:2892-900.
16. A,Carlos. Edgardo, Nigro. Rhodius, E. Effect of The Definition of Hypopnea
On Apnea On Apnea/ Hypopnea Index. 2003. Medicina – Volumen 63 – No 2.

17. Anthariksa, Budi. Patogenesis, Diagnostik dan Skrining OSA (Obstructive


Sleep Apnea). Kepala Sleeplab RS Persahabatan Dept Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi RS Persahabatan-FKUI Jakarta.

18. Sleep apnea and snoring. Available at: http://www.The silencer.com. Accessed
on june 19th,2005.

19. Caples SM, Gami AS, Somers VK. Obstructive sleep apnea, physiology in
medicine: a series of articles linking with science. Ann Intern Med 2005;
142:187-97.
20. Schwab RJ, Pasirstein M, Pierson R et al. Identification of upper airway
anatomic risk factors for obstructive sleep apnea with volumetric magnetic
resonance imaging. Am J, Respir crit care med 2003;168:522-30.

21. Ovid, Roux. Sleep related breathing disorder and cardiovascular disease. Am J
med 2000;108:396-402.
22. Hiestand DM, Britz P, Goldman M, Phillips B. Prevalence of sleep apnea in
the US population. Chest 2006; 130:780-6.

23. Prasenohadi. Penatalaksaan Obstructive Sleep Apnea. Departemen


Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta. 2010.
http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA-prasenohadi.pdf.

24. Lojander J, Mustajoki P, Rönkä S, Mecklin P, Maasilta P. A nurse-managed


weight reduction program for obstructive sleep apnoe syndrome. J Int Med
1998;244:251-5.
25. Klink M, Quan SF. Prevalence of reported sleep disturbances in a general adult
population and their relationship to obstructive airways diseases. Chest1987;
91:540-6.

26. Drazen JM. Sleep apnea syndrome. N Engl J Med 2002; 346: 390-5.

27. Aloia MS, Stanchina M, Arnedt JT, Malhotra A, Millman RP. Treatment
adherence and outcome in flexible vs standard continuous positive airway
pressure therapy. Chest 2005;127;2085-93.

28. Gibson GJ. Obstructive sleep apnea syndrome: underestimated and


undertreated. British medical bulletin 2004;72:49-64

29. M. Ryan , Clodagh dan Bradley , T. Douglas . Pathogenesis of obstructive


sleep apnea. 2005 J Appl Physiol 99: 2440–2450,

30. Cahyono arie, hermanti Bambang, Mangunkusumo Endang, et al. Hubungan


obstructive sleep apnea dengan penyakit sistem kardiovaskuler [Jurnal].
Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Rumah Sakit dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta –
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai