Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah kami
yang berjudul “Pandangan Agama Tentang Aborsi” ini tepat pada waktunya.

Makalah ini membahas tentang pengertian dan tanggapan masyarakat, hukum dan
agama tentang aborsi. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan senantiasa
menyertai segala usaha kita. Amin.

Palangka Raya, 11 Oktober 2012


Penyusun,

Kelompok IV
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah aborsi sejak sekitar tahun 1920-an sudah menjadi suatu kasus yang
hangat dibicarakan. Negara yang pertama melegalisasikan aborsi adalah Rusia pada
tahun 1920. Sekarang ini sudah banyak Negara-negara yang melegalisasi aborsi
dengan syarat-syarat yang bervariasi. Bahkan dibeberapa Negara, aborsi sudah
menjadi bagian dari program keluarga berencana, sehingga ketika konperensi
kependudukan diadakan pada bulan September 1994 di Cairo telah diusulkan agar
aborsi dimasukkan sebagai salah satu cara untuk mengendalikan pertumbuhan dan
pertambahan penduduk, sebagai bagian dari program keluarga berencana.

Namun, usul ini mendapat tantangan dari Negara-negara islam, termasuk


Indonesia, dan katolik, tidak setuju untuk menjadikan aborsi sebagai bagian dari
keluarga berencana. Pada beberapa tahun terakhir ini frekuensi aborsi terus meningkat
sebagai mana disebutkan oleh majalah editor edisi 29 agustus 1992 dalam rubrik
investigasi mengenai aborsi. Data tentang jumlah aborsi yang dilakukan juga dimuat.
Dijakarta sekitar 5000 pertahun melakukan aborsi. Tentu saja sebagian dari mereka
yang melakukannya “kecelakaan”akibat pergaulan bebas. Juga, di Bali, menurut
penelitian J. B. Tjitarsa dosen fakultas kedokteran universitas Udayana pada bebrapa
tahun lalu, aborsi dikalangan remaja tidak asing:ternyata setiap harinya ada 3 orang
atau lebih diantara umur 15-25 tahun yang melakukan aborsi.

Selain itu, dikutip dari inilah.com,Yogyakarta,angka kejadian aborsi


diIndonesia berkisar 2-2,6 juta kasus pertahun, atau 43 aborsi untuk setiap 100
kehamilan. Fakta ini berasal dari Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta, dr Titik Kuntari MPH.

Karena beberapa fakta tersebutlah yang melatarbelakangi kami untuk


menyusun makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan aborsi ?
2. Bagaimanakah pandangan agama Islam mengenai aborsi ?
3. Bagaimanakah pandangan agama Kristen mengenai aborsi ?
4. Bagaimanakah pandangan agama Hindu mengenai aborsi ?

1.3. Tujuan
Makalah ini ditulis bertujuan untuk membantu mempresentasikan tentang
bagaimana Pandangan Agama Islam, Agama Kristen, dan Agama Hindu mengenai
aborsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Aborsi


Kata aborsi berasal dari bahasa Latin yaitu abortus, yang berarti gugur
kandungan atau keguguran. Dalam bahasa aborsi Arab disebut isqatu al-Hamli atau
al-Ijhadh . Jadi aborsi adalah pengguguran kandungan sebelum lahir secara alamiah,
berapa pun umurnya dengan maksud merusakan kandungan tersebut.

2.2. Macam-macam Aborsi


Aborsi ada dua macam :

1. Aborsi spontan (Abortus Spontaneus)

Aborsi spontan adalah aborsi yang tidak disengaja , yang bisa terjadi karena
penyakit syphilis, demam panas yang hebat, penyakit ginjal, TBC, kecelakaan dan
sebagainya.

2. Aborsi yang sengaja (Abortus Provocatus)

Abortus provocatus ada dua macam yaitu :

 Aborsi Artichifialis Thearapicus adalah aborsi yang di lakukan seorang dokter


atas dasar indikasi medis dengan tindakan mengeluarkan janin dari rahim
sebelum lahir secara alami untuk menyelamatkan jiwa ibu yang terancam bila
kelangsungan kehamilan di pertahankan menurut pemeriksaan medis.

 Aborsi Provocatus Criminalis adalah pengguguran yang dilakukan tanpa


indikasi medis untuk meniadakan hasil hubungan seks yang di luar
perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak di kehendaki.

2.3. Aspek Hukum


Sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia tindakan aborsi yang dilakukan
oleh siapapun bukan karena alasan medis merupakan tindak pidana. Sehingga dalam
scenario ini dokter yang melakukan aborsi kepada gadis tersebut telah melakukan
tindakan yang melanggar undang-undang serta peraturan yang ada. Oleh sebab itu
dokter keluarga yang mengetahui hal tersebut diwajibkan untuk melaporkan kepada
pihak yang berwajib agar tidak terjadi praktek serupa serta korban yang bertambah

2.4. Aspek Agama


Beberapa pandangan agama tentang aborsi adalah sebagai berikut :
 Islam

Majelis Ulama Indonesia memfatwakan bahwa : Aborsi haram hukumnya


sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Aborsi
dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Keadaan
darurat yang berkaitan dengan kehamilah yang membolehkan aborsi adalah:
Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC
dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan
oleh Tim Dokter. Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.

Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan


aborsi adalah: Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau
lahir kelak sulit disembuhkan.Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh
Tim yang berwenang yang didalamnya terdapat antara lain keluarga korban,
dokter, dan ulama. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus
dilakukan sebelum janin berusia 40 hari. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada
kehamilan yang terjadi akibat zina.

 Kristen

Secara singkat di dalam Al Kitab dapat disimpulkan bahwa aborsi dalam


bentuk dan alasan apapun dilarang karena : Apabila ada sperma dan ovum telah
bertwmu maka unsure kehidupan telah ada. Abortus pada janin yang cacat tidak
diperbolehkan karena Tuhan mempunyai rencana lain pada hidup seorang manusia.

Anak adalah pemberian Tuhan. Bila terjadi kasus pemerkosaan, diharapkan


keluarga serta orang-orang terdekat dapat memberi semangat. Aborsi untuk
menyembunyikan aib tidak dibenarkan.

 Katolik

Hampir sama dengan pernyataan agama Kristen, dalam agama katolik aborsi
juga dilarang.

 Hindu

Aborsi dalam Teologi Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut


"Himsa karma" yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan
membunuh, meyakiti, dan menyiksa. Oleh karena itulah perbuatan aborsi
disetarakan dengan menghilangkan nyawa, maka aborsi dalam Agama Hindu tidak
dikenal dan tidak dibenarkan.

 Budha

Dalam agama budha perlakuan aborsi tidak dibenarkan karena suatu karma
harus diselesaikan dengan cara yang baik, jika tidak maka akan timbul karma yang
lebih buruk lagi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Aborsi Dalam Pandangan Islam
I. Aborsi Menurut Islam

Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam


Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau
sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu
setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha)
sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi
dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya
mengharamkannya.

Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan


aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa
peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud
berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

 “Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40


hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula,
kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh
kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi).

Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram,
karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam
kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil
syar’i berikut. Firman Allah SWT :

 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al An’aam : 151).
 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al Isra` : 31 )
 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (TQS Al Isra` : 33)
 “Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia
dibunuh.” (TQS At Takwir : 8-9)

Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang
bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi
itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.

Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di


atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi menurut pendapat
Abdul Qadim Zallum (1998) dan Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’
yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat
puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat
permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya
sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniu¬pan ruh ke dalam janin.
Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka
hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa
Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ,
Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati,
halaman 45-56; Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam,
halaman 129 ).

Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau
40 malam adalah hadits Nabi SAW berikut :

 “Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah
mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia
membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang
belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah),’Ya Tuhanku, apakah dia
(akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan ?’ Maka Allah kemudian
memberi keputusan…” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud RA)

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :

 “(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam…”

Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan


penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah sete¬lah melewati 40 atau 42 malam.
Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap
janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya
(ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan
terhadapnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter,
diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur
40 hari.

Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah
berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran
diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau
sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan
dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :

 “Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan
Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang
budak laki-laki atau perempuan…” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah
RA) (Abdul Qadim Zallum, 1998)

Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka
hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam
rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah
(gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri
minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum
dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki
kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan tindakan mengeluarkan
sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel
sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan
mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan
menimbulkan kehamilan.

Rasulullah SAW telah membolehkan ‘azl kepada seorang laki-laki yang


bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya,
sementara dia tidak mengingin¬kan budak perempuannya hamil. Rasulullah SAW
bersabda kepa¬danya :

 “Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka ! ” (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)

Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan


janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan
bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan
janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan
mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah
sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT :

 “Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia


telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (TQS Al Maidah : 32)

Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya
pengobatan. Sedangkan Rasu¬lullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk
berobat. Rasulullah SAW bersabda :

 “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan
pula obatnya. Maka berobatlah kalian !” (HR. Ahmad)

Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan :

 “Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima”


 “Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih
ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al
Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35)

Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan


kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun
ini berarti membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu
mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan
kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan
kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya,
atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut
(Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel
telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan,
adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud
setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu
sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum
bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al
Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada
organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan
adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi,
perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam
sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat
kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya
tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al
hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya
pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.

Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi


setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan,
adalah pendapat yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang
tepat akan pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit
menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti
tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian.
Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas yang
menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ‘azl. Sebab dalam aktivitas ‘azl
terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan
pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal ‘azl telah dibolehkan oleh
Rasulullah SAW. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi
setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan,
akan bertentangan dengan hadits-hadits yang membolehkan ‘azl.

II. Kesimpulan

Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga
problem sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka
pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif-fundamental-radikal, yang
intinya adalah dengan mencabut sikap taqlid kepada peradaban Barat dengan
menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan dengan
Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.

Hukum aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika


umur kehamilannya sudah 4 (empat) bulan, yakni sudah ditiupkan ruh pada janin.
Untuk janin yang berumur di bawah 4 bulan, para ulama telah berbeda pendapat. Jadi
ini memang masalah khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami, pendapat yang
rajih (kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat
puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin,
maka hukumnya haram. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum
mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Wallahu a’lam
3.2. Aborsi Dalam Pandangan Hindu
Aborsi dalam Theology Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut
“Himsa karma” yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh,
meyakiti, dan menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai
“menghilangkan nyawa” mendasari falsafah “atma” atau roh yang sudah berada dan
melekat pada jabang bayi sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum sempurna
seperti tubuh manusia. Segera setelah terjadi pembuahan di sel telur maka atma sudah
ada atas kuasa Hyang Widhi. Dalam “Lontar Tutur Panus Karma”, penciptaan
manusia yang utuh kemudian dilanjutkan oleh Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya
sebagai “Kanda-Pat” dan “Nyama Bajang”. Selanjutnya Lontar itu menuturkan bahwa
Kanda-Pat yang artinya “empat-teman” adalah: I Karen, sebagai calon ari-ari; I Bra,
sebagai calon lamas; I Angdian, sebagai calon getih; dan I Lembana, sebagai calon
Yeh-nyom. Ketika cabang bayi sudah berusia 20 hari maka Kanda-Pat berubah nama
menjadi masing-masing : I Anta, I Preta, I Kala dan I Dengen. Selanjutnya setelah
berusia 40 minggu barulah dinamakan sebagai : Ari-ari, Lamas, Getih dan Yeh-nyom.
Nyama Bajang yang artinya “saudara yang selalu membujang” adalah kekuatan-
kekuatan Hyang Widhi yang tidak berwujud. Jika Kanda-Pat bertugas memelihara
dan membesarkan jabang bayi secara phisik, maka Nyama Bajang yang jumlahnya
108 bertugas mendudukkan serta menguatkan atma atau roh dalam tubuh bayi.

Oleh karena itulah perbuatan aborsi disetarakan dengan menghilangkan


nyawa. Kitab-kitab suci Hindu antara lain Rgveda 1.114.7 menyatakan : “Ma no
mahantam uta ma no arbhakam” artinya : Janganlah mengganggu dan mencelakakan
bayi. Atharvaveda X.1.29 : “Anagohatya vai bhima” artinya : Jangan membunuh
bayi yang tiada berdosa. Dan Atharvaveda X.1.29 : “Ma no gam asvam purusam
vadhih” artinya : Jangan membunuh manusia dan binatang. Dalam ephos Bharatayuda
Sri Krisna telah mengutuk Asvatama hidup 3000 tahun dalam penderitaan, karena
Asvatama telah membunuh semua bayi yang ada dalam kandungan istri-istri
keturunan Pandawa, serta membuat istri-istri itu mandul selamanya.

Pembuahan sel telur dari hasil hubungan sex lebih jauh ditinjau dalam falsafah
Hindu sebagai sesuatu yang harusnya disakralkan dan direncanakan. Baik dalam
Manava Dharmasastra maupun dalam Kamasutra selalu dinyatakan bahwa
perkawinan menurut Hindu adalah “Dharmasampati” artinya perkawinan adalah
sakral dan suci karena bertujuan memperoleh putra yang tiada lain adalah re-inkarnasi
dari roh-roh para leluhur yang harus lahir kembali menjalani kehidupan sebagai
manusia karena belum cukup suci untuk bersatu dengan Tuhan atau dalam istilah
Theology Hindu disebut sebagai “Amoring Acintya” . Oleh karena itu maka suatu
rangkaian logika dalam keyakinan Veda dapat digambarkan sebagai berikut :

Perkawinan (pawiwahan) adalah untuk syahnya suatu hubungan sex yang


bertujuan memperoleh anak. Gambaran ini dapat ditelusuri lebih jauh sebagai tidak
adanya keinginan melakukan hubungan sex hanya untuk kesenangan belaka. Prilaku
manusia menurut Veda adalah yang penuh dengan pengendalian diri, termasuk pula
pengendalian diri dalam bentuk pengekangan hawa nafsu. Pasangan suami-istri yang
mempunyai banyak anak dapat dinilai sebagai kurang berhasilnya melakukan
pengendalian nafsu sex, apalagi bila kemudian ternyata bahwa kelahiran anak-anak
tidak dalam batas perencanaan yang baik. Sakralnya hubungan sex dalam Hindu
banyak dijumpai dalam Kamasutra. Antara lain disebutkan bahwa hubungan sex
hendaknya direncanakan dan dipersiapkan dengan baik, misalnya terlebih dahulu
bersembahyang memuja dua Deva yang berpasangan yaitu Deva Smara dan Devi
Ratih, setelah mensucikan diri dengan mandi dan memercikkan tirta pensucian.
Hubungan sex juga harus dilakukan dalam suasana yang tentram, damai dan penuh
kasih sayang.

Hubungan sex yang dilakukan dalam keadaan sedang marah, sedih, mabuk
atau tidak sadar, akan mempengaruhi prilaku anak yang lahir kemudian. Oleh karena
hubungan sex terjadi melalui upacara pawiwahan dan dilakukan semata-mata untuk
memperoleh anak, jelaslah sudah bahwa aborsi dalam Agama Hindu tidak dikenal dan
tidak dibenarkan.

3.3. Aborsi Dalam Pandangan Kristen


I. Sikap Etis Kristiani Terhadap Kasus Aborsi

Kasus aborsi merupakan dilema besar yang tentunya tidak mudah untuk
dipecahkan. Karena mencakup bermacam-macam aspek: legal, teologis, etis,
sosial dan personal. Di dalamnya ada yang pro dan kontra dalam penilaian etis
terhadap kasus aborsi ini. Legalitas tindakan aborsi adalah urusan kedua
ketertarikaan antara pro-life dan golongan pro-chois. Masalahnya ada legal atau
tindakan kriminal, dan inilah inti kontroversi terhadap kasus ini. Golongan pro-
aborsi menitikberatkan hak-hak si ibu, yaitu privasi untuk memilih, dengan
disertai berbagai argumentasi dibelakangnya yang sifatnya lebih pragmatis
misalnya karena alasan tanggungjawab, finansial, aib, kecacatan; Mereka yang
anti aborsi menitikberatkan hak-hak si bayi yang belum dilahirkan, dan khususnya
hak untuk hidup. Kaum anti aborsi menitikberatkan perlunya pembelaan terhadap
hak-hak bayi yang belum di lahirkan itu, yang tidak mampu membela dirinya
sendiri.

Masalah yang pokok dalam kasus aborsi ini adalah tentang hakikat janin,
yaitu bagaimana kita berpikir tentang janin dalam rahim ibunya? Mengenai pokok
ini ada bermacam-macam pemahaman yang berbeda. Ada yang menganggap
bahwa saat menentukan ‘pemanusiaan’ embrio itu adalah pada suatu titik antara
penghamilan dan kelahiran; ada yang menganggap bahwa janin hanya sebagian
dari tubuh wanita yang mengandungnya, sehingga janin itu belum dapat dianggap
makhluk insani; kelompok lainnya menganggap pembuahan atau fusi saat yang
menentukan makhluk manusia mulai berada.

Dalam pandangan Kristen, isu aborsi adalah isu moral dan teologis. Maka,
untuk menanggapi masalah ini, yang menjadi taruhannya adalah ajaran iman
Kristen mengenai Allah dan manusia. Maka paper ini akan mendalami isu aborsi
ini dengan menganalisa aborsi, kemudian mengungkap beberapa pandangan yang
berkontroversi dalam menanggapinya, terakhir tulisan ini akan memberikan
argumentasi teologis sebagi sikap etis kristiani terhadap kasus aborsi.
II. Pengenalan Awal Kasus Aborsi

Gugur kandungan atau aborsi,bahasa Latin: abortus adalah berhentinya


kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian
janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20
minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur. Abortus provocanus
merupakan satu istilah untuk keguguran yang disengaja. Dalam KBBI, aborsi
diartikan sebagai tindakan: 1) menggugurkan kandungan; 2) menghentikan; 3)
mempersingkat sesuatu: lahir sebelum waktunya; berkembang secara tidak
sempurna. Jadi, tindakan aborsi pada dasarnya adalah suatu sikap yang dilakukan
tidak pada jalan yang sewajarnya. Meniadakan sesuatu kehidupan sebelum
waktunya, yang seharusnya ia mengalami kehidupan sebagai manusia, dengan
cara memaksa atau menghambat kehidupan yang sedang berlangsung dalam
rahim.

Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang berani mengambil


keputusan untuk melakukan aborsi. Penyebab umumnya diantaranya adalah
kehamilan karena tindakan perkosaan. Seorang perempuan yang telah menjadi
hamil karena perkosaan itu, jika pikiran tidak dapat tahan menanggung untuk
harus melahirkan seorang anak yang dihasilkan akibat kecelakaan itu, maka
biasanya ia lebih memilih untuk menggugurkan bakal anak itu. Kemudian, bisa
juga disebabkan bila seorang perempuan hamil dan ternyata dalam pemeriksaan ia
akan melahirkan seorang anak yang tidak akan dapat hidup atau secara badani
akan sangat rusak, maka aborsi menjadi pilihan utama bagi mereka. Jika jika
seorang wanita, dalam keadaan tidak nikah, telah menjadi hamil dan anak yang
dilahirkan itu adalah anak yang anak “yang tidak dikehendaki”.Juga dalam
kehamilan yaitu jika nyawa ibu tertancam dan hanya bisa tertolong (diselamatkan)
kalau dikorbankan nyawa anak dalam rahimnya waktu melahirkan, maka
umumnya secara kedokteran menganjurkan untuk melakukan tindakan aborsi.
Secara financial, bertambahnya seorang anak dalam keluarga akan menjadi beban
dan malapetakan bagi keluarga. Maka, untuk menyelesaikan pergumulan berat ini,
keputusan terakhir ada pada pilihan antara aborsi atau tidak sama sekali.

III. Kontroversi Reaksi Etis Terhadap Kasus Aborsi

a. Pro-Choice

Pandangan ini berpendapat bahwa aborsi dapat dilakukan kapan saja.


Alasannya adalah keyakinan bahwa janin itu bagian tubuh manusia. Kelompok
pro-aborsi atau ”pro-choice” (kebebasan memilih) memberi tekanan utama
pada hak seorang ibu memutuskan apakah dia ingin memiliki bayinya.
Seorang wanita tidak dapat dipaksa memiliki anak yang bertentangan dengan
keinginannya. Di Amerika yang pluralis, ada satu inti utama yang menjadi
label bagi mereka yaitu radical individualism. Prinsip etika disimpulkan dari
prinsip ini. “ I have a right to live my own life as long as I don’t hurt anybody
else”. Kebebasan individu menjadi inti dari segala tindakan. Perempuan
berhak untuk melakukan tindakan seksual aktif dan jika ia punya benih bayi
yang mulai tumbuh dalam kandungannya sebagai hasil dari aktivitas
seksualnya, itu bukan tanggungjawab dari perempuan itu atau temannya laki-
laki. Jadi, keputusan untuk mengaborsi anak, itu tergantung dari keputusan
wanita yang mengandungnya. Kalaupun ia melakukan tindakan aborsi, itu
adalah haknya sebagai individu yang punya hak untuk melakukannya. Kaum
individualisme bahkan menuntut akan meminimalisasi legalisasi berdasarkan
aturan. Mereka berusaha agar individualime menjadi tindakan bebas, bertindak
menurut mereka sendiri dan keinginan sendiri. Dalam pandangan kelompok
pro-choice tentang janin, secara konsisten mengatakan bahwa embrio atau
janin bukan suatu keberadaan manusia atau pribadi atau seseorang memiliki
hak hidup yang kepadanya kita memiliki tanggungjawab.

Argumentasi alkitabiah yang dibangun oleh kelompok ini adalah


berdasarkan pada Kejadian 2:7, Ayub 34:14-15, Yesaya 57:16, Pengkhotbah
6:3-5 dan Matius 26:24 yang semuanya ditafsirkan ‘janin bukanlah manusia’
sebab belum dapat bernafas. Argumentasi ilmiahnya: (1) Argumentasi karena
kesadaran diri, bahwa bayi hanyalah bagian dari tubuh manusia dan bukan
manusia sampai dia memiliki kesadaran diri; (2) Argumentasi karena
ketergantungan fisik, bahwa bayi adalah gangguan bagi daerah kekuasaan fisik
seorang ibu sehingga seorang ibu berhak mengaborsinya; (3) Argumentasi
karena keselamatan sang ibu, bahwa aborsi legal lebih aman dan
menyelamatkan ribuan ibu dari kematian dibandingkan aborsi yang dilakukan
diam-diam, sembarangan dan tidak bersih; (4) Argumentasi karena siksaan
dan penyia-yiaan, bahwa kehamilan yang tidak diinginkan berakibat anak-
anak mengalami penyiksaan dan disia-siakan orang tuanya dan aborsi
merupakan solusi efektif; (5) Argumentasi karena cacat, bahwa kemajuan ilmu
kedokteran dapat mengidentifikasi sejak dini bayi cacat yang dapat ditolak
kelahirannya daripada menjadi beban keluarga dan masyarakat. (6)
Argumentasi karena kebebasan pribadi sebagaimana keputusan Pengadilan
Tinggi AS yang menghormati hak kebebasan pribadi wanita atas tubuhnya
sehingga berhak mengeluarkan seorang bayi yang tidak diinginkan dari
rahimnya sama seperti hak mengusir tamu dari rumah. (7) Argumentasi karena
pemerkosaan, bahwa mempertahankan kehamilan dalam kondisi terhina akibat
perkosaan merupakan sikap tidak bermoral dan wanita tidak harus dipaksa
memiliki seorang bayi yang bertentangan dengan kemauannya.

Geisler menilai argumentasi alkitabiah yang memandang janin sebagai


bagian dari tubuh manusia sama sekali tidak benar sebagaimana yang
dimaksud Alkitab. Nafas tidak dapat menjadi ukuran dimulainya hidup
manusia. Kehidupan manusia sudah ada sebelum adanya nafas saat kelahiran,
yaitu dari saat pembuahan misalnya, Mazmur 51:7 “dalam dosa aku
dikandung ibuku” atau Matius 1:20, “anak yang dalam kandungannya adalah
dari Roh Kudus”. Kelahiran merupakan permulaan kehidupan yang dapat
dilihat orang, tetapi bukan permulaan kehidupan itu sendiri sebab seorang ibu
dapat merasakan kehidupan dalam kandungannya saat bayi bergerak, kadang
bahkan melonjak (Lukas 1:44). Kisah penciptaan Adam adalah kasus unik dan
hanya Allah yang memberikan kehidupan bagi manusia dan bagaimana
kehidupan diberikan pada saat pembuahan (Kejadian 4:1).

Anak-anak yang mati karena keguguran memang tidak memiliki


pengetahuan apapun (Pkh 6:3-5), tetapi bukan berarti mereka bukan manusia.
Orang dewasa pun kelak akan mati dan mereka tetap manusia “sebab tidak ada
pengetahuan dalam dunia orang mati kemana engkau akan pergi” (Pkh 9:10).
Demikian juga bahwa tingkat pengetahuan bukan ukuran menilai bahwa
seorang individu itu manusia atau bukan manusia. Kesadaran diri benar belum
dimiliki oleh janin, tetapi juga pada mereka yang sedang tidur, koma, anak-
anak kecil yang berumur satu setengah tahun maupun mereka yang kurang
pendidikannya. Karenanya, kesadaran diri tidak dapat dijadikan patokan untuk
tindakan aborsi.

Embrio bagi Geisler, bukanlah suatu perluasan dari sang ibu, sebab
setelah 40 hari setelah pembuahan embrio itu sudah memiliki ilham, golongan
darah dan sidik jari sendiri. Dan akhirnya, embrio itu hanya “bersarang” di
dalam kandungan ibunya. Menyikapi legalisasi aborsi, dapat dikatakan bahwa
legalisasi aborsi justru membunuh jutaan bayi. Aborsi dapat dinilai sebagai
bentuk penyiksaan anak yang paling buruk, penyiksaan melalui kematian yang
kejam. Data Departemen Pelayanan Kesehatan dan Manusia sejak aborsi
dilegalkan tahun 1973 sampai 1982, penyiksaan anak meningkat lebih dari
500 % dan 91 % dari mereka disiksa orang tua yang menginginkan anaknya.
Aborsi terhadap janin cacat tidak dapat dibenarkan sebab sama seperti
pembunuhan terhadap bayi atau eutanasia karena alasan genetik.

Hak kebebasan pribadi, menurut Geisler tidaklah mutlak sebab janin


adalah manusia sejak pembuahannya dan aborsi jelas tindak pembunuhan.
Aborsi merupakan tindakan lepas tanggung jawab setelah melakukan
hubungan seksual bebas sebab “si tamu” datang karena diundang dan diusir
karena tidak diinginkan. Benar kita semua menaruh simpati terhadap korban
pemerkosaan, tetapi mengaborsi janin jelas tindak pembunuhan. Seharusnya
kita menghukum pemerkosa yang bersalah, bukan bayi yang tidak berdosa.
Daripada diaborsi, bayi itu lebih baik diadopsi oleh orang lain yang mau
merawatnya.

b. Pro-life

Tidak ada aborsi: Keyakinan bahwa janin itu benar-benar manusia.


Argumentasi alkitabiah yang dibangun antara lain: Lukas1:41,44; 2:12,16;
Keluaran 21:22 bahwa bayi yang belum dilahirkan disebut anak-anak dan
diciptakan Allah (Maz139:13) menurut gambar-Nya (Kejadian 1:27). Hidup
mereka dilindungi undang-undang (Kel 21:22) sama seperti orang dewasa
(Kej 9:6). Yesus sendiri menjadi manusia sejak dalam rahim Maria (Mat.
1:20-21; Luk 1:26-27). Secara ilmiah sejak dari pembuahan jenis kelamin pria
atau wanita sudah ditentukan dan sesuai dengan kesaksian Alkitab (Kej 1:27).
Anak-anak yang belum lahir memiliki karakteristik pribadi seperti dosa
(Mazmur 51:5,7) tetapi dikenal dekat dan pribadi oleh Allah (Mzm 1349:15-
16; Yer 1:5) bahkan sudah dipanggil Allah sebelum dilahirkan (Kej. 25:22-23;
Hak 13:2-7; Yes 49:1,5; Gal 1:15). Anak yang belum lahir disebut secara
pribadi dengan kata ganti orang yang sama seperti manusia lainnya (Yer 1:5).
Secara ilmiah, bahwa ilmu pengetahuan lewat teknologi kedokteran
membuktikan bahwa hidup manusia individual dimulai pada saat pembuahan
di mana seluruh informasi genetik ada. Pada saat terjadi pembuahan, ketika
sperma laki-laki (23 kromosom) dan sel telur wanita (23 kromosom) bersatu,
manusia baru yang kecil yang terdiri dari 46 kromosom muncul dan sejak saat
itu sampai kematiannya tidak ada informasi genetik baru yang ditambahkan.
Semua yang ditambahkan di antara pembuahan dan kematian adalah makanan,
air dan oksigen. Secara sosial, jelas bahwa embrio yang dikandung adalah
manusia yang memiliki orang tua manusia. Tindakan aborsi adalah tindakan
pembunuhan sama seperti pembunuhan anak bayi atau eutanasia karena
melibatkan pasien yang sama, prosedur yang sama dan berakhir dengan hasil
yang sama.

Aborsi telah dinyatakan bersalah oleh banyak masyarakat dan orang-


orang moralis. Jika aborsi diterima maka kita mengakui diskriminasi dan
berarti kita juga dapat menyingkirkan mereka yang cacat jasmani, para lansia,
korban AIDS, pecandu obat-obatan maupun mereka yang terlantar. Kritik
dilontarkan atas pandangan bahwa janin benar-benar manusia. Misalnya,
bagaimana jika hidup sang ibu terancam? Bagaimana jika janin tidak sampai
ke uterus untuk berkembang? Tidakkah kita berkewajiban menyelamatkan
semua sel telur yang dibuahi agar tidak terjadi aborsi spontan, karena janin
tidak sampai ke uterus? Bukankah hidup kembar identik dimulai sesudah
pembuahan? Bagaimana dengan bayi yang tidak sempurna secara genetik,
karena hanya mempunyai 45 kromosom (Syndrome Turner) atau yang
memiliki 47 (Syndrome Down) ? Embrio bukanlah seorang pribadi manusia,
tetapi hanya dalam keberadaan sebagai manusia.

Jawaban Geisler atas kritik itu sangat jelas. Aborsi secara medis dapat
dibenarkan untuk kasus kehamilan tubal dimana pilihannya nyawa ibu atau
bayinya. Geisler berpendapat bahwa secara moral dibenarkan mengambil
setiap tindakan pencegahan medis untuk menyelamatkan nyawa sang ibu.
Artinya adalah aborsi yang dilakukan bukan seperti yang dimaksudkan karena
beberapa alasan: pertama, tujuannya bukanlah untuk membunuh bayi;
maksudnya adalah untuk menyelamatkan nyawa sang ibu. Kedua, ini adalah
masalah nyawa ganti nyawa, bukan satu situasi dimana ada permintaan untuk
aborsi. Ketivhga, ketika hidup seseorang terancam, seperti sang ibu, seorang
memiliki hak untuk mempertahankannya atas dasar membunuh untuk
membela diri. John Stott mengatakan, “Menurut tradisi kristiani, nyawa
seseorang boleh dicabut demi melindungi nyawa orang lain, misalnya dalam
ikhtiar bela diri; tetapi tidak berhak membawa maut ke dalam suatu situasi
dimana tidak ada maut dan ancaman maut”.

Kematian atau aborsi spontan dimana janin tidak sampai ke uterus,


bukanlah tanggungjawab moral kita dan berbeda dengan aborsi buatan (karena
permintaan). Aborsi spontan atau kematian alamiah karena keguguran bukan
tugas moral kita mencampurinya. Kembar identik manusia sejak
pembuahannya sampai pembelahannya tetap manusia 100% dengan masing-
masing yang memiliki 46 kromosom. Akhirnya tidak ada perbedaan mendasar
antara keberadaan sebagai manusia dan menjadi pribadi manusia, yang ada
hanyalah perbedaan fungsional. Geisler menutup uraiannya dengan
menyimpulkan bahwa kekudusan hidup merupakan fokus utama perdebatan
soal aborsi sehingga kewajiban kita melindungi kekudusan hidup manusia
IV. Sikap Etis Kristiani

Dalam perintah ke 6 berbunyi "Jangan Membunuh", maka dalam hal ini


ada orang yang bertanya-tanya, dalam situasi dan kondisi yang rumit, apakah
perintah ini berlaku? Dan kalau kita melihat konteksnya, maka perintah ini
ditujukan untuk manusia. Dan sekarang yang menjadi masalah utama adalah
tentang status fetus itu sendiri;
Apakah fetus atau janin itu manusia atau bukan? Syarat apakah yang harus
dimiliki "sesuatu" supaya dapat dianggap seorang manusia, jelasnya supaya
memiliki hak hidup? Jika kita menganggap bayi yang belum dilahirkan bukan
manusia, tetapi hanya benda, kapankah fetus itu dapat menikmati statusnya
sebagai seorang manusia atau pribadi? Jika janin itu belum mempunyai status
sebagai manusia, maka Abortus tidak dapat dicap sebagai pembunuhan, dan
masalah kita dapat diselesaikan, tetapi jika itu adalah manusia yang sedang
mengalami proses pertumbuhan secara kontinu, maka ini jelas merupakan suatu
pembunuhan. Dalam hal ini, ada pendapat yang menyatakan bahwa sejak
terjadinya konsepsi, seorang anak sedang dibentuk melalui proses yang alamiah
dan terus-menerus, sel telur yang sudah dibuahi itu dalam waktu sembilan bulan
lebih akan berkembang menjadi bayi yang mempunyai ratusan juta sel dan fetus
mempunyai sistim sirkulasi sendiri dan otak.

V. Konsep Teologis

Alkitab memberi nilai yang tinggi atas hidup manusia. Dalam Ul 5 :117
tertulis "Jangan Membunuh" dan dalam Kel 21:22-24 dipersoalkan tentang kasus
pengguguran (Aborsi), khususnya mengenai kasus kecelakaan seorang wanita
yang sedang mengandung, yang terlibat dalam perkelahian antara dua orang laki-
laki, apabila si ibu hidup dan kandungannya gugur, maka orang tersebut harus
ganti rugi, dan kalau ibu itu mati dan kandungannya juga gugur, maka harus
nyawa ganti nyawa. Dalam hal ini ternyata orang Yahudi sangat menghargai
hidup, termasuk hidup binatang (lih Ul 22:6,7). Alkitab juga memberitahukan
kepada kita bahwa kehidupan sudah dimulai pada saat konsepsi, dalam Mat 1:20
dituliskan bahwa Yesus dikandung oleh Roh Kudus, dengan demikian Yesus
sungguh-sungguh menjadi manusia yang seutuhnya pada saat konsepsi.

Alkitab juga memandang bayi yang belum dilahirkan itu sebagai satu
pribadi atau manusia. Mzm 139:13-16 mencatat tentang Daud, yang pada waktu
dikandung sudah merupakan manusia dalam pemeliharaan Allah. Yer 1:5
mencatat "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah
mengenal engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-
bangsa. Juga dalam ayat yang lain yakni Mzm 51:7 Daud mengaku bahwa sifat
dosanya sudah ada sejak ia masih dalam kandungan.

Dalam Kej 1:26,27; 2:7 tertulis bahwa Allah menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa-Nya, yang menunjukkan bahwa hidup ini kudus dan sangat
berharga di hadapan Allah yang telah menciptakannya. Maka dalam hal ini secara
tegas Alkitab tidak membenarkan Aborsi, alasannya:
1. Hidup manusia semata-mata Karunia Allah.
2. Tuhan mempunyai rencana keselamatan bagi setiap insan yang lahir ke dunia ini.
3. Manusia tidak berhak untuk mencabut hak hidup dari pada fetus ataupun embrio,
yang berhak hanyalah Allah; jangan kita merampas hak Allah.

Oleh sebab itu, Sikap etis Kristiani dalam menanggapi masalah aborsi ini,
pertama-tama harus dilihat dari prerogatif Allah, karena masalah memberi hidup
atau mengambil hidup adalah urusan Allah. Semua orang Kristen percaya bahwa
Allah yang mahakuasa adalah Allah pencipta segala sesuatu, pemberi hidup,
pemelihara dan pengambil hidup. Dialah yang memberi nafas dan segala sesuatu
kepada manusia, artinya bahwa hidup dan mati manusia adalah bagian dari Allah.

Selanjutnya, bagi kita sebagai orang Kristen meyakini bahwa terjadinya


kehidupan manusia itu bukan acakan atau terjadi secara otomatis, melainkan
merupakan karya keterampilan kreatif Allah. Seperti dikatakan dalam Mazmur
139:13, “Engkaulah yang membentuk buah pinggangku dan menenun aku dalam
kandungan ibuku”, artinya bahwa, kehidupan manusia itu terjadi oleh karena ada
penyebab yaitu Allah. Dia yang ‘membentuk’ manusia, dan ia mengenal sejak
sebelum dalam kandungan (Yer.1:5). Selanjutnya, bahwa kehidupan manusia
merupakan kontinuitas (kesinambungan) artinya bahwa manusia mempunyai
identitas yang sama baik di dalam maupun di luar kandungan, sebelum maupun
sesudah kelahiran, sebagai janin, bayi, pemuda, dan orang dewasa tetap sebagai
pribadi yang sama. Kehidupan janin insani adalah suatu kehidupan insani, dengan
potensi menjadi makhluk manusia yang seutuhnya. Dorothy I. Marx dalam
bukunya Itu kan Boleh?, beliau mengatakan bahwa saat pertemuan merupakan
saat penentuan kehidupan fetus dalam hal-hal:

a) Sifat pembawaan yang kelak diperolehnya dari orangtuanya.


b) Bakat-bakat serta IQ yang kelak dinyatakannya.
c) Sifat-sifat pribadi yang kelak dimilikinya.
d) Tinggi badannya kelak.
e) Warna mata dan rambutnya.
f) Kekuatan fisiknya dan mutu kesehatannya.

Berdasarkan hal ini, maka dapar dikatakan bahwa: pertama, walaupun


janin berada di dalam kandungan ibunya selama 9 bulan dan mengalami suatu
proses pembentukan dan pertumbuhan, namun kepribadiannya sudah terbentuk
sejak ia mulai dikandung; kedua, walaupun janin berada di dalam kandungan
selama 9 bulan, dan belum dapat disebut "Manusia Seutuhnya", tetapi peri-
kemanusiaan sudah ada sejak ia mulai dikandung. Maka dalam hal ini, tindakan
Aborsi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dibenarkan dan merupakan suatu
pembunuhan.

Maka yang seharusnya kita pikirkan bahwa baik ibu yang mengandung
maupun anak yang dikandung, sebagai dua makhluk manusia yang masing-masing
berada dalam dua tahap pertumbuhan yang berbeda. Penghuni rahim ibu bukan
‘produk pembuahan’, melainkan seorang anak yang belum dilahirkan. John Stott,
bahkan lebih lanjut mengatakan bahkan pengertian ‘kehamilan’ itu sendiri hanya
menunjuk kepada suatu proses saja, yang sedang berlangsung dalam tubuh si ibu.
Jadi, janin bukan sebagian dari tubuh ibunya, bukan pula makhluk insan yang
potensial, melainkan sudah suatu kehidupan insani, yang meskipun belum matang,
mempunyai potensi untuk bertumbuh menuju kepenuhan dari kemusiaan
individualnya yang sudah dimilikinya. Stephen Schwarz, dalam menanggapi isu
aborsi ini menegaskan demikian, “On the whole, apart from the rare instances
where there are live births, abortion is the killing of the child. it is a deliberate
and intentional killing, either because one wants the child dead, or because on
chooses a method of removal that in fact constitutes killing”.

Mark Belz, dalam bukunya, Suffer The Little Children: Christians,


Abortion, and Civil Disobedience, menyatakan sikapnya terhadap kasus aborsi:
“We oppose abortion because we believe that abortion is the destruction of human
life. But it is not just abortion in general and human life in general. We beliece
that each abortion is the taking of the life of an individual human being”.

Ia meneruskan alasannya berdasarkan konsep Alkitabiah dengan


menyatakan: “The Bible teachers that every human being is created in the image
of God, and the Sixth Commandment prohibith killing those created in God’s
image. If abortion is the intentional, unjustified destruction of another human
being, then abortion is a clear violation of that comandment.”

Jadi, sikap Kristen sangat tegas, bahwa aborsi merupakan suatu


pelanggaran terhadap ketetapan Allah. Aborsi bukan merupakan pilihan Kristiani
dalam kasus apapun.Verkuyl dalam bukunya Etika seksual menyimpulkan suatu
pertibangan etis terhadap sikap penolakkan atas tindakan aborsi. Ia menyatakan
bahwa kejujuran menuntut untuk mengakui tiga kenyataan. Pertama-tama, bahwa
kehidupan manusiawi telah dimulai pada waktu konsepsi dalam rahim; yang
kedua, bahwa setiap hidup manusiawi, juga hidup janin, berhak atas perlindungan;
dan ketiga, setiap pengambilan keputusan, yang membinasakan hidup yang
sedang mulai itu adalah pembunuhan hidup manusiawi yang sedang mulai.

Itulah sebabnya, aborsi merupakan dosa yang mengerikan. Bahwa


merupakan suatu keberanian bagi kita manusia yang fana ingin berperan sebagai
Allah untuk mencabut nyawa manusia. Orang-orang yang melakukannya bukan
saja membunuh hidup melainkan menentukan siapa harus hidup. Akhirnya tidak
ada alasan bagi kita untuk melegalkan tindakan aborsi. Aborsi adalah pelanggaran
terhadap hukum Allah, dan Allah sangat membenci tindakan seperti itu.

VI. Kesimpulan

Aborsi dalam kaitannya dengan kekristenan merupakan suatu isu moral


dan teologis. menjadi rumit untuk diputuskan. Aborsi bisa dilakukan karena
berbagai alasan yang mendasar dan mendesak, misalnya karena korban perkosaan,
demi keselamatan ibu, karena masalah financial dan sebagainya. Maka, tindakan
aborsi seringkali dijadikan pilihan terakhir ketika permasalahan mengenai janin.
Isu sentral dari kasus ini adalah hakikat janin dalam kandungan ibunya, yaitu
bagaimana kita berpikir tentang janin dalam rahim ibunya. Kasus aborsi dalam
lingkup etika ditanggapi secara berbeda-beda. Ada yang berlaku pro-choice yang
menitikberatkan hak-hak si ibu, yaitu privasi untuk memilih. Akibatnya aborsi
dijadikan sebagai sesuatu yang legal. Tanggapan lain adalah pro-life, yang
menitikberatkan hak-hak si bayi yang belum dilahirkan, dan khususnya hak untuk
hidup. Kedua pandangan ini secara kristiani mempunyai dasar alkitabiah yang
mendukung akan posisi-posisi mereka.
Lalu bagaimana etika Kristen menyingkapi masalah ini? Ternyata,
berdasarkan argumentasi Alkitabiah aborsi bukanlah pilihan Kristen. Alkitab tetap
memandang bahwa tindakan aborsi adalah suatu pelanggaran terhadap Firman
Allah dan hukum-hukum Allah. Dan manusia yang melakukannya bisa dianggap
sebagai orang yang “menggantikan” posisi Allah sebagai permilik manusia, yang
mana dengan berani menentukan siapa yang berhak untuk hidup dan yang berhak
untuk mati. Akhirnya, secara kristiani, aborsi bukanlah pilihan kristiani dan Allah
membenci tindakan aborsi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai