Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah kami
yang berjudul “Pandangan Agama Tentang Aborsi” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas tentang pengertian dan tanggapan masyarakat, hukum dan
agama tentang aborsi. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan senantiasa
menyertai segala usaha kita. Amin.
Kelompok IV
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah aborsi sejak sekitar tahun 1920-an sudah menjadi suatu kasus yang
hangat dibicarakan. Negara yang pertama melegalisasikan aborsi adalah Rusia pada
tahun 1920. Sekarang ini sudah banyak Negara-negara yang melegalisasi aborsi
dengan syarat-syarat yang bervariasi. Bahkan dibeberapa Negara, aborsi sudah
menjadi bagian dari program keluarga berencana, sehingga ketika konperensi
kependudukan diadakan pada bulan September 1994 di Cairo telah diusulkan agar
aborsi dimasukkan sebagai salah satu cara untuk mengendalikan pertumbuhan dan
pertambahan penduduk, sebagai bagian dari program keluarga berencana.
1.3. Tujuan
Makalah ini ditulis bertujuan untuk membantu mempresentasikan tentang
bagaimana Pandangan Agama Islam, Agama Kristen, dan Agama Hindu mengenai
aborsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Aborsi spontan adalah aborsi yang tidak disengaja , yang bisa terjadi karena
penyakit syphilis, demam panas yang hebat, penyakit ginjal, TBC, kecelakaan dan
sebagainya.
Kristen
Katolik
Hampir sama dengan pernyataan agama Kristen, dalam agama katolik aborsi
juga dilarang.
Hindu
Budha
Dalam agama budha perlakuan aborsi tidak dibenarkan karena suatu karma
harus diselesaikan dengan cara yang baik, jika tidak maka akan timbul karma yang
lebih buruk lagi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Aborsi Dalam Pandangan Islam
I. Aborsi Menurut Islam
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram,
karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam
kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil
syar’i berikut. Firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al An’aam : 151).
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al Isra` : 31 )
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (TQS Al Isra` : 33)
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia
dibunuh.” (TQS At Takwir : 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang
bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi
itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau
40 malam adalah hadits Nabi SAW berikut :
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah
mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia
membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang
belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah),’Ya Tuhanku, apakah dia
(akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan ?’ Maka Allah kemudian
memberi keputusan…” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud RA)
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter,
diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur
40 hari.
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah
berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran
diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau
sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan
dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :
“Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan
Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang
budak laki-laki atau perempuan…” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah
RA) (Abdul Qadim Zallum, 1998)
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka
hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam
rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah
(gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri
minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum
dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki
kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan tindakan mengeluarkan
sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel
sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan
mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan
menimbulkan kehamilan.
“Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka ! ” (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)
Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya
pengobatan. Sedangkan Rasu¬lullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk
berobat. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan
pula obatnya. Maka berobatlah kalian !” (HR. Ahmad)
II. Kesimpulan
Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga
problem sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka
pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif-fundamental-radikal, yang
intinya adalah dengan mencabut sikap taqlid kepada peradaban Barat dengan
menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan dengan
Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.
Pembuahan sel telur dari hasil hubungan sex lebih jauh ditinjau dalam falsafah
Hindu sebagai sesuatu yang harusnya disakralkan dan direncanakan. Baik dalam
Manava Dharmasastra maupun dalam Kamasutra selalu dinyatakan bahwa
perkawinan menurut Hindu adalah “Dharmasampati” artinya perkawinan adalah
sakral dan suci karena bertujuan memperoleh putra yang tiada lain adalah re-inkarnasi
dari roh-roh para leluhur yang harus lahir kembali menjalani kehidupan sebagai
manusia karena belum cukup suci untuk bersatu dengan Tuhan atau dalam istilah
Theology Hindu disebut sebagai “Amoring Acintya” . Oleh karena itu maka suatu
rangkaian logika dalam keyakinan Veda dapat digambarkan sebagai berikut :
Hubungan sex yang dilakukan dalam keadaan sedang marah, sedih, mabuk
atau tidak sadar, akan mempengaruhi prilaku anak yang lahir kemudian. Oleh karena
hubungan sex terjadi melalui upacara pawiwahan dan dilakukan semata-mata untuk
memperoleh anak, jelaslah sudah bahwa aborsi dalam Agama Hindu tidak dikenal dan
tidak dibenarkan.
Kasus aborsi merupakan dilema besar yang tentunya tidak mudah untuk
dipecahkan. Karena mencakup bermacam-macam aspek: legal, teologis, etis,
sosial dan personal. Di dalamnya ada yang pro dan kontra dalam penilaian etis
terhadap kasus aborsi ini. Legalitas tindakan aborsi adalah urusan kedua
ketertarikaan antara pro-life dan golongan pro-chois. Masalahnya ada legal atau
tindakan kriminal, dan inilah inti kontroversi terhadap kasus ini. Golongan pro-
aborsi menitikberatkan hak-hak si ibu, yaitu privasi untuk memilih, dengan
disertai berbagai argumentasi dibelakangnya yang sifatnya lebih pragmatis
misalnya karena alasan tanggungjawab, finansial, aib, kecacatan; Mereka yang
anti aborsi menitikberatkan hak-hak si bayi yang belum dilahirkan, dan khususnya
hak untuk hidup. Kaum anti aborsi menitikberatkan perlunya pembelaan terhadap
hak-hak bayi yang belum di lahirkan itu, yang tidak mampu membela dirinya
sendiri.
Masalah yang pokok dalam kasus aborsi ini adalah tentang hakikat janin,
yaitu bagaimana kita berpikir tentang janin dalam rahim ibunya? Mengenai pokok
ini ada bermacam-macam pemahaman yang berbeda. Ada yang menganggap
bahwa saat menentukan ‘pemanusiaan’ embrio itu adalah pada suatu titik antara
penghamilan dan kelahiran; ada yang menganggap bahwa janin hanya sebagian
dari tubuh wanita yang mengandungnya, sehingga janin itu belum dapat dianggap
makhluk insani; kelompok lainnya menganggap pembuahan atau fusi saat yang
menentukan makhluk manusia mulai berada.
Dalam pandangan Kristen, isu aborsi adalah isu moral dan teologis. Maka,
untuk menanggapi masalah ini, yang menjadi taruhannya adalah ajaran iman
Kristen mengenai Allah dan manusia. Maka paper ini akan mendalami isu aborsi
ini dengan menganalisa aborsi, kemudian mengungkap beberapa pandangan yang
berkontroversi dalam menanggapinya, terakhir tulisan ini akan memberikan
argumentasi teologis sebagi sikap etis kristiani terhadap kasus aborsi.
II. Pengenalan Awal Kasus Aborsi
a. Pro-Choice
Embrio bagi Geisler, bukanlah suatu perluasan dari sang ibu, sebab
setelah 40 hari setelah pembuahan embrio itu sudah memiliki ilham, golongan
darah dan sidik jari sendiri. Dan akhirnya, embrio itu hanya “bersarang” di
dalam kandungan ibunya. Menyikapi legalisasi aborsi, dapat dikatakan bahwa
legalisasi aborsi justru membunuh jutaan bayi. Aborsi dapat dinilai sebagai
bentuk penyiksaan anak yang paling buruk, penyiksaan melalui kematian yang
kejam. Data Departemen Pelayanan Kesehatan dan Manusia sejak aborsi
dilegalkan tahun 1973 sampai 1982, penyiksaan anak meningkat lebih dari
500 % dan 91 % dari mereka disiksa orang tua yang menginginkan anaknya.
Aborsi terhadap janin cacat tidak dapat dibenarkan sebab sama seperti
pembunuhan terhadap bayi atau eutanasia karena alasan genetik.
b. Pro-life
Jawaban Geisler atas kritik itu sangat jelas. Aborsi secara medis dapat
dibenarkan untuk kasus kehamilan tubal dimana pilihannya nyawa ibu atau
bayinya. Geisler berpendapat bahwa secara moral dibenarkan mengambil
setiap tindakan pencegahan medis untuk menyelamatkan nyawa sang ibu.
Artinya adalah aborsi yang dilakukan bukan seperti yang dimaksudkan karena
beberapa alasan: pertama, tujuannya bukanlah untuk membunuh bayi;
maksudnya adalah untuk menyelamatkan nyawa sang ibu. Kedua, ini adalah
masalah nyawa ganti nyawa, bukan satu situasi dimana ada permintaan untuk
aborsi. Ketivhga, ketika hidup seseorang terancam, seperti sang ibu, seorang
memiliki hak untuk mempertahankannya atas dasar membunuh untuk
membela diri. John Stott mengatakan, “Menurut tradisi kristiani, nyawa
seseorang boleh dicabut demi melindungi nyawa orang lain, misalnya dalam
ikhtiar bela diri; tetapi tidak berhak membawa maut ke dalam suatu situasi
dimana tidak ada maut dan ancaman maut”.
V. Konsep Teologis
Alkitab memberi nilai yang tinggi atas hidup manusia. Dalam Ul 5 :117
tertulis "Jangan Membunuh" dan dalam Kel 21:22-24 dipersoalkan tentang kasus
pengguguran (Aborsi), khususnya mengenai kasus kecelakaan seorang wanita
yang sedang mengandung, yang terlibat dalam perkelahian antara dua orang laki-
laki, apabila si ibu hidup dan kandungannya gugur, maka orang tersebut harus
ganti rugi, dan kalau ibu itu mati dan kandungannya juga gugur, maka harus
nyawa ganti nyawa. Dalam hal ini ternyata orang Yahudi sangat menghargai
hidup, termasuk hidup binatang (lih Ul 22:6,7). Alkitab juga memberitahukan
kepada kita bahwa kehidupan sudah dimulai pada saat konsepsi, dalam Mat 1:20
dituliskan bahwa Yesus dikandung oleh Roh Kudus, dengan demikian Yesus
sungguh-sungguh menjadi manusia yang seutuhnya pada saat konsepsi.
Alkitab juga memandang bayi yang belum dilahirkan itu sebagai satu
pribadi atau manusia. Mzm 139:13-16 mencatat tentang Daud, yang pada waktu
dikandung sudah merupakan manusia dalam pemeliharaan Allah. Yer 1:5
mencatat "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah
mengenal engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-
bangsa. Juga dalam ayat yang lain yakni Mzm 51:7 Daud mengaku bahwa sifat
dosanya sudah ada sejak ia masih dalam kandungan.
Dalam Kej 1:26,27; 2:7 tertulis bahwa Allah menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa-Nya, yang menunjukkan bahwa hidup ini kudus dan sangat
berharga di hadapan Allah yang telah menciptakannya. Maka dalam hal ini secara
tegas Alkitab tidak membenarkan Aborsi, alasannya:
1. Hidup manusia semata-mata Karunia Allah.
2. Tuhan mempunyai rencana keselamatan bagi setiap insan yang lahir ke dunia ini.
3. Manusia tidak berhak untuk mencabut hak hidup dari pada fetus ataupun embrio,
yang berhak hanyalah Allah; jangan kita merampas hak Allah.
Oleh sebab itu, Sikap etis Kristiani dalam menanggapi masalah aborsi ini,
pertama-tama harus dilihat dari prerogatif Allah, karena masalah memberi hidup
atau mengambil hidup adalah urusan Allah. Semua orang Kristen percaya bahwa
Allah yang mahakuasa adalah Allah pencipta segala sesuatu, pemberi hidup,
pemelihara dan pengambil hidup. Dialah yang memberi nafas dan segala sesuatu
kepada manusia, artinya bahwa hidup dan mati manusia adalah bagian dari Allah.
Maka yang seharusnya kita pikirkan bahwa baik ibu yang mengandung
maupun anak yang dikandung, sebagai dua makhluk manusia yang masing-masing
berada dalam dua tahap pertumbuhan yang berbeda. Penghuni rahim ibu bukan
‘produk pembuahan’, melainkan seorang anak yang belum dilahirkan. John Stott,
bahkan lebih lanjut mengatakan bahkan pengertian ‘kehamilan’ itu sendiri hanya
menunjuk kepada suatu proses saja, yang sedang berlangsung dalam tubuh si ibu.
Jadi, janin bukan sebagian dari tubuh ibunya, bukan pula makhluk insan yang
potensial, melainkan sudah suatu kehidupan insani, yang meskipun belum matang,
mempunyai potensi untuk bertumbuh menuju kepenuhan dari kemusiaan
individualnya yang sudah dimilikinya. Stephen Schwarz, dalam menanggapi isu
aborsi ini menegaskan demikian, “On the whole, apart from the rare instances
where there are live births, abortion is the killing of the child. it is a deliberate
and intentional killing, either because one wants the child dead, or because on
chooses a method of removal that in fact constitutes killing”.
VI. Kesimpulan