Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan adalah suatu luasan di permukaan bumi dengan sifat-sifat
tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah, lapisan geologi, hidrologi,
serta hasil kegiatan manusia masa lalu, sekarang sampai pada tingkat tertentu
mempunyai pengaruh yang berarti terhadap penggunaan lahan oleh manusia
kini dan manusia masa datang (FAO, 1976 dalam Budiyantoro, 1992).
Selanjutnya pada perencanaan penggunaan lahan pertanian harus dilakukan
proses penaksiran potensi lahan un
tuk tujuan penelitian, yang meliputi
interpretasi dan survei bentuk lahan,
tanah, vegetasi, iklim dan aspek-aspek
lainya, sampai tingkatan mengidentifikasi dan membuat perbandingan jenis
tanaman yang diperbolehkannya.
Survey tanah adalah suatu cara atau metode untuk mengevaluasi lahan
guna mendapatkan data langsung dari lapa
ngan. Kegiatan servey terdiri dari
kegiatan lapangan, membuat analisis data, interpretasi terhadap tujuan dan
membuat laporan survey. Survey tanah menurut merupakan pekerjaan
pengumpulan data kimia, fisik dan biologi di lapangan maupun di
laboratorium dengan tujuan pendugaan penggunaan lahan maupun khusus
(Abdullah, 1993).
Wujud dari penggunaan lahan diantaranya untuk pertanian,
pemukiman, industri maupun untuk sarana lain baik dalam ruang lingkup
fisik maupun sosial ekonomi. Penggunaan lahan merupakan segala kegiatan
manusia terhadap lahan untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan hidupnya.
Indonesia sebagai negara agraris di
mana sebagian besar penduduk bermata
pencaharian sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang pertanian, maka
usaha usaha penggunaan lahan untuk keperluan produksi untuk pertanian
harus di perhatikan secara seksama dalam mencapai produksi pertanian secara
maksimal. Untuk mencapai tujuan tersebut yaitu peningkatan produksi
pertanian, tanaman yang akan di usahak
an pada suatu lahan harus disesuaikan
1
2
dengan kelas kesesuaian lahanya. Kese
suaian lahan adalah tingkat kecocokan
sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus, 1985). Suatu usaha
pertanian syarat keberhasilanya sangat di
tentukan oleh kesesuaian lahan yang
menjadi media tanam.
Permasalahan yang dihadapi adalah sumber daya lahan bersifat
terbatas, sedangkan kebutuhan manusia akan lahan semakin lama semakin
bertambah seiring bertambah pesatnya jumlah penduduk. Kebutuhan lahan
untuk non pertanian. Oleh sebab itu lahan harus dimanfaatkan secara
maksimal dan dipergunakan secara optimal untuk memperoleh hasil baik
yang menunjang kepada peningkatan kualitas kehidupan.
Dapat diketahui bahwa Kecamatan Ngargoyoso yang sebagian besar
masyarakatnya mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian adalah
28,55%, dan daerah tersebut merupakan daerah perkebunan dengan berbagai
macam tanaman perkebunan, kemudian Pemerintah Kabupaten Karanganyar
mulai mencoba dan mengembangkan tanaman apel dengan
varietas
manalagi
dan
varietas ana
di Kecamatan Ngargoyoso, mengingat daerah tersebut
memiliki lahan yang luas dan berpotensi untuk tanaman perkebunan.
Penelitian ini dilakukan dengan maks
ud untuk mengetahui tingkat kesesuaian
lahan untuk tanaman apel di Kecamatan Ngargoyoso.
Informasi klas kesesuaian lahan untuk perkebunan di Kecamatan
Ngargoyoso masih sangat terbatas. Oleh karena itu penelitian evaluasi
kesesuaian lahan untuk tanaman perkebunan di tempat ini perlu di lakukan,
mengingat daerah ini memiliki lahan yang luas dan berpotensi untuk tanaman
perkebunan. Dengan informasi kelas keseuaian lahan untuk tanaman
perkebunan ini diharapkan dapat dilakukan alternatif manajemen praktis yang
tepat, guna meningkatkan produksi dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar.
Penggunaan lahan yang didiasarkan atas kepentingan pribadi tanpa
memperlihatkan kesesuaian lahanya, apabila tidak di sertai usaha pelestarian
sumber daya lahan akan mengakibatkan kemerosotan produktifitas lainya.
3
Bila pengolahan lahan untuk pertanian tersebut dilakukan dengan baik, masa
tanam yang benar, pemupukan yang teratur dan pengairan yang ukup maka
hasil yang di peroleh akan maksim
al sehingga taraf hidup dan tingkat
perekonomian masyarakat petani akan meningkat.
Pengkajian ini penting untuk dilakukan agar lahan ini dapat
dimanfaatkan secara optimal dan akan didapatkan produktivitas lahan yang
optimal pula. Sejauh ini belum ada penelitian tentang kesesuaian lahan untuk
tanaman apel di daerah penelitian. Berdasarkan latar belakang tersebut maka
penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul
“KESESUAIAN
LAHAN UNTUK TANAMAN APEL (
Malus Sylvestris Mill
) di
KECAMATAN NGARGOYOSO KABUPATEN KARANGANYAR”

I. PENDAHULUAN
Kebutuhan lahan yang semakin meningkat, langkanya lahan pertanian
yang subur dan potensial, serta adanya persaingan penggunaan
lahan antara sektor pertanian dan non-pertanian, memerlukan
teknologi tepat guna dalam upaya mengoptimalkan penggunaan lahan
secara berkelanjutan. Untuk dapat memanfaatkan sumber daya lahan
secara terarah dan efisien diperlukan tersedianya data dan informasi
yang lengkap mengenai keadaan iklim, tanah dan sifat lingkungan
fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang diusahakan,
terutama tanaman-tanaman yang mempunyai peluang pasar dan arti
ekonomi cukup baik. Data iklim, tanah, dan sifat fisik lingkungan
lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta
terhadap aspek manajemennya perlu diidentifikasi melalui kegiatan
survei dan pemetaan sumber daya lahan. Data sumber daya lahan ini
diperlukan terutama untuk kepentingan perencanaan pembangunan
dan pengembangan pertanian. Data yang dihasilkan dari kegiatan
survei dan pemetaan sumber daya lahan masih sulit untuk dapat
dipakai oleh pengguna (users) untuk suatu perencanaan tanpa
dilakukan interpretasi bagi keperluan tertentu. Evaluasi lahan
merupakan suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumber
daya lahan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau
arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai
harapan produksi yang kemungkinan akan diperoleh. Beberapa
sistem evaluasi lahan yang telah banyak dikembangkan dengan
menggunakan berbagai pendekatan, yaitu ada yang dengan sistem
perkalian parameter, penjumlahan, dan sistem matching atau
mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan (Land
Qualities/Land Characteritics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan
yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertanian
yang berbasis lahan. Sistem evaluasi lahan yang pernah digunakan
dan yang sedang dikembangkan di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Balai Penelitian Tanah Bogor
diantaranya:

1. Klasifikasi kemampuan wilayah (Soepraptohardjo, 1970)


2. Sistem pendugaan kesesuaian lahan secara parametrik (Driessen,
1971)
3. Sistem yang digunakan oleh Proyek Penelitian Pertanian Menunjang
Transmigrasi atau P3MT (Staf PPT, 1983)
4. Sistem yang digunakan dalam Reconnaissance Land Resources
Surveys 1:250.000 scale Atlas Format Procedures (CSR/FAO, 1983)
5. Land Evaluation Computer System atau LECS (Wood, and Dent,
1983)
6. Automated Land Evalution System atau ALES (Rossiter D.G., and
A.R. Van Wambeke, 1997)
Adanya berbagai sistem atau metode yang digunakan dalam evaluasi
lahan tanpa mempertimbangkan tingkat dan skala peta dalam
hubungannya dengan ketersediaan dan kehandalan (accuracy) data,
dapat mengakibatkan terjadinya kerancuan dalam interpretasi dan
evaluasi lahan. Sebagai contoh sistem Atlas Format (CSR/FAO, 1983)
yang pada awalnya ditujukan untuk keperluan evaluasi lahan pada
tingkat tinjau (reconnaissance) skala 1:250.000, sering juga
digunakan untuk evaluasi lahan pada skala yang lebih besar (semi
detil atau detil). Hal ini mengakibatkan informasi dan data yang begitu
lengkap dari hasil pemetaan semi detil dan detil, tidak nampak
peranannya dalam hasil evaluasi lahan, sehingga hasil tersebut masih
sulit digunakan untuk keperluan alih teknologi dalam perencanaan
pembangunan pertanian khususnya untuk skala mikro. Untuk
mengatasi hal tersebut diperlukan adanya suatu Petunjuk Teknis
Evaluasi Lahan yang dapat digunakan sesuai dengan tingkat
pemetaan dan skala peta, serta tujuan dari evaluasi lahan yang akan
dilakukan dalam kaitannya dengan ketersediaan dan validitas data.
Petunjuk teknis ini disusun mengacu kepada "Kriteria Kesesuaian
Lahan untuk Komoditas Pertanian Versi 3.0" (Djaenudin et al., 2000),
dan dirancang untuk keperluan pemetaan tanah tingkat semi detil
(skala peta 1:50.000).

EVALUASI LAHAN

2.1. Pengertian Dasar


Dalam melaksanakan evaluasi lahan perlu terlebih dahulu memahami istilah-istilah yang digunakan, baik
yang menyangkut keadaan sumber daya lahan, maupun yang berkaitan dengan kebutuhan atau
persyaratan tumbuh suatu tanaman. Berikut diuraikan secara ringkas mengenai: pengertian lahan,
penggunaan lahan, karakteristik lahan, kualitas lahan, dan persyaratan penggunaan lahan.

2.1.1. LAHAN

Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik
termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural
vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO,
1976). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas
flora, fauna dan manusia baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut
yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu.Penggunaan yang
optimal memerlukan keterkaitan dengan karakteristik dan kualitas lahannya. Hal tersebut disebabkan
adanya keterbatasan dalam penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik dan kualitas lahannya, bila
dihubungkan dengan pemanfaatan lahan secara lestari dan berkesinambungan.Pada peta tanah atau
peta sumber daya lahan, hal tersebut dinyatakan dalam satuan peta yang dibedakan berdasarkan
perbedaan sifat-sifatnya terdiri atas: iklim, landform (termasuk litologi, topografi/relief), tanah dan/atau
hidrologi. Pemisahan satuan lahan/tanah sangat penting untuk keperluan analisis dan interpretasi
potensi atau kesesuaian lahan bagi suatu tipe penggunaan lahan (Land Utilization Types = LUTs).Evaluasi
lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land
qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land
characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di
dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan/atau
pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan (peternakan, perikanan, kehutanan).

2.1.2. PENGGUNAAN LAHAN

Penggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat dibedakan atas: penggunaan lahan semusim,
tahunan, dan permanen. Penggunaan lahan tanaman semusim diutamakan untuk tanaman musiman
yang dalam polanya dapat dengan rotasi atau tumpang sari dan panen dilakukan setiap musim dengan
periode biasanya kurang dari setahun. Penggunaan lahan tanaman tahunan merupakan penggunaan
tanaman jangka panjang yang pergilirannya dilakukan setelah hasil tanaman tersebut secara ekonomi
tidak produktif lagi, seperti pada tanaman perkebunan. Penggunaan lahan permanen diarahkan pada
lahan yang tidak diusahakan untuk pertanian, seperti hutan, daerah konservasi, perkotaan, desa dan
sarananya, lapangan terbang, dan pelabuhan.Dalam Juknis ini penggunaan lahan untuk keperluan
evaluasi diarahkan pada: kelompok tanaman pangan (serealia, umbi-umbian, dan kacang-kacangan),
kelompok tanaman hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), kelompok tanaman
industri/perkebunan, kelompok tanaman rempah dan obat, kelompok tanaman hijauan pakan ternak,
dan perikanan air payau. Seluruhnya ada 112 jenis komoditas pertanian yang dapat dilihat pada
Lampiran 1 sampai Lampiran 6.Dalam evaluasi lahan penggunaan lahan harus dikaitkan dengan tipe
penggunaan lahan (Land Utilization Type) yaitu jenis-jenis penggunaan lahan yang diuraikan secara lebih
detil karena menyangkut pengelolaan, masukan yang diperlukan dan keluaran yang diharapkan secara
spesifik. Setiap jenis penggunaan lahan dirinci ke dalam tipe-tipe penggunaan lahan. Tipe penggunaan
lahan bukan merupakan tingkat kategori dari klasifikasi penggunaan lahan, tetapi mengacu kepada
penggunaan lahan tertentu yang tingkatannya dibawah kategori penggunaan lahan secara umum,
karena berkaitan dengan aspek masukan, teknologi, dan keluarannya.Sifat-sifat penggunaan lahan
mencakup data dan/atau asumsi yang berkaitan dengan aspek hasil, orientasi pasar, intensitas modal,
buruh, sumber tenaga, pengetahuan teknologi penggunaan lahan, kebutuhan infrastruktur, ukuran dan
bentuk penguasaan lahan, pemilikan lahan dan tingkat pendapatan per unit produksi atau unit areal.
Tipe penggunaan lahan menurut sistem dan modelnya dibedakan atas dua macam yaitu multiple dan
compound.Multiple: Tipe penggunaan lahan yang tergolong multiple terdiri lebih dari satu jenis
penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak pada suatu areal yang sama dari sebidang
lahan. Setiap penggunaan memerlukan masukan dan kebutuhan, serta memberikan hasil tersendiri.
Sebagai contoh kelapa ditanam secara bersamaan dengan kakao atau kopi di areal yang sama pada
sebidang lahan. Demikian juga yang umum dilakukan secara diversifikasi antara tanaman cengkih
dengan vanili atau pisang.Compound: Tipe penggunaan lahan yang tergolong compound terdiri lebih
dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada areal-areal dari sebidang lahan yang
untuk tujuan evaluasi diberlakukan sebagai unit tunggal. Perbedaan jenis penggunaan bisa terjadi pada
suatu sekuen atau urutan waktu, dalam hal ini ditanam secara rotasi atau secara serentak, tetapi pada
areal yang berbeda pada sebidang lahan yang dikelola dalam unit organisasi yang sama. Sebagai contoh
suatu perkebunan besar sebagian areal secara terpisah (satu blok/petak) digunakan untuk tanaman
karet, dan blok/petak lainnya untuk kelapa sawit. Kedua komoditas ini dikelola oleh suatu perusahaan
yang sama.

2.1.3. KARAKTERISTIK LAHAN

Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. Dari beberapa pustaka
menunjukkan bahwa penggunaan karakteristik lahan untuk keperluan evaluasi lahan bervariasi. Sebagai
gambaran Tabel 1 menunjukkan variasi dari karakteristik lahan yang digunakan sebagai parameter
dalam evaluasi kesesuaian lahan oleh beberapa sumber (Staf PPT, 1983; Bunting, 1981; Sys et al., 1993;
CSR/FAO, 1983; dan Driessen, 1971).

Tabel 1. Karakteristik lahan yang digunakan sebagai parameter dalam evaluasi lahan.

CSR/FAO Driessen
Staf PPT (1983) Bunting (1981) Sys et al. (1993)
(1983) (1971)

Periode Temperatur Temperatur


Tipe hujan
pertumbuhan rerata (°C) atau rerata (°C) atau Lereng
(Oldeman et al.)
tanaman elevasi elevasi

Temperatur
rerata pada Curah hujan
Kelas drainase Curah hujan (mm) Mikrorelief
periode (mm)
pertumbuhan

Sebaran besar Curah hujan Lamanya masa Lamanya masa


Keadaan batu
butir (lapisan atas) tahunan kering (bulan) kering (bulan)
Kelembaban Kelembaban
Kedalaman efektif Kelas drainase Kelas drainase
udara udara

Regim
Ketebalan gambut Tekstur tanah Kelas Drainase Kelas drainase
kelembaban

Dekomposisi
Kedalaman Salinitas/
gambut/jenis Tekstur/Struktur Tekstur
perakaran alkalinitas
gambut

Reaksi tanah Kejenuhan


KTK Bahan kasar Bahan kasar
(pH) basa

Kedalaman Reaksi tanah


Kejenuhan basa Salinitas/ DHL Kedalaman tanah
tanah (pH)

Pengambilan
Ketebalan
Reaksi tanah (pH) hara (N, P, K) KTK liat Kadar pirit
gambut
oleh tanaman

Pengurasan hara
Kematangan Kadar bahan
C-organik (N, P, K) dari Kejenuhan basa
gambut organik
tanah

Tebal bahan
P-tersedia Reaksi tanah (pH) KTK liat
organik

Kejenuhan
Salinitas/DHL C-organik Tekstur
basa

Struktur,
Reaksi tanah
Kedalaman pirit Aluminium porositas, dan
(pH)
tingkatan

Lereng
Salinitas/DHL C-organik Macam liat
(%)/mikrorelief
Bahan induk/
Erosi Alkalinitas Aluminium cadangan
mineral

Kerusakan karena Kedalaman


Lereng Salinitas/DHL
banjir efektif

Batu dan kerikil,


penghambat Genangan Alkalinitas
pengolahan tanah

Batuan di
Pori air tersedia Kadar pirit
permukaan

Penghambat
pertumbuhan
CaCO3 Lereng
karena
kekurangan air

Kesuburan tanah Gypsum Bahaya erosi

Permeabilitas
Jumlah basa total Genangan
lapisan atas

Batuan di
permukaan

Singkapan
batuan

Karakteristik lahan yang digunakan pada Juknis ini adalah: temperatur udara, curah hujan, lamanya
masa kering, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan gambut,
kematangan gambut, kapasitas tukar kation liat, kejenuhan basa, pH H20, C-organik, salinitas, alkalinitas,
kedalaman bahan sulfidik, lereng, bahaya erosi, genangan, batuan di permukaan, dan singkapan batuan.

temperatur
merupakan temperatur udara tahunan dan dinyatakan dalam °C
udara:

curah hujan: merupakan curah hujan rerata tahunan dan dinyatakan dalam mm
lamanya masa merupakan jumlah bulan kering berturut-turut dalam setahun dengan jumlah
kering: curah hujan kurang dari 60 mm

kelembaban
merupakan kelembaban udara rerata tahunan dan dinyatakan dalam %
udara:

merupakan pengaruh laju perkolasi air ke dalam tanah terhadap aerasi udara
drainase:
dalam tanah

tekstur: menyatakan istilah dalam distribusi partikel tanah halus dengan ukuran <2 mm

bahan kasar: menyatakan volume dalam % dan adanya bahan kasar dengan ukuran >2 mm

kedalaman menyatakan dalamnya lapisan tanah dalam cm yang dapat dipakai untuk
tanah: perkembangan perakaran dari tanaman yang dievaluasi

ketebalan digunakan pada tanah gambut dan menyatakan tebalnya lapisan gambut dalam
gambut: cm dari permukaan

digunakan pada tanah gambut dan menyatakan tingkat kandungan seratnya


kematangan
dalam bahan saprik, hemik atau fibrik, makin banyak seratnya menunjukkan
gambut:
belum matang/mentah (fibrik)

KTK liat: menyatakan kapasitas tukar kation dari fraksi liat

kejenuhan basa: jumlah basa-basa (NH4OAc) yang ada dalam 100 g contoh tanah.

nilai pH tanah di lapangan. Pada lahan kering dinyatakan dengan data


reaksi tanah
laboratorium atau pengukuran lapangan, sedang pada tanah basah diukur di
(pH):
lapangan

C-organik: kandungan karbon organik tanah.

kandungan garam terlarut pada tanah yang dicerminkan oleh daya hantar
salinitas:
listrik.

alkalinitas: kandungan natrium dapat ditukar


kedalaman dalamnya bahan sulfidik diukur dari permukaan tanah sampai batas atas lapisan
bahan sulfidik: sulfidik.

lereng: menyatakan kemiringan lahan diukur dalam %

bahaya erosi diprediksi dengan memperhatikan adanya erosi lembar


permukaan (sheet erosion), erosi alur (reel erosion), dan erosi parit (gully
bahaya erosi:
erosion), atau dengan memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata)
per tahun

genangan: jumlah lamanya genangan dalam bulan selama satu tahun

batuan di
volume batuan (dalam %) yang ada di permukaan tanah/lapisan olah
permukaan:

singkapan
volume batuan (dalam %) yang ada dalam solum tanah
batuan:

sumber air tersedianya air tawar untuk keperluan tambak guna mempertahankan pH dan
tawar: salinitas air tertentu

amplitudo
perbedaan permukaan air pada waktu pasang dan surut (dalam meter)
pasang-surut:

ketersediaan oksigen dalam tanah untuk keperluan pertumbuhan


oksigen:
tanaman/ikan

Setiap satuan peta lahan/tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei dan/atau pemetaan sumber daya
lahan, karakteristik lahan dapat dirinci dan diuraikan yang mencakup keadaan fisik lingkungan dan
tanahnya. Data tersebut digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi lahan bagi komoditas
tertentu.Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi ada yang sifatnya
tunggal dan ada yang sifatnya lebih dari satu karena mempunyai interaksi satu sama lainnya. Karenanya
dalam interpretasi perlu mempertimbangkan atau memperbandingkan lahan dengan penggunaannya
dalam pengertian kualitas lahan. Sebagai contoh ketersediaan air sebagai kualitas lahan ditentukan dari
bulan kering dan curah hujan rata-rata tahunan, tetapi air yang dapat diserap tanaman tentu tergantung
pula pada kualitas lahan lainnya, seperti kondisi atau media perakaran, antara lain tekstur tanah dan
kedalaman zone perakaran tanaman yang bersangkutan.

2.1.4. KUALITAS LAHAN


Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks dari sebidang lahan.
Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya
bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land
characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi
pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan (FAO, 1976).Dalam evaluasi lahan sering
kualitas lahan tidak digunakan tetapi langsung menggunakan karakteristik lahan (Driessen, 1971; Staf
PPT, 1983), karena keduanya dianggap sama nilainya dalam evaluasi. Metode evaluasi yang
menggunakan kualitas lahan antara lain dikemukakan pada CSR/FAO (1983), FAO (1983), Sys et al.
(1993) (lihat Tabel2).

Tabel 2. Kualitas lahan yang dipakai pada metode evaluasi lahan menurut CSR/FAO (1983), FAO (1983),
dan Sys et al. (1993).

CSR/FAO, 1983 FAO, 1983 Sys et.al., 1993

Temperatur Kelembaban Sifat iklim

Ketersediaan air Ketersediaan hara Topografi

Ketersediaan
Ketersediaan oksigen Kelembaban
oksigen

Media perakaran Media untuk perkembangan akar Sifat fisik tanah

Sifat kesuburan
Retensi hara Kondisi untuk pertumbuhan
tanah

Toksisitas Kemudahan diolah Salinitas/alkalinitas

Sodisitas Salinitas dan alkalinitas/ toksisitas

Bahaya sulfidik Retensi terhadap erosi

Bahaya erosi Bahaya banjir

Penyiapan lahan Temperatur

Energi radiasi dan fotoperiode


Bahaya unsur iklim (angin, kekeringan)

Kelembaban udara Periode kering untuk pemasakan


(ripening) tanaman

Kualitas lahan dapat berperan positif atau negatif terhadap penggunaan lahan tergantung dari sifat-
sifatnya. Kualitas lahan yang berperan positif sifatnya menguntungkan bagi suatu penggunaan.
Sebaliknya kualitas lahan yang bersifat negatif akan merugikan (merupakan kendala) terhadap
penggunaan tertentu, sehingga merupakan faktor penghambat atau pembatas. Setiap kualitas lahan
dapat berpengaruh terhadap satu atau lebih dari jenis penggunaannya. Demikian pula satu jenis
penggunaan lahan tertentu akan dipengaruhi oleh berbagai kualitas lahan.Sebagai contoh bahaya erosi
dipengaruhi oleh: keadaan sifat tanah, terrain (lereng) dan ikim (curah hujan). Ketersediaan air bagi
kebutuhan tanaman dipengaruhi antara lain oleh: faktor iklim, topografi, drainase, tekstur, struktur, dan
konsistensi tanah, zone perakaran, dan bahan kasar (batu, kerikil) di dalam penampang tanah.Kualitas
lahan yang menentukan dan berpengaruh terhadap manajemen dan masukan yang diperlukan adalah:

· Terrain berpengaruh terhadap mekanisasi dan/atau pengelolaan lahan secara praktis (teras,
tanaman sela/alley cropping, dan sebagainya), konstruksi dan pemeliharaan jalan penghubung.

· Ukuran dari unit potensial manajemen atau blok area/lahan pertanian.

· Lokasi dalam hubungannya untuk penyediaan sarana produksi (input), dan pemasaran hasil (aspek
ekonomi).

Dalam Juknis ini kualitas lahan yang dipilih sebagai berikut: temperatur, ketersediaan air, ketersediaan
oksigen, media perakaran, bahan kasar, gambut, retensi hara, toksisitas, salinitas, bahaya sulfidik,
bahaya erosi, bahaya banjir, dan penyiapan lahan.

temperatur: ditentukan oleh keadaan temperatur rerata

ditentukan oleh keadaan curah hujan, kelembaban, lama masa kering, sumber
ketersediaan air :
air tawar, atau amplitudo pasangsurut, tergantung jenis komoditasnya

ketersediaan
ditentukan oleh keadaan drainase atau oksigen tergantung jenis komoditasnya
oksigen :

media perakaran
ditentukan oleh keadaan tekstur, bahan kasar dan kedalaman tanah
:

gambut: ditentukan oleh kedalaman dan kematangan gambut

retensi hara : ditentukan oleh KTK-liat, kejenuhan basa, pH-H20, dan C-organik
bahaya
ditentukan oleh salinitas, alkalinitas, dan kedalaman sulfidik atau pirit (FeS2)
keracunan :

bahaya erosi : ditentukan oleh lereng dan bahaya erosi

bahaya banjir : ditentukan oleh genangan

penyiapan lahan
ditentukan oleh batuan di permukaan dan singkapan batuan
:

Fasilitas yang berkaitan dengan aspek ekonomi merupakan penentu kesesuaian lahan secara ekonomi
atau economy land suitability class (Rossiter, 1995). Hal ini dengan pertimbangan bagaimanapun
potensialnya secara fisik suatu wilayah, tanpa ditunjang oleh sarana ekonomi yang memadai, tidak akan
banyak memberikan kontribusi terhadap pengembangan wilayah tersebut. Evaluasi Lahan dari aspek
ekonomi tidak dibahas dalam Juknis ini.

2.1.5. PERSYARATAN PENGGUNAAN LAHAN

Semua jenis komoditas pertanian termasuk tanaman pertanian, peternakan, dan perikanan yang
berbasis lahan untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi optimal memerlukan persyaratan-
persyaratan tertentu. Untuk memudahkan dalam pelaksanaan evaluasi, persyaratan penggunaan lahan
dikaitkan dengan kualitas lahan dan karakteristik lahan yang telah dibahas. Persyaratan karakteristik
lahan untuk masing-masing komoditas pertanian umumnya berbeda, tetapi ada sebagian yang sama
sesuai dengan persyaratan tumbuh komoditas pertanian tersebut.

Persyaratan tersebut terutama terdiri atas energi radiasi, temperatur, kelembaban, oksigen, dan hara.
Persyaratan temperatur dan kelembaban umumnya digabungkan, dan selanjutnya disebut sebagai
periode pertumbuhan (FAO, 1983). Persyaratan lain berupa media perakaran, ditentukan oleh drainase,
tekstur, struktur dan konsistensi tanah, serta kedalaman efektif (tempat perakaran berkembang). Ada
tanaman yang memerlukan drainase terhambat seperti padi sawah. Tetapi pada umumnya tanaman
menghendaki drainase yang baik, dimana pada kondisi demikian aerasi tanah cukup baik, sehingga di
dalam tanah cukup tersedia oksigen, dengan demikian akar tanaman dapat berkembang dengan baik,
dan mampu menyerap unsur hara secara optimal.

Persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan yang diperlukan oleh masing-masing
komoditas mempunyai batas kisaran minimum, optimum, dan maksimum untuk masing-masing
karakteristik lahan. Kisaran tersebut untuk masing-masing komoditas pertanian dapat dilihat pada
Lampiran 1 - 6.

Kualitas lahan yang optimum bagi kebutuhan tanaman atau penggunaan lahan merupakan batasan bagi
kelas kesesuaian lahan yang paling sesuai (S1). Sedangkan kualitas lahan yang di bawah optimum
merupakan batasan kelas kesesuaian lahan antara kelas yang cukup sesuai (S2), dan/atau sesuai
marginal (S3). Di luar batasan tersebut merupakan lahan-lahan yang secara fisik tergolong tidak sesuai
(N).
III. PROSEDUR EVALUASI LAHAN

Evaluasi lahan umumnya merupakan kegiatan lanjutan dari survei dan pemetaan tanah atau sumber
daya lahan lainnya, melalui pendekatan interpretasi data tanah serta fisik lingkungan untuk suatu tujuan
penggunaan tertentu. Sejalan dengan dibedakannya macam dan tingkat pemetaan tanah, maka dalam
evaluasi lahan juga dibedakan menurut ketersediaan data hasil survei dan pemetaan tanah atau survei
sumber daya lahan lainnya, sesuai dengan tingkat dan skala pemetaannya.

3.1. Pendekatan

Dalam evaluasi lahan ada 2 macam pendekatan yang dapat ditempuh mulai dari tahap konsultasi awal
(initial consultation) sampai kepada klasifikasi kesesuaian lahan (FAO, 1976). Kedua pendekatan itu
adalah: 1) pendekatan dua tahapan (two stage approach); dan 2) pendekatan paralel (parallel
approach).

3.1.1. PENDEKATAN DUA TAHAPAN

Pendekatan dua tahap terdiri atas tahap pertama adalah evaluasi lahan secara fisik, dan tahap kedua
evaluasi lahan secara ekonomi. Pendekatan tersebut biasanya digunakan dalam inventarisasi sumber
daya lahan baik untuk tujuan perencanaan makro, maupun untuk studi pengujian potensi produksi (FAO,
1976).

Klasifikasi kesesuaian tahap pertama didasarkan pada kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan yang
telah diseleksi sejak awal kegiatan survei, seperti untuk tegalan (arable land) atau sawah dan
perkebunan. Konstribusi dari analisis sosial ekonomi terhadap tahap pertama terbatas hanya untuk
mencek jenis penggunaan lahan yang relevan. Hasil dari kegiatan tahap pertama ini disajikan dalam
bentuk laporan dan peta yang kemudian dijadikan subjek pada tahap kedua untuk segera ditindak lanjuti
dengan analisis aspek ekonomi dan sosialnya.

3.1.2. PENDEKATAN PARALEL

Dalam pendekatan paralel kegiatan evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi dilakukan bersamaan
(paralel), atau dengan kata lain analisis ekonomi dan sosial dari jenis penggunaan lahan dilakukan secara
serempak bersamaan dengan pengujian faktor-faktor fisik. Cara seperti ini umumnya menguntungkan
untuk suatu acuan yang spesifik dalam kaitannya dengan proyek pengembangan lahan pada tingkat
semi detil dan detil. Melalui pendekatan paralel ini diharapkan dapat memberi hasil yang lebih pasti
dalam waktu yang singkat.

3.2. Penyiapan Data

Untuk melakukan evaluasi lahan baik dengan menggunakan pendekatan dua tahapan maupun
pendekatan paralel perlu didahului dengan konsultasi awal. Konsultasi awal ini untuk menentukan
tujuan dari evaluasi yang akan dilakukan, data apa yang diperlukan dan asumsi-asumsinya yang akan
dipergunakan sebagai dasar dalam penilaian. Evaluasi lahan yang akan dilakukan tergantung dari
tujuannya yang harus didukung oleh ketersediaan data dan informasi sumber daya lahan.Urutan
kegiatan dalam melaksanakan evaluasi lahan dapat dilihat pada Gambar 1.

Pelaksanaan Evaluasi lahan dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu: tingkat tinjau skala 1:250.000 atau
lebih kecil; semi detil skala 1:25.000 sampai 50.000; dan detil skala 10.000 sampai 25.000 atau lebih
besar. Jenis, jumlah, dan kualitas data yang dihasilkan dari ketiga tingkat pemetaan tersebut bervariasi,
sehingga penyajian hasil evaluasi lahan ditetapkan sebagai berikut: pada tingkat tinjau dinyatakan dalam
ordo, tingkat semi detil dalam kelas/subkelas, dan pada tingkat detil dinyatakan dalam subkelas/subunit.
Petunjuk Teknis ini disarankan dipakai terutama untuk tingkat pemetaan semi detil.

Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data
tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan
persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang
bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Kriteria kelas kesuaian lahan untuk 112 jenis komoditas
pertanian yang berbasis lahan disajikan pada Lampiran 1–6. Pada proses matching hukum minimum
dipakai untuk menentukan faktor pembatas yang akan menentukan kelas dan subkelas kesesuaian
lahannya. Dalam penilaian kesesuaian lahan perlu ditetapkan dalam keadaan aktual (kesesuaian lahan
aktual) atau keadaan potensial (kesesuaian lahan potensial). Keadaan potensial dicapai setelah
dilaksanakan usaha-usaha perbaikan (Improvement = I) terhadap masing-masing faktor pembatas untuk
mencapai keadaan potensial.

Gambar 1. Urutan kegiatan dalam evaluasi lahan (FAO, 1983)

3.3. Asumsi-asumsi dalam Evaluasi Lahan

Sebelum melaksanakan evaluasi lahan, terlebih dahulu harus ditetapkan asumsi-asumsi yang akan
diterapkan. Dalam hal ini apakah evaluasi lahan akan dilakukan dengan asumsi pada kondisi tingkat
manajemen rendah (sederhana), sedang, atau tinggi.

Evaluasi lahan untuk tujuan perencanaan pembangunan pertanian perkebunan besar dengan masukan
teknologi tinggi, tentu berbeda asumsinya jika tujuan evaluasi lahan hanya untuk perkebunan rakyat
yang cukup dengan masukan teknologi menengah. Demikian pula dalam hal penggunaan alat-alat
pengolahan tanah dalam pembukaan lahan pertanian. Jika lahan akan diolah secara manual (cangkul
atau bajak) maka asumsi yang dapat digunakan dalam menilai kualitas dan karakteristik lahan berbeda
dengan penggunaan alat-alat berat (mekanik). Sebagai contoh penilaian terhadap tekstur tanah yang liat
dan/atau berkerikil untuk pengolahan tanah secara manual tidak terlalu bermasalah dibandingkan jika
menggunakan alat mekanik. Kasus serupa dalam menghadapi kualitas lahan terrain dalam hal ini lereng.
Pada lereng lebih besar dari 8% jika tanah diolah dengan menggunakan traktor merupakan masalah,
tetapi tidak demikian kalau diteras dengan menggunakan alat pengolah tanah yang sederhana.

Asumsi dapat dibedakan terutama atas dua hal: (1) yang menyangkut areal proyek; dan (2) yang
menyangkut pelaksanaan evaluasi/interpretasi serta waktu berlakunya dari hasil evaluasi
lahan.Beberapa contoh asumsi yang ditetapkan untuk evaluasi lahan secara kuantitatif fisik adalah
sebagai berikut:

· Data tanah yang digunakan hanya terbatas pada informasi atau data dari satuan lahan atau satuan
peta tanah.

· Reliabilitas data yang tersedia: rendah, sedang, tinggi

· Lokasi penelitian atau daerah survei

· Kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi


· Infrastruktur dan aksesibilitas serta fasilitas pemerintah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.

· Tingkat pengelolaan atau manajemen dibedakan atas 3 tingkatan yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

· Pemilikan tanah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.

· Pemasaran hasil produksi serta harga jual tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.

· Evaluasi lahan dilaksanakan secara kualitatif, kuantitatif fisik atau kuantitatif ekonomi.

· Usaha perbaikan lahan untuk mendapatkan kondisi potensial dipertimbangkan dan disesuaikan
dengan tingkat pengelolaannya.

· Aspek ekonomi hanya dipertimbangkan secara garis besar.

IV. INFORMASI PARAMETER UNTUK EVALUASI LAHAN

Bab ini mengemukakan karakteristik tanah atau lahan dan cara memprediksi data secara praktis di
lapangan maupun kriteria pengelompokannya. Karakteristik tanah/lahan yang dipakai sebagai
parameter dalam evaluasi lahan tersebut antara lain: temperatur udara, drainase, tekstur, alkalinitas,
bahaya erosi, dan banjir/genangan.

Estimasi temperatur berdasarkan ketinggian tempat (elevasi)

Di tempat-tempat yang tidak tersedia data temperatur (stasiun iklim terbatas), maka temperatur udara
dapat diduga berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dari atas permukaan laut. Pendugaan tersebut
dengan menggunakan pendekatan rumus dari Braak (1928) dalam Mohr et al. (1972). Berdasarkan hasil
penelitiannya di Indonesia temperatur di dataran rendah (pantai) berkisar antara 25-27ºC, dan rumus
yang dapat digunakan (rumus Braak) adalah sebagai berikut:

26,3°C - (0,01 x elevasi dalam meter x 0,6°C)

Berdasarkan penelitian Braak tersebut temperatur tanah pada kedalaman 50 cm di Indonesia lebih
tinggi 3-4,5ºC, sehingga untuk menduga temperatur tanah pada kedalaman 50 cm, maka rerata
temperatur udara ditambah sekitar 3,5ºC. Tetapi menurut Wambeke et al. (1986) temperatur tanah
lebih tinggi 2,5ºC dari temperatur udara. Hasil pendugaan temperatur dan ditambah perbedaan
temperatur udara dan temperatur tanah tersebut digunakan untuk menentukan rejim temperatur tanah
seperti yang ditetapkan dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1992; 1998).

Drainase tanah

Kelas drainase tanah dibedakan dalam 7 kelas sebagai berikut:

1. Cepat (excessively drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi sampai sangat tinggi dan
daya menahan air rendah. Tanah demikian tidak cocok untuk tanaman tanpa irigasi. Ciri yang dapat
diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan aluminium
serta warna gley (reduksi).

2. Agak cepat (somewhat excessively drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi dan daya
menahan air rendah. Tanah demikian hanya cocok untuk sebagian tanaman kalau tanpa irigasi. Ciri yang
dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan
aluminium serta warna gley (reduksi).

3. Baik (well drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang dan daya menahan air sedang,
lembab, tapi tidak cukup basah dekat permukaan. Tanah demikian cocok untuk berbagai tanaman. Ciri
yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi
dan/atau mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan sampai = 100 cm.

4. Agak baik (moderately well drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang sampai agak
rendah dan daya menahan air rendah, tanah basah dekat ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk
berbagai tanaman. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak
atau karatan besi dan/atau mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan sampai = 50 cm.

5. Agak terhambat (somewhat poorly drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik agak rendah
dan daya menahan air rendah sampai sangat rendah, tanah basah sampai ke permukaan. Tanah
demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di
lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan/atau mangan serta warna
gley (reduksi) pada lapisan sampai =25 cm.

6. Terhambat (poorly drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik rendah dan daya menahan air
rendah sampai sangat rendah, tanah basah untuk waktu yang cukup lama sampai ke permukaan. Tanah
demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di
lapangan, yaitu tanah mempunyai warna gley (reduksi) dan bercak atau karatan besi dan/atau mangan
sedikit pada lapisan sampai permukaan.

7. Sangat terhambat (very poorly drained), tanah dengan konduktivitas hidrolik sangat rendah dan daya
menahan air sangat rendah, tanah basah secara permanen dan tergenang untuk waktu yang cukup lama
sampai ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri
yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah mempunyai warna gley (reduksi) permanen sampai pada
lapisan permukaan.

Tekstur

Tekstur adalah merupakan gabungan komposisi fraksi tanah halus (diameter =2 mm) yaitu pasir, debu
dan liat. Tekstur dapat ditentukan di lapangan seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Menentukan kelas tekstur di lapangan

No Tekstur Sifat Tanah

Sangat kasar sekali, tidak membentuk bola dan gulungan, serta tidak
1. Pasir (S)
melekat.

Pasir berlempung Sangat kasar, membentuk bola yang mudah sekali hancur, serta agak
2.
(LS) melekat.
Lempung berpasir Agak kasar, membentuk bola agak kuat tapi mudah hancur, serta
3.
(SL) agak melekat.

Rasa tidak kasar dan tidak licin, membentuk bola teguh, dapat sedikit
4 Lempung (L)
digulung dengan permukaan mengkilat, dan melekat.

Lempung berdebu Licin, membentuk bola teguh, dapat sedikit digulung dengan
5
(SiL) permukaan mengkilat, serta agak melekat.

Rasa licin sekali, membentuk bola teguh, dapat sedikit digulung


6 Debu (Si)
dengan permukaan mengkilat, serta agak melekat.

Lempung berliat Rasa agak kasar, membentuk bola agak teguh (lembab), membentuk
7
(CL) gulungan tapi mudah hancur, serta agak melekat.

Lempung liat Rasa kasar agak jelas, membentuk bola agak teguh (lembab),
8
berpasir (SCL) membentuk gulungan tetapi mudah hancur, serta melekat.

Lempung liat Rasa licin jelas, membentuk bola teguh, gulungan mengkilat,
9
berdebu (SiCL) melekat.

Rasa licin agak kasar, membentuk bola dalam keadaan kering sukar
10 Liat berpasir (SC)
dipilin, mudah digulung, serta melekat.

Rasa agak licin, membentuk bola dalam keadaan kering sukar dipilin,
11 Liat berdebu (SiC)
mudah digulung, serta melekat.

Rasa berat, membentuk bola sempurna, bila kering sangat keras,


12 Liat (C)
basah sangat melekat.

Pengelompokan kelas tekstur yang digunakan pada Juknis ini adalah:

Halus (h) Liat berpasir, liat, liat berdebu

Agak halus (ah) Lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu
Sedang (s) Lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu

Agak kasar (ak) Lempung berpasir

Kasar (k) Pasir, pasir berlempung

Sangat halus (sh) Liat (tipe mineral liat 2:1)

Bahan kasar

Bahan kasar adalah merupakan modifier tekstur yang ditentukan oleh jumlah persentasi kerikil, kerakal,
atau batuan pada setiap lapisan tanah, dibedakan menjadi:

sedikit < 15%

sedang 15 - 35%

banyak 35 - 60%%

sangat banyak > 60%

Kedalaman tanah

Kedalaman tanah, dibedakan menjadi:

sangat dangkal < 20 cm

dangkal 20 - 50 cm

sedang 50 – 75 cm

dalam > 75 cm

Ketebalan gambut

Ketebalan gambut, dibedakan menjadi:


tipis < 60 cm

sedang 60 - 100 cm

agak tebal 100 – 200 cm

tebal 200 - 400 cm

sangat tebal > 400 cm

Saprik+, hemik+, fibrik+ = saprik/ hemik/ fibrik dengan sisisipan/ pengkayaan bahan mineral.

Alkalinitas

Menggunakan nilai exchangeable sodium percentage atau ESP (%) yaitu dengan perhitungan

ESP = Na dapat tukar x 100KTK tanah

Nilai ESP 15% adalah sebanding dengan nilai sodium adsorption ratio atau SAR 13

Bahaya erosi

Tingkat bahaya erosi dapat diprediksi berdasarkan keadaan lapangan, yaitu dengan cara memperhatikan
adanya erosi lembar permukaan (sheet erosion), erosi alur (reel erosion), dan erosi parit (gully erosion).
Pendekatan lain untuk memprediksi tingkat bahaya erosi yang relatif lebih mudah dilakukan adalah
dengan memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata) pertahun, dibandingkan tanah yang
tidak tererosi yang dicirikan oleh masih adanya horizon A. Horizon A biasanya dicirikan oleh warna gelap
karena relatif mengandung bahan organik yang cukup banyak. Tingkat bahaya erosi tersebut disajikan
dalam Tabel 4.

Tabel 4. Tingkat bahaya erosi

Tingkat bahaya erosi Jumlah tanah permukaan yang hilang (cm/tahun)

Sangat ringan (sr) < 0,15

Ringan (r) 0,15 - 0,9

Sedang (s) 0,9 - 1,8

Berat (b) 1,8 - 4,8


Sangat berat (sb) > 4,8

Bahaya banjir/genangan

Banjir ditetapkan sebagai kombinasi pengaruh dari: kedalaman banjir (X) dan lamanya banjir (Y). Kedua
data tersebut dapat diperoleh melalui wawancara dengan penduduk setempat di lapangan.

No Kedalaman banjir (X) Lamanya banjir (Y):

1. < 25 cm 1. < 1 bulan

2. 25 - 50 cm 2. 1 - 3 bulan

3. 50 - 150 cm 3. 3 - 6 bulan

4. > 150 cm. 4. > 6 bulan.

Bahaya banjir diberi simbol Fx, y. (dimana X adalah simbol kedalaman air genangan, dan Y adalah
lamanya banjir). Kelas bahaya banjir tersebut disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Kelas bahaya banjir

Simbol Kelas bahaya banjir Kelas bahaya banjir berdasarkan kombinasi kedalaman dan lamanya banjir (F
x,y)

Kelas bahaya Kelas bahaya banjir berdasarkan kombinasi kedalaman dan lamanya
Simbol
banjir banjir (F x,y)

F0 Tanpa -

F1 Ringan F1.1, F2.1, F3.1

F2 Sedang F1.2, F2.2, F3.2, F4.1


F3 Agak berat F1.3, F2.3, F3.3

F4 Berat F1.4, F2.4, F3.4, F4,2, F4.3, F4.4

BAB I
PENDAHULUAN

Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks dari
sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh
terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih
karakteristik lahan (land characteristics). Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur
secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan berdasarkan karakteristik lahan
(FAO, 1976).
Aplikasi Penentuan Kesesuaian Lahan Berdasarkan Faktor Penghambat Terbesar ini
merupakan aplikasi untuk menentukan kesesuaian lahan terhadap penggunaan untuk penanaman
tanaman tertentu. Kesesuaian lahan pada aplikasi ini dilakukan dengan cara membandingkan
karakteristik & kualitas lahan dengan persyaratan pengunaan lahan untuk suatu tanaman tertentu.
Nilai kesesuaian lahan ditentukan oleh adanya faktor penghambat dan tingkat dari faktor
penghambat tersebut. Semakin besar tingkatan faktor penghambat yang ada, membuat kesesuaian
lahan semakin berkurang (Nina, sevani. 2013).
Kesesuaian lahan (land suitability) adalah potensi lahan yang didasarkan atas kesesuaian
lahan untuk penggunaan pertanian secara lebih khusus, seperti padi, tanaman palawija, tanaman
perkebunan. Kesesuaian lahan juga diartikan sebagai tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk
penggunaan tertentu (Nina, sevani. 2013).
Aplikasi ini mempunyai dua fitur utama, yaitu : Aplikasi Penentuan Kesesuaian Lahan &
Aplikasi Penentuan Karakteristik Lahan. Aplikasi Penentuan Kesesuaian Lahan merupakan
aplikasi yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian lahan pengguna berdasarkan data
yang diberikan oleh pengguna itu sendiri. Aplikasi Penentuan Karakteristik Lahan merupakan
aplikasi yang digunakan untuk menampilkan persyaratan penggunaan lahan untuk suatu tanaman
tertentu dan menentukan lokasi yang sesuai untuk tanaman tersebut (Nina, sevani. 2013).
Aplikasi ini dibuat untuk dapat membantu perencana & pelaksana pertanian dalam
menentukan kesesuaian lahan mereka dengan jenis tanaman yang akan mereka tanam sebelum
proses penanaman & pengolahan dilakukan. Dengan diketahuinya kesesuaian lahan terhadap jenis
tanaman sebelum dimulainya proses penanaman, maka diharapkan dapat meminimalisasikan
kesalahan atau ketidak sesuaian antara jenis tanaman dengan karakteristik dan kualitas lahan
(Nina, sevani. 2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk suatu penggunaan
tertentu. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka kerja FAO 1976 dalam Rayes
(2007) adalah terdiri dari 4 kategori sebagai berikut : (1) Ordo (Order): menunjukkan keadaan
kesesuaian secara umum). (2) Klas (Class) : menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.
(3) Sub-Klas : menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas yang didasarkan pada jenis pembatas
atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas. (4) Satuan (Unit): menunjukkan tingkatan
dalam sub-kelas didasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil yang berpengaruh dalam
pengelolaannya.
Kelas kesesuaian lahan merupakan pembagian lebih lanjut dari Ordo dan menggambarkan
tingkat kesesuaian dari suatu Ordo. Tingkat dalam kelas ditunjukkan oleh angka (nomor urut) yang
ditulis dibelakang simbol Ordo. Nomor urut tersebut menunjukkan tingkatan kelas yang makin
menurun dalam suatu ordo. Jumlah kelas yang dianjurkan adalah sebanyak 3 (tiga) kelas dalam
Ordo S, yaitu: S1, S2, S3 dan 2 (dua) kelas dalam Ordo N, yaitu: N1 dan N2. Penjelasan secara
kualitatif dari definisi dalam pembagian kelas disajikan dalam uraian berikut: Kelas S1 : Kelas S1
atau Sangat Sesuai (Highly Suitable) merupakan lahan yang tidak mempunyai pembatas yang berat
untuk penggunaan secara lestari atau hanya mempunyai pembatas tidak berarti dan tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi serta tidak menyebabkan kenaikan masukan yang diberikan
pada umumnya.
Kelas S2 : Kelas S2 atau Cukup Sesuai (Moderately Suitable) merupakan lahan yang
mempunyai pembatas agak berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus
dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan, serta meningkatkan
masukan yang diperlukan. Kelas S3: Kelas S3 atau Sesuai Marginal (Marginal Suitable)
merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat untuk mempertahankan tingkat
pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan.
Perlu ditingkatkan masukan yang diperlukan. Kelas N1:
Kelas N1 atau Tidak Sesuai Saat Ini (Currently Not Suitable) merupakan lahan yang mempunyai
pembatas yang lebih berat, tapi masih mungkin untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan
tingkat pengetahuan sekarang ini dengan biaya yang rasional. Faktor-faktor pembatasnya begitu
berat sehingga menghalangi keberhasilan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
Kelas N2 : Kelas N2 atau Tidak Sesuai Selamanya (Permanently Not Suitable) merupakan
lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat, sehingga tidak mungkin digunakan bagi suatu
penggunaan yang lestari. Berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976) dikenal empat
macam kalsifikasi kesesuaian lahan yaitu :
(1) Kesesuaian lahan yang bersifat kualitatif.
(2) Kesesuaian lahan yang bersifat kuantitatif.
(3) Kesesuaian lahan aktual.
(4) Kesesuaian lahan potensial.
BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Kesesuaian lahan adalah tingkat
kecocokan suatu bidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu dan terdiri dari 4 kategori yaitu
ordo, klas, sub-klas, dan satuan unit. Dan Aplikasi Penentuan Kesesuaian Lahan Berdasarkan
Faktor Penghambat Terbesar ini merupakan aplikasi untuk menentukan kesesuaian lahan terhadap
penggunaan untuk penanaman tanaman tertentu.

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Lahan
sendiri merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda
yang diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Sedangkan penggunaan lahan
merupakan setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik material maupun spritual.
Pembangunan di Indonesia yang gencar dilakukan seiring perkembangan jaman dan pertumbuhan
penduduk menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin besar. Kebutuhan lahan yang semakin besar ini
memicu alih fungsi lahan yang sudah sering terlihat saat ini. Selama ini kebutuhan akan lahan
diidentikan dengan kebutuhan lahan untuk pertanian karena memang saat ini pertanian merupakan
sumber utama pangan manusia. Peralihan fungsi lahan perlu mendapat perhatian lebih karena
penggunaan lahan sedikit banyak pasti berpengaruh terhadap kehidupan manusia itu sendiri.

Pengetahuan akan kondisi lahan dan kemampuan lahan sangat penting karena banyak masyarakat
kurang mengetahui sehingga mereka menggunakan lahan secara sembarangan yang akhirnya merusak
lahan itu sendiri. Setelah lahan menjadi rusak, maka pemulihan kembali sangatlah sulit dan masyarakat
sendiri yang akan dirugikan.

Kota mempunyai peranan sebagai titik pusat pertumbuhan ekonomi serta menjadi pusat aktivitas
ekonomi, sosial dan budaya. Pada umumnya, penduduk yang pindah ke kota bertujuan untuk
memperoleh kesempatan kerja. Hubungan tersebut mempengaruhui jumlah penduduk di wilayah
perkotaan. Seiring bertambahnya jumlah penduduk akibat proses urbanisasi, bertambah pula jumlah
permintaan terhadap kebutuhan lahan yang digunakan untuk kebutuhan sosial dan ekonomi terutama
permukiman dalam suatu perkotaan. Menjamurnya pembangunan permukiman yang ada di pinggiran
kota secara tidak teratur mengakibatkan perkembangan kota disebut sebagai urban sprawl (Troy, 1996).
Urban sprawl atau perluasan fisik kota memiliki dampak negatif yang salah satunya tidak efektifnya
pembangunan fasilitas pelayan kota dan ketidaksesuaian lahan sebagaimana mestinya.

Dalam merumuskan tata ruang kota dimasa yang akan datang, Yunus (2005) berpendapat bahwa
pemahaman karakteristik fisik kota diperlukan guna menghindari dampak negatif dari perkembangan
kota. Pemanfaatan lahan untuk permukiman harus diatur dengan baik sehingga sesuai dengan rencana
tata ruang kota, dengan mempertimbangkan keseimbangan aspek ekologis sehingga tidak sampai terjadi
penurunan kualitas lahan.

Pemantauan perkembangan lahan permukiman dengan cara manual akan memakan banyak waktu,
tenaga dan biaya sehingga pemanfaatan data variabel dan pemetaan yang lebih mudah akan digunakan
dalam analisis kali ini. Penerapan SIG (sistem Informasi Geografis) dalam evaluasi kesesuaian lahan
permukiman akan mempermudah dan mempercepat proses analisis data. SIG memiliki kemampuan
dalam input, editing dan analisis data baik data grafis maupun data atribut (tabuer) secara tepat dan
akurat. Selain itu, pemanfaatan SIG sangat penting terutama dalam hal efisiensi tenaga dan waktu.

Kota Banjarmasin terletak pada 3°,15 sampai 3°,22 Lintang Selatan dan 114°,32 Bujur Timur, ketinggian
tanah berada pada 0,16 m di bawah permukaan laut dan hampir seluruh wilayah digenangi air pada saat
pasang. Kota Banjarmasin berlokasi di sisi timur sungai Barito. Letak Kota Banjarmasin nyaris di tengah-
tengah Indonesia.

Kota Banjarmasin dibelah oleh sungai Martapura dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut Jawa,
sehingga berpengaruh kepada drainase kota dan memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan
masyarakat, terutama pemanfaatan sungai sebagai salah satu prasarana transportasi air, pariwisata,
perikanan dan perdagangan.

Menurut data statistik 2011 dari seluruh luas wilayah Kota Banjarmasin yang kurang lebih 98 Km² ini
dapat dipersentasikan bahwa peruntukan tanah saat sekarang adalah lahan tanah pertanian atau
3.111,9 ha, perindustrian 278,6 ha, jasa 443,4 ha dan pemukiman adalah 3.029,3 ha, dan lahan
perusahaan seluas 336,8 ha. Perubahan dan perkembangan wilayah terus terjadi seiring dengan
pertambahan kepadatan penduduk dan kemajuan tingkat pendidikan serta penguasaan ilmu
pengetahuan teknologi.

Tanah aluvial yang didominasi struktur lempung adalah merupakan jenis tanah yang mendominasi
wilayah Kota Banjarmasin. Sedangkan batuan dasar yang terbentuk pada cekungan wilayah berasal dari
batuan metaforf yang bagian permukaan ditutupi oleh kerakal, kerikil, pasir dan lempung yang
mengendap pada lingkungan sungai dan rawa.

Penggunaan tanah di Kota Banjarmasin Tahun 2003 untuk lahan pertanian seluas 2.962,6 Ha, Industri
278,6 Ha, Perusahaan 337,3 Ha, Jasa 486,4 Ha dan Tanah Perumahan 3.135,1 Ha. Dibandingkan dengan
data tahun-tahun sebelumnya lahan pertanian cenderung menurun, sementara untuk lahan perumahan
mengalami perluasan sejalan dengan peningkatan kegiatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Luas
optimal Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebuah kota adalah 30% dari luas kota. Banjarmasin hanya memiliki
10 sampai 12 % RTH saja.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian
lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan
perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan aktual merupakan kesesuaian lahan
berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan
masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik
tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan penggunaan sebuah lahan tersebut, misalkan
untuk permukiman maka karakteristik tanah seperti apa yang cocok untuk membangun sebuah
permukiman. Sedangkan kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan
dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi,
lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan
tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang
sesuai.

B. Klasifikasi Kesesuaian Lahan

· Struktur Klasifikasi Keseuaian Lahan:

Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka kerja FAO 1976 dalam Rayes (2007)
adalah terdiri dari 4 kategori sebagai berikut:

(1) Ordo (Order): menunjukkan keadaan kesesuaian secara umum.

(2) Klas (Class) : menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.

(3) Sub-Klas : menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas yang didasarkan pada jenis pembatas atau
macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas.

(4) Satuan (Unit): menunjukkan tingkatan dalam sub-kelas didasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil
yang berpengaruh dalam pengelolaannya.

Klasifikasi kesesuaian lahan merupakan perbandingan (matching) antara kualitas lahan dengan
persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan. Kesesuaian lahan ini dapat dipakai untuk klasifikasi
kesesuaian lahan secara kuantitatif maupun kualitatif tergantung pada data yang tersedia. Dalam hal
kesesuaian lahan untuk permukiman ini yang dipakai adalah klasifikasi kesesuaian lahan secara kualitatif
karena penilaian kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara
kualitatif (tidak dengan angka-angka) (Hardjowigeno, 2003). Kesesuaian lahan diklasifikasikan menjadi
beberapa macam. Menurut FAO (1976) struktur klasifikasi kesesuaian lahan dapat dibedakan menurut
tingkatannya , yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas, dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan
secara global, dimana ia menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan
tertentu. Pada tingkat Ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S= Suitable)
dan lahan yang tidak sesuai (N= Not Suitable).
Lahan yang termasuk pada golongan S atau sesuai merupakan lahan yang bisa digunakan dalam jangka
waktu lama dan tidak terbatas pada penggunaan tertentu yang telah dipertmbangkan sebelumnya.
Lahan yang masuk dalam ordo ini tidak akan memiliki kerusakan yang berarti saat digunakan. Sedangkan
lahan yang masuk pada ordo N atau tidak sesuai merupakan lahan yang memiliki kesulitan-kesulitan
yang sedemikian rupa sehingga menghambat penggunaan atau bahkan mencegah penggunaannya
untuk suatu tujuan.

Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo yang menunjukkan tingkat kesesuaian
suatu lahan. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas
kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000)
pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan
sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo
tidak sesuai (N) dibedakan ke dalam dua kelas yaitu N1 (tidak sesuai pada saat ini) dan N2 (tidak sesuai
untuk selamanya). (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas
dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).

Kelas S1 (sangat sesuai): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap
penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh
terhadap produktivitas lahan secara nyata.

Kelas S2 (cukup sesuai): Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh
terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas ini biasanya masih dapat
diatasi dengan cukup mudah.

Kelas S3 (sesuai mariginal): Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan
sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak
daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi,
sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta.

Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini): Lahan memiliki faktor pembatas yang sangat besar namun masih
dapat digunakan setelah mengalami pengolahan dengan modal yang juga tidak sedikit.

Kelas N2 (tidak sesuai untuk selamanya): Lahan memiliki faktor pembatas yang permanen sehingga tidak
memungkinkan digunakan untuk penggunaan lahan yang lestari dalam jangka waktu yang sangat lama.

Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan
menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik
lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat. Sedangkan subkelas merupakan pembagian tingkat
lanjut dari subkelas berdasarkan atas besarnya faktor pembatas.

· 4 (Empat) Macam Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976) dikenal empat macam klasifikasi kesesuaian
lahan, yaitu:

(1) Kesesuaian lahan yang bersifat kualitatif.

(2) Kesesuaian lahan yang bersifat kuantitatif.

(3) Kesesuaian lahan aktual.

(4) Kesesuaian lahan potensial.

C. Penggunaan Lahan untuk Permukiman

Menurut UU RI No. 4 tahun 1992 permukiman adalah suatu kawasan perumahan memiliki luas wilayah
dengan jumlah penduduk tertentu yang dilengkapi dengan sistem prasarana dan sarana lingkungan
dengan penataan ruang yang terencana dan teratur, tempat kerja terbatas sehingga memungkinkan
pelayanan dan pengelolaan yang optimal. Pada penggunaan lahan untuk permukiman sangat penting
untuk dikaji kesesuaian lahannya apakah dengan dibangunnya permukiman di atas sebuah lahan akan
berpengaruh terhadap daya dukung lahan tersebut. Terdapat sepuluh parameter penentu kelas
kesesuaian lahan untuk permukiman yaitu:

1. lereng,

2. posisi jalur patahan (tidak ada, ada pengaruh, dan tepat pada jalur),

3. kekuatan batuan,

4. kembang kerut tanah,

5. sistem drainase,

6. daya dukung tanah,

7. kedalaman air tanah,

8. bahaya erosi,

9. bahaya longsor, dan

10. bahaya banjir.


Faktor dominan yang menjadi penghambat utama dalam penentuan kawasan permukiman adalah,
lereng, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, bahaya longsor, bahaya erosi, dan jalur patahan.

D. Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut

Membahas lahan di kota Banjarmasin tidak akan lepas dari Lahan Rawa Pasang Surut.Pertemuan
Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak tahun 1992 di Cisarua, Bogor
istilah lahan rawa dibedakan menjadi dua, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak atau
rawa pedalaman (nontidal swamps). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 64/PRT/1993
menyatakan rawa dibagi dalam tiga kategori, yaitu (10 rawa pasang surut, (2) rawa pantai, dan (3) rawa
pedalaman atau rawa lebak. Lahan rawa pasang surut umumnya mempunyai topografi datar dan
pengaruh luapan pasang surut air laut yang lebih atau sama kuat dengan luapan air sungai, yang bersifat
tetap menurut peredaran bulan (Noor, 2007). Genangan di lahan rawa pasang surut hanya 1-2 meter
dan berlangsung 3-4 jam, yaitu saat terjadi pasang besar (pasang purnama), kecuali daerah pinggir
sungai (radius 60-100 km dari pinggir sungai). Pada kawasan rawa pasang surut, luapan pasang terjadi
secara berkala akibat pengaruh daya tarik antara benda-benda langit; bulan, matahari dan bumi. Dengan
demikian, turun naiknya muka air/air tanah pada rawa pasang surut sudah tentu dengan siklus yang
tetap. Berdasarkan historisnya, pengaruh pasang surut diperluas sampai ke pedalaman dengan cara
menggali saluran-saluran, dengan harapan air sungai bisa keluar masuk rawa melalui saluran tersebut.
Keberadaan saluran-saluran ini, selain menambah subur daerah pedalaman, juga menambah area
resapan air akibat pasang naik. Manajemen air merupakan faktor penting dalam pembangunan di
daerah rawa (Chandrawidjaja, 2003). Dikenal dua tingkatan manajemen air, yaitu :

1. Manajemen air makro, berfungsi menghubungkan tata air didalam kawasan dengan tata air
disekitarnya

2. Manajemen air mikro, berfungsi menghubungkan tata air di lahan perumahan dengan system jaringan
salurannya.

Berdasarkan manajemen air ini , maka dapat disimpulkan bahwa untuk daerah rawa pasang surut
pengaliran air yang paling penting.

E. Pola dan tapak permukiman di daerah Banjarmasin

Pola permukiman merupakan lingkup penyebaran daerah tempat tinggal penduduk menurut keadaan
geografi (fisik) tertentu. Untuk pertumbuhan kota Banjarmasin, permukiman penduduk pada awalnya
terkonsentrasi pada tepian sungai, terutama daerah aliran sungai Barito dan anak sungainya. Di wilayah
tersebut banyak terdapat kantong permukiman sampai berdirinya pusat kerajaan (Saleh, 1981; Atmojo,
2002). Permukiman penduduk memanjang di tepian sungai membentuk pola linier dengan aliran sungai
sebagai poros. Rumah-rumah dibangun menghadap sungai, dan di depan rumah biasanya terdapat
dermaga yang dipakai untuk tempat menyandarkan atau mengikat alat transportasi berupa perahu
(Daud, 1997). Pola permukiman seperti ini sangat memperhatikan keseimbangan ekosistem, karena
masih mempertimbangkan sungai sebagai potensi alam. Tetapi pada perkembangan permukiman
berikutnya, banyak rumah tumbuh di bantaran sungai dengan orientasi ke jalan dan membelakangi
sungai sebagai akibat dari semakin berkembangnya jalan raya sebagai transportasi darat. Arsitektur
rumah tradisional yang berlokasi di tepian sungai menggunakan konstruksi rumah panggung dari bahan
kayu ulin dan pancangan kayu galam (Huzairin, 2004). Tradisi ini berlanjut sampai ke daerah daratan
yang berair dan berawa menyesuaikan dengan kondisi geomorfologis kota Banjarmasin. Sehingga di
bagian bawah bangunan masih terdapat ruang-ruang untuk area resapan dan penampungan air. Pondasi
pada rumah tradisional merupakan wujud fisik kebudayaan masyarakat yang hidup di lingkungan lahan
(rawa) yang menyesuaikan dengan tapak permukimannya. Hal ini merupakan kearifan lokal untuk
mengatasi permasalahan setempat (Muhammad, 2007). Pada permukiman modern, praktek
pembangunan dengan mengurug rawa merupakan trend. Akibat dari perilaku membangun ini, maka
rawa yang berfungsi sebagai area resapan dan penampungan air semakin menyempit. Resiko banjir
pada permukiman modern lebih besar dibandingkan dengan permukiman tradisional (Tharziansyah,
2002).

· Perkembangan Tapak Permukiman

Lahan rawa di Banjarmasin termasuk rawa pasang surut. Sungai menjadi wadah aliran air agar pada saat
pasang naik, air tidak masuk ke daratan. Kanal-kanal (sungai buatan) yang menghubungkan dua buah
sungai utama dibuat untuk mempermudah dan mempersingkat transportasi air pada waktu dulu juga
digunakan untuk mengairi area pertanian. Sehingga di Banjarmasin banyak terdapat sungai untuk
antisipasi banjir pada saat pasang tinggi dan saat hujan lebat. Berdasarkan historis, permukiman banyak
tumbuh di tepi sungai karena kemudahan akses transportasi air. Pada perkembangan selanjutnya,
permukiman lebih mengarah ke daratan karena dibentuknya jalan-jalan darat. Transportasi air mulai
ditinggalkan,sedangkan transportasi darat semakin berkembang. Kondisi tapak juga mengalami
perubahan. Pada mulanya banyak lahan rawa yang berhubungan dengan saluran air, tetapi sekarang ini
lahan rawa mulai berkurang karena bertambah luasnya area permukiman. Hal ini dapat mengurangi
area resapan air dan air tidak dapat mengalir dengan leluasa. Untuk perkembangan selanjutnya,
permukiman tumbuh di sepanjang jalur darat ini baik formal maupun informal. Permukiman informal
biasanya tumbuh di sepanjang sungai, sedangkan permukiman formal tumbuh di area pedalaman (lebih
jauh dari sungai). Untuk permukiman yang posisinya dekat dengan sungai, pada saat pasang naik mudah
digenangi air tetapi cepat juga surutnya karena air cepat mengalir. Berbeda dengan permukiman yang
jauh dari sungai, pada saat pasang naik air menggenangi daratan lebih lama karena air sulit untuk keluar
karena tidak ada area pengaliran. Perkembangan tapak permukiman dibedakan menjadi dua kawasan,
yaitu (a) tapak permukiman yang berada di tepian (dekat) sungai dan (b) tapak permukiman pedalaman
(jauh dari sungai).
a .Tapak Permukiman Tepian Sungai

Perkembangan tapak permukiman tepian sungai terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

1. Berdasarkan historis, permukiman tumbuh di sepanjang tepian sungai dengan orientasi ke sungai.
Setiap rumah memiliki dermaga sebagai tempat menambatkan perahu, sebagai wadah “batang” untuk
kegiatan sehari-hari seperti mandi, cuci dan mengambil air untuk keperluan di rumah. Jarak antara
rumah dengan sungai + 30 meter, terdapat titian dari kayu ulin dengan struktur panggung sebagai
penghubung rumah dengan dermaga. Antara dermaga dan titian terdapat urugan tanah yang dijadikan
sebagai tanggul (kemudian berkembang fungsinya menjadi jalan darat). Tanggul ini biasanya diurug
dengan cara mengeruk sungai saat musim kemarau (sungai kering) sehingga mengurangi endapan
lumpur yang dapat membuat sungai dangkal. Rumah menggunakan struktur panggung dengan tiang ulin
dan pondasi kacapuri atau pancangan kayu galam. Jarak antar rumah lebih dari 20 meter. Pada tahap ini,
kondisi tapak permukiman masih terdapat ruang-ruang untuk area resapan dan aliran air.

2. Mulai tumbuh rumah-rumah di bagian belakang dan samping rumah utama (lapis pertama) Hal ini
disebabkan karena sistem kekerabatan yang sangat erat, dan ada kecenderungan orang tua sulit
berpisah dengan anaknya walaupun anak sudah menikah dan mempunyai keluarga, maka dibuatlah
rumah di bagian samping atau di bagian belakang rumah utama untuk anak-anak dan keluarganya.
Selain itu tumbuh pula rumah di bantaran sungai. Akses menuju rumah-rumah yang baru menggunakan
titian. Sedangkan titian yang menghubungkan rumah utama dengan dermaga berubah menjadi halaman
yang berasal dari tanah yang dikeruk dari sungai dan dari bawah rumah. Pada tahap ini, kearifan lokal
lahan rawa masih diperhatikan, yakni menggunakan rumah struktur panggung, akses titian dan sistem
urug dan keruk untuk halaman dengan tanah urugan dari area tersebut juga.

3. Pada tahap berikutnya, titian menuju rumah-rumah disekitar rumah lapis pertama mulai hilang
diganti dengan urugan tanah dan perkerasan paving stone. Rumah di bantaran sungai bertambah
banyak menjorok ke sungai, sungai semakin sempit. Titian di bantaran sungai juga sudah diurug menjadi
halaman rumah. Transportasi darat semakin berkembang, sehingga fungsi

dermaga dan sungai sebagai media transportasi mulai berkurang. Urugan tanah (reklamasi rawa)
semakin luas, lahan rawa semakin berkurang. Sebenarnya pengurugan lahan ini (reklamasi rawa) bisa
saja dilakukan, tetapi harus tetap memperhatikan kearifan lokal agar tidak merusak alam demi
terwujudnya permukiman yang berkelanjutan.
b. Tapak Permukiman Pedalaman (jauh dari sungai)

Perkembangan permukiman di kota Banjarmasin tidak hanya ditepian sungai, tapi berkembang ke area
pedalaman yang jauh dari sungai. Permukiman di area pedalaman ini lebih didominasi oleh perumahan
formal yang dibangun oleh developer.`Pola permukimannya dapat dilihat pada gambar berikut :

Pada gambar diatas terlihat bahwa seluruh halaman diurug. Saluran yang mengalirkan air berupa
gorong-gorong atau saluran terbuka dari area panggung rumah menuju keluar tidak ada, sehingga air
terkungkung di bawah lantai rumah. Apabila terjadi pasang tinggi, maka biasanya lantai bangunan yang
berada paling bawah (area dapur/service) akan tergenang air. Pada saat pembangunan rumah tidak ada
lagi system urug dan keruk, sehingga tidak ada area resapan air. Pada salah satu sisi atau kedua sisi jalan
juga tidak terdapat saluran air, kalaupun ada biasanya dengan lebar minimal (l = 20 cm, t = 30 cm),
akibatnya permukiman akan banjir saat pasang tinggi dan perlu waktu yang lama untuk surut kembali.
Kondisi ini menunjukkan pengolahan tapak permukiman yang tidak memperhatikan kondisi lahan rawa.

Rumah modern yang dibangun sekarang ini juga tidak memperhatikan kondisi tapak lahan rawa. Pada
bagian bawah bangunan (masih menggunakan struktur panggung) seluruhnya ditutup dengan kayu ulin
agar nanti pada saat mengurug halaman, tanah urug tidak masuk ke bagian bawah bangunan.

Hal ini menghambat pengaliran air saat pasang dan surut. Bahkan ada beberapa lahan yang di urug
seluruhnya sebelum dilakukan pembangunan untuk mempermudah pekerjaan konstruksi. Berbeda
dengan rumah tradisional yang menggunakan struktur panggung, tapi masih memberikan keleluasaan
air untuk mengalir di bagian bawah bangunannya. Untuk permukiman yang posisinya dekat dengan
sungai, pada saat pasang naik mudah digenangi air tetapi cepat juga surutnya karena air cepat mengalir.
Berbeda dengan permukiman yang jauh dari sungai, pada saat pasang naik air menggenangi daratan
lebih lama karena air sulit untuk keluar karena tidak ada area pengaliran. Konsep Pengolahan Tapak
Permukiman Manajemen air merupakan hal yang paling utama dalam pengolahan tapak permukiman di
lahan rawa pasang surut. Berdasarkan historis dan kondisi morfologinya, kota Banjarmasin banyak
memiliki sungai-sungai alami maupun buatan untuk mengantisipasi pasang surut dan infiltrasi air laut ke
daratan. Hal ini dapat dijadikan dasar utama dalam pengolahan tapak di lahan rawa pasang surut yaitu
memudahkan dan memberikan ruang untuk aliran air. Ada tiga hal yang dapat dilakukan sebagai konsep
pengolahan tapak permukiman, yaitu :
1. Konstruksi bangunan panggung

Pondasi pada rumah tradisional merupakan wujud fisik kebudayaan masyarakat yang hidup di
lingkungan lahan (rawa). Hal ini merupakan kearifan lokal untuk mengatasi permasalahan setempat.
Untuk menahan beratnya beban bangunan dan menyalurkan gaya berat ke bumi, digunakan system
pondasi batang (log). Sistem pondasi ini menggunakan batang kayu Kapur Naga yang diletakkan sebagai
bantalan. Sifat balok kayu yang mampu “mengapungkan” bangunan menjadikannya sangat fungsional.
Sedangkan kekuatan dan keawetan kayu secara alamiah terbentuk dari proses alami pengawetan
dengan membenamkan kayu ke lumpur/rawa. Untuk struktur yang lebih ringan, menggunakan
konstruksi kacapuri, yakni dengan kayu galam yang disusun melintang disepanjang bentang bangunan.
Prinsipnya sama dengan system pondasi batang kayu kapur naga. Karena perkembangan teknologi
struktur sekarang ini dan sulitnya untuk mendapatkan batang (log) serta kayu galam yang berdiameter
lebih dari 15 cm, maka struktur panggung menggunakan pancangan kayu galam.

2. Terdapat area resapan air dan aliran air yang menerus

Berdasarkan historisnya, aliran air berupa sungai-sungai ataupun kanal-kanal kecil masuk sampai ke
pedalaman untuk mengantisipasi pasang surut dan memberi pengairan area pertanian. Seharusnya
sebuah kawasan permukiman harus memiliki saluran-saluran air (berupa sungai buatan) yang saling
berhubungan menuju sungai utama, sehingga air mempunyai wadah untuk mengalir pada saat pasang
tinggi. Banyaknya sungai-sungai dan adanya kesinambungan antara sungai yang satu dengan sungai
yang lainnya dapat menjaga kota Banjarmasin yang berada 16 cm di bawah permukaan air laut dari
bahaya banjir.

Adanya resapan air dan aliran air yang menerus merupakan hal yang penting pada lahan rawa pasang
surut. Untuk tapak permukiman dapat dilakukan pada komplek perumahan dan pada satu kapling
rumah tinggal. Pada komplek perumahan, saluran air (kanal) primer dengan lebar minimal 4-6 meter
dapat dibuat di bagian depan dan belakang tapak permukiman yang berhungan langsung dengan sungai
atau kanal utama yang ada di kawasan tersebut. Jadi yang terpenting disini sebenarnya adalah
dilakukannya normalisasi seluruh sungai yang ada di kota Banjarmasin, sehingga air akan mengalir tanpa
hambatan. Saluran sekunder dibuat di dalam komplek perumahan dengan lebar 2-3 meter yang
berhubungan langsung dengan saluran primer dan tertier. Saluran tertier dibuat di sekeliling kelompok
kavlingan rumah dan terdapat gorong-gorong yang lebar untuk menghubungkan antar saluran yang
berada di bawah jalan.

Untuk konsep aliran air yang menerus pada satu kaplingan lahan rumah tinggal adalah dengan
menggunakan konstruksi bangunan panggung dan lahan tidak di urug .Seandainya ada bagian yang
diurug untuk halaman dan taman, maka menggunakan sistem urug dan keruk, sehingga masih ada lahan
sebagai area resapan air dan tetap ada aliran air yang menerus ke saluran tertier yang berada di bagian
depan tapak.

3. Sistem urug dan keruk

Berdasarkan historisnya, pada saat membangun rumah orang dulu mengeruk tanah seluas rumah yang
akan dibangun sebelum memasang pondasi. Kerukan ini berfungsi untuk mengurangi tanah berlumpur
dan memudahkan pancangan galam mengenai tanah keras pada saat dipancangkan. Hasil kerukan
ditimbun ke depan rumah sebagai halaman. Sistem urug dan keruk merupakan manajemen air yang
sudah dilakukan sejak dulu. Sebagian lahan di keruk untuk mengurug bagian lahan yang lain. Hasil
kerukan biasanya berfungsi sebagai kanal atau kolam, sedangkan hasil urugan berfungsi sebagai jalan
maupun halaman.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan tinjauan historis dan kondisi eksisting, maka konsep pengolahan tapak permukiman di
Banjarmasin adalah dengan memperhatikan manajemen air pada rawa pasang surut. Air harus
secepatnya mengalir agar tidak tergenang. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi infiltrasi air laut ke
daratan saat pasang tinggi dan banjir pada saat hujan lebat. Adapun cara yang dapat dilakukan adalah:

1. Konstruksi bangunan panggung

2. Adanya aliran air yang menerus (lancar) dan area resapan air

3. Mengurug satu bagian lahan dengan cara mengeruk bagian lahan yang lain dalam satu kapling lahan
atau kawasan, sehingga wadah air (resapan air) pada saat air pasang masih tersedia

4. Memperhatikan keberadaan sungai-sungai (kanal) yang berada di sekitar permukiman untuk


mempermudah aliran air.

5. Mengurangi urugan tanah dari tempat lain


http://amrunagrotek.blogspot.com/2015/06/laporan-lengkap-praktikum-survey-tanah.html

http://amrunagrotek.blogspot.com/2015/06/laporan-lengkap-praktikum-survey-tanah.html

http://uftoriwasit.blogspot.com/2010/10/klasifikasi-kesesuaian-lahan-fao-1976.html

https://www.slideshare.net/yudhachandraii3/kesesuaian-lahan

http://faperta.ugm.ac.id/download/publikasi_dosen/tejoyuwono/1991/1991%20kema.pdf

Anda mungkin juga menyukai