PENDAHULUAN
kulit yang sangat gatal yang bersifat kronis dengan ditandai satu atau lebih plak yang
mengalami likenifikasi yaitu penebalan pada kulit yang disebabkan oleh respon menggosok
atau menggaruk berulang.1,2,3 Pruritus adalah keluhan utama dan gejala klinis tampak
penebalan serta area hiperpigmentasi berbatas tegas dan menonjol. Lesi awal memberikan
gambaran seperti kulit normal. Lesi lama menjadi lebih tebal dan hiperpigmentasi.4,5 Lokasi
paling sering adalah ekstensor ekstremitas, leher, skapula, pergelangan kaki dan daerah
anogenital. Namun, dapat ditemukan juga pada daerah lain terutama daerah yang terjangkau
4
tangan. Penyebab liken simplek kronik tidak sepenuhnya dipahami, namun tampaknya
penyebabnya multifactor
Prevalensi liken simplek kronik pada populasi berbeda di seluruh dunia diperkirakan
12%. Liken simplek kronik lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan dengan pria.
Psoriasis terjadi secara universal. Prevalensi psoriasis pada populasi berbeda di seluruh
dunia berkisar antara 0,1-11,8%. Prevalensinya bervariasi tergantung lokasi geografis, iklim
dan ras, namun hubungannya dengan hal tersebut rumit. Angka prevalensi tertinggi dilaporkan
terdapat pada daerah dengan garis lintang yang lebih tinggi dan pada ras Kaukasia
mempengaruhi kedua jenis kelamin secara seimbang, meskipun terdapat beberapa penelitian
yang melaporkan bahwa prevalensinya pada laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Umur rata-rata dari awitan psoriasis bervariasi dari berbagai penelitian, namun
hampir 75% penderita psoriasis memiliki awitan sebelum usia 40 tahun, dan 12% pasien
Berdasarkan data dari rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
periode Januari hingga Desember 2012 adalah dari total 5.342 orang yang datang berobat ke
Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 36 pasien (0,67%) di antaranya
didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris. Dari jumlah tersebut 22 pasien (61,1%) berjenis kelamin
lingkungan. Sebagian besar penelitian yang telah dilakukan fokus pada peran sitokin dan sel
imun. Namun saat ini kontribusi glukokortikoid (kortisol) pada fungsi imun kulit menarik
perhatian. Diketahui bahwa sistem imun kulit harus seimbang untuk mempertahankan diri dari
invasi patogen maupun untuk menghindari respon imun yang berlebihan dan autoimunitas. Hal
tersebut dicapai melalui interaksi antara sel-sel imun dan berbagai hormon, termasuk
kortisol.12,13
Kortisol merupakan hormon steroid yang berperan penting dalam pengaturan sistem
imun dan fungsi metabolik serta respon organisme terhadap rangsangan eksternal yang
diperantarai oleh sistem glukokortikoid. Kulit memiliki kemampuan mensintesis kortisol dari
kolesterol ataupun dari steroid peralihan yang berasal dari sistemik. Melalui interaksi dengan
reseptor glukokortikoid, mereka meregulasi fungsi imun kulit maupun fungsi kompartemen
epidermis, dermis dan adneksa kulit. Kortisol dibutuhkan untuk perkembangan kulit yang baik
dan diferensiasi keratinosit normal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kortisol berperan
Kulit merupakan sarana penting bagi kedekatan psikis dan ekspresi emosi. Psoriasis
adalah salah satu contoh yang paling mewakili dari penyakit psikokutaneus tersebut. Penelitian
selama dekade terakhir menunjukkan bahwa terdapat perubahan tingkat produksi kortisol
sebagai respon terhadap stres. Diproduksi di korteks adrenal di bawah kendali sumbu
hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) sebagai salah satu komponen utama dari sistem stres
perifer maupun sistemik, kortisol merupakan elemen terpenting selama periode stres, karena ia
memodulasi respon imun alami dan adaptif serta mengatur metabolisme kembali untuk
Respon imun mengalami perubahan ketika dipengaruhi oleh stres melalui pengaktifan
hormon-hormon terkait stres dan mediator terhadap respon stres lainnya seperti neuropeptida
atau neurotrofin. Sebagai contoh, kortisol menghambat produksi IL-12, IFN-, dan TNF oleh
APC dan sel Th1 namun meningkatkan produksi Il-4, IL-10, dan IL-13 oleh sel Th2. Hal ini
menginduksi penekanan selektif dari imunitas selular diperantarai Th1 dan memicu pergeseran
Saat ini mulai banyak dilakukan penelitian yang ditujukan untuk mengetahui peran
stresor psikologis dan neuroendokrin yang dapat mempengaruhi respon imun seperti pada
psoriasis dan penyakit autoimun lainnya. Namun belum banyak penelitian yang fokus pada
peran kortisol pada penderita psoriasis. Lebih jauh, didapatkan hasil yang bertentangan dalam
ekspresi kortisol pada penderita psoriasis dari penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya.
Zangeneh dkk20 menemukan peningkatan kadar kortisol dalam serum penderita psoriasis,
sebaliknya Richards dkk21 menemukan kadar kortisol yang lebih rendah dalam serum penderita
psoriasis. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Karanikas dkk22 dan Wardhana23
menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara kadar kortisol penderita psoriasis
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara kadar kortisol
sebagai salah satu parameter neuroendokrin psoriasis menunjukkan hasil yang tidak konsisten.
Selain itu, hingga saat ini penulis baru menemukan satu publikasi penelitian di Indonesia yang
meneliti kajian psikoneuroimunologi pada penderita psoriasis melalui pengukuran kortisol,
norepinefrin dan interferon- dalam serum penderita psoriasis.23 Karena belum memadainya
pengukuran kadar kortisol dalam serum, khususnya di Sumatera Utara, maka penulis berminat
masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat
perbedaan antara kadar kortisol dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan bukan
1.3 Hipotesis
Terdapat perbedaan antara kadar kortisol dalam serum penderita psoriasis vulgaris
Mengetahui perbedaan kadar kortisol dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan
Memberikan gambaran dan data awal untuk penelitian di masa mendatang mengenai
Memberi masukan kepada pihak rumah sakit dalam penatalaksanaan psoriasis terkait-