Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Liken simplek kronik atau neurodermatitis sirkumskripta merupakan suatu kelainan

kulit yang sangat gatal yang bersifat kronis dengan ditandai satu atau lebih plak yang

mengalami likenifikasi yaitu penebalan pada kulit yang disebabkan oleh respon menggosok

atau menggaruk berulang.1,2,3 Pruritus adalah keluhan utama dan gejala klinis tampak

penebalan serta area hiperpigmentasi berbatas tegas dan menonjol. Lesi awal memberikan

gambaran seperti kulit normal. Lesi lama menjadi lebih tebal dan hiperpigmentasi.4,5 Lokasi

paling sering adalah ekstensor ekstremitas, leher, skapula, pergelangan kaki dan daerah

anogenital. Namun, dapat ditemukan juga pada daerah lain terutama daerah yang terjangkau
4
tangan. Penyebab liken simplek kronik tidak sepenuhnya dipahami, namun tampaknya

penyebabnya multifactor

Prevalensi liken simplek kronik pada populasi berbeda di seluruh dunia diperkirakan

12%. Liken simplek kronik lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan dengan pria.

Psoriasis terjadi secara universal. Prevalensi psoriasis pada populasi berbeda di seluruh

dunia berkisar antara 0,1-11,8%. Prevalensinya bervariasi tergantung lokasi geografis, iklim

dan ras, namun hubungannya dengan hal tersebut rumit. Angka prevalensi tertinggi dilaporkan

terdapat pada daerah dengan garis lintang yang lebih tinggi dan pada ras Kaukasia

dibandingkan kelompok etnis lainnya. Insiden psoriasis rendah di Asia.6-8 Psoriasis

mempengaruhi kedua jenis kelamin secara seimbang, meskipun terdapat beberapa penelitian

yang melaporkan bahwa prevalensinya pada laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan

perempuan. Umur rata-rata dari awitan psoriasis bervariasi dari berbagai penelitian, namun
hampir 75% penderita psoriasis memiliki awitan sebelum usia 40 tahun, dan 12% pasien

memiliki awitan pada usia 50-60 tahun.9,10

Data mengenai prevalensi psoriasis di Indonesia belum diketahui dengan pasti.

Berdasarkan data dari rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

periode Januari hingga Desember 2012 adalah dari total 5.342 orang yang datang berobat ke

Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 36 pasien (0,67%) di antaranya

didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris. Dari jumlah tersebut 22 pasien (61,1%) berjenis kelamin

laki-laki dan 14 pasien (38,9%) berjenis kelamin perempuan.11

Etiopatogenesis penyakit ini kompleks, melibatkan faktor genetik, imunologi dan

lingkungan. Sebagian besar penelitian yang telah dilakukan fokus pada peran sitokin dan sel

imun. Namun saat ini kontribusi glukokortikoid (kortisol) pada fungsi imun kulit menarik

perhatian. Diketahui bahwa sistem imun kulit harus seimbang untuk mempertahankan diri dari

invasi patogen maupun untuk menghindari respon imun yang berlebihan dan autoimunitas. Hal

tersebut dicapai melalui interaksi antara sel-sel imun dan berbagai hormon, termasuk

kortisol.12,13

Kortisol merupakan hormon steroid yang berperan penting dalam pengaturan sistem

imun dan fungsi metabolik serta respon organisme terhadap rangsangan eksternal yang

diperantarai oleh sistem glukokortikoid. Kulit memiliki kemampuan mensintesis kortisol dari

kolesterol ataupun dari steroid peralihan yang berasal dari sistemik. Melalui interaksi dengan

reseptor glukokortikoid, mereka meregulasi fungsi imun kulit maupun fungsi kompartemen

epidermis, dermis dan adneksa kulit. Kortisol dibutuhkan untuk perkembangan kulit yang baik

dan diferensiasi keratinosit normal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kortisol berperan

dalam homeostasis dan integritas kulit. 13,14

Kulit merupakan sarana penting bagi kedekatan psikis dan ekspresi emosi. Psoriasis

adalah salah satu contoh yang paling mewakili dari penyakit psikokutaneus tersebut. Penelitian
selama dekade terakhir menunjukkan bahwa terdapat perubahan tingkat produksi kortisol

sebagai respon terhadap stres. Diproduksi di korteks adrenal di bawah kendali sumbu

hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) sebagai salah satu komponen utama dari sistem stres

perifer maupun sistemik, kortisol merupakan elemen terpenting selama periode stres, karena ia

memodulasi respon imun alami dan adaptif serta mengatur metabolisme kembali untuk

mendukung penyediaan substrat bagi metabolisme oksidatif.15-18

Respon imun mengalami perubahan ketika dipengaruhi oleh stres melalui pengaktifan

hormon-hormon terkait stres dan mediator terhadap respon stres lainnya seperti neuropeptida

atau neurotrofin. Sebagai contoh, kortisol menghambat produksi IL-12, IFN-, dan TNF oleh

APC dan sel Th1 namun meningkatkan produksi Il-4, IL-10, dan IL-13 oleh sel Th2. Hal ini

menginduksi penekanan selektif dari imunitas selular diperantarai Th1 dan memicu pergeseran

ke arah imunitas humoral diperantarai Th2.19

Saat ini mulai banyak dilakukan penelitian yang ditujukan untuk mengetahui peran

stresor psikologis dan neuroendokrin yang dapat mempengaruhi respon imun seperti pada

psoriasis dan penyakit autoimun lainnya. Namun belum banyak penelitian yang fokus pada

peran kortisol pada penderita psoriasis. Lebih jauh, didapatkan hasil yang bertentangan dalam

ekspresi kortisol pada penderita psoriasis dari penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya.

Zangeneh dkk20 menemukan peningkatan kadar kortisol dalam serum penderita psoriasis,

sebaliknya Richards dkk21 menemukan kadar kortisol yang lebih rendah dalam serum penderita

psoriasis. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Karanikas dkk22 dan Wardhana23

menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara kadar kortisol penderita psoriasis

dengan kontrol sehat.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara kadar kortisol

sebagai salah satu parameter neuroendokrin psoriasis menunjukkan hasil yang tidak konsisten.

Selain itu, hingga saat ini penulis baru menemukan satu publikasi penelitian di Indonesia yang
meneliti kajian psikoneuroimunologi pada penderita psoriasis melalui pengukuran kortisol,

norepinefrin dan interferon- dalam serum penderita psoriasis.23 Karena belum memadainya

data mengenai psikofisiologi psoriasis terutama dalam kerangka neuroendokrin melalui

pengukuran kadar kortisol dalam serum, khususnya di Sumatera Utara, maka penulis berminat

melakukan penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat

perbedaan antara kadar kortisol dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan bukan

penderita psoriasis vulgaris?

1.3 Hipotesis

Terdapat perbedaan antara kadar kortisol dalam serum penderita psoriasis vulgaris

dengan bukan penderita psoriasis vulgaris

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan umum

Mengetahui perbedaan kadar kortisol dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan

bukan penderita psoriasis vulgaris

1.4.2 Tujuan khusus

a. Mengetahui kadar kortisol dalam serum penderita psoriasis vulgaris

b. Mengetahui kadar kortisol dalam serum bukan penderita psoriasis vulgaris


c. Mengetahui karakteristik sosiodemografik penderita psoriasis vulgaris dan lama

menderita psoriasis vulgaris

d. Mengetahui kadar kortisol berdasarkan karakteristik sosiodemografik penderita

psoriasis vulgaris dan lama menderita psoriasis vulgaris

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi praktisi medis

Bertambahnya pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis psoriasis vulgaris

sehingga meningkatkan strategi penatalaksanaan dalam pelayanan kesehatan.

1.5.2 Bagi pengembangan penelitian

Memberikan gambaran dan data awal untuk penelitian di masa mendatang mengenai

hubungan psoriasis vulgaris dengan stresor psikologis

1.5.3 Bagi pelayanan rumah sakit

Memberi masukan kepada pihak rumah sakit dalam penatalaksanaan psoriasis terkait-

stres psikologik yang mengkombinasikan terapi dermatologik (farmakoterapi) dengan

intervensi psikologik (psikoterapi)

Anda mungkin juga menyukai