Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Emulsi merupakan suatu sistem sediaan heterogen yang terdiri atas dua
cairan yang tidak menyatu (dideskripsikan sebagai minyak dan air), dimana salah
satu fase terdispersinya (globul) sebagai tetesan seragam di dalam fase lainnya.
Emulsi dapat berbentuk emulsi air dalam minyak (A/M) atau emulsi minyakdalam
air (M/A) (Effionora, 2012). Tipe emulsi yang berbeda dapat menghasilkan
pelepasan zat yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam kontrol kualitas suatu emulsi,
determinasi tipe emulsi merupakan hal mendasar yang perlu dilakukan. Untuk
menstabilkan atau menyatukan emulsi tersebut perlu ditambahkan emulgator.
Emulgator tersebut mengelilingi tetesan fase dalam sebagai suatu lapisan tipis
yang diadsorpsi pada permukaan dari fase terdispersi. Lapisan tersebut mencegah
terjadinya kontak atau berkumpulnya kembali globul atau fase terdispersi,
sehingga kestabilan emulsi terjaga.
Beberapa sifat fisik emulsi yang umumnya dipengaruhi oleh tipe emulsi
tersebut adalah viskositas, pemisahan fase, dan ukuran droplet. Tipe emulsi
menentukan ukuran droplet fase terdispersi. Droplet yang terdispersi pada emulsi
ganda mengandung droplet-droplet berukuran lebih kecil yang berbeda fase,
sehingga ukuran droplet emulsi ganda akan lebih besar daripada emulsi
sederhana. Tipe emulsi juga dapat mempengaruhi pelepasan zat dari sediaan.
Emulsi A/M, zat tersebut hanya perlu melewati satu lapisan minyak saja untuk
lepas dari emulsi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Emulsi
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain dalam bentuk tetesan kecil (droplet/globul) dengan diameter
biasanya lebih dari 0,1 µm atau 0,1-50 µm (De Man, 1997). Jika minyak yang
merupakan fase terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawa, sistem ini
disebut emulsi minyak dalam air. Sebaliknya, jika air atau larutan air yang
merupakan fase terdispersi dan minyak atau bahan seperti minyak merupakan fase
pembawa, sistem ini disebut emulsi air dalam minyak.
Suatu sistem emulsi pada dasarnya tidak stabil, karena masing-masing
partikel mempunyai kecendrungan untuk bergabung dengan partikel sesama
lainnya. Molekul fase A (air) ditarik ke dalam fase A dan ditolak oleh fase B
(minyak), membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi
tersebut pecah. Kekuatan dan kekompakan lapisan antarmuka adalah sifat yang
penting yang dapat membentuk stabilitas emulsi (Lachman, et al, 1994).
Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang
mencegah koalesensi, yaitu penyatuan tetes kecil menjadi tetesan besar dan
akhirnya menjadi satu fase tunggal yang memisah. Bahan pengemulsi (surfaktan)
menstabilkan dengan cara menempati antar permukaan antara tetesan dan fase
eksternal, dan dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan
berkoalesensi. Surfaktan juga mengurangi tegangan antar permukaan antara fase,
sehingga meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran.
Didalam proses pembuatan emulsi biasanya ditambahkan bahan ketiga
untuk menstabilkan emulsi. Bahan pengemulsi tersebut berguna untuk
menurunkan tegangan antar muka antara fase air dan fase minyak serta mencegah
koalesensi, yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya
menjadi satu fase tunggal yang memisah, dengan membentuk lapisan yang
protektif di sekeliling globul. Konsistensi emulsi sangat beragam, mulai dari
cairan yang mudah dituang hingga krim setengah padat. Umumnya krim minyak
dalam air dibuat pada suhu tinggi, berbentuk cair pada suhu ini, kemudian
didinginkan pada suhu kamar, dan menjadi padat akibat terjadinya solidifikasi
fase internal. Dalam hal ini, tidak diperlukan perbandingan volume fase internal
terhadap volume fase eksternal yang tinggi untuk menghasilkan sifat setengah
padat, misalnya krim asam stearat atau krim pembersih adalah setengah padat
dengan fase internal hanya 15%. Sifat setengah padat emulsi air dalam minyak,
biasanya diakibatkan oleh fase eksternal setengah padat.
Kondisi lingkungan seperti adanya cahaya, udara, kontaminasi
mikroorganisme, dapat memberikan efek yang mengubah stabilitas emulsi. Oleh
karena itu dilakukan formulasi yang sesuai guna mengurangi kerusakan stabilitas
tersebut dengan cara penambahan bahan-bahan tambahan lain. Bahan tambahan
yang diperlukan dalam formulasi emulsi, diantaranya : bahan pengawet,
antioksidan dan penutup rasa. Penambahan bahan pengawet bertujua untuk
mencegah kontaminasi mikroba. Suatu pengawet harus efektif terhadap
kontaminasi dari mikroorganisme patogen dan cukup dapat melindungi emulsi
selama digunakan pasien. Pengawet harus mempunyai toksisitas rendah, stabil
terhadap pemanasan dan selama penyimpanan.
Untuk penambahan antioksidan dapat mencegah oksidasi dari fase minyak
yang terdapat dalam suatu sediaan emulsi. Karena banyak senyawa organik
mudah mengalami autooksidasi bila di paparkan ke udara dan lemak yang
teremulsi terutama peka terhadap rangsangan. Contoh antioksidan yang bisa
digunakan di antaranya : asam galat, propil galat, asam askorbat, askorbit
palmitat, sulfit dan tokoferol. Sedangkan penutup rasa ditujukan untuk
mengurangi rasa tidak enak dan secara ideal dilakukan dengan cara mengurangi
rasa pahit. Cara penutupan rasa pahit pada sediaan oral secara umum dapat
dilakukan dengan menggunakan pemanis dan flavour. Contoh pemanis yang biasa
digunakan diantaranya : sukrosa, fruktosa, dekstrosa, maltitol, manitol, sorbitol
dan xylitol.
2.2 Pembuatan Emulsi
2.2.1 Zat pengemulsi
Tahap awal dalam pembuatan suatu emulsi adalah pemilihan zat
pengemulsi. Zat pengemulsi harus mempunyai kualitas tertentu. Salah satunya ia
harus dapat dicampurkan dengan bahan formulatif lainnyadan tidak boleh
mengganggu stabilitas atau efikasi dari zat terapeutik. Ia harus stabil dan tidak
boleh terurai dalam preparat. Zat pengemulsi harus tidak toksik pada penggunaan
yang dimaksud dan jumlahnya yang dimakan oleh pasien. Juga ia harus berbau,
rasa dan warna lemah. Barangkali yang paling penting adalah kemampuan dari zat
pengemulsi tersebut untuk membentuk emulsi dan menjaga stabilitas dari emulsi
tersebut agar tercapai shelf life dari produk tersebut. Diantara zat pengemulsi dan
zat penstabil untuk sistem farmasi adalah sebagai berikut :
 Bahan-bahan karbohidrat seperti zat-zat yang terjadi secara alami : akasia
(gom), tragakan, agar, kondrus, dan pektin. Bahan-bahan ini membentuk
koloida hidrofilik bila ditambahkan kedalam air dan umumnya
menghasilkan emulsi m/a.
 Zat-zat protein seperti: gelatin, kuning telur dan kasein. Zat-zat ini
menghasilkan emulsi m/a.
 Alkohol dengan bobot molekul tinggi seperti : stearil alkohol, setil alkohol,
dan gliseril monostearat. Bahan-bahan ini digunakan terutama sebagai zat
pengental dan penstabil untuk emulsi m/a dari lotio dan salep tertentu yang
digunakan sebagai obat luar.
 Zat pembasah, yang bisa bersifat kationik, anionik, dan nonionik. Zat-zat
ini mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik, dengan bagian lipofilik dari
molekul menyebabkan aktivitas permukaan dari molekul tersebut. Dalam
zat anionik, bagian lipofilik ini bermuatan negatif, tapi dalam zat kationik
bagian lipofilik ini bermuatan positif. Zat pengemulsi nonionik
menunjukkan tidak adanya kecenderungan untuk mengion. Tergantung
sifatnya masing-masing, beberapa dari grup ini membentuk tipe emulsi
m/a dan lainnya membentuk a/m. Zat pengemulsi anionik termasuk
berbagai jenis sabun bervalensi satu, bervalensi banyak, dan sabun organik
seperti trietanolamin oleat dan sulfonat seperti natrium laurilsulfat.
Benzalkonium klorida terkenal terutama karena sifat bakterisidanya, bisa
digunakan sebagai suatu zat pengemulsi kationik. Zat-zat tipe nonionik
termasuk ester-ester sorbitan dan turunan polietilen, beberapa dapat dilihat
pada tabel.
 Zat padat yang terbagi halus, seperti tanah liat koloid termasuk bentonit,
magnesium hidroksida. Ini umumnya membentuk emulsi m/a bila bahan
yang tidak larut ditambahkan ke fase air jika ada sejumlah volume fase air
lebih besar dari pada fase minyaknya. Tetapi jika serbuk padat yang halus
ini ditambahkan kedalam minyak dan volume fase minyak lebih besar,
suatu zat seperti bentonit sanggup membentuk suatu emulsi a/m.
Tabel l. Contoh harga HLB
Zat HLB

Etilen gikol distearat 1,5

Sorbitol tri stearat (Span 65) 2,1

Propilen glikol monostearat 3,2

Sorbitan monooleat (Span 80) 4,3

Sorbitan monostearat (Span 60) 4,7

Dietilen glikol monolaurat 6,1

Sorbitan monopalmitat (Span 40) 6,7

Sukrosa dioleat 7,1

Gom 8,0

polioksietilen lauril eter (Brij 30) 9,7

Gelatin 9,8
Polioksietilen monostearat (Myrj 45) 11,1

Trietanolamin oleat 12,0

Tragakan 13,2

Polisietilen sorbitan monostearat (Tween


14,9
60)

Polisietilen sorbitan monooleat (Tween 80) 15,0

Polisietilen sorbitan monolaurat (Tween


16,7
20)

Natrium oleat 18,0

Kalium oleat 20,0

Natrium lauril sulfat 40,0

2.3.2 Sistem HLB


Umumnya masing-masing zat pengemulsi mempunyai suatu bagian
hidrofilik dan suatu bagian lipofilik dengan salah satu diantaranya lebih atau
kurang dominan dalam mempengaruhi dengan cara yang telah diuraikan untuk
membentuk tipe emulsi.suatu metode telah dipikirkan dimana zat pengemulsi dan
zat aktif permukaannya dapat digolongkan susunan kimianya sebagai
keseimbangan hidrofil-lipofil atau HLB. Bahan-bahan yang sangat polar atau
hidrofilik angkanya lebih besar dari pada bahan-bahan yang kurang polar dan
lebih lipofilik. Umumnya zat aktif permukaan itu mempunyai harga HLB yang
ditetapkan antar 3-6 dan menghasilkan emulsi air dalam minyak. Sedangkan zat
yang mempunyai harga HLB 8-18 menghasilkan emulsi minyak dalam air.
Tabel 2. Aktivitas dan harga HLB surfaktan
Aktivitas HLB
Antibusa 1–3

Pengemulsi (a/m) 3–6

Zat pembasah 7–9

Pengemulsi (m/a) 8 – 18

Pelarut 15 – 20

Detergen 13 – 15

2.3.3 Metode Penyiapan Emulsi


Dalam ukuran kecil, emulsi dapat disiapkan dengan menggunakan suatu
wedgewood kering, mortir dan stamfer porselen, suatu blender mekanik, mixer
seperti blender waring, milk-shake mixer, homogenizer tangan. Dalam ukuran
besar, tangki pencampur yang bervolume besar bisa digunakan untuk membentuk
emulsi kasar melalui aksi pendorong yang berkecepatan tinggi, dan produk kasar
tersebut bisa dihaluskan dengan melewatkannya melalui suatu penggiling koloid,
di mana partikel-partikel di shear antara rotor dan stator yang berjarak kecil dan
berkecepatan tinggi, atau dengan melewatkannya melalui suatu homogenizer
besar di mana cairan dipaksakan di bawah tekanan melalui suatu katup pembuka
yang kecil.
1. Metode Gom Basah atau Metode Inggris
Dalam metode ini digunakan proporsi minyak, air dan gom yang sama
seperti metode gom kering, akan tetapi urutan pencampuran dan
perbandingan bahan-bahannya dapat divariasikan selama pembuatan
emulsi primer jika diinginkan oleh pembuatnya. Mucilago gum umumnya
dibuat dengan menghaluskan gom arab granular dengan air dua kali
beratnya dalam suatu mortir. Minyaknya kemudian ditambahkan sedikit
demi sedikit dan campuran diaduk sampai minyaknya teremulsi.
Campuran yang dibuat harus kental dan dapat ditambahkan air sambil
sesekali diaduk sebelum penambahan minyak berikutnya. Setelah semua
minyak ditambahkan, campuran diaduk selam beberapa menit untuk
memastikan kerataannya. Kemudian, bahan formulatif lainnya
ditambahkan dan emulsi dipindahkan ke gelas ukur untuk mencukupkan
volumenya dengan air. Metode gom kering lebih memakan waktu daripada
metode gom basah, namun lebih cocok untuk pembuatan emulsi minyak-
minyak yang sangat kental.
2. Metode Botol atau Metode Botol Forbes
Untuk pembuatan emulsi yang dibuat baru dari minyak-minyak menguap
atau zat-zat yang bersifat minyak dan mempunyai viskositas rendah
digunakan metod botol. Dalam metode ini, serbuk gom arab ditaruh dalam
botol kering, kemudian ditambahkan dua bagian air dan campuran tersebut
dikocok kuat dalam wadah tertutup. suatu volume air yang sama dengan
minyak kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk
setiap penambahan air. Jika semua air sudah ditambahkan, emulsi utama
yang terbentuk bisa diencerkan hingga mencapai volume yang tepat
dengan air atau larutan zat formulatif lain dalam air.
Metode ini tidak cocok untuk minyak-minyak kental karena minyak
tersebut tidak dapat terkocok seluruhnya ke dalam botol bila dicampurkan
dengan zat pengemulsi. Dalam hal di mana fase terdispersi yang dimaksud
merupakan campuran minyak lemak dan sebagian minyak menguap,
umumnya digunakan metode gom kering untuk emulsifikasi
3. Metode Tambahan
Suatu emulsi dapat dibuat baik dengan metode gom kering maupun
dengan metode gom basah umumnya dapat ditingkatkan kualitasnya
dengan melewatkannya melalui suatu homogenizer tangan (hand
homogenizer). Dalam alat ini kerja pemompaan dari pemegang memaksa
emulsi melalui suatu lubang yang sangat kecil dan mengurangi ukuran
bulatan dari fase dalam sampai kira-kira 5 mikrn atau kadang-kadang
kurang dari itu. Hand homogenizer kurang efisien dalam mengurangi
partikel emulsi yang sangat kental dan tidak boleh digunakan untuk emulsi
yang mengandung bagian zat padat yang besar karenan kemungkinan akan
merusak pada katup tersebut.

2.4 Stabilitas Emulsi


Umumnya suatu emulsi dianggap tidak stabil secara fisik jika:
 Fase dalam atau fase terdispersi pada pendiaman cenderung untuk
membentuk agregat dari bulatan-bulatan.
 Jika bulatan-bulatan atau agregat dari bulatan naik ke permukaannatau
turun ke dasar emulsi tersebut akan membentuk suatu lapisan pekat dari
fase dalam.
 Jika semua atau sebagian dari cairan fase dalam tidak teremulsikan dan
membentuk suatu lapisan yang berbeda pada permukaan atau pada dasar
emulsi, yang merupakan hasil dari bergabungnya bulatan-bulatan fase
dalam.

1. Agregasi dan penggabungan.


Agregat dari bulatan fase dalam mempunyai kecenderungan yang lebih
besar untuk naik ke permukaan emulsi atau jatuh ke dasar emulsi tersebut
daripada partikel-partikelnya sendiri. Terjadinya bulatan-bulatan seperti itu
disebut creaming dari emulsi tersebut dan apabila tidak terjadi penggabungan
maka akan merupakan proses yang bolak balik. Batasan ini diambil dari industri
hasil ternak dan analog dengan creaming atau menaiknya krim dalam susu yang
didiamkan. Bagian yang membentuk krim dari suatu emulsi dapat disistribusikan
kembali secara merata dengan jalan mengocoknya, tetapi jika agregat tersebut
sukar untuk dipecahkan atau pengocokan tidak mencukupi sebelum digunakan,
maka akan diperoleh pemberian dosis dari dari zat sebagai fase terdispersi yang
tidak tepat. Selanjutnya, creaming dari suatu emulsi dalam farmasi tidak dapat
diterima secara estetis baik oleh ahli farmasi maupun oleh konsumen. Lebih
penting lagi karena akan meningkatkan kemungkinan terjadinya penggabungan
bulatan-bulatan tersebut.
Menurut oersamaan Stokes, laju oemisahan dari fase terdispersi dari suatu
emulsi dapat dihubungkan dengan faktor-faktor seperti ukuran partikel dari fase
terdispersi, perbedaan dalam kerapatan antar fase dan viskositas fase luar. Perlu
diingat bahwa laju pemisahan ditingkatkan oleh makin besarnya ukuran partikel
fase dalam, makin besarnya perbedaan kerapatan antar kedua fase, dan
berkurangnya viskositas fase luar. Oleh karena itu untuk meningkatkan stabilitas
suatu emulsi, bulatan atau ukuran partikel harus dibuat sehalus mungkin,
perbedaan fase terdispersi dan fase luar harus sekecil mungkin dan viskositas fase
luar harus cukup tinggi. Pengental seperti: tragakan dan agar-agar seringkali
ditambahkan ke dalam emulsi untuk meningkatkan viskositas fase luar. Creaming
ke arah bawah dalam emulsi yang tidak stabil dimana kerapatan fase dalam lebih
besar daripada kerapatan fase luar.
Kerusakan yang lebih besar daripada creaming pada suatu emulsi adalah
penggabungan bulatan-bulatan fase dalam dan pemisahan fase tersebut menjadi
suatu lapisan. Pemisahan fase dalam dari emulsi tersebut disebut pemecahan
(breaking) emulsi dan emulsinya disebut pecah atau retak (cracked). Hal ini
bersifat reversibel karena karena lapisan pelindung di sekitar bulatan-bulatan fase
terdispesi tidak ada lagi. Usaha untuk menstabilkan kembali emulsi tersebut
dengan pengocokan, dari dua lapisan yang memisah umumnya gagal. Biasanya
diperlukan zat pengemulsi tambahan dan pemrosesan kembali dengan mesin yang
sesuai untuk dapat memproduksi emulsi kembali.
Pada umumnya harus berhati-hati guna melindungi emulsi terhadap efek
dingin dan panas. Apabila terjadi pembekuan kemudian mencair, emulsi akan
menjadi kasar dan kadang-kadang pecah. Panas yang berlebihan akan
memberikan pengaruh yang sama. Karena produk emulsi mungkin harus
menjalani pengangkutan ke suatu tempat dan digunakan di tempat yang secara
geografis berbeda, beda, dengan iklim yang berbeda pula serta keadaan
temperatur yang ekstrim tinggi dan rendah, pabrik farmasi harus mengetahui lebih
dahulu stabilitas emulsinya sebelum dimuatkan dan di bawa dengan transportasi
tertentu. Untuk kebanyakan emulsi, industri farmasi melakukan uji evaluasi di
bawah kondisi eksperimen 5oC, 40 oC dan 50 oC untuk menetapkan stabilitas
produk. Stabilitas baik pada 5 oC dan 40 oC selama 3 bulan di anggap sebagai
stabilitas minimum yang harus dimiliki oleh suatu emulsi. Waktu yang lebih
singkat pada 50 oC dapat digunakan nsebagai uji alternatif.
Berhubung kondisi lingkungan lainnya seperti adanya cahaya, udara dan
kontaminasi mikroorganisme, dapat memberikan efek yang merubah stabilitas
emulsi, formulasi dan tindakan pengemasan yang sesuai harus dilakukan guna
mengurangi kerusakan stabilitas produk menjadi sekecil mungkin. Untuk emulsi
yang peka terhadap cahaya, dipakai wadah tahan cahaya. Untuk emulsi yang rusak
karena oksidasi, dapat ditambahkan antioksidan dalam formulasinya dan
dicantumkan label peringatan yang jelas, untuk memastikan bahwa wadahnya
tertutup rapat, untuk mencegah pengaruh udara, setiap kali sesudah di pakai.
Banyak jamur, ragi dan bakteri dapat menyebabkan perubahan bahan pengemulsi
dalam suatu emulsi, yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan bahan
pengemulsi dalam suatu emulsi, yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan
pada sistem emulsinya. Pada kasus dimana produk tidak terganggu oleh mikroba,
produk tetap dianggap tidak baik dalam penampilan oleh adanya dan pertumbuhan
mikroba serta tentu saja dilihat dari segi farmasetik dan terapeutik hal ini tidak
menguntungkan. Pengawetan terhadap jamur pada umumnya ditambahkan
kedalam fase cair dari emulsi tipe m/a, karena jamur (jamur dan ragi) lebih
banyak kemungkinan mengkontaminasi emulsi daripada bakteri. Suatu kombinasi
dari metil paraben dan propil paraben sering digunakan untuk tujuan ini. Alkohol
dalam jumlah 12-15% yang dihitung dari volume fase luar, sering ditambahkan
pada emulsi m/a yang diberikan secara oral sebagai pengawet.

2.5 Formulasi Sediaan Emulsi

BAHAN KONSENTRASI (%b/b) KEGUNAAN

Minyak biji jinten 500 mg/5 ml Bahanaktif

Tragakan 1% Emulgator
Na benzoat 0,1 % Pengawet

Manitol 25 % Pemanis

Aquadest 100 % Pelarut

1) Data Preformulasi
a. Minyak biji jinten
 Nama resmi : Nigella sativa L.seed
 Nama lain : Minyak jinten
 Pemerian : Tidak berwarna atau kuning pucat, bau khas, tidak
tengik.
 Kelarutan : Larutdalam 2 bagianetanol (95%) P padasuhu
60°C, sangatmudahlarutdalamkloroform P dandalameter P.
 Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya, ditempat sejuk.

b. Tragakan
 Pemerian : Serbuk, warna putih coklat.
 Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, alkohol dan pelarut
organik.
 Kegunaan : Agenpensuspensi.
 Konsentrasi : 1 - 10%
 BJ : 2,14
 Stabilitas : Umumnya cukup stabil apabila ditempatkan
dalam keadaan kering, stabil pada pembahan pH, mengabsorpsi
beberapa substansi organis dan kompatibel pelarut-pelarut organik.
 OT : Bersifat inert, hanya memiliki sedikit
inkompabilitas, tetapi umumnya tidak stabil pada larutan asam di
bawah pH 3,5 dengan beberapa larutan pekat, dapat mengabsorpsi
beberapa obat.
c. Natrium Benzoat
 BM : 144,11.
 Rumus molekul : C7H5NaO2.
 Pemerian : Granulatauserbukhablur, putih,
tidakberbauataupraktistidak berbau, stabil di udara.
 Kelarutan : Mudahlarutdalam air,
agaksukarlarutdalametanoldanlebih. Mudahlarutdalametanol 90%.
 Kegunaan : Antioksidan, zatpengawet.
 OTT : Tidak bercampur dengan 4 campuran yaitu
gelatin, garam-garam ferri, garam-garam kalsium, dan logam-
logam berat termasuk perak, dan raksa. Aktivitas pengawet
mungkin berkurang melalui interaksi dengan kaolin atau surfaktan
non-ionik.
 Konsentrasi : 0,02-0,5%.
 Stabilitas :Larutan yang mengandung air dapat
disterilkan dengan autoklaf atau penyaringan

d. Manitol
 Pemerian : Serbukkristalinputih; ataugranul yang
mudahmengalir; tidakberbau; rasa manis
 Kelarutan : 1 bagianlarutdalam 5.5 bagian air padasuhu
20 oC, dandalam 83 bagianetanol 95%; larutdalambasa;
praktistidaklarutdalameter.
 Stabilitas : Stabildalambentukkeringmaupunlarutan.
Harusdisimpandalamwadahtertutupbaikpadatempatsejukdankering.
 Inkompatibilitas : Menurunkanbioavailabilitassimetidin
1.6 Evaluasi Mutu Emulsi
Stabilitas dan ketahanan emulsi dapat diuji melalui beberapa tahapan
evaluasi. Evaluasi yang dilakukan untuk sediaan emulsi antara lain pemeriksaan
organoleptik, penentuan tipe emulsi, ukuran globul, viskositas sediaan, dan uji
stabilitas dengan metode frezze-thaw. Evaluasi penampilan/organoleptik emulsi
dilakukan dengan mengamati terjadinya pemisahan fasa atau pecahnya emulsi,
bau tengik dan perubahan warna. Penentuan tipe emulsi dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu:
1. Uji kelarutan zat warna
Uji kelarutan zat warna dilakukan dengan menggunakan zat warna larut air
seperti metilen biru atau biru brillian CFC yang diteteskan pada permukaan
emulsi. Jika zat warna terlarut dan berdifusi homogen pada fase eksternal yang
berupa air, maka tipe emulsi adalah M/A. Jika zat warna tampak sebagai tetesan di
fase internal, maka tipe emulsi adalah A/M.
2. Uji pengenceran
Uji pengenceran dilakukan dengan cara mengencerkan emulsi dengan air.
Jika emulsi tercampur baik dengan air, maka tipe emulsi adalah M/A. Sebaliknya
jika air yang ditambahkan membentuk globul pada emulsi maka tipe emulsi
adalah A/M. Stabilitas emulsi dapat dilihat dengan uji stabilitas pada kondisi
freeze and thaw. Emulsi harus tetap stabil tanpa adanya pemisahan pada suhu
45°C atau 50°C selama 60 hingga 90 hari, pada suhu 37°C selama 5 hingga 6
bulan, dan pada suhu kamar selama 12 hingga 18 bulan. Evaluasi ini dapat juga
dilakukan dengan mnyimpan sediaan pada dua suhu yang berbeda yaitu 4°C dan
40°C selama 6-8 siklus. Satu siklus terdiri dari penyimpanan selama 48 jam pada
suhu 4°C dan 48 jam 40°C.
BAB III
KESIMPULAN

1. Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil.
2. Tipeemulsiadaduayakniemulsiminyakdalam air jikminyak yang merupakan
fase terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawadanemulsi air
dalamminyakjika air atau larutan air yang merupakan fase terdispersi dan
minyak atau bahan seperti minyak merupakan fase pembawa.
3. Evaluasi yang dilakukan untuk sediaan emulsi antara lain pemeriksaan
organoleptik, penentuan tipe emulsi, ukuran globul, viskositas sediaan, dan
uji stabilitas dengan metode frezze-thaw.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III,DepartemenKesehatanRepublik


Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV,DepartemenKesehatanRepublik


Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2014, Farmakope Indonesia, EdisiV, DepartemenKesehatanRepublik


Indonesia, Jakarta.

Agoes, G., 2006, PengembanganSediaanFarmasi, ITB, Bandung

Ansel, H.C., 1989, PengantarBentukSediaanFarmasi, UI Press, Jakarta.

Hadning, I., 2011, FormulasidanUjiStabilitasFisikSediaan Oral Emulsi Virgin


Coconut Oil, MutiaraMedika, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai