Anda di halaman 1dari 24

THALASEMIA

Thalasemia adalah salah satu dari penyakit genetik yang diwariskan dari orang tua
kepada anaknya dimana terjadi kelainan sintesis hemoglobin yang heterogen akibat pengurangan
produksi satu atau lebih rantai globin yang menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai
globin.

A. SEJARAH

Sejarah thalasemia dimulai di eropa, dimana seorang peneliti bernama Riettedan


Wintrobe mendeskripsikan mengenai adanya anemia mikrositik hipokrom yang tak terjelaskan
pada anak-anak keturunan itali dan dilaporkan adanya anemia ringan pada kedua orangtua dari
anak-anak yang mengidap anemia tersebut. Pada saat yang bersamaan, seorang dokter spesialis
anak, Thomas Cooley juga mendeskripsikan suatu tipe anemia berat pada anak-anak yang
berasal dari italia dimana beliau menemukan adanya nukleasi sel darah merah yang masif pada
sapuan apus darah tepi yang semula diduga anemia eritroblastik. Namun tak lama, Cooley
menyadari bahwa eritoblastik tidak spesifik pada temuan ini dan temuan ini sangat mirip dengan
kelainan darah yang ditemukan oleh Riettedan. Sehingga kelainan darah ini dinyatakan sebagai
bentuk homozigot dari anemia hipokrom mikrositik yang kemudian diberi labelisasi sebagai
thalassemia mayor sedangkan bentuk ringannya dinamakan thalassemia minor. Kata thalassemia
berasal dari bahasa yunani yaitu thalassa yang berarti “laut” dan emia yang berarti “berhubungan
dengan darah”.
B. EPIDEMIOLOGI

WHO (2006) meneliti kira-kira 5% penduduk dunia adalah carrier dari 300-400 ribu bayi
thalassemia yang baru lahir pertahunnya. Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-
10%. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya
di Indonesia. Salah satu RS di Jakarta, sampai dengan akhir tahun 2003 terdapat 1060 pasien
thalassemia mayor yang berobat jalan di Pusat Thalassemia Departemen Anak FKUI-RSCM
yang terdiri dari 52,5 % pasien thalassemia β homozigot, 46,2 % pasien thalassemia HbE, serta
thalassemia α 1,3%. Sekitar 70-80 pasien baru, datang tiap tahunnya. Fakta ini mendukung
thalasemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak dan menyerang hampir semua
golongan etnik dan terdapat di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.

C. PATOFISIOLOGI

Talasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang ditandai dengan
kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau lebih, sehingga terjadi ketidak
seimbangan jumlah rantai globin yang terbentuk. Mutasi gen pada globin alfa akan menyebabkan
penyakit alfa- thalassemia dan jika itu terjadi pada globin beta maka akan menyebabkan penyakit
beta-thalassemia

Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan karena kerusakan
gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang ditempati lokus gen globin. Kerusakan pada
salah satu kromosom homolog menimbulkan terjadinya keadaan heterozigot, sedangkan
kerusakan pada kedua kromosom homolog menimbulkan keadaan homozigot (-/-).

Pada thalassemia homozigot, sintesis rantai menurun atau tidak ada sintesis sama sekali.
Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non alpha, khususnya kekurangan sintesis
rantai β akan menyebabkan kurangnya pembentukan Hb.

Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta disebabkan oleh sebuah gen cacat
yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang
tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa/carier.
.I. Thalasemia beta

Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya biosintesis dari unit 
globin pada Hb A. Pada thalasemia β heterozigot, sintesis β globin kurang lebih separuh dari
nilai normalnya. Pada thalasemia β homozigot, sintesis β globin dapat mencapai nol.

Karena adanya defisiensi yang berat pada rantai β, sintesis Hb A total menurun dengan
sangat jelas atau bahkan tidak ada, sehingga pasien dengan thalasemia β homozigot mengalami
anemia berat. Sebagai respon kompensasi, maka sintesis rantai γ menjadi teraktifasi sehingga
hemoglobin pasien mengandung proporsi Hb F yang meningkat. Namun sintesis rantai γ ini tidak
efektif dan secara kuantitas tidak mencukupi.

Pada thalasemia β homozigot, sintesis rantai α tidak mengalami perubahan dan tidak
mampu membentuk Hb tetramer. Ketidak-seimbangan sintesis dari rantai polipeptida ini
mengakibatkan kelebihan adanya rantai α bebas di dalam sel darah merah yang berinti dan
retikulosit. Rantai α bebas ini mudah teroksidasi. Mereka dapat beragregasi menjadi suatu inklusi
protein (haeinz bodys), menyebabkan kerusakan membran pada sel darah merah dan destruksi
dari sel darah merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel darah merah matur yang
diproduksi menjadi berkurang sehingga sel darah merah yang beredar menjadi kecil, terdistorsi,
dipenuhi oleh inklusi α globin, dan mengandung komplemen hemoglobin yang menurun dan
memberikan gambaran dari Anemia Cooley/anemia mikrositik hipokrom yaitu hipokromik,
mikrosisitk dan poikilositik.

Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa, hepar, dan
sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit ini. Sel darah merah yang
mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi mempunyai umur yang lebih panjang.

Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen carrying capacity dari setiap
eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang jumlahnya sedikit) mengalami hemolisa
secara prematur.

Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum-sumsum tulang


dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih banyak. Namun mekanisme kompensasi
ini tidak efektif karena adanya kematian yang prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu
ekspansi sumsum tulang yang masif yang memproduksi sel darah merah baru.

Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian kortikal dari tulang,
menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada umur-umur yang kritis pada pertumbuhan
dan perkembangan, mengalihkan sumber-sumber biokimia yang vital dari tempat-tempat yang
membutuhkannya dan menempatkan suatu stress yang sangat besar pada jantung. Secara klinis
terlihat sebagai kegalan dari pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan jantung high output,
kerentanan terhadap infeksi, deformitas dari tulang, fraktur patologis, dan kematian di usia muda
tanpa adanya terapi transfusi.

Jika seseorang memiliki 1 gen beta globin normal, dan satu lagi gen yang sudah
termutasi, maka orang itu disebut carier/trait.

Gambar diatas menunjukkan bahwa kedua orangtua merupakan carier/trait. Maka anaknya
25% normal, 50% carier/trait, 25% mewarisi 2 gen yang termutasi (thalasemia mayor).
.II. Thalasemia alpha

Rantai globin yang berlebihan pada thalasemia α adalah rantai γ dan yang kurang atau
hilang sintesisnya dalah rantai α. Rantai γ bersifat larut sehingga mampu membentuk
hemotetramer yang meskipun relatif tidak stabil, mampu bertahan dan memproduksi molekul Hb
yang lain seperti Hb Bart (γ4) dan Hb H (β4). Perbedaan dasar inilah yang mempengaruhi lebih
ringannya manisfestasi klinis dan tingkat keparahan penyakitnya dibandingkan dengan
thalasemia beta.

Patofisiologi thalasemia α sebanding dengan jumlah gen yang terkena. Pada thalasemia α
homozigot (-/-) tidak ada rantai α yang diproduksi. Pasiennya hanya memiliki Hb Bart’s yang
tinggi dengan Hb embrionik. Meskipun kadar Hb nya tinggi tapi hampir semuanya adalah Hb
Bart’s sehingga sangat hipoksik yang menyebabkan sebagian besar pasien lahir mati dengan
tanda hipoksia intrauterin.

Bentuk thalasemia α heterozigot (α0 dan -α+) menghasilkan ketidakseimbangan jumlah


rantainya tetapi pasiennya dapat mampu bertahan dengan HbH dimana kelainan ini ditandai
dengan adanya anemia hemolitik karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa oksigen.

Mutasi yang terjadi pada gen alpha globin disebut delesi.


.D. KLASIFIKASI THALASEMIA DAN PRESENTASI KLINISNYA

Thalassemia α / minor

Penghapusan 4 gen- hydrops fetalis

Penghapusan 3 gen- penyakit Hb H

Penghapusan 2 gen ( trait thalasemia α° )

Penghapusan 1 gen ( trait thalasemia α+ )

Thalassemia β

Homozigot – thalassemia mayor

Heterzigot- trait thalassemia

Thalassemia intermediate

Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik

D.I. Thalasemia α

D.I.1. Thalasemia homozigot (α0)

Sindrom hidrops Hb Bart’s biasanya terjadi dalam rahim. Bila hidup hanya dalam waktu
pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops fetalis dengan edema permagna dan
hepatosplenomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl dengan eritrosit hipokromik dan beberapa berinti. Kadar
Hb Bart’s 80% dan sisanya Hb portland. Biasanya keadaan ini disertai toksemia gravidarum,
perdarahan post partum dan masalah karena hipertrofi plasenta. Pada pemeriksaan otopsi
memperlihatkan adanya peningkatan kelainan bawaan. Beberapa bayi berhasil diselamatkan
dengan transfusi tukar dan berulang serta pertumbuhannya bisa mencapai normal.
Gambar Hidrops fetalis :

HbH disease

Ditandai anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (7-11 g/dL) dan splenomegali
sedang dimana Hb H (β4) dapat dideteksi dalam sel darah merah dengan elektroforesis atau pada
sediaan retikulosit. Pada kehidupan janin ditemukan Hb Bart (γ4). HbH bisa diketahui dengan
bantuan brilian cresil blue yang akan menyebabkan pengendapan dan pembentukkan badan
inklusi. Setelah splenektomi, umumnya bentukkan ini makin banyak di eritrosit. Pada beberapa
kasus, penderita bisa tergantung transfusi sedangkan sebagian besar kasus umumnya penderita
bisa tumbuh normal tanpa transfusi.

Karier thalasemia α

Bisa berasal dari thalasemia α0 (-/αα) atau thalasemia (-α/-α). Biasanya asimptomatis,
didapatkan anemia mikrositik hipokrom ringan dengan penurunan MCH dan MCV yang
bermakna. Hb elektroforesisn normal dan pasien hanya bisa didiagnosis dengan analisa DNA.
Pada masa neonatus, Hb Bart’s 5-10 % tapi tidak didapatkan HbH pada masa dewasa dan kadang
bisa didapatkan inklusi pada eritrosit karier thalasemia α.

Karier thalasemia α silent

Bentuk heterozigot karier thalasemia α+ (–α/αα). Memiliki gambaran darah yang


abnormal tetapi dengan elektroforesis normal. Saat lahir 50% kasus memiliki Hb Bart’s 1-3%
tapi tidak adanya Hb Bart’s tidak menyingkirkan diagnosa kasus ini.

. Thalasemia β

Hampir semua anak dengan thalasemia β homozigot dan heterozigot memperlihatkan


gejala klinis sejal lahir yaitu gagal tumbuh, infeksi berulang, kesulitan makan, kelemahan umum.
Bayi tampak pucat dan terdapat splenomegali. Bila menerima transfusi berulang,
pertumbuhannya bisa normal hingga pubertas.

Pada anak yang mendapat transfusi dan terapi chelasi (pengikat besi), anak bisa mencapai
pubertas dan terus mencapai usia dewasa dengan normal. Bila terapi chelasi tidak adekuat, secara
bertahap akan terjadi penumpukkan besi yang efeknya mulai nampak pada dekade pertama.
Adolscent growth spurt tidak akan tercapai, komplikasi ke hati, endokrin, dan jantung.

Gambaran klinis pada pasien yang tidak mendapat terapi adekuat yaitu :

 Facies cooley

Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang muka dan tulang
tengkorak hingga nengakibatkan perubahan perkembangan tulang tersebut dan umumnya
terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun
 Pucat yang berlangsung lama
Merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang berkaitan dengan anemia
berat. Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah
berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-
sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder mengakibatkan hemodilusi, dan
destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.

 Perut membuncit
Pada anak yang besar tampak perut yang membuncit akibat pembesaran hati dan limpa.
Hati dan limpa membesar akibat dari hemopoisis ekstrameduler dan hemosiderosis. Dan
akibat dari penghancuran eritrosit yang berlebihan itu dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan biliribin indirek, sehingga menimbulkan kuning pada penderita thalassemia
dan kadang ditemui trombositopenia.
 Gagal tumbuh dan mudah terkena infeksi

 Karena pendeknya umur eritrosit menyebabkan hiperurikemi dan gout sekunder sering
timbul

 Sering terjadi gangguan perdarahan akibat rombositopenia maupun kegagalan hati akibat
penimbunan besi, infeksi dan hemapoiesis ekstramedular.

 Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul komplikasi akibat penimbunan besi yaitu
Keterlambatan menarke (pada anak perempuan) dan gangguan perkembangan sifat seks
sekunder akibat dari hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin. Selain pada
kelenjar endokrin, hemosiderosis pada pankreas dapat menyebabkan diabetes mellitus.
Siderosis miokardium menyebabkan komplikasi ke jantung.

Temuan Laboratorium

 Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia-β° yang tidak ditransfusi adalah
ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis berat, banyak ditemukan poikilositosit
yang terfragmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar eritrosit yang berinti
ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi intraeritrosit, yang merupakan
presipitasi dari kelebihan rantai α, juga terlihat pasca splenectomi. Kadar Hb turun secara
cepat menjadi kurang dari 5 g/dL kecuali jika transfusi diberikan. Kadar bilirubin serum
tidak terkonjugasi meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas
pengikat besi. Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang sangat
tinggi dalam eritrosit. Senyawa dipiridol menyebabkan urin berwarna coklat gelap,
terutama pasca splenektomi.

Karier thalasemia β

Hampir tanpa gejala, umumnya dengan anemia ringan dan jarang didapatkan
splenomegali. Adanya penurunan ringan kadar Hb dengan penurunan MCV dan MCH yang
bermakna.
Intermedia thalasemia

Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik. Anemia hipokrom mikrositik (
Hb 7-10 gr/dl ), hepatomegali dan splenomegali, deformitas menurun, kelebihan beban besi (
iron over load ).

.E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis thalasemia ialah:

1. Darah

Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita thalasemia adalah

 Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan peningkatan jumlah lekosit,
ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi hipersplenisme akan terjadi
penurunan dari jumlah trombosit.

 Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.

 Gambaran darah tepi


Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom. Pada
gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear drops
sel dan target sel.
 Serum Iron & Total Iron Binding Capacity
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan anemia
terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan menurun,
sedangkan TIBC akan meningkat.

 LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka tersebut
sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis, obstruksi batu
empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat dan menandakan
adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi
kelainan dalam faktor pembekuan darah.

2. Elektroforesis Hb

Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis hemoglobin.


Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalassemia saja, namun juga pada orang
tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis hemoglobin dan kadar
Hb A2. petunjuk adanya thalassemia α adalah ditemukannya Hb Barts dan Hb H. Pada
thalassemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya
tidak melebihi 1%.
3. Pemeriksaan sumsum tulang

Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif sekali. Ratio
rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan normal biasanya nilai
perbandingannya 10 : 3.

4. Pemeriksaan roentgen

Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak mendapat
tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi berkurang, dan dapat
diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak optimal terjadi
ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik
pada tulang. Tulang terngkorak memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end”
yaitu menyerupai rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.

F. DIAGNOSIS BANDING
Thalassemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal ini
disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan gambaran eritrosit mikrositik
hipokrom. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan, karena pada anemia defisiensi Fe
didapatkan :

 Pucat tanpa organomegali


 Tidak tedapat besi dalam sumsum tulang
 Bereaksi baik dengan pengobatan dengan preparat besi

G. PENGOBATAN
Prinsip pengobatan pada pasien talasemia adalah :

 terapi tranfusi darah untuk mencegah komplikasi dari anemia kronis


 pencegahan dari resiko kelebihan besi akibat terapi transfusi
 penatalaksanaan splenomegali
Pada anak dengan thalassemia mayor beta membutuhkan pelayanan kesehatan yang terus
menerus seumur hidupnya.

A. Tranfusi darah

Pemberian tranfusi darah ditujukan untuk mempertahankan dan memperpanjang umur atau
masa hidup pasien dengan cara mengatasi komplikasi anemia, memberi kesempatan pada anak
untuk proses tumbuh kembang, memperpanjang umur pasien. Terapi tranfusi darah dimulai pada
usia dini ketika ia mulai menunjukkan gejala simtomatik. Transfusi darah dilakukan melalui
pembuluh vena dan memberikan sel darah merah dengan hemoglobin normal. Untuk
mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara rutin karena dalam
waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk penderita beta thalassemia intermedia,
transfuse darah hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta
thalssemia mayor (Cooley’s Anemia) harus dilakukan secara teratur

Tranfusi darah diberikan bila Hb anak < 7 gr/dl dyang diperiksa 2x berturut dengan jarak 2
mingg dan bila kadar Hb > 7 gr/dl tetapi disertai gejala klinis seperti Facies Cooley, gangguan
tumbuh kembang, fraktur tulang curiga adanya hemopoisis ekstrameduler. Pada penanganan
selanjutnya, transfusi darah diberikan Hb ≤8 gr/dl sampai kadar Hb 11-12 gr/dl. Darah diberikan
dalam bentuk PRC, 3 ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dL.

B. Kelasi Besi

Pasien thalasemia dengan terapi tranfusi biasanya meninggal bukan karena penyakitnya
tapi karena komplikasi dari tranfusi darah tersebut. Komplikasi tersebut adalah penumpukan besi
diberbagai organ.

Desferoxamine diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/L atau
saturasi transferin sudah mencapai 50 %, atau sekitar setelah 10 -20 kali transfusi. Pemberian
dilakukan secara subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan dosis 25-35
mg/kg BB/hari, minimal selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah. Dosis
desferoxamine tidak boleh melebihi 50 mg/kg/hari. Evaluasi teratur terhadap toksisitas
desferoxamin direkomendasikan pada semua pasien yang mendapat terapi ini.

Saat ini sudah tersedia kelasi besi oral, namun penggunaannya di Indonesia belum
dilakukan.

C. Suplemen Asam Folat

Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel darah merah yang
sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping melakukan transfusi darah ataupun terapi
khelasi besi.. Asam Folat  2x1 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.

D. Splenektomi

Indikasi :
 limpa yang terlalu besar sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan peningkatan
tekanan intra-abdominal dan bahaya terjadinya ruptur
 meningkatnya kebutuhan tranfusi yang melebihi 250ml/kgBB dalam 1 tahun terakhir

D. Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang untuk talasemia pertama kali dilakukan tahun 1982.
Transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya terapi definitive untuk talasemia. Jarang
dilakukan karena mahal dan sulit.

SKRINING DAN PENCEGAHAN


SKRINING

Bila populasi tersebut hendak memiliki pasangan, dilakukan skrining premarital. Penting
sekali menyediakan program konselin verbal dan tertulis mengenai hasil skring.

Alternatif lain, memeriksakan setiap wanita hamil muda berdasarkan ras. Skrining yang
efektif adalah melalui eritrosit. Bila MCV dan MCH sesuai gambaran thalasemia, perkiraan
kadar HbA harus diukur. Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang menganalisis gen.
Penting untuk memeriksa Hb elektroforesa pada kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan
variasi struktural Hb.

PENCEGAHAN

Ada 2 pendekatan untuk menghindari thalasemia, yaitu :

 Karena karier thalasemia β bisa diketahui dengan mudah, skrining populasi dan konseling
tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1 dari 4 anak mereka bisa
menjadi homozigot atau gabungan heterozigot

 Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangan bisa diperiksa dan bila
termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan
pada fetus dengan thalasemia β berat

ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1.Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah (mediterania). Seperti turki,
yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri, thalassemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan
merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
2.UmurPada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah terlihat sejak
anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia minor yang gejalanya lebih
ringan, biasanya anak baru datang berobat pada umur sekitar 4 –6 tahun.
3.Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi lainnya. Hal ini mudah
dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
4.Pertumbuhan dan perkembangan
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbuh kembang
sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia jaringan yang bersifat kronik. Hal ini
terjadi terutama untuk thalassemia mayor. Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya
dan ada keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis
dan ketiak. Kecerdasan anak juga dapat mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia
minor sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5.Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga berat badan
anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
6.Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur / istirahat, karena bila
beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah.
7.Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua yang menderita
thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita thalassemia, maka anaknya berisiko menderita
thalassemia mayor. Oleh karena itu, konseling pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena
berfungsi untuk mengetahui adanya penyakit yang mungkin disebabkan karena keturunan.
8.Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core –ANC)
Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor risiko
thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat. Apabila diduga faktor resiko, maka
ibu perlu diberitahukan mengenai risiko yang mungkin dialami oleh anaknya nantisetelah lahir.
Untuk memestikan diagnosis, maka ibu segera dirujuk ke dokter.
9.Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya adalah:
Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah aanak seusianya yang
normal.
Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu kepala
membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid, yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung,
jarak kedua mata lebar, dan tulang dahi terlihat lebar.
Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
Dada
Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya
pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik
Perut
Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa dan hati (
hepatosplemagali).Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya kurang dari
normal.Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
Pertumbuhan organseks sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan rambut pada
ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai tahap adolesense karena
adanya anemia kronik.
Kulit
Warna kulit pucat kekuning-kuningan. Jika anak telah sering mendapat transfusi darah, maka
warna kulit menjadi kelabu seperti besi akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit
(hemosiderosis).
3.2Diagnosa Keperawatan
1.Intoleransi aktivitas berhubungan dengan berkurangnya suplai O2/ Na kejaringan yang ditandai
dengan klien mengeluh lemas dan mudah lelahketika beraktifitas.
2.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi danneurologis(anemia)
yang ditandai dengan kulit bersisik kehitaman padabeberapa tempat.
3.Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hemokromatesis.
4.Resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan hipoksia jaringan.
5.Resiko terhadap infeksi berhubungna dengan menurunnya imunitas.
\
Intervensi
1.hemodinamik
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan berkurangnya suplai O2/ Na kejaringan
Tujuan NOC : mentoleransi aktifitas yang biasa dilakukan dan ditunjukkan dengan daya tahan.
Intervensi NIC :
1.Pantau respon kardiorespiratori pasien (misalnya, takikardia, dipsnea, diaforesis, pucat,
tekanan dan frekuensi respirasi)
2.Batasirangsangan lingkungan (seperti cahaya dan kebisingan)untuk memfasilitasi relaksasi.
3.Ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang teknik perawatan diri yang akan meminimalkan
konsumsi oksigen.
4.Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi.
2.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi danneurologis (anemia)
yang ditandai dengan kulit bersisik kehitaman padabeberapa tempat.
Tujuan
NOC
: menunjukkan integritas jaringan yang baik
Intervensi
NIC
:
1.Inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, tanda-tanda dehisensi, atau eviserasi
pada daerah insisi.
2.Lakukan pemijatan disekitar luka untuk merangang sirkulasi.
3.Ajarkan keluarga tentang tanda kerusakan kulit
4.Gunakan TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation)untuk peningkatan penyembuhan
luka.
3.Resiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hemokromatesis.
Tujuan
NOC : menunjukkan pola pernapasan efektif
Intervensi
NIC :
1.Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan usaha respirasi.
2.Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernapasan.
3.Informasikan kepada keluarga bahwa tidak boleh merokok diruangan
4.Rujuk kepada ahli terapi pernapasan untuk memastikan keadekuatan fungsi ventilator mekanis
4.Resiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan hipoksia jaringan.
Tujuan
NOC
: mengoptimalkan tumbuh kembang pada anak
Intervensi
NIC :
1.Beri diet tinggi nutrisiyang seimbang
2.Pantau tingga dan beratbadan gambarkan padagrafik pertumbuhan
3.Dorong aktivitas yangsesuai dengan usia klien
4.Konsultasikan dengan ahli gizi.
5.Resiko terhadap infeksi berhubungna dengan menurunnya imunitas.
Tujuan
NOC :
faktor resiko infeksi akan hilang dengan dibuktikan oleh keadekuatan status imun pasien
Intervensi
NIC :
1.Pantau tanda/gejala infeksi
2.Lakukan pemberian transfusi darah.
3.Ajarka kepada keluargatanda/gejala infeksi dan kapan harus melaporkan kepusat kesehatan
4.Konsultasikan kepada dokter tentang pemberian transfusi darah.

Evaluasi
1.Integritas jaringan baik
2.Pola pernapasan efektif
3.Tumbuh kembang pada anak optimal
4.Keadekuatan status imun
KESIMPULAN

Thalassemia merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh ketidaknormalan pada


protein globin yang terdapat di gen. Dapat menyerang siapa aja dengan berbagai etnik ras di
seluruh dunia dan termasuk salah satu penyakit genetik kelainan darah yang terbanyak di
Indonesia. Jika globin alfa yang rusak maka penyakit itu dinamakan alfa-thalassemia dan jika
globin beta yang rusak maka penyakit itu dinamakan alfa thalassemia. Gejala yang terjadi
dimulai dari anemia hingga gangguan tumbuh kembang. Pemeriksaan thalasemia bisa dilakukan
melalui pemeriksaan darah, Hb elektroforesa, pemeriksaan sumsum tulang dan roentgen.
Thalassemia harus sudah diobati sejak dini agar tidak berdampak fatal. Pengobatan yang
dilakukan adalah dengan melakukan transfusi darah, meminum beberapa suplemen asam folat,
terapi kelasi besi, splenektomi, hingga transplantasi sumsum tulang. Thalasemia bisa diketahui
sedini mungkin dengan proses skrining.
DAFTAR PUSTAKA

1. Berhman, RE; Kliegman, RM ; Arvin: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume 2, edisi 15.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2005, hal1708-1712
2. Berhman, RE; Kliegman, RM and Jensen, HB: Nelson Text Book of Pediatrics, 16th
edition. WB Saunders company, Philadelphia: 2000, page 1630-1634
3. Permono, H. BAmbang; Sutaryo; Windiastuti, Endang; Abdulsalam, Maria; IDG
Ugrasena: Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan ketiga. Penerbit Badan
Penerbit IDAI, Jakarta : 2010, hlm 64-84
4. A.V. Hoffbrand and J.E. Pettit; alih bahasa oleh Iyan Darmawan : Kapita Selekta
Haematologi, edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1996, hal 66-85
5. Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005. “What is Thalassemia and
Treating Thalassemia”.

6. Markum : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI, Jakarta : 1991, hal 331
7. Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal Medicine,
volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society, Jakarta: 2006, page 134-138

Anda mungkin juga menyukai