Matahari mulai merapat ke pangkuan senja, perlahan sinarnya mulai memudar. Dari balik rimbun pohon sedikit cahaya masih berbias agak silau hingga akhirnya samar-samar oranye kemerarah-merahan menyeruak di batas lautan. Seseorang beranjak dari tempat duduknya. Senja yang lamat-lamat ia tatapi ditinggalinya. Kini ia mulai beranjak pada kesibukan baru. Azan yang sedari tadi didengarnya baru digubrisnya. Perempuan itu mulai melangkah menjauhi tepian pantai, tampak jelas kedua tapak kakinya melubangi pasir pantai dan meninggalkan jejak yang teratur. Beberapa jenak ia tatapi lagi ombak-ombak yang sedang menari. Tapi kembali pahit yang ia rasakan. *** “Minah……..” suara cempreng wanita paruh baya mengagetkan seisi rumah. “Apa gerangan Mak, sampai teriak-teriak memanggilku” seorang gadis berparas cantik mendongakkan kepalanya melewati batas pintu. “Sini dulu Minah, ada yang nak Ibu sampaikan” Dengan langkah gontai Minah menyeretkan kakinya melewati ruang makan terus beranjak ke dapur sambil merapikan rambutnya yang tergerai acak. “Minah kemarin malam bapakmu kirim kabar. Katanya ada saudagar dari kota yang ingin meminangmu. Hendaklah kau terima itu Minah” “Tak Mak. Sudah Minah bilang, Minah sudah punya calon tak perlu Emak Abah carikan lagi. Sebentar lagi ia akan memingku Mak, percayalah” “Ya sudahlah kalau begitu” wanita itu pun kembali dengan kesibukannya di dapur diikuti derap kaki Minah yang pergi meninggalkan Emaknya. Aminah, seorang gadis desa pesisir pantai yang berperawakan tinggi dengan kulit kuning langsat, bola mata coklat, hidung agak bangir serta bibir merah yang diikuti dengan barisan gigi nan rapi, memang diakui sebagai gadis tercantik di desanya. Banyak lelaki yang sedari dulu ingin memilikinya. Tapi nihil, dari kesemua pinangan itu tak ada satu pun yang diterimanya . Di kampung itu Minah juga dikenal sholehah. Malam belajar dari kitab-kitab arab siangnya ia mengajar mengaji. Berbeda jauh dengan gadis desa lainnya yang bertingkah asal, bertingkah kasar dan buta agama. Hal itulah yang membuat ia semakin lebih dari gadis di desanya. Tak berlaku pada Abah Emaknya. Sepasang manusia ini begitu cemas dengan keadaan anaknya. Beragam cara sudah ditempuh. Mulai dari membujuk hingga mencarikan calon, tapi tetap saja Minah tak bergeming. Ia tak mau menikah dengan siapun kecuali dengan pujaan hatinya yang batang hidungnya tak pernah tampak di depan ong tuanya. *** “Aban, tunggu aku” “Iya, Aban tunggu dek” “Aban taklah lama kan” “Iya, percaya saja sama aban” “Berapa lama Aban nak tinggalkanku” “Selama rasa cinta itu masih ada, selama adek masih mencintai Aban” “Aban, aku sayang Aban” “Begitu juga Aban” Terasa badan Minah merintih, hentakan lembut di bahunya menyadarkannya. Ia berpaling, menjelmalah seorang makhluk berbadan ramping dengan bibir runcing yang di arahkan padanya “Apalah yang kaulakukan disini Minah?” “Tak pa wak, hanya cari angin saja, penat badanku” “Tak pulang kau” “Sebentar lagi Wak Zainab” “Ya sudahlah aku beranjak dulu, matahai nak turun aku belum memasak makanan. Kasihan laki sama anakku kelaparan” Sekejap Wak Zainab telah menghilang dari depan mata Minah. Cahaya berpendar kini mulai bermain di kelopak matanya. Jutaan kunang-kunang mulai manari dihadapannya. Ia begitu meniknati, turut pula ia menari. Ke kanan. Ke kiri, berputar-putar, kanan lagi, kiri lagi, berputar- putar lagi. Lalu tertawa, tersenyum, terbahak, sepuas hati. Bebas. Minah mulai beranjak dari akar pohon kelapa, setapak demi setapak ia melangkah, dengan sabarnya ia melangkahkahkan sebelah demi sebelah tungkai kakinya. Walaupun tampak malas sebanarnya ia begitu menikmati tapak demi tapak kakinya. Serasa ada satu hal yang membahagiakannya, jejak yang ia tinggali berupa lobang-lobang pasir juga seperti ikut menyemangati. Begitu juga matahari yang makin banyak melimpahkan cahaya menimpali seluruh permukaan tubuh Minah. Tak luput, angin dengan desisnya bagaikan melodi yang mengiringi dan desaunya bagaikan nada-nada yang mewakili perasaan Minah. Ia semakin dekat, sebentar lagi, sebentar lagi ucapnya dalam hati. Bersabarlah kembali ia menimpali. Sebentuk semak terlukis di balik retina metanya. Ia hanya bisa tersenyum sedari tadi tempat iulah yang menjadi tujuannya. Tak terhitung berapa kali ia telah mengunjunginya. Seakan ada sesuatu yang tertaut pada setiap helai daunnya yang membuat minah berbatah-betah disana. Ditemani pasir pantai yang menyilau silau, ia semakin sulit untuk beranjak. Kecuali yang menyeru Pak Cik Usman lewat lantunan azannya nan merdu. Ia serasa berat meninggalkan tempat tersebut, rasanya benar ia cinta tempat itu. Berlama-lama ia di pinggir pantai, tak jelas apa yang ia kerjakan. Tak juga termat penting hanya memainkan pasir dengan kedua tangannya atau merobek daun-daun di sebelahnya atau pula tersenyum seraya melepas pandangannya ke seberang lautan biru. Kembali hari ini Pak Cik Usman yang memulangkan Minah ke rumahnya. Lantunan azannya nan merdu menuntun Minah kembali serta melepas diri dari ikatan pasir pantai, angin dan ombak yang menggaulinya sejak bakda asar. Sampai di rumah ia lekas sholat magrib. Tak mau ia berleha-leha dengan waktu. Karena ia tahu dan benar-benar merasakan kejamnya waktu, sejak dulu hingga hari ini. Lalu ia pergi ke ruang makan dan memakan apa yang dihidagkan malam itu. Tak apa ikan asin, ikan kepala batu, telur ayam, cumi-cumi dan lagi lannya. Baginya semua itu sama saja, sama-sama rezeki dari Allah hanya dalam bentuk, ukuran dan jumlah yang berbeda. Tapi Allah tetaplah masih cinta, meski perut harus berisikan angin itu rezeki pula. Nikmat bila benar-benar dinikmati. Lalu ia begegas shalat isya dan bercepat-cepat ia menuju balai pengajiaan. Tak mau ia ketingalan ceramah Haji Hasan yang membuat ia membara-bara melakukan ibadah sebanyak- banyaknya. Lagi cerita nabi-nabi yang membuat Minah sadar betapa beruntungnya ia tidak mendapat cobaan seperti yang dirasakan para nabi. Satu lagi keistimewaaan pengajian itu, suraunya nan sejuk ditiup angin pantai semakain membuat ia berbetah-betah duduk disitu memelototi kitab yang dibawanya dari rumah. Lepas pengajian ia kembali ke rumah berbincang dengan emak dan adiknya jika belum tidur atau duduk di seberang tempat tidur memandangi langit malam lewat jendela yang dibuka lebar-lebar. Lalu tidur dengan tidak lupa membaca do’a. *** “Minah…….Minah……..” suara seseorang terdengar memburu di telinga Minah Segera ia memutar kepalanya hamper seratus delapan puluh derajat dan bergegas mencari asal suara yang menyapaya tadi, menyapu setiap inci tatapannya, hingga menemukan sesosok pria dengan jala dibahunya. Lelaki yang berpakaian kotor tersebut lari terengah-engah menghampiri Minah. Segera Minah ingin tahu apa gerangan lelaki yang tak dikenalnya, yang berumur sekitar tiga puluh tahun ingin menemuinya. Ia lekas bertanya. “Ada apa bang, tampaknya serius sekali memanggil-manggil saya” “Itu Minah……itu…..” “Itu apa?” Lelaki itu hanya diam terpaku. Sepertinya ia sedang berpikir keras. Mencari suatu kata yang cocok diucapkannya. Sial, begitu kelu mulutnya siang itu tak tahu apa yang harus ia katakana lagi. Meski ia telah mengorek-ngorek isi memorinya tetap saja hampa. Ia tak bisa berkata apa-apa. “Ada apa…..? cepat katakan, nak beli cabe aku nih” Minah semakin penasaran Laki-laki itu menarik nafasnya dalam-dalam. Pandangannya ditujukan pada pasir pantai, tangannya yang sedari tadi bergetar coba ditenangkannya. Mulutnya yang dari tadi terkunci mulai menganga sedikit. Lelaki itu tertunduk “Abahmu meninggal dunia, Minah” Tak butuh waktu lama, langsung saja air mata membanjiri pipi indahnya. Minah tertunduk rapuh. *** "Ini yang kau mau Minah, membiarkan abahmu kembali pada Allah tanpa melihat dan menjadi wali bagi sulungnya yang mau menikah" Aminah tertunduk tanpa jawaban. "Kapan kau menikah? kapan kau bawa calonmu yang kau agung-agungkan itu? tunggu Emakmu mati dulu kau baru mau menikah" amarah Emak sudah tak bisa ditahan lagi. Aminah kembali tertunduk dan masih tanpa jawaban. "Ya sudah kalau itu inginmu" Emak lalu pergi meninggalkan Aminah. "Sebentar lagi, sebentar lagi, sebentar lagi mak............." teriak Aminah menggelegar. *** Nenek itu masih duduk di beranda rumah panggungnya. masih seperti dulu, masih dengan cercaan anak kecil sekitar kampung. "Perawan tua..........................." cerca satu anak "Ha.....ha ....ha....." diikuti yang lainnya Nenek itu tetap saja diam seraya berkata dalam hati sebentar lagi ia akan kembali. Tiada yang tahu tentang rahasia yang akan dibawa mati olehnya. Tentang sesosok lelaki yang telah lari namun setia ia nanti, lelaki yang telah merebut kesucian bunga desa dibalik rumpun semak sekitar pantai puluhan tahun lalu.