Anda di halaman 1dari 4

Sebentar Lagi

Oleh: Feri Sandria


Matahari mulai merapat ke pangkuan senja, perlahan sinarnya mulai memudar. Dari balik
rimbun pohon sedikit cahaya masih berbias agak silau hingga akhirnya samar-samar oranye
kemerarah-merahan menyeruak di batas lautan.
Seseorang beranjak dari tempat duduknya. Senja yang lamat-lamat ia tatapi ditinggalinya.
Kini ia mulai beranjak pada kesibukan baru. Azan yang sedari tadi didengarnya baru
digubrisnya. Perempuan itu mulai melangkah menjauhi tepian pantai, tampak jelas kedua tapak
kakinya melubangi pasir pantai dan meninggalkan jejak yang teratur. Beberapa jenak ia tatapi
lagi ombak-ombak yang sedang menari. Tapi kembali pahit yang ia rasakan.
***
“Minah……..” suara cempreng wanita paruh baya mengagetkan seisi rumah.
“Apa gerangan Mak, sampai teriak-teriak memanggilku” seorang gadis berparas cantik
mendongakkan kepalanya melewati batas pintu.
“Sini dulu Minah, ada yang nak Ibu sampaikan”
Dengan langkah gontai Minah menyeretkan kakinya melewati ruang makan terus beranjak
ke dapur sambil merapikan rambutnya yang tergerai acak.
“Minah kemarin malam bapakmu kirim kabar. Katanya ada saudagar dari kota yang ingin
meminangmu. Hendaklah kau terima itu Minah”
“Tak Mak. Sudah Minah bilang, Minah sudah punya calon tak perlu Emak Abah carikan
lagi. Sebentar lagi ia akan memingku Mak, percayalah”
“Ya sudahlah kalau begitu” wanita itu pun kembali dengan kesibukannya di dapur diikuti
derap kaki Minah yang pergi meninggalkan Emaknya.
Aminah, seorang gadis desa pesisir pantai yang berperawakan tinggi dengan kulit kuning
langsat, bola mata coklat, hidung agak bangir serta bibir merah yang diikuti dengan barisan gigi
nan rapi, memang diakui sebagai gadis tercantik di desanya. Banyak lelaki yang sedari dulu ingin
memilikinya. Tapi nihil, dari kesemua pinangan itu tak ada satu pun yang diterimanya .
Di kampung itu Minah juga dikenal sholehah. Malam belajar dari kitab-kitab arab siangnya
ia mengajar mengaji. Berbeda jauh dengan gadis desa lainnya yang bertingkah asal, bertingkah
kasar dan buta agama. Hal itulah yang membuat ia semakin lebih dari gadis di desanya.
Tak berlaku pada Abah Emaknya. Sepasang manusia ini begitu cemas dengan keadaan
anaknya. Beragam cara sudah ditempuh. Mulai dari membujuk hingga mencarikan calon, tapi
tetap saja Minah tak bergeming. Ia tak mau menikah dengan siapun kecuali dengan pujaan
hatinya yang batang hidungnya tak pernah tampak di depan ong tuanya.
***
“Aban, tunggu aku”
“Iya, Aban tunggu dek”
“Aban taklah lama kan”
“Iya, percaya saja sama aban”
“Berapa lama Aban nak tinggalkanku”
“Selama rasa cinta itu masih ada, selama adek masih mencintai Aban”
“Aban, aku sayang Aban”
“Begitu juga Aban”
Terasa badan Minah merintih, hentakan lembut di bahunya menyadarkannya. Ia berpaling,
menjelmalah seorang makhluk berbadan ramping dengan bibir runcing yang di arahkan padanya
“Apalah yang kaulakukan disini Minah?”
“Tak pa wak, hanya cari angin saja, penat badanku”
“Tak pulang kau”
“Sebentar lagi Wak Zainab”
“Ya sudahlah aku beranjak dulu, matahai nak turun aku belum memasak makanan. Kasihan
laki sama anakku kelaparan”
Sekejap Wak Zainab telah menghilang dari depan mata Minah. Cahaya berpendar kini
mulai bermain di kelopak matanya. Jutaan kunang-kunang mulai manari dihadapannya. Ia begitu
meniknati, turut pula ia menari. Ke kanan. Ke kiri, berputar-putar, kanan lagi, kiri lagi, berputar-
putar lagi. Lalu tertawa, tersenyum, terbahak, sepuas hati. Bebas.
Minah mulai beranjak dari akar pohon kelapa, setapak demi setapak ia melangkah, dengan
sabarnya ia melangkahkahkan sebelah demi sebelah tungkai kakinya. Walaupun tampak malas
sebanarnya ia begitu menikmati tapak demi tapak kakinya.
Serasa ada satu hal yang membahagiakannya, jejak yang ia tinggali berupa lobang-lobang
pasir juga seperti ikut menyemangati. Begitu juga matahari yang makin banyak melimpahkan
cahaya menimpali seluruh permukaan tubuh Minah. Tak luput, angin dengan desisnya bagaikan
melodi yang mengiringi dan desaunya bagaikan nada-nada yang mewakili perasaan Minah. Ia
semakin dekat, sebentar lagi, sebentar lagi ucapnya dalam hati. Bersabarlah kembali ia
menimpali.
Sebentuk semak terlukis di balik retina metanya. Ia hanya bisa tersenyum sedari tadi
tempat iulah yang menjadi tujuannya. Tak terhitung berapa kali ia telah mengunjunginya. Seakan
ada sesuatu yang tertaut pada setiap helai daunnya yang membuat minah berbatah-betah disana.
Ditemani pasir pantai yang menyilau silau, ia semakin sulit untuk beranjak. Kecuali yang
menyeru Pak Cik Usman lewat lantunan azannya nan merdu. Ia serasa berat meninggalkan
tempat tersebut, rasanya benar ia cinta tempat itu.
Berlama-lama ia di pinggir pantai, tak jelas apa yang ia kerjakan. Tak juga termat penting
hanya memainkan pasir dengan kedua tangannya atau merobek daun-daun di sebelahnya atau
pula tersenyum seraya melepas pandangannya ke seberang lautan biru.
Kembali hari ini Pak Cik Usman yang memulangkan Minah ke rumahnya. Lantunan
azannya nan merdu menuntun Minah kembali serta melepas diri dari ikatan pasir pantai, angin
dan ombak yang menggaulinya sejak bakda asar.
Sampai di rumah ia lekas sholat magrib. Tak mau ia berleha-leha dengan waktu. Karena ia
tahu dan benar-benar merasakan kejamnya waktu, sejak dulu hingga hari ini. Lalu ia pergi ke
ruang makan dan memakan apa yang dihidagkan malam itu. Tak apa ikan asin, ikan kepala batu,
telur ayam, cumi-cumi dan lagi lannya. Baginya semua itu sama saja, sama-sama rezeki dari
Allah hanya dalam bentuk, ukuran dan jumlah yang berbeda. Tapi Allah tetaplah masih cinta,
meski perut harus berisikan angin itu rezeki pula. Nikmat bila benar-benar dinikmati.
Lalu ia begegas shalat isya dan bercepat-cepat ia menuju balai pengajiaan. Tak mau ia
ketingalan ceramah Haji Hasan yang membuat ia membara-bara melakukan ibadah sebanyak-
banyaknya. Lagi cerita nabi-nabi yang membuat Minah sadar betapa beruntungnya ia tidak
mendapat cobaan seperti yang dirasakan para nabi.
Satu lagi keistimewaaan pengajian itu, suraunya nan sejuk ditiup angin pantai semakain
membuat ia berbetah-betah duduk disitu memelototi kitab yang dibawanya dari rumah. Lepas
pengajian ia kembali ke rumah berbincang dengan emak dan adiknya jika belum tidur atau duduk
di seberang tempat tidur memandangi langit malam lewat jendela yang dibuka lebar-lebar. Lalu
tidur dengan tidak lupa membaca do’a.
***
“Minah…….Minah……..” suara seseorang terdengar memburu di telinga Minah
Segera ia memutar kepalanya hamper seratus delapan puluh derajat dan bergegas mencari
asal suara yang menyapaya tadi, menyapu setiap inci tatapannya, hingga menemukan sesosok
pria dengan jala dibahunya. Lelaki yang berpakaian kotor tersebut lari terengah-engah
menghampiri Minah. Segera Minah ingin tahu apa gerangan lelaki yang tak dikenalnya, yang
berumur sekitar tiga puluh tahun ingin menemuinya. Ia lekas bertanya.
“Ada apa bang, tampaknya serius sekali memanggil-manggil saya”
“Itu Minah……itu…..”
“Itu apa?”
Lelaki itu hanya diam terpaku. Sepertinya ia sedang berpikir keras. Mencari suatu kata
yang cocok diucapkannya. Sial, begitu kelu mulutnya siang itu tak tahu apa yang harus ia
katakana lagi. Meski ia telah mengorek-ngorek isi memorinya tetap saja hampa. Ia tak bisa
berkata apa-apa.
“Ada apa…..? cepat katakan, nak beli cabe aku nih” Minah semakin penasaran
Laki-laki itu menarik nafasnya dalam-dalam. Pandangannya ditujukan pada pasir pantai,
tangannya yang sedari tadi bergetar coba ditenangkannya. Mulutnya yang dari tadi terkunci
mulai menganga sedikit.
Lelaki itu tertunduk “Abahmu meninggal dunia, Minah”
Tak butuh waktu lama, langsung saja air mata membanjiri pipi indahnya. Minah tertunduk
rapuh.
***
"Ini yang kau mau Minah, membiarkan abahmu kembali pada Allah tanpa melihat dan
menjadi wali bagi sulungnya yang mau menikah"
Aminah tertunduk tanpa jawaban.
"Kapan kau menikah? kapan kau bawa calonmu yang kau agung-agungkan itu? tunggu
Emakmu mati dulu kau baru mau menikah" amarah Emak sudah tak bisa ditahan lagi.
Aminah kembali tertunduk dan masih tanpa jawaban.
"Ya sudah kalau itu inginmu" Emak lalu pergi meninggalkan Aminah.
"Sebentar lagi, sebentar lagi, sebentar lagi mak............." teriak Aminah menggelegar.
***
Nenek itu masih duduk di beranda rumah panggungnya. masih seperti dulu, masih dengan
cercaan anak kecil sekitar kampung.
"Perawan tua..........................." cerca satu anak
"Ha.....ha ....ha....." diikuti yang lainnya
Nenek itu tetap saja diam seraya berkata dalam hati sebentar lagi ia akan kembali.
Tiada yang tahu tentang rahasia yang akan dibawa mati olehnya. Tentang sesosok lelaki
yang telah lari namun setia ia nanti, lelaki yang telah merebut kesucian bunga desa dibalik
rumpun semak sekitar pantai puluhan tahun lalu.

---___________

Anda mungkin juga menyukai