Tugas Makalah
Tugas Makalah
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Disusun Oleh :
Teknik Informatika
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul “Sumber
Ajaran Islam Al-Hadits” ini secara tepat waktu.
Al-Hadits merupakan salah satu sumber ajaran islam yang sering digunakan dan dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian Al-Hadits secara umum adalah segala perkataan (sabda),
perbuatan dan ketetapan serta persetujuan dari nabi Muhammad SAW yang dijadikan hukum dalam
agama Islam.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca, dan kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Terakhir, kami mengharapkan kritik dan saran
dari berbagai pihak demi perbaikan makalah ini.
Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur`an. Penetapan
hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an sendiri, kesepakatan
(ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Dalam Al-Quran ditekankan bahwa Rasulullah
SAW berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS.16:44). Karena itu apa yang
disampaikan Nabi Muhammad harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai Rasul harus diteladani
oleh kaum muslimin.
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum
didasarkan juga kepada sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional.
Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an
hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan
rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan
hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima. Diantara ayat-ayat yang menjadi bukti
bahwa hadits merupakan sumber hukum dalam Islam adalah sebagai berikut :
َّ ع
)80( … َّللا َ َ سو َل فَقَدْ أ
َ طا َّ َِم ْن ي ُِطع
ُ الر
"Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…"(An- Nisa':
80)
)7( … سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنت َ ُهوا َّ َو َما آَت َا ُك ُم
ُ الر
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah…" (QS. Al-Hasyr : 7)
Dalam Q.S AnNisa' 59, Allah berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…"
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya
berpedoman pada al-Qur'an dalam melaksanakan ajaran Islam, tetapi juga wajib berpedoman
kepada hadits Rasulullah SAW. Hal ini juga ditegaskan oleh Syaikh Al-Albani
bahwa syari'at Islam bukan hanya al-Qur'an saja, melainkan juga As-Sunnah. Barang siapa hanya
berpegang pada salah satunya, maka sama dengan tidak berpegang dengan keduanya, karena Al-
Qur'an memerintahkan untuk berpegang juga pada As-Sunnah demikian pula sebaliknya.
(manzilatus sunnahfil Islam, hal:14, MaktabahSyamilah).
Pengertian Sunnah jika dipandang dari sudut etimologi atau bahasa, sunnah berarti metode
atau jalan. Hal ini dapat disimpulkan dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
berbunyi,
Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana
dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagai mana disebutkan
dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya yakni
As-Sunnah” (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah
merupakan sumber kedua dalamsyari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara
ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan
lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas.
Imam Syafi’irahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata:
“Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad
apabila ada nash yang (shahih)”.
“Apa yang diperintahkan rasul, maka laksanakanlah, dan apa yang dilarang Rasul, maka
hentikanlah. (QS. al-Hasry : 7).
A. Sunnah Fi’liyyah
Sunnah fi’liyah adalah perbuatan nabi yang berdasarkan tuntunan rabbani untuk ditiru dan
diteladani yang kemudian dinukilkan oleh para sahabat. Seperti :
Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya melaksanakan shalat ( HR Bukhari dan
Muslim).
خذواعنى مناسككم
Artinya : Ambillah daripadaku cara – cara mengerjakan haji ( HR Muslim ).
B. Sunnah Qauliyyah
Sunnah qauliyah merupakan perkataan atau sabda Rasulullah SAW yang di dalamnya
menerangkan hukum-hukum agama dan maksud Al-Quran yang berisi peradaban, hikmah, ilmu
pengetahuan, dan akhlak. Sunnah qauliyah ini juga dinamakan khabar, hadits, atau sunnah. Salah
satu contohnya ialah hadits yang diriwayatkan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dia
menceritakan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ِ ِإنَّ َما ْاْل َ ْع َما ُل ِبال ِنِّيَّا
ٍ ت َو ِإنَّ َما ِل ُك ِِّل ْام ِر
ئ َما ن ََوى
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan apa
yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
2. Sunah qauliyah yang diragukan kebenarannya atau kesalahannya, karena tidak bisa
membedakan mana yang kuat, benar atau salah, orang yang meriwayatkan diragukan
kejujuran dan keadilannya, dst
3. Sunah qauliyah yang dianggap tidak benar sama sekali, seperti tidak masuk akal, khabar yang
menyalahi atau bertentangan dengan khabar mutawatir, dst.
C. Sunnah Taqririyah
Sunnah taqririyah merupakan pengakuan nabi dengan tidak mengingkari sesuatu yang
diperbuat oleh seorang sahabat ( orang tunduk dan mengikuti syara ) ketika dihadapan nabi atau
diberitakan kepada beliau, lalu nabi sendiri tidak menyanggah, tidak menyalahkan atau juga tidak
menunjukkan bahwa beliau meridhainya.
Perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu hukumnya sama dengan perkataan dan
perbuatan Nabi SAW sendiri yaitu dapat dijadikan hujjah ( ketetapan hukum), seperti ketika
sahabat melakukan shalat dibani Quraidhah, Nabi bersabda :
اليصلين احدكم االفى بنى قريظه
Artinya : Janganlah melaksanakan shalat seseorang diantara kalian kecuali di Bani
Quraidhah.
Pemaknaan hadits ini oleh kalangan sahabat dimaknai beragam, ada sahabat yang tidak shalat
ashar kecuali setelah mereka sampai di Bani Quraidhah, sebagian lagi memahami hadits tersebut
mengharuskan segera shalat ashar, agar setelah shalat segera sampai di bani Quraidhah.
A. Hadits Shahih
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-
sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-
Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah Hadits yang lafadznya selamat
dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.
Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan
maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan
iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya
dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan,
memahami maksudnya dan maknanya
Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau
dengan kata lain, tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi
hadits.
Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu
hadits)
Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.
B. Hadits Hasan
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkan secara istilah, para ulama
mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan
adalah Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang
muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada
nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.
At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan adalah Hadits yang
selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam
banyak jalan.
Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan adalah Hadits yang orang-
orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya.
Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu.
Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba’i dalam kalangan ulama Kufah
dan Atha’ bagi penduduk kalangan Makkah.
Jumhur ulama adalah Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat
ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan
matannya.
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat
orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu
diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
Klasifikasi Hadits Hasan
a) Hasan Lidzatih
Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-
sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat
padanya sydzudz dan illat. Di antara contoh hadits ini adalah:
Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi
setiap waktu shalat
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan
pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan
haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang
lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada
ada mu’adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada
‘Adhid, maka kedudukannya dhaif. Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW
membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari ‘Ashim bin Ubaidillah
dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa ‘Ashim ini dhaif lantaran lemah
hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li
ghairihi.
Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para
rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid. Hadits Shahih dan
Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul).
Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya,
naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat
pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang
lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.
C. Hadits Dhaif
Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih
atau hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para
ulama hadits untuk dijadikan dasar hokum. Penyebab tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu:
Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan
sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya.
Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan
hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah,
hukum thalaq dan lain-lain. Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha’if
untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a’mal, yaitu
untuktarghib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan
pelanggarnya).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha’if tidak bisa
digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-
Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun
menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah.
Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang
yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi
maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah
kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.
Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW:
Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu bukan
haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim)
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa
para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk
memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada
derajat maudhu’ (palsu). Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah.
Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita
memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.
Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh
menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif,
melainkan kita boleh menggunakan hadits dha’if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu
berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat.
A. Sanad
Sanad menurut bahasa berarti sandaran,yang dapat dipercayai atau dibuktikan. Sedangkan
menurut istilah, yakni jalan yang dapat menghubungkan matan hadist kepada Nabi Muhammad saw,
misalkan hadist yang diwirayatkan oleh bukhori berikut:
(ﺜﻼﺚﻤن ﮐنﻔيه: ﺤدﺜنا أيوﺐ عن أﺒﻯ قاﻼﺒﺔ عنانﺲعن اﻠنﺒﻯ ﺼﻠعم: ﺤدعﺒدالو ﻫاﺏ الﺸﻗفﻯقاﻞ:ﺤدشنا ﻤﺤمد نناﻠمشن ﻗاﻞ
و أنيﺤﺐ الرأﻻﷲ;و أن يﮑﻔرﮦ أنيعو دﻔى الﮑﻔر ﮐﻤا يﮑرﮦ أن%; أنيﮑوأ اﷲ وﺭ ﺴوﻠهأ ﺤﺐ إﻠيه ﻤماﺴو ﻫﻤا:وﺠدﺤﻼوﺓ اﻹ يﻤان
يقذﻒ ﻔىالنار) رواالﺑخﺤارﻯ
B. Matan
Menurut bahasa, matan berarti membelah, mengeluarkan, sedangkan menurut istilah ilmu hadis,
yaitu sebagai berikut.
ﻤا انتهى اليه الﺴند ﻤن الﮑلم ﻔهو نﻔﺲ الﺤديﺚ الذﻱ ذﮐر اﻻ ﺀﺴنادله
“perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda nabi saw yang disebut sesudah habis
disebutkan sanadnya.”
Contoh:
Dari Muhammad yang diterima dari abu salamah yang diterima dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullahsaw bersabda :” saandainya tidak akan memberatkan terhadap umatmu, niscaya aku suruh
mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) niscaya aku melakukan shalat.”(HR. Turmuzi).
C. Rawi
Rawi ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah
didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk jamaknya ruwah dan
perbuatannya menyampaikan hadist tersebut dinamakan me-rawi (meriwayat)-kan hadist
Contoh:
﴾﴿ﻤﮅﻔﻖعليه.عن امالﻤﺆ ﻤنينعاﺜﺸﺔ رﻀي اﷲ عنها قاﻠﺕقار ﺴو ﻠا ﷲ ﺼﻠعم ﻤن اﺤدﺙﻔي اﻤﺭنا ﻫذ اﻤاﻠيﺲ ﻤنه فهموردﱞ
‘Warta dari umul mukminin,’aisyah ra, ujurnya:’rasulallah saw telah bersabda:’barang siapa yang
mengada-adakan suatu yang bukan termasuk dalam urusan (agama) ku, maka ia tertolak’.”
D. Rijalul hadist
Rijalul hadist ialah tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang hadist yang diakui keabsahannya dalam
periwayatan hadist. Ilmu rijalul hadist yaitu :
.علم يﺒﺤﺚ ﻔيه عن روا ﺓ الﺤد يﺚ ﻤنالﺼﺤا ﺒﺔ والتا ﺒعين وﻤن ﺒعد ﻫم
ilmu yang membahas para perawi hadist, baik dari kalangan sahabat maupun tabiin dan orang-orang
(angkatan) sesudah mereka.
Study tentang rijalul hadist pada dasarnya meliputi hal-hal antara lain:
Namanya masing-masing, keadaan dan biografinya, laqak atau title dalam bidang hadist,
seperti dabit,adil dsb.
Guru-guru yang memberi atau menyampaikan hadist kepadanya.
Murid-muridnya yang menerima hadist dari dia.
Kedudukannya dalam ilmu hadist dan hasil karyanya dalam bidang hadist.
2.6 Sejarah Penulisan Hadits
Sejarah penulisan dan pembukuan hadits ini dibagi menjadi 4 periode, yaitu periode Nabi
Muhammad SAW , Periode sahabat, periode tabi’in, dan periode tabi’tabi’in.
Hadis pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal saja, tidak ditulis seperti Al-
Qur’an, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Selain memang di khawatirkan akan
bercampur dengan Al-Qur’an yang pada saat itu masih turun kepada Nabi Muhammad SAW
sedangkan kondisi penulisannya masih sagat sederhana, di tambah lagi para sahabat yang mampu
menulis pada awal islam masih sangat sedikit dan yang sedikit itu sudah difungsikan sebagai penulis
Al-Qur’an. Sehingga Rasulullah SAW menganggap cukup dengan mengandalkan ingatan para
sahabat yang kuat.
Diriwayatkan bahwa ada beberapa sahabat yang memiliki catatan hadis-hadis rasulullah
SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasullullah SAW.
Diantaranya adalah, Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-
Shadiqah. Ash-Shahifah ‘Ali, tulisan yang nabi perintahkan kepada Abi Syah pada masa Fathu
mekkah. Shahifah jabir tulisan Jabir bin Abdullah Al-Anshary.
2. Periode sahabat.
Pada masa Nabi SAW masih hidup, penulisan hadis hanyalah sebagai catatan pribadi bukan
penulisan resmi dari Rasulullah. Banyak bukti yang menunjukkan hal itu, misalnya surat-surat ajakan
masuk Islam dari Nabi Muhammad SAW yang ditujukan kepada para tokoh bangsa dan para raja,
atau tulisan-tulisan kesepakan perdamaian.
Pada masa Khulafaur Ar-Rasyidin ini, hukum pembolehan menulis hadis terjadi secara
berangsur-angsur. Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan hadis tetapi digagalkan karena
khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Umar bin Khathab juga
pernah berkeinginan dan mencoba untuk menghimpunya tetapi setelah bermusyawarah dan
beristikharah selama satu bulan Umar timbul kekhawatiran kalau-kalau umat Islam akan
meninggalkan Al-Qur’an dan mengganti-Nya dengan kalam mereka sendiri, atau akan menulis
biografi nabi dan menempatkannya menjadi kitab mereka, sebagaimana kelakuan orang-orang
yahudi dan nashroni.
Dari keterangan di atas sebenarnya pada masa sahabat ini, penulisan hadis telah banyak
terjadi, namun masih belum ada yang secara resmi berdasarkan intruksi dari khalifah.
3. Periode Tabi’in
Pada masa ini disebut sebagai masa pengkodifikasian hadis. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
yakni yang hidup pada abad 1 H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadis,
karena beliau khawatir lenyapnya ajaran–ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama baik dari kalangan
sahabat maupun tabi’in. Maka beliau mengintruksikan kepada gubernur di seluruh wilayah negeri
islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis.
Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri atau yang lebih terkenal dengan Az-Zuhri
dinilai orang yang pertama kali dalam melaksanakan tugas pengkodifikasian hadis dari khalifah.
Penkodifikasian ini terjadi pada tahun 100 H dibawah pengawasan khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Maksudnya awal pengkodifikasian secara resmi atas perintah Khalifah karena melihat sejak zaman
rasul pun sebenarnya sudah pernah terjadi akan tetapi tidak formal.
Tulisan-tulisan hadis pada awal masa islam sangatlah penting untuk bukti sejarah serta
dokumentasi ilmiah. Selain itu untuk membuktikan bahwa pada masa Rasulullah SAW sudah ada
penulisan hadis walaupun masih belum formal seperti masa tabi’in ini.
Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu ialah Abu Bakar
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az Zuhry, seorang tabi’in yang ahli dalam urusan
fikih dan hadits. Kitab hadits yang ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama
yang ditulis atas perintah kepala negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan
semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Sedangkan yang
membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah, dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Muslim
bin Syihah az Zuhry yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits di
masanya. Kemudian dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran
Abu Abbas as Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah abbasiyah. Sedangkan kitab yang
paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a.
ats permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H ( 143 H ). Kitab al
Muwaththa’ dianggap paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi daripada kitab-kitab
sebelumnya.
Periode ini adalah pngikut Tabi’in yakni pada abad ke 3 H yang disebut ulama dahulu atau
salaf. Sedangkan ulama pada abad berikutnya abad ke 4 H dan setelahnya disebut ulama belakangan
atau kalaf. Pada periode ini disebut sebagai masa kejayaan hadis karena pada masa ini kegiatan
rihlah mencari ilmu dan sunah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang pesat.
Seolah-olah pada periode ini semua hadis telah terhimpun semua.
Dari latar belakang tersebut maka lahirlah buku induk enam. Maksud buku induk hadis enam
ialah buku-buku hadis yang dijadikan pedoman oleh para ulama ahli hadis, enam kitab itu antara lain
:
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa ini ulama hadis
telah berhasil memisahkan hadis nabi dari yang hadis atau dari hadis nabi dari perkataan sahabat atau
fatwanya dan dapat terfilterisasi antara hadis yang shahih dengan yang bukan hadis. Sehinggah
seolah-olah pada masa ini hampir seluruh hadis terhimpun dalam 1 buku, hanya sebagian kecil saja
dari hadis yang belum terhimpun. Dan pada masa berikutnya mulai diadakan tindak lanjut dengan
penghimpunan dan penertiban agar ilmu hadis menjadi lebih sempurna.
2.7 Kitab-kitab Hadits
1. Kitab Al-Jami’
Menurut etimologinya, al-Jami’ artinya “yang menghimpun” sehingga dapat dipahami bahwa
kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun banyak hal. Karena itulah menurut isrilah ulama
hadits, pengertian kitab al-Jami’ ada dua macam, yaitu:
a. Dilihat dari segi pokok kandungan hadits yang dihimpunnya, pengertian kitab al-Jami’
adalah kitab hadits yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua
pembahasan agama. Diantaranya masalah iman, thaharah, ibadah, mu’amalah,
pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah dan lain sebagainya.
Inilah yang membedakan antara kitab al-Jami’ dan kitab al-Musannaf. Karena hanya
disusun berdasarkan permasalahan tertentu dan umumnya adalah mengenai persoalan
fikih, sedangkan al-Jami’ labih umum.
b. Dilihat dari segi sumber rujukan hadits-hadits yang dihimpunnya, pengertian kitab al-
Jami’ adalah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang berasal dari kitab-kitab hadits
yang telah ada.
Hanya saja secara umum, kitab al-Jami’ dimaknai dalam pengertiannya yang pertama yaitu
kitab disusun berdasarkan bab dan mencakup hadits-hadits dari berbagai sendi ajaran islam.
Sebagai contoh kitab al-Jami’ adalah kitab Sahih al-Bukhari (194-256 H), kitab tersebut ia
beri nama “al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min umuri Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi
wa sallama wa sunanihi wa ayyamihi”. Kitab tersebut dinamakan al-Jami’ karena di dalamnya
mencakup masalah yang beraneka ragam, termasuk persoalan hukum, politik, dan sebagainya.
2. Kitab As-Sunan
Yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan bab-bab tentang fiqhi dan hanya memuat hadits-
hadits yang marfu’ saja agar dijadikan sumber bagi para Fuqaha dalam mengambil sebuah
kesimpulan. As-Sunan tidak terdapat pembahasan tentang Sirah, Aqidah, Manaqib, dan lain-lain.
As-Sunan hanya membahas masalah fiqhi dan hadits-hadits hukum saja. Al-Kittana mengatakan
bahwa susunan kitab sunan berdasarkan bab-bab tentang fiqhi mulai bab tentang Iman, Tharah,
Shalat, Zakat, Puasa, Haji, dan seterusnya.
Kitab-kitab sunan yang terkenal adalah: Sunan Abu Daub karya Sulaiman Bin Asy’ast As-
Sijistani(W 275 H), Sunan An-nasa’I karya Abdurrahman Ahmad Bin Syu’aib An-nasa’I(W 303
H) dan lain-lain.
3. Kitab Al-Mushannaf
Menurut istilah ahli hadis mushannaf adalah sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan
bab-bab fiqhi, yang didalamnya terdapat hadis marfu’, mauquf, dan maqtu’. Karena mushannaf
adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan kitab fiqih, maka Muwatta’ termasuk didalamnya.
Salah satu contoh hadis yang menggunakan metode ini adalah kitab al muwatta’ karya Imam
Malik. Secara eksplisit tidak ada pernyataan yang tegas tentang metode yang dipakai oleh Imam
Malik dalam menghimpun kitabnya al muwatta’, namun secara implicit dengan melihat paparan
Imam Malik dalam kitabnya dapat diketahui bahwa metode yang ia gunakan adalah metode
mushannaf atau muwatta’.
Disamping itu Imam Malik juga menggunakan tahapan-tahapan penyeleksian terhadap hadis-
hadis yang disandarkan kepada nabi, kepada sahabat atau fatwa sahabat, fatwa tabi’in, ijma' ahli
Madinah, dan pendapat Imam Malik sendiri. Dalam hal ini ada empat kriteria yang diutarakan
oleh Imam Malik dalam mengkritisi para periwayat hadis yaitu:
1. Periwayat hadis bukan orang yang berprilaku jelek
2. Bukan ahlul bid’ah.
3. Bukan orang suka berdusta.
4. Bukan orang yang tau ilmu tapi enggang mengamalkannya.
Meskipun Imam Malik telah berusaha seselektif mungkin dalam memfilter hadis-hadis yang
ia terima untuk dihimpun, tetap saja ulama hadis berbeda pendapat dalam memberikan penilaian
terhadap kualitas hadis-hadisnya. Misalnya Sufyan bin Uyainah dan al Suyuti mengatakan
seluruh hadis yang diriwayatkan oleh imam Malik adalah sahih karena diriwayatkan dari orang-
orang yang dapat dipercaya.
Abu Bakar Al Abhari berpendapat tidak semua hadis dalam kitab al muwatta’ sahih, ada yang
mursal, mauquf, dan maqtu’. Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kitab All Muwatta’ terdapat
300 hadis mursal dan 70 hadis dhaif. Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat bahwa didalamnya
terdapat hadis mursal bahkan hadis mungqati’.
4. Kitab Al-Mustadrak
Penyusun kitab al mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak
dimuat didalam kitab-kitab hadis sebelumnya, padahal hadis itu shahih menurut syarat yang
dipergunakan oleh ulama tersebut. Salah satu kitab Mustadrak yang terkenal adalah al Mustadrak
ala Shahihaini karya al Hakim al Naisabury (321-405 H).
5. Kitab Al-Mustakhraj
Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhary atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian sipenyusun meriwayatkan
matan-matan hadis tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. Misalnya: mustakhraj shahih
bukhary susunan Al Jurjaniy.
6. Kitab Al-Musnad
Sebuah kitab hadis dinamakan musnad apabila ia memasukkan semua hadis yang pernah ia
terima dengan tanpa menerangkan derajat ataupun nyaring hadis-hadis tersebut. Kitab musnad
berisi tentang hadis-hadis kumpulan hadis, baik itu hadis shahih, hasan dhaif. Atau kitab hadis
yang disusun menurut nama rawi pertama yang menerima dari Rasul selanjutnya sampai pada
perawi terakhir.[10] Mencari suatu hadis dalam kitab ini sangatlah rumit, tapi dengan terbitnya
Tiftah Kunusi, al-Mu’jam al-Mufahrasy dan Taysirul Manfaah, maka kesukaran itu pun hilang.
Al-masanid yang dibuat oleh para ulama hadis sangatlah banyak. Menurut al-Kattani
jumlahnya sebanyak 82 musnad dan menurutnya lebih banyak dari itu. Adapun Musnad yang
terkenal adalah : Musnad Imam Ahmad Bin Hambal (W 241 H), Musnad Abu Dawud Sulaiman
Bin Dawud Ar-rashili (W 204 H), Musnad Abu Bakar Abdullah Bin Azzubair Al-humaidy (W
219 H), dan lain-lain.
7. Kitab Al-Mu’jam
Mu’jam disusun mengikut tertib huruf ejaan, atau mengikut susunan nama guru-guru mereka.
Nama guru-guru mereka juga disusun mengikut ejaan nama atau laqob mereka. Mu’jam juga
hanya mengumpulkan Hadis-hadis Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tanpa melihat
kwalitas Hadis-hadisnya.
Contoh kitab-kitab mu’jam ialah Mu’jam Tabrani, Mu’jam kabir, Mu’jam as-Sayuti, dan
Mu’jam as-Saghrir, Mu’jam Abi Bakr, ibn Mubarak, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengertian Hadits, Pengertian Al Hadits yang dikemukakan oleh Jumhurul-Muhadditsin ialah
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
pernyataan ( taqrir) dan yang sebagainya, sedangkan pengertian Sunnah jika dipandang dari
sudut etimologi atau bahasa, sunnah berarti metode atau jalan.
Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas,
dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagai mana
disebutkan dalam sabda Rasulullah.
Macam-macam Sunnah :
a. Sunnah Qauliyah , yaitu perkaataan dan ucapan Nabi, dan bagian ini dapat
dipastikan benar ataupun tidaknya, karena kita tidak dapat menganalisis isi
kandungannya.
b. Sunnah Fi’liyyah, yaitu perbuatan dan tindakan-tindakan Rasulullah SAW.
c. Sunnah taqririyyah, yaitu sikap, penerimaan, dan pembenaran Nabi secara diam-
diam terhadap perkataan atau perbuatanyang dilakukan oleh para sahabat di muka
beliau.
Tingkatan hadits :
a. Hadits Shahih
Suatu hadits dapat dikatakan shahih apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Semua rawinya adil
Semua rawinya sempurna ingatan
Sanadnya bersambung-sambungan tidak putus
Tidak ber’illat (cacat tersembunyi)
Tidak janggal
b. Hadits Hasan
Pada hadits shahih ingatan atau daya hafalannya harus sempurna sedangkan pada
hadits hasan ingatan atau daya hapalannya kurang sempurna. Dengan kata lain
bahwa syarat-syarat hadits hasan dapat dirinci sebagai berikut:
Sanadnya bersambung
Perawinya adil
Perawinya dhabit, tetapi kedhabitannya di bawah kedhabitan perawi hadits
hasan
Tidak terdapat keganjalan
Tidak ada illat
c. Hadits Dha’if
Menurut lughat, dha’if adalah yang lemah, lawan “qawi” yang kuat. Hadits dha’if
bermacam-macam, dan kedhaifannya bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah
keguguran syarat hadits shahih atau hadits hasan, baik mengenai rawi, sanad, atau
matan.
Istilah dalam ilmu hadits
a. Sanad adalah Sanad menurut bahasa berarti sandaran,yang dapat dipercayai atau
dibuktikan. Sedangkan menurut istilah, yakni jalan yang dapat menghubungkan matan
hadist kepada Nabi Muhammad saw.
b. Matan menurut bahasa, matan berarti membelah, mengeluarkan.
c. Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang
pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya).
d. Rijalul hadist ialah tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang hadist yang diakui
keabsahannya dalam periwayatan hadist.
Sejarah penulisan dan pembukuan hadits ini dibagi menjadi 4 periode, yaitu periode Nabi
Muhammad SAW , Periode sahabat, periode tabi’in, dan periode tabi’tabi’in.
Kitab-kitab Hadits
a. Kitab Al-Jami’
b. Kitab As-Sunan
c. Kitab Al-Mushannaf
d. Kitab Al-Mustadrak
e. Kitab Al-Mustakhraj
f. Kitab Al-Musnad
g. Kitab Al-Mu’jam