Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada setiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid. 1
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter
sehari – hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan
tersering diseluruh dunia. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus
paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Yang paling sering terkena infeksi adalah sinus etmoid dan maksila,
sedangkan sinus frontal dan sinus sfenoid lebih jarang.1
Faktor predisposisi sinusitis adalah ISPA akibat virus, bermacam rinitis
terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-
meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin, dan
kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama – kelamaan menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia1,2.
Rinosinusitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa bentuk, yaitu
berdasarkan bagaimana proses infeksinya, lamanya proses, lokasi proses dan
peranan mikrobiologi seperti virus, bakteri dan jamur. Sinusitis dapat disebabkan
oleh faktor dari hidung (rinogen), gigi (dentogen), dan hematogen (sistemis)3.
Menurut Global Research In Allergy (2009), insidensi rinosinusitis di
Amerika pada tahun 1997 yaitu sekitar 14,7% atau 31 juta kasus per tahun,
dengan angka kejadian yang meningkat dalam kurun waktu 11 tahun terakhir.
Rinosinusitis juga menyumbang sekitar lebih dari 21 juta resep antibiotik dan
merupakan peringkat ketiga diagnosis yang membutuhkan peresepan antibiotik.
Penelitian yang diadakan di Jerman pada tahun 2001 juga memaparkan bahwa
angka kejadian rinosinusitis akut sebesar 6,3 juta orang dengan peresepan obat

1
untuk rinosinusitis akut sekitar 8,5 juta resep, sedangkan angka kejadian
rinosinusitis kronis sebesar 2,6 juta dan 3,4 juta peresepan obat diberikan untuk
rinosinusitis kronis4.
Rinosinusitis akut dan kronis mempunyai prevalensi yang cukup tinggi di
masyarakat. Pada tahun 1999 bagian ilmu kesehatan anak Dr. Cipto
Mangunkusomo menunjukkan prevalensi sinusitis maksila cukup tinggi pada
penderita infeksi saluran pernafasan atas anak yaitu sebanyak 25%, sedangkan
pada sub bagian rinologi THT FK UI, juga menunjukkan angka kejadian sinusitis
yang tinggi yaitu sebanyak 248 pasien (50%) dari 496 pasien rawat jalan yang
datang pada tahun 1996.3
Pada kasus yang tidak tertangani dengan baik, yaitu jika terapi tidak
berhasil karena adanya faktor predisposisi sehingga inflamasi terus berlanjut,
dapat menyebabkan terjadinya hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista1.
Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan
dapat mempengaruhi kualitas hidup, maka pengetahuan yang memadai mengenai
rinosinusitis diperlukan untuk penegakan diagnosa dan terapi yang tepat serta
rasional sehingga penulis tertarik untuk menulis laporan kasus mengenai
rinosinusitis.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
- Nama : Nn. E.D
- Umur : 14 tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Alamat : kelurahan Koto Patah Kerinci
- Agama : Islam
- Pekerjaan : Pelajar
- Pendidikan : SLTP
- Register : 7529878

II. ANAMNESIS
(Autoanamnesis, Tgl : 23 Juni 2014)

Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan hidung sebelah kanan tersumbat sejak 4 minggu yang
lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit


± 4 minggu yang lalu pasien mengeluh hidung kanannya tersumbat
sehingga pasien merasa kesulitan bernapas. Keluhan ini dirasakan lebih
berat pada saat pagi dan malam hari. Pada saat cuaca dingin, pasien bersin-
bersin bisa lebih dari 3 kali. Keluhan bersin berkurang saat siang hari.
Bersin tidak dipengaruhi oleh asap/ rokok, bau yang menyengat dan stres.
Pasien juga mengeluhkan adanya cairan dari hidung sejak 4 minggu
belakangan, cairan berupa ingus berwarna hijau kekuningan. Pasien juga
merasa cairan dari hidung yang masuk ke tenggorokan. Selain itu 3 hari
belakangan, pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pipi kanan. Nyeri pada
pipi dirasakan juga menjalar ke gusi dan mata pasien juga terasa pedih dan

3
nyeri. Nyeri kepala juga sering dirasakan, namun hilang timbul bersamaan
dengan berat ringannya hidung yang tersumbat.
Pasien mengatakan, tidak pernah mimisan, tidak ada nyeri hidung,
tidak ada gangguan penciuman, tidak ada riwayat masuknya benda asing ke
hidung, telinga berdenging (-), telinga keluar cairan (-), batuk (-), demam (-
).
Kebiasaan merokok atau berada di lingkungan berpolusi (-). Riwayat
alergi debu (-), makanan (-).

Tabel.1 Anamnesis Pasien


TELINGA HIDUNG TENGGOROK LARING
Gatal : -/- Rinore : +/- Sukar Menelan : - Suara parau : -
Dikorek : -/- Buntu : +/- Sakit Menelan : - Afonia : -
Nyeri : -/- Bersin Trismus :- Sesak napas : -

Bengkak : -/- * Dingin/Lembab : + Ptyalismus : - Rasa sakit : -


Otore : -/- * Debu Rumah :- Rasa Ngganjal : - Rasa ngganjal : -
Tuli : -/- Berbau : +/- Rasa Berlendir : -
Tinitus : -/- Mimisan : -/- Rasa Kering : -
Vertigo : -/- Nyeri Hidung : +/-
Mual : - Suara sengau : -
Muntah : -

Riwayat Pengobatan
Pasien sudah berobat ke Puskemas 2 kali. Pasien merasakan perbaikan,
namun saat obat habis keluhan muncul lagi. Pasien tidak tahu nama obat
yang diberikan padanya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan seperti ini sebelumnya: disangkal
Polip : disangkal

4
Infeksi tonsil : disangkal
Asma : disangkal
Hipertensi : disangkal
Diabetes Melitus : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Kesadaran : compos mentis
 Pernapasan : 20 x/menit
 Suhu : afebris
 Nadi : 82 x/menit
 TD : 120/70 mmHg
 Anemia : -/-
 Sianosis :-
 Stridor inspirasi :-
 Retraksi suprasternal :-
 Retraksi interkostal :-
 Retraksi epigastrial :-
a) Telinga

Daun Telinga Kanan Kiri


Anotia/mikrotia/makrotia - -
Keloid - -
Perikondritis - -
Kista - -
Fistel - -
Ott hematoma - -

5
Liang Telinga Kanan Kiri
Atresia - -
Serumen prop Minimal Minimal
Epidermis prop - -
Korpus alineum - -
Jaringan granulasi - -
Exositosis - -
Osteoma - -
Furunkel - -
Membrana Timpani Kanan Kiri
Hiperemis - -
Retraksi - -
Bulging - -
Atropi - -
Perforasi - -
Sekret - -
Refleks Cahaya dbn Dbn
Retro-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -
Pre-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -

6
b) Hidung

Rinoskopi Anterior Kanan Kiri


Vestibulum nasi Sekret (-), bisul (-) Sekret (-), bisul (-)
Edema mukosa (+), Edema mukosa (-),
Kavum nasi sekret (+), krusta(-), Sekret (-), krusta (-),
hiperemis (+) hiperemis (-)
Selaput lendir Dbn Dbn
Septum nasi Deviasi (-)
Lantai dasar hidung Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Hipertrofi (+), livida (-), Hipertrofi (-), livida (-),
Konka inferior
permukaan rata. permukaan rata
Meatus nasi inferior Dbn Dbn
Polip - -
Korpus alineum - -
Massa tumor - -

Rinoskopi Posterior Kanan Kiri


Kavum nasi
Selaput lendir
Koana
Septum nasi
Konka superior Sulit dinilai
Adenoid
Massa tumor
Fossa rossenmuller

Transiluminasi Sinus Kanan Kiri


Sinus Maksilaris sulit dinilai sulit dinilai

Sinus Frontalis sulit dinilai sulit dinilai

Nyeri tekan di infraorbital D(+)/S (-), di supraorbital D /S (-).

7
c) Mulut

Hasil
Selaput lendir mulut Dbn
Bibir Sianosis (-), pecah-pecah (-)
Lidah Atropi papil (-), tumor (-), ulkus (-)
Gigi atas : karies (-)
Gigi
Gigi bawah : karies (-)
Kelenjar ludah Dbn, ptyalismus (-)

d) Faring

Hasil
Uvula Bentuk normal, terletak ditengah
Palatum mole Hiperemis (-), masa (-)
Palatum durum Hiperemis (-)
Plika anterior Hiperemis (-)
Dekstra : tonsil T1, hiperemis (-),
permukaan rata, kripta tidak melebar
detritus (-)
Tonsil
Sinistra : tonsil T1, hiperemis (-),
permukaan rata, kripta tidak melebar
detritus (-)
Plika posterior Hiperemis (-)
Mukosa orofaring Hiperemis (-), granula (-)

e) Laringoskopi indirect

Hasil
Pangkal lidah
Epiglottis
Sinus piriformis
Sulit dinilai
Aritenoid
Sulcus aritenoid
Corda vocalis

8
Massa

f) Kelenjar Getah Bening Leher

Kanan Kiri
Regio I Dbn Dbn
Regio II Dbn Dbn
Regio III Dbn Dbn
Regio IV Dbn Dbn
Regio V Dbn Dbn
Regio VI Dbn Dbn
area Parotis Dbn Dbn
Area postauricula Dbn Dbn
Area occipital Dbn Dbn
Area supraclavicula Dbn Dbn

g) Pemeriksaan Nervi Craniales

Kanan Kiri
Nervus III, IV, VI Dbn Dbn
Nervus VII Dbn Dbn
Nervus IX Dbn
Regio XII Dbn
IV. PEMERIKSAAN AUDIOLOGI

Tes Pendengaran Kanan Kiri


Batas atas batas
Mendengar pada semua frekuensi
bawah
Tes berbisik Tidak dilakukan
Tes rinne + +
Tes weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Tes schwabach Sama dg pemeriksa/N Sama dg pemeriksa/N

9
 Kesimpulan : Fungsi Pendengaran dalam batas normal

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologi: disarankan untuk melakukan berupa Rontgen posisi Waters

VI. DIAGNOSIS
Rinosinusitis maksilaris akut dextra

VII. DIAGNOSIS BANDING


1. Rinitis Vasomotor
2. Rhinitis akut dengan infeksi sekunder

VIII. PENATALAKSANAAN
 Terapi
 Antibiotik : Amoksisilin 3 x 500 mg
 Dekongestan : Ephedrin HCl 3 x 25 mg
 Analgetik : Asam Mefenamat 3 x 500 mg

 KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)


1. Hindari faktor pencetus : suhu ruangan jangan terlalu dingin pada saat
pagi dan malam hari.
2. Jika cuaca terlalu dingin, mandi dengan air hangat.
3. Jaga kebersihan mulut dan gigi.
4. Makan makanan yang cukup gizi untuk menjaga imunitas tubuh.
5. Jika pilek, ingus harus cepat dibuang, buang ingus dengan benar. Tutup
hidung kiri, untuk membuang ingus kanan. Jangan terlalu berlebihan
memberi tekanan saat membuang ingus.

IX. PROGNOSA
Quo ad vitam : bonam

10
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

BAB III

11
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal


3.1.1 Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frotal,
sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung1-3.

Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal

3.1.2 Embriologi Sinus Paranasal


Embriologi pembentukan kavum nasi dan sinus dibagi menjadi dua tahap.
Tahap pertama, perkembangan kepala embrio ke pembentukan struktur pada
kavum nasi. Tahap kedua, dinding lateral kavum nasi mengalami invaginasi
dengan membentuk kompleks lipatan, yang disebut konka dan kemudian
pembentukan rongga yang dikenal sebagai sinus. Selama kehamilan bulan ke – 4
sampai ke 8, dalam perkembangan embrio akan membelah kavum nasi sebagai
frontonasal dan pertautan maksila. Prosesus frontonasal akan meluas melewati

12
pembentukan forebrain, yang kemudian akan mempengaruhi pembentukan
plakoda olfaktorius hidung. Tonjolan bagian lateral dan medial hidung
berkembang dari lekukan plakoda olfactorius hidung, kemudian proses ini
berlanjut dengan pembentukan bagian atas maksila dan filtrum1,3.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian portero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun1.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal,
sinus maksila, dan sinus etmoid anterior yang bermuara pada meatus media.
Kelompok posterior terdiri dari sinus etmoid posterior bermuara pada meatus
superior dan sinus sfenoid yang bermuara pada resesus sfenoethmoidalis1,2.

3.1.3 Sinus Maksilaris


Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus
maksilaris bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa, dengan panjang
38-45 mm, tinggi 36-45 mm, dan lebar 25-33 mm. Sinus maksilaris berbentuk
piramid dengan bagian puncak menghadap ke lateral dan meluas ke arah prosesus
zygomaticus dari maksila. Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu :1-3
1. Dinding anteriornya adalah permukaan facial os maksilaris yang disebut fossa
kanina.
2. Dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila.
3. Dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung. Ostium sinus
maksilaris berada di superior dinding medial sinus selanjutnya bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
4. Dinding superiornya adalah dasar orbita.

13
5. Dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum.
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus
yang sering terinfeksi oleh karena:1
1. Merupakan sinus paranasal yang terbesar.
2. Letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase
dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia.
3. Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga
infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksilaris.
4. Ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris
yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
5. Dasar dari sinus maksila berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar 1, premolar 2, molar 1, dan molar 2. Kadang-kadang juga berdekatan
dengan akar gigi taring dan molar 3. Akar gigi tersebut dapat menonjol
kedalam sinus. Karena letaknya yang berdekatan, bila terjadi infeksi pada gigi
dapat menyebar ke dalam sinus. Infeksi pada gigi molar paling sering
menyebabkan terjadinya sinusitis maksila. Kadang terjadi sinusitis maksila
karena tindakan iatrogenik pada infeksi gigi.

3.1.4 Sinus Frontal


Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan
keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai
ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus ini berukuran tinggi 2,8 cm, lebar
2,4 cm, dan dalam 2 cm. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang
terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. Sinus
frontal terletak di antara eksternal dan internal wajah tulang frontal. Sinus frontal
kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di
garis tengah. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fossa serebri posterior. Adanya infeksi pada sinus frontal dapat menyebar ke
daerah ini. Biasanya infeksi ditandai dengan menghilangnya gambaran septum
atau lekukan pada dinding sinus pada pemeriksaan rontgen1,2.

14
3.1.5 Sinus Etmoid
Sinus etmoid berbentuk seperti piramid dengan dasar disebelah posterior.
Dindingnya sangat tipis sehingga bila terjadi infeksi dapat menyebar ke rongga
sekitar. Ukuran sinus ini dari anterior ke posterior 4-5 cm, lebar bagian anterior
0,5 cm, lebar bagian posterior 1,5 cm dan tinggi 2,4 cm. Sinus etmoid terletak
diantara konka nasi media dan dinding medial orbita. Sinus ini berongga-rongga
terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon. Sinus etmoid terdiri dari 2
bagian yang letak muaranya berbeda. Pada sinus etmoid anterior, akan bermuara
ke meatus nasi medius, sedangkan pada sinus etmoid posterior akan bermuara ke
meatus nasi superior. Sel-sel dari sinus etmoid anterior berukuran kecil dan
banyak, terletak didepan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka
media dengan dinding lateral (lamina basalis). Sel-sel dari sinus etmoid posterior
biasanya berukuran lebih besar dan lebih sedikit, terletak di posterior lamina
basalis. 1,2
Sinus etmoid sangat penting karena dapat menjadi fokus infeksi dari sinus-
sinus lainnya. Pada bagian terdepan sinus etmoid terdepan sinus etmoid terdapat
resessus frontalis, yang merupakan bagian sempit dan berhubungan dengan sinus
frontal. Bila terdapata pembengkakan atau peradangan pada daerah ini dapat
menyebabkan sinusitis frontalis. Di daerah sinus etmoid anterior terdapat
infundibulum yang merupakan suata penyempitan dan merupakan tempat
bermuaranya sinus maksila. Bila terdapat peradangan atau pembengkakan pada
daerah ini dapat menyebabkan sinusitis maksila1,2.

3.1.6 Sinus Sfenoid


Sinus sphenoid memiliki volume yang bervariasi antara 5 ml sampai 7,5
ml. Sinus sphenoid memiliki tinggi 2 cm, lebar 1,7 cm, dan dalam 2,3 cm. Sinus
ini terletak di dalam os sphenoid di belakang sinus etmoid posterior. Di sebelah
superior, sinus sphenoid berbatasan dengan fossa serebri media dan kelenjar
hipofisis. Pada sebelah inferior berbatasan dengan dinding nasofaring. Fossa
serebri posterior di daerah pons akan berbatasan dengan sinus sphenoid di bagian

15
posterior. Di sebelah lateral sinus sphenoid berbatasan dengan sinus cavernosus
dan arteri carotis interna1,2.

3.1.7 Kompleks Ostio-Meatal


Sinus paranasal (SPN) merupakan gabungan dari pasangan kavitas yang
semuanya bermuara ke hidung melalui ostia sinus. Beberapa saluran ostia pada
meatus medius menuju KOM (Kompleks Osteomeatal) sebagai fokus patologi.
Walaupun peranan anatomi SPN sesungguhnya masih diragukan, normalnya
kemampuan SPN untuk membersihakan sekresi mukus dipengaruhi oleh 3 faktor:
patensi ostial, fungsi siliar dan konsistensi mukus itu sendiri.
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
sinus maksila. Struktur lain yang juga merupakan KOM adalah sel agger nasi,
prosesus unsinatus, bula etmoid, hiatus semilunaris inferior dan konka media.
Secara fungsional, KOM berperan sebagai jalur drainase dan ventilasi
untuk sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Jika terjadi obstruksi pada celah
yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada
sinus-sinus yang terkait1,2,5.

Gambar 2. Kompleks Ostio-meatal


3.1.8 Sistem Mukosiliar

16
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya.
Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari
sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di
infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustachius.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah
sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum
tentu ada sekret di rongga hidung.

Gambar 3. Mukosiliar Klirens

3.1.9 Fisiologi Sinus Paranasal


Sampai saat ini fungsi sinus paranasal belum diketahui secara pasti. Ada
yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa,
karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Berdasarkan teori
yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:1-3,5
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

17
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan
mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah
karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan
rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000
volume sinus pada tiap kali bernapas, sehingga diperlukan berapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan
tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan
organ-organ yang dilindungi.
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi bila udara didalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberi pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.
4. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus
dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
6. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

18
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

3.2 Rhinosinusitis
3.2.1 Definisi
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau
dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Rinosinusitis adalah
penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal. Peradangan
ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena keadaan tertentu berkembang
menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di
saluran napas bagian atas. Bila mengenai beberapa sinus disebut dengan
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Paling sering mengenai sinus maksila, sinus ini disebut juga antrum
Highmore, karena letaknya dekat akar gigi rahang atas.1-3,5,6

Gambar 4. Perbedaan Sinus normal dan sinusitis

3.2.2 Klasifikasi
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut
dengan batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus
tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara
4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan1,3.

19
Awalnya, 7-10 hari ini merupakan gejala virus biasa, kecuali jika gejala
memburuk dan menimbulkan komplikasi. Jika gejala tetap ada dan tidak
meningkat dalam 10 hari, Rinosinusitis akut butuh perhatian lebih. Disebut
Rinosinusitis kronis ketika gejala bertahan selama lebih dari 12 minggu.
Terkadang juga dapat timbul gejala eksaserbasi akut. Rinitis alergi dapat
memunculkan gambaran klinis yang mirip dan harus dikenali kapan gejala
mnculmesikun dengan atau tanpa purulen.
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan
dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya
faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas1,3.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis
akut adalah streptococcus pneumonia (30-50%). Hemophylus influenzae (20-
40%) dan moraxxela catarrhalis (4%). Pada anak, M. Catarrhalis lebih banyak
ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan tetapi
umumnya bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri negatif gram dan
anaerob1,3.
Sinusitis Dentogen, merupakan salah satu penyebab penting sinusitis
kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang
atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan
akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas
seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah
menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai
satu sisi dengan ingus purulen dan nafas berbau busuk. Untuk mengobati
sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian
antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali diperlukan irigasi sinus
maksila1,2,3,6.

20
3.2.3 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi penyebab sinusitis, antara
lain:1,3-5
1. ISPA akibat virus
2. Rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil
3. Polip hidung
4. Kelainan anatomi; deviasi septum dan hipertrofi konka
5. Sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM)
6. Infeksi tonsil
7. Infeksi gigi
8. Kelainan Imunologik, diskinesia silia pada sindroma Kartegener
9. Luar negeri; penyakit fibrosis kistik.
Etiologi Rinosinusitis masih banyak diperdebatkan dan sedang dalam
penelitian. Hipotesis patogenesis terbaru dikarenakan adanya berbagai faktor
(multifaktorial). Beberapa faktor dapat menimbulkan iritasi mukosa sinus
sehingga terjadi inflamasi, edem, proliferasi bakteri, obstruksi aliran keluar
(outflow) dan disfungsi mukosa sinus.

Pernah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara Rhinosinusitis


dengan kondisi alergi khususnya Rhinitis. Studi menunjukkan bahwa pasien
dengan rinitis alergi musiman/persisten, mempunyai temuan radiologi berupa
gambaran penyakit sinus yang lebih khas. Lebih lanjut, pasien Rinosinusitis yang
bersamaan juga mengalami rinitis alergi, jika dilakukan pembedahan maka
memiliki perbaikan yang signifikan dalam jangka panjang.

21
Gambar 5. Perkembangan Rinosinusitis pada pasien dengan Rinitis Alergi

Peranan mikroba pada Rinosinusitis masih kontroversial. Sinus paranasal


betul-betul harus diperhatikan kesterilannya, karena jika tidak, maka SPN dapat
menjadi rumah bagi kumpulan bakteri-bakteri yang dapat menimbulkan
Rinosinusitis.

Ditemukan studi terbaru bahwa lebih dari setengah pasien Rinosinusitis


kronis yang diujikan, menghasilkan adanya flora polymikrobakteria. Patogen yang
paling umum ditemukan pada Rinosinusitis akut antara lain Stapilokokus aureus
dan Stapilokokus coagulase-negative, patogen ini dicatat pada kultur dari anak
dengan penyakit kronis. Persentase bakteri anaerob lebih tinggi lagi ditunjukkan
pada anak dengan Rinosinusitis.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara


dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia.

22
3.2.4 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan1,2,5.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini
bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa
makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan
operasi1-3,5,6.

3.2.5 Gejala dan Tanda Klinik


Menurut Task Force yang dibentuk oleh the American Academy of
Otalaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Sosiety (ARS), gejala
klinik pada orang dewasa dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan minor.
Rinosinusitis kronik dapat ditegakkan berdasarkan adanya dua gejala mayor atau
lebih, atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor.3,6,7,8
Gejala mayor berupa :
1. Nyeri atau rasa tekan pada wajah
2. Ingus purulen

23
3. Gangguan penghidu
4. Post nasal drip
5. Obstruksi nasal
6. Sekret di rongga hidung
Gejala minor berupa :
1. Sakit kepala
2. Halitosis
3. Rasa lelah
4. Nyeri gigi
5. Rasa nyeri/penuh telinga
6. Demam
7. Batuk
Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi
dan pasien mengeluh hidung berbau. Keluhan utama rinosinusitis akut adalah
hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang
seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik
seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang
terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang – kadang nyeri juga teras
ditempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala
lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak – anak. Keluhan sinusitis kronik tidak
khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang hanya satu atau 2 dari gejala ini:1,3,5,7
- Sakit kepala kronik.
- Post nasal drip.
- Batuk kronik.
- Gangguan tenggorok.
- Gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara Tuba eustachius.
- Gangguan ke paru seperti bronkitis
- Pada anak mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.

24
3.2.6 Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang
lebih tepat dan dini: 1,2,6-10
1. Pemeriksaan rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat
tanda patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius (pada sinusitis
maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada
sinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa
edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan
didaerah kantus medius.

Gambar 6. Pemeriksaan Rinoskopi Anterior


2. Pada rinoskopi posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post
nasal drip).
3. Foto polos, posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan
terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan
mukosa.

25
Gambar 7. Rontgen sinus posisi Waters

4. CT scan sinus, merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu


menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Tersedianya alat diagnostik CT scan
telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih jelas dan terinci. Namun,
karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik
yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan
operator saat melakukan operasi sinus.

Gambar 8. CT-scan sinus


5. Pemeriksaan transluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap,
pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya.
6. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi, dilakukan dengan mengambil
sekret dari meatus medius/superior untuk mendapat antibiotik yang tepat

26
guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus
maksila.
7. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila
melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk
terapi.

3.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan rhinosinusitis adalah untuk mengurangi inflamasi
mukosa hingga pembebasan blokade ostia dan juga merusak aliran mukosiliar
yang menandai sakit ini. Tujuan terapi sinusitis adalah :1
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase
dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Selain itu prinsip pengobatannya
yaitu;1,2
1. Atasi masalah gigi
Pada sinusitis maksila tipe dentogen untuk mengobati sinusitisnya, gigi
yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat dan pemberian antibiotik yang
sesuai untuk bakteri anaerob.

2. Konservatif 1,2,10-13
Diberikan obat-obatan seperti antibiotika, dekongestan, antihistamin,
kortikosteroid, dan irigasi sinus.
Tatalaksana empiris dengan pemberian antibiotik oral sebagai terapi utama.
Untuk Rinosinusitis akut 10-14 hari pemberian amoxicillin oral sebagai lini
pertama pengobatan. Jika dengan diagnosis awal ternyata pasien tidak ada
perbaikan dalam 48-72 jam, maka amoxicillin diganti dengan clavulanic
acid. Pemberian amixicillin dengan cluvanic acid selama 3-4 minggu adalah
pilihan pertama untuk Rinosinusitis kronis atau untuk eksaserbasi akut,

27
karena penetrasi yang adekuat dari mukosa sinus dan kemampuan melawan
S. aureus dan bakteri anareob lainnya. Sebagian besar pemilihan antibiotik
terarah pada toleransi pasien itu sendiri. Tetapi jika terjadi kegagalan
pengobatan pada kasus orang dewasa, dapat dilakukan kultur dan sensifitas
dari sekresi sinus agar dapat menjadi guide dalam menentukan antibiotik
pilihan. Jika tidak menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak,
pengambilan kultur dapat dilakukan di ruang operasi sebagai pilihan lain.
Meskipun pemberlakuan kultur bukan merupakan standar dalam terapi
inisial atau terapi awal. Adanya kekurangan evidence secara acak dalam
membandingkan kemampuan variasi kelas-kelas antibiotik atau dalam
menunjukkan manfaat dari regimen multiantibiotik.

Terapi medikamentosa pertama dengan menggunakan regimen


kortikosteroid topikal. Fluticasone, beclomethasone, budesonide dan
mometasone adalah pilihan yang sedang populer. Pemberian kortikosteroid
topikal menunjukkan adanya penurunan regulasi profil outline pada mukosa
sinus dan memperbaiki gejala subjektif pasien. Meskipun tidak umum,
pasien harus mengetahui efek lokal, seperti mukosa kering dan perdarahan.
Sering juga pemilihan simple agent tergantung pada pola kebiasaan lokal.
Lamanya terapi bisa sampai 3 bulan. Dan respon tidak nyaman pada pasien
sebelum 2 minggu penggunaan. Absorbsi sistemik dari agen topikal adalah
minimal, tetapi ada bukti bahwa menggunakan dosis inhalasi dapat
mencegah overdosis dan supresi adrenal lebih lanjut, dari pada penggunaan
dosis botol spray. Steroid sistemik secara umum menghindari efek samping.
Irigasi nasal saline dengan larutan salin 2-3% bisa membantu.

Beberapa klinisi meresepkan penggunaan nasal decongestant untuk


mengurangi gejala simtomatik. Nasal dekongestan ini tidak perlu digunakan
lebih lama dari 3-4 hari, karena nasal dekongestan relatif short acting dan
bisa menyebabkan rebound congestio jika digunakan dalam waktu yang
lama. Penelitian yang telah dilakukan adalah penggunaan antileukotrient.
Walaupun secara teori, antileukotrien itu efektif dalam situasi dimana

28
adanya inflamasi eosinofil, bukti-bukti penting masih kurang/sedikit.
Petunjuk untuk terapi medikamentosa di masa yang akan datang terdiri dari
penggunaan imunoterapi untuk menurunkan inflamasi, khususnya pada
pasien yang penyakitnya bandel atau pada pasien bersamaan dengan
penyakit alergi.

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut


bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat
atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan
selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Selain dekongestan
oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti analgetik,
mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi). Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement
therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat.
Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi
yang berat.

3. Operatif
Pembedahan untuk Rinosinusitis kronis diindikasikan jika terjadi gagal
terapi medikamentosa, pada orang dewasa. Pada anak-anak, meskipun kita
memiliki pilihan berat untuk melakukan pembedahan, tapi Endoscopic Sinus
Surgery (ESS) dapat dipertimbangkan. Sedangkan yang paling dianjurkan
adalah, adenoidektomi sebagai langkah awal dalam pembedahan pada
pasien anak. Kesuksesannya berkisar 50-60%. Kurang dari 87% sukses
dengan ESS. Menariknya, Penelitian sekarang ini membandingkan antara
adanya 95% insiden biofilm sample adenosit pada anak Rinosinusitis kronis
dengan hanya 2% sample adenoid pada anak yang sleep apnea. Sebagian
lainnya emaparkan pentingnya perpindahan adenoid pada anak yang

29
Rinosinusitis kronis. Otolaringologist enggan melakukan ESS sebagai lini
pertama terapi, karena khawatir terjadi retardasi pertumbuhan fasial.
Meskipun faktanya bahwa penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan
pertumbuhan fasial anak 10 tahun antara yang dilakukan ESS maupun anak
yang tidak dilakukan terapi pembedahan. Karena tingkat kesuksesan rata-
rata dari adenoidektomi itu sendiri, sinus akan bersih pada saat
adenoidektomi dianjurkan. Prosedurnya, sinus akan dibilas dan pada saat
yang sama dilakukan kultur antibiotik untuk mendapatkan petunjuk. Tinkat
kesuksesan prosedur ini adalah 88%.

Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah tindakan untuk


meminimalkan infasif dalam prosedur yang dibentuk untuk mengembalikan
natural drainage pathways dari sinus para nasal. FESS dilakukan dengan
general anasthesia. Kavum nasi tervisualisasi secara langsung dan macam-
macam alat khusus digunakan untuk mengurangi lesi obstruksi dari outflow
sinus yang bisa disebabkan karena polip atau penyakit-penyakit mukosa.
Penggunaan sinus air cell buatan dibuka pada sebuah posisi yang
memperbesar outflow mukosiliar natural. Ini salah satu prosedur
konservatif yang biasanya dilakukan pada anak.

Gambar 9. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

30
FESS diindikasikan pada pasien Rinosinusitis kronis yang gagal terapi
medikamentosa atau munculnya komplikasi. Komplikasi pembedahan itu
jarang erjadi dan biasnya berkaitan dengan kerusakan struktur pembatas
yang berdekatan misal isi orbita dan basis cranii. Hal-hal yang perlu
dilakukan post operasi adalah follow up secara teratur/reguler. Terapi
medikamentosa dengan anibiotik dan steroid inranasal dapat dilanjutkan
setelah operasi, khusunya pada anak yang rhinitis alergi.

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF/ FESS), merupakan operasi


terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah
menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu, karena
memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal.
Indikasi operatif pada sinusitis berupa:
- Sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversibel.
- Polip ekstensif.
- Komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.

3.2.8 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi sinusitis yaitu:1,2,5,6,8
a. Kelainan orbita
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita), yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis
frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul berupa edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi
trombosis sinus kavernosus.
b. Kelainan intrkranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.

31
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa:
a. Osteomielitis dan abses subperiosteal, paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasanya ditemukan pada anak – anak. Pada osteomielitis sinus
maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
b. Kelainan Paru, seperti bronkitis kronis dan bronkiektasis. Adanya kelainan
sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sino bronkitis. Selain itu
dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar di hilangkan
sebelum sinusitis disembuhkan.

BAB IV
ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan pada Nn. E.D 14 tahun


dengan keluhan hidung kanan tersumbat sejak 4 minggu SMRS. Keluhan ini
dirasakan lebih berat pada saat pagi dan malam hari. Pada saat cuaca dingin,
pasien bersin-bersin bisa lebih dari 3 kali. Keluhan bersin berkurang saat
siang hari. Bersin tidak dipengaruhi oleh asap/ rokok, bau yang menyengat
dan stress. Selain itu 3 hari belakangan, pasien juga mengeluhkan adanya
nyeri pipi kanan yang terutama pada pagi hari. Nyeri kepala juga sering
dirasakan, namun hilang timbul bersamaan dengan berat ringannya hidung

32
yang tersumbat. Pasien mengeluhkan adanya kesulitan tidur karena rasa
sakitnya.
Hal ini sesuai dengan keluhan rinosinusitis Gejala mayor berupa :
Nyeri atau rasa tekan pada wajah, Ingus purulen, Gangguan penghidu, Post
nasal drip, Obstruksi nasal, Sekret di rongga hidung. Sedangkan Gejala
minor berupa : Sakit kepala, Halitosis, Rasa lelah, Nyeri gigi, Rasa
nyeri/penuh telinga, Demam, Batuk.
Rinitis vasomotor kemungkinan besar adalah faktor predisposisi
terjadinya rinosinusitis pada pasien ini. Di mana pasien selama 4 minggu ini
mengeluh bersin-bersin dan hidung tersumbat saat cuaca dingin yang
ekstrim.
Pada kasus diatas penatalaksanaan adalah: Antibiotik, Dekongestan,
Analgetik, antihistamin. Antibiotik diberikan sebagai terapi causa dari
sinusitis yang kemungkinan disebabkan oleh bakteri, walaupun sebelumnya
bisa saja akibat virus. Adanya hidung tersumbat maka diberikan
dekongestan. Sedangkan analgetik diberikan karena pasien ini mengeluhkan
adanya nyeri pada wajahnya terutama pagi dan malam hari.
Prognosis untuk pasien ini adalah bonam, terlebih jika pasien teratur
minum obat dan menghabiskan antibiotiknya.
Sedangkan hal-hal yang dapat kita anjurkan kepada pasien untuk
mengurangi gejala maupun mencegah kekambuhan adalah :
6. Hindari faktor pencetus : suhu ruangan jangan terlalu dingin pada saat
pagi dan malam hari.
7. Jika cuaca terlalu dingin, mandi dengan air hangat.
8. Jaga kebersihan mulut dan gigi.
9. Makan makanan yang cukup gizi untuk menjaga imunitas tubuh.
10. Jika pilek, ingus harus cepat dibuang, buang ingus dengan benar. Tutup
hidung kiri, untuk membuang ingus kanan. Jangan terlalu berlebihan
memberi tekanan saat membuang ingus.

33
BAB V
KESIMPULAN

1. Telah dilaporkan pasien Nn. E.D, 14 tahun dengan diagnosa Rinosinusitis yang
diterapi dengan antibiotik dan dekongestan.
2. Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau
dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Rinosinusitis adalah
penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal
3. Faktor etiologi dan predisposisi penyebab sinusitis, antara lain; ISPA akibat
virus, rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi; deviasi septum dan hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal
(KOM), infeksi tonsil dan infeksi gigi.
4. Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa
tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post
nasal drip). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala lain adalah sakit
kepala, hiposmia/anosmia dan halitosis.
5. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik (rinoskopi
anterior dan posterior) dan pemeriksaan penunjang (Foto polos, posisi Waters,
PA dan lateral, CT-Scan, transluminasi sinus, pemeriksaan mikrobiologi dan
tes resistensi dan sinuskopi)

34
6. Penatalaksanaan dapat berupa obat-obatan seperti antibiotika, dekongestan,
antihistamin, kortikosteroid, irigasi sinus dan operatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusomo E dan Soetjipto D. Sinusitis dalam buku ajar ilmu kesehatan


telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Editor Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-tujuh. Jakarta: FKUI; 2012. Hal. 127-
130.
2. Adams, George L., dkk, BOEIS, Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke-enam,
Jakarta: EGC; 1997.
3. Nasution MTA. Frekuensi penderita rinosinusitis maksila kronis yang
disebabkan infeksi jamur di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2007.(tesis).
Medan: FK USU:2008.
4. Bachert, Bruaene NV, Toskala, Zhang N, Olze H, Drunen VCM. Important
research questions in allergy and related diseases; chronic rhinosinusitis and
nasal polyposis. Allergy Journal (64): 520-33. Belgium: Departmentof Oto-
Rhino-Laryngology, Ghent University Hospital; August 2009.
5. Broek PVD, Feenstra L. Buku saku ilmu kesehatan tenggorok, hidung,
telinga. Edisi – 12. Jakarta; EGC; 2009.hal.113-114.
6. Farhat. Peran infeksi gigi rahang atas pada kejadian sinusitis maksila di
RSUP H. Adam Malik Medan. Majalah kedokteran nusantara. Vol 39. No 4.
Desember 2006. hal.386-392.

35
7. Bubun J, Azis A, Akil A, Perkasa F. Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis
kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay.(laporan
penelitian). Makassar: FK UNHAS:2009.
8. Selvianti, Kristyono I. Patofisiologi, Diagnosis Dan Penatalaksanaan
Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasi Pada Orang Dewasa. Surabaya: FK
UNAIR: 2008.
9. M. W. Criddle, A. Stinson, M. Savliwal a, and J. Coticchia, “Pediatric chronic
rhinosinusitis: a restropective review,”American Journal of Otolaryngology,
vol. 29, no. 6, pp. 372–378, 2008.
10. J. A. Stankiewicz and J. M. Chow, “A diagnostic dilemma for chronic
rhinosinusitis: definition accuracy and validity,” American Journal of
Rhinology, vol. 16, no. 4, pp. 199–202, 2002.
11. Gregory P. DeMuri, M.D., and Ellen R. Wald, M.D. Sinusitis Bakterial Pada
Anak. Department of Pediatrics, University of Wisconsin School of Medicine
and Public Health, Madison.
12. D. Rabago, T. Pasic, A. Zgierska, M. Mundt, B. Barrett, and R. Maberry,
“The efficacy of hypertonic saline nasal irrigation for chronic sinonasal
symptoms,” Otolaryngology—Head and Neck Surgery, vol. 133, no. 1, pp. 3–
8, 2005.
13. H. H. Ramadan and J. L. Cost, “Outcome of adenoidectomy versus
adenoidectomy with maxillary sinus wash for chronic rhinosinusitis in
children,” Laryngoscope, vol. 118, no. 5, pp. 871–873, 2008.

36

Anda mungkin juga menyukai