Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus tepat
waktu. Laporan kasus yang berjudul “Herpes Zooster Regio Antebrachii Sinistra
Dermatom C6 – T1 + CKD stage V” ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan
Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pembimbing laporan kasus dr. I Wayan Hendrawan, M. BioMed, Sp.KK,
karena telah memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian tugas. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih terdapat banyak kekurangan
maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat
dalam meningkatkan pengetehauan kepada penulis dan pembaca sehingga dapat
diimplementasikan dalam praktik dokter. Terima kasih.

Mataram, Agustus 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................ii
BAB I ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
BAB II ........................................................................................................................... 2
LAPORAN KASUS .................................................................................................. 2
BAB III ......................................................................................................................... 9
PEMBAHASAN ....................................................................................................... 9
BAB IV ....................................................................................................................... 23
KESIMPULAN ....................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronis (CKD) menjadi perhatian utama bagi kesehatan


masyarakat global, dan dapat mengakibatkan komplikasi berupa penyakit
kardiovaskular, kematian dini, dan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal
diseases, ESRD). Deteksi dini dan rekomendasi strategis telah diusulkan untuk
meringankan beban bagi sektor kesehatan. Sifat progresif dari CKD melibatkan
kerentanan, inisiasi dan selanjutnya faktor perkembangan;memiliki banyak kesamaan
dengan aterosklerosis. Di luar risiko dari penyakit kardiovaskular, agen infeksi seperti
virus herpes dan klamidia mungkin juga menyebabkan aterosklerosis, selain kerusakan
endotel. Namun, belum ada penelitian yang menyelidiki kemungkinan hubungan antara
infeksi dan perkembangan CKD.1

Herpes zoster (HZ), secara klinis bermanifestasi sebagai herpes yang sangat
nyeri, biasanya bermanifestasi sebagai ruam vesikular yang khas dengan distribusi
unilateral terbatas pada dermatom tunggal. disebabkan oleh reaktivasi virus varicella
zoster (VZV) yang laten dalam ganglia sensoris dan radiks dorsal. Penyakit ini sering
terjadi pada pasien lanjut usia dan imunokompromais. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pasien ESRD rentan terinfeksi HZ. Sekuel dari HZ termasuk
neuralgia post-herpetik, ensefalitis, dan VZV vaskulopati sistem saraf pusat (SSP). HZ
juga terkait dengan stroke, spekulasi ini karena penyakit ini mempercepat
perkembangan aterosklerosis. Mengingat hubungan erat antara aterosklerosis dan
CKD, HZ mungkin juga berpotensi mempercepat terjadinya CKD dan berkembang
menjadi ESRD. Meskipun terdapat keterkaitan antara kedua penyakit ini, data
mengenai risiko terjadinya ESRD pada pasien CKD dengan HZ sangatlah kurang.
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk memaparkan kasus herpes zoster pada
pasien CKD dan memahami hubungan antara kedua penyakit tersebut.1

1
BAB II

LAPORAN KASUS

I.IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. H

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 30 Tahun

Suku : Sasak

Agama : Islam

No. RM : 515810

Tanggal Periksa : 30 Juli 2018

II.ANAMNESIS

Keluhan utama:

Nyeri pada lengan bawah kiri

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Provinsi NTB dengan
keluhan nyeri pada lengan bawah kiri. Keluhan nyeri dikeluhkan sejak 3 hari
yang lalu (27/07/2018) dan dirasakan semakin memberat. Keluhan disertai
dengan gatal-gatal dan kemerahan. Pada area yang dirasakan terdapat
gelembung yang berkelompok cairan didalamnya, namun dikatakan belum ada
yang pecah. Tidak terdapat keluhan serupa di tangan kanan maupun anggota
tubuh lainnya. Keluhan demam, pusing, malaise, disangkal oleh pasien. Saat

2
ini pasien masih rutin melakukan hemodialisa sebanyak 2 kali dalam 1 minggu
sejak tahun 2013.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki penyakit ginjal yang telah terdiagnosis sejak lama.
Pasien pertama kali mengalami keluhan tersebut, setelah pasien rutin
melakukan hemodialisa. Riwayat cacar sebelumnya disangkal, dan pasien tidak
memiliki riwayat penyakit kencing manis.

Riwayat penyakit keluarga


Riwayat keluarga menderita penyakit yang serupa disangkal, riwayat
kencing manis dan hipertensi tidak diketahui oleh pasien, riwayat penyakit
keganasan dan penyakit autoimun dalam keluarga disangkal.

Riwayat pengobatan
Pasien sampai saat ini rutin melakukan hemodialisa, sebanyak 2 kali
dalam 1 minggu di RSUD Provinsi NTB. Pasien saat ini juga tetap
mengonsumsi obat untuk penyakit CKD yang dideritanya.

Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat ataupun makanan.

III.PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 150/70 mmhg
Nadi : 88x/menit
Respiration Rate : 22x/menit
Suhu : 370C

3
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Bentuk kepala normal, rambut hitam, wajah tampak sembab
Konjungtiva anemis : -/-
Sianosis : -/-
Ikterus : -/-

Pemeriksaan Thorax
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris (+/+)
Palpasi : Gerakan dinding dada simetris
Perkusi : Suara sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Cor : S1-S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : tidak tampak distensi
Auskultasi : bising usus dalam batas normal
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi : tidak dilakukan

Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (+) pada manus sinistra, kelainan pada
seluruh sendi tangan (-), arteri radialis kanan kiri teraba kuat
Inferior : Akral hangat, edema (-), arteri dorsalis pedis kiri dan kanan
teraba kuat

4
Status Dermatologis
 Regio : lengan bawah kiri
UKK :
 patch eritema, berbatas tegas, bentuk ireguler, multiple,
tersebar regional.
 Vesikel berbatas tegas, bentuk bulat, multipel, tersebar
regional.

Diagnosis (Bagian Dermatologis)


Herpes Zooster regio antebrachii sinistra dengan CKD stage V

Pemeriksaan Penunjang (21/07/2017)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 8,3 gr/dl 11,5 – 18,0 gr/dl


Hematokrit 26,3 % 37,0 – 50 %
RBC 2,84/ul 4,00 – 5,50/ul
WBC 3,92 /ul 4,00 – 11,00 /ul
MCV 92,6 fl 82,0 – 92,0 fl
MCH 29,2 pg 27,0 – 31,0 pg
MCHC 31,6 g/dl 32,0 – 37,0 g/dl
Trombosit 120000 /ul 150.000 – 400.000 /ul

Rencana Terapi (Bagian Dermatologis)


 Gentamisin Cream
 Asiklovir 5x800 mg
 Gabapentin 2x300 mg
 Vit B Complex

5
Dokumentasi Pasien

Gambar 1: Punggung tangan kiri dan telapak


tangan kiri

Gambar 2: Lengan bawah kiri

Gambar 3: Lengan bawah kiri

6
BAB III
PEMBAHASAN

Infeksi primer dengan virus varicella-zoster (VZV) menyebabkan cacar air,


ditandai oleh viremia dengan ruam yang difus dan pembenihan beberapa ganglia
sensorik,di mana virus mengalami latensi seumur hidup. Herpes zoster disebabkan oleh
reaktivasi VZV laten pada ganglia kranialis atau radiks dorsalis, dengan penyebaran
virus bersama saraf sensorik pada dermatom. Ada lebih dari 1 juta kasus herpes zoster
di Amerika Serikat setiap tahun, dengan tingkat insidensi pertahun 3 hingga 4 kasus
per 1000 orang-orang. Penelitian menunjukkan bahwa insidensi herpes zoster
meningkat. Orang yang tidak mendapatkan vaksin dan hidup sampai usia 85 tahun
memiliki risiko 50% menderita herpes zoster. Hingga 3% pasien dengan penyakit ini
memerlukan rawat inap.3

Replikasi virus varicella zoster pada nasofaring terjadi segera setelah infeksi
primer. Kemudian diikuti oleh penyebaran infeksi ke jaringan limfoid yang berdekatan
di mana virus menginfeksi sel CD4 + T memori yang melimpah pada jaringan limfoid
tonsil. Sel memori mengekspresikan antigen homing dan reseptor kemokin 4 (CCR4)
pada kulit yang diduga membawa virus ke sel epitel kutaneus dalam beberapa hari
setelah infeksi. Replikasi terlokalisasi di sel epitel yang difasilitasi oleh down-
regulation interferon-α dalam sel yang terinfeksi dan kegagalan induksi molekul
adhesi. Pada saat yang sama penyebaran virus sel-ke-sel terjadi pada minggu pertama
yang menyebabkan produksi interferon-α di sel epitel yang berdekatan. Setelah itu,
virus mengatasi sistem imun bawaan dan menyebabkan timbulnya vesikula. Produksi
sitokin dan up-regulasi faktor-faktor adhesi endotel kapiler yang menarik sel T
bermigrasi yang menyebabkan penyebaran virus lebih lanjut sebelum virus mengalami
replikasi.4

7
BAB IV
KESIMPULAN

Gambar 4: ilustrasi konsep baru tentang patogenesis VZV.

Sebuah diagram yang menggambarkan kejadian yang diusulkan dalam


pathogenesis Infeksi VZV pada kulit. Menurut model ini, sel T dalam jaringan limfoid
tonsil menjadi terinfeksi oleh VZV yang ditransfer ke sel-sel migrasi dari sistem imun
mengikuti inokulasi awal sel epitel pernapasan dengan virus. Sel T yang terinfeksi
memasuki sirkulasi dan membawa virus ke kulit segera setelahnya, keluar melalui
endotelium kapiler dengan mekanisme yang sama dengan mekanisme migrasi sel T.
Sel T yang terinfeksi kemudian melepaskan VZV pada kulit tempat virus mengalami
replikasi. Sisa periode inkubasi 10 hingga 21 hari adalah interval yang diperlukan untuk
VZV untuk mengatasi respon IFN bawaan di sel epidermis untuk menciptakan lesi
vesikuler khas yang mengandung VZV pada permukaan kulit. Pensinyalan
meningkatkan produksi IFN di sel kulit yang berdekatan untuk mencegah penyebaran
VZV dari sel ke sel yang tak terkendali. Tambahan lesi varicella dapat terjadi ketika
sel T melewati lesi kutaneus tahap awal, menjadi terinfeksi, dan menghasilkan viremia
sekunder. Proses ini berlanjut sampai respon sistem imun pasien memicu peningkatan
regulasi molekul adhesi dan memediasi pembersihan virus oleh sel T yang spesifik
sebagai antivirus VZV.4

8
Virus varicella zoster juga menyebar dengan cepat sel epidermis yang terdekat
dengan menginduksi fusi (dimediasi oleh glikoprotein H, L, B dan E) sel yang
terinfeksi virus dengan sel terdekat yang tidak terinfeksi. Sebaliknya, hilangnya
reseptor kation independen manosa 6-fosfat dalam keratinositdi epidermis superfisial
memungkinkan untuk akumulasi sel-bebas virion , yang diperlukan untuk transmisi
dan pembentukan periode latensi.4

Gambar 6. Varisela dan herpes zoster (A). Selama infeksi VZV primer (varisela atau
chicken pox), virus menginfeksi ganglia. Sensoris. (B) VZV bertahan pada fase laten
didalam ganglia. (C) Ketika imun pasien menurun, VZV mengalami reaktivasi
didalam ganglia sensoris, menyebar ke nervus sensoris dan mengalami replikasi di
kulit.6

Perempuan berisiko lebih tinggi terinfeksi HZ dibandingkan dengan laki-laki.


Orang kulit hitam memiliki risiko menderita HZ lebih tinggi daripada orang kulit putih.
Riwayat keluarga ditemukan menjadi faktor risiko untuk HZ. Penyakit autoimun,
termasuk rheumatoid arthritis dan lupus eritematosa sistemik, dikaitkan dengan
peningkatan risiko HZ. Komorbiditas lainnya dikaitkan dengan peningkatan risiko HZ,

9
komorbidtas tersebut antara lain asma diabetes mellitus, dan penyakit paru obstruktif
kronik. Penggunaan statin juga dikaitkan dengan peningkatan risiko HZ.Trauma fisik
terbaru meningkatkan risiko HZ hampir dua kali lipat.5

Serangan HZ lebih sering terjadi pada pasien CKD daripada populasi yang tidak
menderita CKD. Status fungsi ginjal yang buruk dapat menyebabkan disfungsi sistem
imun, berkurangnya jumlah limfosit dan aktivasi limfosit, mengubah produksi sitokin,
melemahkan sistem kekebalan terhadap VZV, dan mengakibatkan peningkatan risiko
herpes zoster (HZ). Sato dkk. telah melaporkan bahwa kejadian HZ meningkat seiring
dengan meningkatnya derajat CKD. Karena itu, pasien CKD yang mengalami serangan
HZ mungkin lebih mungkin mengalami gagal ginjal yang lebih berat dan lebih cepat
berkembang menjadi ESRD.1

Ruam herpes zoster bersifat dermatomal tidak melintasi garis tengah, sebuah
gambaran klinis yang konsisten dengan reaktivasi dari satu radiks dorsal atau ganglion
saraf kranial. Toraks, trigeminal (Gambar 7A), lumbar, dan dermatom servikal
merupakan daerah yang paling sering tempat timbulnya ruam, meskipun ada area kulit
yang lain bisa juga terlibat, termasuk pada lengan bawah seperti yang dialami oleh
pasien pada kasus ini. Ruam sering didahului oleh kesemutan, gatal, atau nyeri (atau
kombinasinya) selama 2 hingga 3 hari, dan gejala-gejala ini dapat terus menerus atau
episodik.3
Nyeri, nyeri tekan, parestesia pada dermatom yang terlibat mendahului erupsi.
Nyeri bisa mirip dengan angina atau akut abdomen. Alodinia: sensitivitas tinggi
terhadap rangsangan ringan. Pasien mungkin juga mengalami parestesia (misalnya,
terbakar dan kesemutan), distesia (kepekaan yang berubah atau menyakitkan untuk
disentuh), atau hiperestesia (rasa sakit yang ditanggapi dengan berlebihan atau
berkepanjangan). Pruritus juga sering dikaitkan dengan herpes zoster. Zoster sine
herpete: Keterlibatan saraf dapat terjadi tanpa adanya keterlibatan kulit. Gejala
konstitusional seperti flu dapat terjadi selama prodromal dan infeksi aktif, tergantung

10
pada lokasi dan tingkat keparahannya, nyeri prodromal dapat menyebabkan
misdiagnosis dan membutuhkan pemeriksaan lanjutan yang mahal.3,6

Ruam dimulai sebagai makula dan papula (24 jam), yang berubah menjadi
vesikel atau bula (48 jam) dan kemudian pustule (96 jam) dan menjadi krusta (7-10
hari) (Gambar. 7B). Lesi baru muncul selama 3 hingga 5 hari, sering pada daerah
dermatom meskipun telah diberikan pengobatan antiviral. Ruam biasanya mengering
mengeras dalam 7 hingga 10 hari. Eritema, dasar edematous (Gambar 27-51) dengan
vesikula yang jelas, kadang-kadang hemoragik. Vesikel terkikis membentuk erosi
berkerak. Kerak kulit biasanya sembuh dalam 2-4 minggu. Distribusi. Unilateral,
sesuai dengan dermatom(Gambar 27-50). Dua atau lebih dermatom yang bersebelahan
mungkin terlibat. Dermatomal zoster non-kontinyu jarang (Gambar 27-56).
Penyebaran hematogen ke daerah kulit lainnya pada 10% individu sehat (Gambar 27-
56). Tempat Predileksi. Thorak (> 50%), trigeminal (10-20%), lumbosakral, dan
serviks (10-20%). Pasien Immunokompromais memiliki ruam yang tersebar dengan
viremia dan lesi baru terjadi hingga 2 minggu. 3,6

Gambar 7. Gambaran Klinis Herpes Zoster.Panel A menunjukkan herpes zoster di daerah


opthalmik (V1) cabang ganglia trigeminal. Foto oleh Michael Oxman, M.D. Panel B
menunjukkan vesikula dan pustula pada pasien dengan herpes zoster. 6

11
Gambar 8. Plak eritematosa dengan vesikel yang baru pada dermatom C-2 sinistra.
Lesi ini banyak ditemukan dan sering menyebabkan salah diagnosa. 6

Gambar 9. Terlihat Vesikel, bula dan pustule pada (A) Wajah. (B) Lidah dengan erosi
deviasu dikaitkan dengan keterlibatan motorik. 6

Vesikel dan erosi terjadi pada mulut, vagina, dan kandung kemih, tergantung
pada dermatom yang terlibat. Limfanodi regional yang mendrainase area ini sering
membesar dan menjadi lunak. Perubahan saraf sensorik atau motoric, dapat dideteksi
dengan pemeriksaan neurologis. Gangguan sensorik (suhu, nyeri, sentuhan) dan
kelumpuhan motorik (ringan) (Gambar 9B), misalnya, kelumpuhan pada wajah. Zoster
oftalmikus, keterlibatan nasosiliaris dari cabang V-1 (mata) dari nervus trigeminal
terjadi pada sekitar sepertiga kasus dan ditandai oleh vesikula pada sisi dan ujung

12
hidung. Komplikasi dapat berupa uveitis, keratitis, konjungtivitis, retinitis, neuritis
optik, glaukoma, retraksi kelopak mata sikatrikal, dan kelumpuhan otot ekstraokular.
Gejala yang khas adalah sakit kepala dan hemiplegia yang terjadi pada pasien dengan
riwayat HZ oftalmikus. 6

Pada pasien dalam kasus ini memiliki lesi kulit berupa vesikel, bula dengan
dasar eritema pada regio lengan bawah sebelah kiri (antebrachii sinistra), lesi-lesi ini
merupakan lesi tipikal yang ditemukan pada pasien penderita herpes zoster. Terkait
lokasi lesi ditemukan pada dermatom C6-T1, ini berarti VZV mengalami fase laten dan
kemudian bereplikasi pada ganglion sensoris dan radiks dorsalis C6-T1.

Gambar 10. Peta Dermatom. 6

Diagnosis banding herpes zoster adalah dermatitis venenata dan herpes


simpleks. Dermatitis venenata. Lesi pada dermatitis venenata paling sering ditemukan
pada wajah, leher, perut, dada, dan lengan bawah. Sensasi yang paling sering
dilaporkan pada dermatitis linearis adalah sensasi terbakar yang hebat, menyengat dan
gatal. Gejala dermatologis yang paling umum ditemukan pada dermatitis linearis
adalah plak eritematosa, dengan vesikel, pustula subkorneal dan bula. Konfigurasi lesi

13
biasanya linier. Ketika respon peradangan sedang berlangsung, patch eritematosa
berubah menjadi bula dengan edema dan menimbulkan sensasi gatal dan terbakar.
Pembentukan papular juga dapat timbul. Erosi plak eritematosa dan pustula
menghasilkan krusta. Erupsi dapat berlangsung di mana saja mulai dari beberapa hari
hingga beberapa minggu. Hiperpigmentasi dapat terjadi akibat gangguan melanosit
pada kulit yang dimediasi oleh pederin. Gejala dermatitis linearis dapat diamati pada
Gambar 11. 12

Gambar 11. Perkembangan gejala dalam kasus dermatitis linearis di Kenya


bagian barat. (A) Gejala pada hari pertama (b) 2 hari setelah gejala dikenali (c) 3 hari
setelah gejala dikenali12

Lesi herpes simplex bisa mengenai daerah yang sangat luas, terutama pada
daerah dada dan perut. Penyakit ini bisa menimbulkan lesi yang terbatas pada
dermatom dan memiliki banyak ciri yang sama seperti zoster (zosteriform herpes
simplex). Vesikula zoster bervariasi ukurannya, sedangkan yang simplex memiliki
ukuran yang seragam dalam sebuah kelompok lesi. Adanya kekambuhan dikemudian
hari membuktikan diagnosis.7

Selulitis. Plak eritema, meradang, edema, atau urtikaria mungkin tampak


terinfeksi, tetapi mereka biasanya memiliki permukaan "cobblestone" yang
menunjukkan sekelompok vesikel kecil.7

Diagnosis herpes zoster dapat dibuat secara klinis setelah ditemukan adanya
ruam. Pemeriksaan laboratorium untuk herpes zooster sama dengan herpes simplex.

14
Apusan Tzanck, biopsi kulit, titer antibodi, pewarnaan imunofluoresen antibodi cairan
vesikuler, mikroskop elektron, dan kultur cairan vesikel adalah beberapa pemeriksaan
yang dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan awal berupa apusan sitologik (Tzanck
smear). Pemeriksaan ini tidak membedakan herpes simplex dari varicella. Dasar lesi
yang baru dikerok dan diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-eosin, Giemsa,
Wright, toluidine blue, atau Papanicolaou. Multinucleated giant cells dan sel epitel
yang mengandung inklusi intranuklear asidofilik dapat terlihat Tzanck smear dan
electron microscope (EM) dapat mendeteksi keberadaan virus herpes dari vesikel.
Namun, tidak dapat membedakan antara virus herpes simplex dan virus varicella
zoster. Polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi DNA virus varisela zoster dalam
cairan vesikuler, dan karenanya, dianggap sebagai tes diagnostik yang paling sensitif
dan spesifik untuk herpes zoster, tes imunofluoresensi langsung (Direct Fluoresence
Assesment, DFA), biopsi kulit, dan kultur virus adalah tes diagnostik laboratorium
herpes zoster atipikal. PCR dapat dilakukan pada cairan dari lesi, darah, plasma, cairan
serebrospinal (CSF), dan bronchoalveolar lavage. DFA dapat digunakan sebagai
alternatif untuk PCR. Pada kasus paresis zoster segmental, diagnosis dapat
dikonfirmasi dengan melihat lesi kulit berupa ruam dermatomal yang menyakitkan
dengan kelemahan otot. Elektromiografi dapat mengungkapkan denervasi akut dari
area yang terkena.7,8

Pemberian asiklovir pada pasien sudah tepat, tetapi mengingat pasien menderita
CKD ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Centre for Disease control and
Prevention (CDC) merekomendasikan bahwa antivirus harus dimulai dalam waktu 72
jam sejak awitan ruam. CDC juga telah melaporkan bahwa antiviral tidak lagi berguna
begitu lesi zoster menimbulkan krusta . Namun, pasien CKD dan ESRD berisiko lebih
tinggi untuk menderita zoster dalam jangka waktu yang panjang hal ini terkait nyeri,
penyebaran herpes zoster dan neuralgia postherpetik. Karena itu,disarankan agar
asiklovir dipertimbangkan didiberikan pada semua pasien CKD dan ESRD dengan
herpes zoster bahkan jika onsetnya lebih dari 72 jam. 10

15
Pasien dengan transplantasi ginjal juga berisiko lebih tinggi akan morbiditas
dan komplikasi. Vaksin hidup yang dapat mencegah infeksi primer dan reaktivasi VZV
juga merupakan kontraindikasi pada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.
Karena itu asiklovir diindikasikan untuk herpes zoster pada pasien dengan CKD. 10

Kreatinin dan elektrolit serum sebaiknya diperiksa sebelum memberikan


asiklovir pada setiap pasien. Jika ini tidak praktis,menanyakan riwayat yang detail
dapat membantu. Misalnya, pasien dengan Diabetes mellitus (DM), yang merupakan
penyebab utama CKD, faktor risiko untuk CKD harus dicari. Faktor-faktor tersebut
termasuk adanya neuropati, hipertensi, DM yang sudah lama, kontrol glikemik yang
buruk, penyakit kardiovaskular, retinopati proliferatif, dan usia yang lebih tua. 10
Asiklovir 60% dapat mengalami dialisis pada hemodialisis reguler (HD) tetapi,di sisi
lain, peritoneal dialysis (PD), sangat tidak efisien dalam mengeliminasi obat.
Berdasarkan pedoman yang tersedia, dosis asiklovir yang diberikan pada pasien dengan
CKD disesuai dengan kreatinin clearence: 10
Dosis asiklovir oral
 CrCl> 50 mL / min / 1.73m2: 800 mg 5 kali sehari
 CrCl 30 - 50 mL / min / 1.73m2: 800 mg 8 jam
 CrCl 10 - 29 mL / min / 1.73m2: 800mg 12jam
 CrCl <10 mL / menit / 1,73m2: 800 mg setiap hari
 ESRD

▪ HD (dengan asumsi tiga kali sesi dalam seminggu): 800 mg setiap hari, untuk
diberikan pasca-HD pada hari-hari dialisis

▪ PD: 400 - 600 mg setiap hari, dosis lebih tinggi dari 500-600 mg diberikan jika
pasien memiliki fungsi ginjal resdual lebih dari 500 mL / hari.

16
Secara umum, komplikasi herpes zoster dikaitkan dengan penyebaran VZV
keterlibatan fungsi sensoris pada ganglion, atau kulit, baik melalui aliran darah atau
dengan ekstensi saraf langsung. Pada ruam yang luas, yang biasanya terjadi pada pasien
immunokompromais, mungkin terdapat gangrene superfisial dengan penyembuhan
yang tertunda dan dapat menimbulkan jaringan parut. Infeksi sekunder juga dapat
terjadi dan menimbulkan jaringan parut. Pada herpes zoster ophthalmic, sebanyak 20-
70% pasien mengalami nekrosis retina akut (ARN). Herpes zoster dapat menyebabkan
komplikasi neurologis, dimana yang paling umum terjadi adalah nyeri paska herpes
(PHN). PHN merupakan rasa sakit yang ditimbulkan setelah penyembuhan ruam sejak
1 bulan, 3 bulan, atau 6 bulan setelah onset ruam. Rasa sakit pada PHN dijelaskan
sebagai rasa seperti terbakar yang berdenyut-denyutan, nyeri seperti tertusuk, dan
apabila diberikan sedikit rangsangan/sentuhan ringan akan terasa sangat nyeri
(allodynia). Nyeri pada PHN biasanya berlangsung selama 3 bulan atau lebih jarang
terjadi pada orang lebih muda (<50 tahun), dan lebih sering pada usia >60 tahun. Faktor
resiko lain PHN, termasuk nyeri prodromal, nyeri yang berat selama fase akut herpes
zoster, ruam yang luas, abnormalitas sensorik yang lebih luas pada dermatom yang
terkena. Secara umum, komplikasi herpes zoster dibagi menjadi 3, yaitu kutaneus,
,viseral, dan neurologi (gambar 12). 13

Gambar 13. Komplikasi Herpes Zooster

17
Vaksin herpes zoster hidup yang dilemahkan direkomendasikan untuk orang
yang berusia 50 tahun atau lebih untuk mencegah herpes zoster dan komplikasinya,
termasuk neuralgia postherpetik. Efikasi vaksin dalam mencegah herpes zoster adalah
70% untuk orang yang berusia 50 - 59 tahun, usia 60 hingga 69 tahun (64%), dan usia
70 tahun atau lebih (38%). Vaksin dapat diberikan kepada orang-orang dengan riwayat
herpes zoster tetapi manfaatnya diperdebatkan. Vaksin dikontraindikasikan pada orang
dengan kanker hematologi yang penyakitnya tidak dalam keadaan remisi atau yang
telah menerima kemoterapi sitotoksik dalam 3 bulan, pada orang dengan
imunodefisiensi sel T (mis, Infeksi HIV dengan jumlah CD4 < 200 / mm3 atau, 15%
dari total limfosit), dan pada mereka yang menerima terapi imunosupresif highdose (20
mg prednisone setiap hari selama 2 minggu atau terapi faktor anti-tumor nekrosis).
Vaksin zoster dosis tunggal direkomendasikan untuk orang dewasa yang berusia 50
tahun atau lebih. Karena hampir semua orang dewasa dengan usia 50 tahun atau lebih
akan mengalami infeksi VZV primer atau subklinis klinis (cacar), tidak perlu
mengetahui apakah ada riwayat cacar air untuk diberikan vaksinasi rutin kepada orang-
orang di dalam kelompok usia ini.7
Kontrol infeksi herpes zooster, dimana pasien dengan herpes zooster dapat
menularkan VZV ke orang yang rentan terinfeksi. Untuk orang yang imunokompeten
dengan herpes zoster dermatomal, tindakan pencegahan kontak harus digunakan, dan
lesi harus ditutupi jika memungkinkan. Untuk orang dengan lesi diseminata dan untuk
orang dengan gangguan imun dengan herpes zoster, diperlukan tindakan pencegahan
melalui airbone dan kontak langsung harus dilakukan sampai semua lesi mengering.7
CDC merekomendasikan bahwa pasien ESRD yang berusia ≥ 60 tahun untuk
mendapatkan vaksin zoster dosis tunggal, terlepas dari apakah mereka melaporkan ada
episode sebelumnya dari herpes zoster. Vaksin yang digunakan adalah vaksin hidup
dan merupakan kontraindikasi bagi penerima organ transplantasi allogenik yang
mendapatkan terapi imunosupresi atau yang positif HIV. Penelitian telah menunjukkan
bahwa vaksin zoster menyebabkan penurunan infeksi herpes zoster sekitar 50%,
dengan manfaat tertinggi (64%) pada pasien berusia 60 - 69 tahun. Untuk pasien yang

18
divaksinasi tetapi masih menderita herpes zoster, durasi rasa sakit berkurang sekitar
10%. Sehingga pada pasien dalam kasus ini tidak diperlukan pemberian vaksin virus
herpes zoster.10
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pada pasien zoster, semakin besar
jumlah komorbiditas yang serius, semakin besar tingkat mortalitasnya. Peningkatan
CCI dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian. Malnutrisi dan bakteremia /
septikemia adalah faktor risiko mortalitas pada pasien ESRD dengan herpes zoster
selama rawat inap. Peradangan dan malnutrisi sebelumnya telah diakui sebagai
kontributor penting untuk prognosis buruk pada pasien yang mendapatkan terapi
dialisis, hal ini kemungkinan terkait dengan respon imun yang terganggu.11

19
BAB IV
KESIMPULAN

Dilaporkan satu kasus Herpes Zooster + CKD stage V pada seorang perempuan
berusia 30 Tahun. Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis dan tampakan klinis pasien
yaitu adanya rasa nyeri dan gatal pada lesi yang berupa: 1) patch eritema, berbatas
tegas, bentuk ireguler, multiple, tersebar regional, 2) vesikel berbatas tegas, bentuk
bulat, multipel, tersebar regional. Terapi yang diberikan adalah asiklovir untuk
pengobatan herpes. Pada pasien perlu diberikan edukasi mengenai kepatuhan
mengonsumi obat yang diberikan dan tetap rutin melakukan hemodialisasi sesuai
dengan anjuran dokter, serta tidak kalah pentingnya untuk memberikan edukasi kepada
pasien mengenai kondisi yang dialaminya, bahwa semakin besar jumlah komorbiditas
yang serius, semakin besar tingkat mortalitasnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Lin SY et.al. Association between herpes zoster and end stage renal disease
entrance in chronic kidney disease patients : a population based cohort study.
Eur J Clin Microbiol Infected Dis. April 2014; 1-7
2. Akimoto T, Muto S, Nagata D. Bilateral herpes zoster in a patient with end
stage kidney disease. Int Med Case Reports Journal. June 2017; 10: 209-212.
3. Cohen JI. Herpes Zoster. NEJM. July 2013. 369(3) : 255-263
4. Gupta R. Gupta P. Gupta S. Pthogenesis of Herpes Zoster : A Review. The
Pharmaco Innovation Journal. 2015; 4(5): 11-13
5. Kawai K. et.al. Risk Factors for Herpes Zoster : a Systemic Review and Meta-
Analysis. OFID, 2017:4; 1-2
6. Woff K, Johnson RA, Saavedra AP. Fitpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology Ed 7th. McGraw Hill. 2013. New Yotk : United States.
7. Habif TP. Clinical Dermatology A Color Guideline to Diagnosis and Therapy
Ed 6th. Elsevier. 2016. New York : United States of America
8. Koshy E. Mengting L, Kumar H, Jianbo W. Epidemology, treatment of herpes
zoster : A Comprehensive Review. Indian Journal of Dermatology, Venerelogy
and Leprosy. 2018: 84(3); 251-262
9. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
di Indonesia. 2017
10. Yee STK. Acyclovir Toxicity in Patients with Chronic Kidney Disease. College
Mirror. 2016 : 4(2); 1-3
11. Ahn JH et.al. Mortality risk after herpes zoster infection in end-stage renal
disease patients. Clincal Kidney Journal. 2018 : 1-5
12. Beaulieu BA, Irish SR. Literature review of the causes, treatment, and
prevention of dermatitis linearis. Journal of Travel Medicine, 2016: 23 (4); 1-5
13. Goldsmith LA, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Ed.VIII,
Vol. 1. Mc Graw Hill Education. United States; 2012: pages 2383

21
22

Anda mungkin juga menyukai