Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi virus hepatitis B (HBV) saat ini telah dikenal sebagai salah satu masalah utama
masyarakat di seluruh dunia.1 Prevalensi infeksi virus ini bervariasi di seluruh dunia, dengan
perkiraan setengah dari populasi tersebut hidup di daerah dimana infeksi virus hepatitis B
menrupakan suatu endemik, termasuk di sebagian besar Asia, pulau-pulau di Pasifik, Afrika
dan Timur Tengah.2 Diperkirakan 350-400 juta individu diseluruh dunia mengalami infeksi
kronik akibat virus ini.3 lebih dari 50% individu tersebut mendapatkan infeksi virus hepatitis
B nya selama masa perinatal.4
Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui kontak perkutaneus atau
permukosal terhadap cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi HBV, melalui hubungan
seksual dan transmisi perinatal dari seorang ibu yang terinfeksi ke bayinya. Manifestasi klinis
dapat bervariasi mulai dari hepatitis subklinik hingga hepatitis simtomatik, dan meskipun
jarang dapat terjadi hepatitis fulminan. Komplikasi jangka panjang dari hepatitis mencakup
sirosis hepatis dan hepatoma.1
Data yang dihimpun dalam suatu penjaringan terhadap 140.000 wanita hamil yang
berlangsung dari tahun 2005-2007 di Denmark menunjukan sebanyak 36.400 (0,26%) dari
antara wanita tersebut memiliki HBsAg positif dalam darahnya. Tanpa suatu bentuk
intervensi seperti pemberian imunoprofilaksis maka ibu dengan HBsAg positif memiliki
resiko 20% untuk mentransmisikan infeksi tersebut ke anaknya saat melahirkan. Resiko
tersebut akan meningkat menjadi lebih dari 90% pada ibu dengan HBeAg positif.2,5 Transmisi
secara vertical tersebut diatas diketahui sebagai penyebab terjadinya infeksi perinatal yang
berkaitan dengan angka kroniksitas yang sangat tinggi (>95%).6
Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih 350 juta orang pengidap HBV persisten,
hampir 74 % (lebih dari 220 juta) pengidap bermukim dinegara-negara Asia. Bagian dunia
yang endemisitasnya tinggi adalah terutama Asia yaitu Cina, Vietnam, Korea, dimana 50–70
% dari penduduk berusia antara 30 – 40 tahun pernah kontak dengan HBV, dan sekitar 10 –
15 % menjadi pengidap Hepatitis B. Menurut WHO Indonesia termasuk kelompok daerah
dengan endemisitas sedang dan berat (3,5 – 20 %).1
Lebih dari 40 % individu yang menderita infeksi kronis virus hepatitis B atau sekitar
600.000 individu di seluruh dunia meninggal tiap tahunnya karena gangguan hati, sirosis dan
2

hepatoseluler karsinoma (HCC). 4,6 oleh karena itu pencegahan transmisi perinatal merupakan
sasaran penting dalam mengurangi angka kematian dan penularan serta eradikasi global
terhadap infeksi virus hepatitis B.4
Pengetahuan mengenai infeksi virus hepatitis B pada kehamilan penting guna melihat
mortalitas dan morbiditas dari host dalam hal ini ibu hamil tersebut dan efeknya pada
persalinan serta kemampuannya dalam mentransfer infeksi virus tersebut ke janin yang
dikandungnya. 7
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah epidemiologi Hepatitis B?
2. Bagaimanakah etiologi dari Hepatitis B?
3. Bagaimanakah patogenesis dari Hepatitis B?
4. Bagaimanakah manifestasi klinik dari Hepatitis B?
5. Bagaimana diagnosis dari Hepatitis B?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari Hepatitis B?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami etiologi dari Hepatitis B?
2. Mengetahui dan memahami patogenesis dari Hepatitis B?
3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinik dari Hepatitis B?
4. Mengetahui dan memahami diagnosis dari Hepatitis B?
5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari Hepatitis B?
1.4 Manfaat Makalah
1.4.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan aporan kasus ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan
tentang epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis dan
penatalaksanaan Hepatitis B dalam kehamilan.
.
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan dapat memberi tambahan wacana dalam menentukan diagnosis
dan penanganan awal terhadap Hepatitis B dalam kehamilan.
3

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 32 Tahun
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Pagak
Pendidikan : SMP
No. Reg : 367880
Identitas Suami
Nama : Tn. A
Umur : 42 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Pagak
Pendidikan : SMP
4

2.2 Anamnesa
2.2.1 Keluhan Utama
Pasien kontrol dengan keluhan kenceng-kenceng sejak 4 hari yang lalu
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kandungan RSUD Kanjuruhan Kepanjen pada tgl 21
September 2017 pukul 10.00 WIB untuk memeriksakan kehamilannya. Pasien
merasakan sudah hamil 9 bulan dan datang untuk kontrol. Pasien merasakan kenceng-
kenceng kurang lebih 1 menitan pada perut sejak 4 hari yang lalu, sifatnya hilang
timbul. Pasien tidak mengeluhkan keluar darah, air maupun lendir dari jalan lahir.
Kehamilan ini merupakan kehamilan kedua, oleh dokter pasien disarankan untuk
MRS.
2.2.3 Riwayat kehamilan ini
Hamil muda : mual (+), muntah (+), perdarahan (-), kejang (-)
Hamil tua : mual (-), muntah (-), perdarahan (-), kejang (-)
ANC : ke dokter 6 kali
Oyok : 1 kali
2.2.4 Riwayat Menstruasi
- Menarche :12 Tahun
- Lama menstruasi : 7 Hari
- Siklus : teratur
- Jumlah : 2-3 pembalut/ hari
- HPHT : 1-1-2017
- HPL : 8-10-2017
- Usia Kehamilan : 36-37 minggu
2.2.5 Riwayat Penggunaan Alat Kontrasepsi
Tidak pernah KB
2.2.6 Riwayat Penyakit Dahulu
- Kardiovaskuler : Disangkal
- Hipertensi : Disangkal
- DM : Disangkal
- TBC : Disangkal
- Asma : Disangkal
- Penyakit kelamin/HIV AIDS : Disangkal
- MRS sebelumnya : Disangkal
5

2.2.7 Riwayat Perkawinan


Kawin : 1 kali, lama 7 tahun; umur saat kawin 26 tahun.

2.2.8 Riwayat Persalinan sebelumnya


Tahun Tempat UK Jenis Penyulit JK BBL Keadaan
partus partus Persalinan Anak
2013 RS Puri 36-37 SC PRM Laki-laki 2500 gr Hidup
Bunda

2.2.9 Riwayat Penyakit Keluarga


- Kanker : Disangkal
- Penyakit hati : Disangkal
- Hipertensi : Disangkal
- DM : Disangkal
- Epilepsi : Disangkal
- Penyakit Jiwa : Disangkal
- Kelainan bawaan : Disangkal
- Hamil kembar : Disangkal
- TBC : Disangkal
- Alergi : Dosangkal
2.2.10 Pola Makan/Minum/Eliminasi/Istirahat/Psikososial
- Pola makan : 3 kali/hari
- Pola minum : ± 1500 cc/hari
- Riwayat minum jamu (+)
- Pola eliminasi : BAK 1200 cc/hari; warna kuning jernih
BAB 2 kali/hari; konsistensi lunak
- Pola istirahat : Tidur 6-8 jam/hari; terakhir jam 05.00 WIB
- Psikososial : social support dari semua keluarga

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Status Present
Keadaan Umum : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit
6

Suhu : 36,2oC
Jumlah Pernafasan : 20 x/menit
BB/TB : 69 kg/146 cm

2.3.2 Pemeriksaan Umum


1. Kulit : Normal
2. Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-); sklera ikterik (-/-); pandangan menurun
(-)
Mulut :stomatitis(-); hiperemi faring(-); pembesaran tonsil(-)
3. Leher : Pembesaran KGB leher (-); pembesaran tiroid (-)
4. Thorax
Paru :Pergerakan pernapasan simetris, retraksi otot napas (-), pembesaran
KGB axila (-), sonor, vesikuler (+/+); wheezing (-/-); ronkhi (-/-)
Cor : iktus kordis terlihat dan teraba, batas jantung normal, S1 S2
reguler, bising jantung
5. Kelenjar mamae : simetris, hiperpigmentasi, colostrum (-),
6. Abdomen : membesar membujur, striae albican (+), bekas operasi (+), linea
nigra (+), pekak, nyeri tekan (-), bising usus (+),
7. Ekstremitas : edema -/-, varises -/-, reflek patella +2/+2
2.3.3 Status Obstetri
Pemeriksaan luar
Inspeksi : Perut membesar arah membujur
Palpasi :
Leopold I : Tinggi fundus uteri 3 jari di bawah prosesus xiphoideus (30 cm).
Bagian teratas teraba besar, bulat, lunak, tidak melenting.
Leopold II : Tahanan memanjang disebelah kiri
Leopold III : Di bagian bawah teraba besar, bulat, keras. Belum masuk PAP
Leopold IV : 5/5
Auskultasi : Bunyi jantung janin 146 x/menit, reguler, tunggal.
Pemeriksaan dalam
Dilakukan oleh bidan; pada tanggal 21 September 2017 Jam: 12.30
Pengeluaran per vaginam : tidak ada apa-apa
Vulva/vagina : Blood slym (-), fluor albus (-), benjolan (-), luka (-)
Pembukaan waktu his : Porsio menutup
7

Penipisan portio : Belum dapat dievaluasi


Ketuban : Belum dapat dievaluasi
Bagian terdahulu : Belum dapat dievaluasi
Bagian terendah : Belum dapat dievaluasi
Hodge : Belum dapat dievaluasi
Molase : Belum dapat dievaluasi

2.4 Ringkasan
Pasien datang ke Poli Kandungan RSUD Kanjuruhan Kepanjen pada tgl 21
September 2017 pukul 10.00 WIB untuk memeriksakan (konrol) kehamilannya.
Pasien merasakan sudah hamil 9 bulan dan datang untuk kontrol. Pasien merasakan
kenceng-kenceng kurang lebih 1 menitan pada perut sejak 4 hari yang lalu, sifatnya
hilang timbul. Pasien tidak mengeluhkan keluar darah, air maupun lendir dari jalan
lahir. Kehamilan ini merupakan kehamilan kedua, oleh dokter pasien disarankan untuk
MRS.
Secara obyektif pasien dalam keadaan umum yang baik dan tanda vital normal.
Pemeriksaan obsetrik menunjukkan TFU 30 cm dan kesan bokong, punggung janin di
kiri, bagian terbawah kepala, dan belum masuk PAP. DJJ 146 x/menit. Reguler,
tunggal. Pemeriksaan dalam tidak ada apa-apa dan portio masih menutup.

2.5 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan Hasil Nilai normal
DL
Hemoglobin 12,1 gr/dL 11,7 – 15,7 gr/Dl
Hematokrit 37 % 36 – 47%
Eritrosit 3,90 x 106 /cmm 3,0 – 6,0 x 106/cmm
Leukosit 8.750 cell/cmm 4000-11.000 cell/cmm
Trombosit 260.000 cell/cmm 150.000-450.000 cell/cmm
PTT 9,8 detik 9,7 – 13,1 detik
APTT 26,8 detik 22 – 30 detik
GDS 90 mg/dl < 140
HbsAg Reaktif Negative
8

2.6 Diagnosa
1. GII PI00IAb000 usia ibu 32 tahun, gravid uk 36-37 minggu
2. Janin tunggal hidup intrauterin
3. Letak kepala, belum masuk PAP, punggung kiri
4. Belum Inpartu
5. BSC
6. HbSAg Reaktif

2.7 Rencana Tindakan


1. Infus RL
2. Pasang DC
3. Antibiotik 2 jam pre op  Ceftriaxone 2x1 gram
4. Pemeriksaan laboratorium lengkap: DL (Hb, eritrosit, leukosit, trombosit,
hematokrit), clotting time, bleeding time, HbsAg)
5. Pro SC elektif

2.8 Kondisi Bayi


Bayi Ny. P perempuan lahir hidup secara SC
BBL : 2800 gr
PB : 49 cm
AS : 7-8
9

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hepatitis B
Definisi
Hepatitis B merupakan penyakit infeksi virus pada hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis B.2,3 Virus hepatitis B menyerang hati, masuk melalui darah ataupun cairan tubuh
dari seseorang yang terinfeksi seperti halnya virus HIV. Virus hepatitis B adalah virus
nonsitopatik, yang berarti virus tersebut tidak menyebabkan kerusakan langsung pada sel
hepar. Sebaliknya, adalah reaksi yang bersifat menyerang sistem kekebalan tubuh yang
biasanya menyebabkan radang dan kerusakan pada hepar.3

Epidemiologi
Diperkirakan 350-400 juta individu diseluruh dunia telah terinfeksi oleh virus hepatitis
B.8 Prevalensi infeksi virus ini bervariasi diseluruh dunia, dengan setengah dari populasinya
hidup di daerah-daerah dimana hepatitis B merupakan suatu penyakit endemik.3 Daerah
dengan prevalensi tinggi (lebih dari 2%) antara lain: Australia aborigin, selandia baru,
kepulauan di Pasifik : Melanesia, Mikronesia, polinesia, Asia selatan : India, Banglades,
Pakistan, Sri langka, Asia tenggara: Camboja, Indonesia, laos, Malaisia, Filipina, Singapura,
Thailand, Vietnam, Asia timur: Cina, Hongkong, Korea dan Taiwan, seluruh afrika kecuali
afrika selatan, Amerika Selatan: Chili, daerah mediterania, daerah timur tengah : Mesir, Iran,
Libia, Jordania, Turki, serta Eropa tengah seperti Rumania dan Yugoslavia.9 Tingkat infeksi
virus hepatitis B masih tetap tinggi, di Cina mencapai 7,18%, sedangkan data dari Nigeria
10
mencapai 2-15% dari total populasinya, dengan rentang umur antara 25-35 tahun.
Berdasarkan data yang dihimpun WHO tahun 2008, Indonesia merupakan salah satu negara
dengan prevalensi tinggi yaitu 7,2%-9% diikuti dengan Filipina 7,0-9,0% sedangkan Malaysia
berkisar antara 6,0-9,0%. Data dari Negara maju seperti Amerika Serikat menunjukkan angka
hanya 1-2% dari populasinnya.11,12
Pada negara-negara dengan prevalensi tinggi seperti disebutkan diatas , wanita hamil
yang memiliki kadar Hepatitis B e Antigen (HBeAg) yang lebih tinggi, memiliki kemampuan
dalam mensalurkan infeksinya secara transmisi ibu-anak.13 Transmisi secara vertical tersebut
diatas diketahui sebagai penyebab terjadinya infeksi perinatal yang berkaitan dengan angka
kroniksitas yang sangat tinggi (>95%).6
10

Etiologi

Gambar 3.1 Morfologi virus hepatitis B.21

Virus Hepatitis B merupakan virus berkapsul, berdiameter 42 nm yang termasuk


dalam keluarga Hepadinaviridae dan memiliki genom yang tersusun melingkar dengan
panjang molekul 3,2 kb terdiri dari molekul DNA Ganda. Molekul tersebut mengandung 4
rangkaian yang saling tumpang tindih yaituprotein permukaan (HBsAg), Protein inti/core
(HBc/HBeAg), polymerase virus serta transaktivator transkripsi HBx.14
Telah ditemukan beberapa bentuk antigen yang penting secara klinis dalam
mengkonfirmasi perkembangan infeksi virus hepatitis B, yaitu HepatitisVirus B s antigen
(HBsAg) yang menandakan adanya infeksi virus hepatitis B, Hepatitis B e Antigen (HBeAg)
yang menandakan adanya replikasi virus, serta transaktivator HBx yang berkaitan dengan
kemampuan virus tersebut dalam menyatukan genomnya dengan genom host serta
kemampuan nya dalam menyebabkan suatu bentuk penyakit keganasan (onkogenisitas).15

Patogenesis
Virus Hepatitis B memiliki masa inkubasi antara 6 minggu sampai dengan 6 bulan
dengan rata-rata yaitu 90 hari (3 bulan).1 virus ini menular secara perkutaneus (luka pada
kulit) atau mukosa yang terpapar oleh darah, cairan tubuh seperti serum, semen dan air liur
yang telah tercemar oleh virus tersebut. Replikasi virus Hepatitis B sebagian besar terjadi di
sel hepar.16
Virus Hepatitis B yang menginfeksi manusia akan menyebabkan terjadinya infeksi
akut yang kemudian dapat berkembang menjadi kronik sebanyak 10%, memberi gejala
hepatitis akut sebanyak 25% yang kemudian sembuh, 65% akan tidak bergejala kemudian
sembuh dan < 1% yang akan menjadi hepatitis B fulminan.22
11

Se
cara
alamiah,
perjalanan
penyakit
virus
hepatitis B
dapat
dikelompo
kkan
dalam 5
fase yang terjadi walau tidak selalu harus terjadi secara berurutan yaitu :17 Gamba
1) Fase toleransi Imun
Dalam darah pasien pada fase ini akan ditemukan HBeAg positif dengan kadar HBV-
DNA yang tinggi (≥108 kopi/ml) sedangkan kadar ALT normal atau hanya sedikit
tinggi (< 35 IU/ml wanita). Pada pemeriksaan Histologi sel hati tidak akan ditemukan
adanya peradangan atau fibrosis.

2) Fase imun aktif


Pada fase ini akan ditemukan HBeAg positif dengan kadar HBV-DNA yang tinggi
(106-107 kopi/ml) sedangkan kadar ALT meningkat diatas normal dan berfluktuasi .
Pada pemeriksaan Histologi sel hati akan ditemukan adanya peradangan sedang
hingga berat.
3) Fase inaktif/carrier (Fase Laten)
Pada fase ini akan ditemukan HBeAg negative dan tergantikan dengan munculnya
anti-HBe . Kadar HBV-DNA rendah (≤103 kopi/ml) atau bahkan tiak terdeteksi lagi,
selain itu kadar ALT menjadi normal. Pada pemeriksaan Histologi sel hati akan
ditemukan peradangan minimal namun disertai dengan fibrosis hingga sirosis.
4) Fase reaktif (Hepatitis B HBeAg (-) kronik Aktif)
Fase ini ditandai dengan meningkatnya ALT disertai dengan kadar HBV-DNA yang
tinggi (≥104 kopi/ml), biasanya disertai juga dengan ditemukan kembalinya HBeAg
12

dalam darah yang menggantikan anti-HBe yang ada sebelumnya. Pada pemeriksaan
Histologi sel hati akan ditemukan peradangan aktif disertai dengan fibrosis progresif.
5) Fase Resolusi
Pada fase ini, bentuk infeksi dari virus hepatitis B akan sembuh yang ditandai dengan
HBsAg negative dan kadar HBV-DNA tidak ditemukan lagi, selain itu kadar ALT
juga dalam batas normal. Jika dalam perkembangan fase sebelumnya telah terbentuk
fibrotic atau sirosis hati, maka hal tersebut akan menetap walaupun infeksinya telah
sembuh. Pada kasus supresi imun yang berat, reaktifasi bias terjadi.

Gambar 3.3 Fase hepatitis B kronik. panah putih,


perubahan histopatologi; panah abu-abu,
perubahan marker serologi antara fase.
Panah atas maupun bawah, peningkatan atau
penurunan level DNA ALT,
alanineaminotransferase; HBeAg, hepatitis
B e antigen.23

Secara umum tidak terdapat perbedaan cara atau tahapan infeksi maupun gejala yang
timbul antara wanita hamil atau manusia lainnya. Namun demikian adanya perubahan
fisiologis selama kehamilan dimana terjadi peningkatan metabolism seperti peningkatan
konsumsi nutrisi yang diakibatkan oleh pertumbuhan janin maka eksarsebasi kerusakan dan
penyakit hati yang telah ada sebelumnya akan lebih mudah terjadi.7,13

Tansmisi Virus Hepatitis B


Pada daerah endemik, cara penting dalam penularan hepatitis B dari individu ke
individu yang lain diperankan oleh kontak dengan pasien (bagi tenaga kesehatan), kontak
seksual serta penggunaan obat-obatan melalui intravena. Sedangkan pada daerah yang
memiliki prevalensi rendah, cara penularan yang sangat berperan adalah melalui parenteral
13

atau perkutaneus seperti saat melakukan piercing, membuat tato atau saat berbagi pisau cukur
maupunpun sikat gigi. Selain itu, tindakan operasi dan perawatan gigi dapat menjadi sumber
infeksi sedangkan penularan infeksi melalui transfusi darah di negara berkembang telah
menurun angka kejadiannya oleh karena telah diterapkannya pemeriksaan serologi serta
molekuler darah namun tetap menjadi suatu sumber infeksi di Negara-negara miskin.20 Cara
penularan lainnya yang juga merupakan cara penularan yang menyebabkan angka kroniksitas
yang tinggi adalah melalui transmisi ibu-anak.
Transmisi infeksi dari ibu ke anak secara tradisional disebut sebagai infeksi perinatal.2
Transmisi ini merupakan transmisi yang terpenting diantara transmisi vertical lainnya dalam
hal penyebab terbentuknya penyakit hepatitis B kronik.6 Dari definisinya periode perinatal
yang dimulai dari usia gestasional 28 minggu-28 hari postpartum maka infeksi diluar masa
tersebut tidak termasuk dalam infeksi perinatal, oleh karena itu saat ini istilah tersebut telah
berubah menjadi transmisi ibu-anak yang mencakup keseluruhan infeksi yang terjadi sebelum,
saat dan sesudah kelahiran, termasuk infeksi yang terjadi pada usia dini.2
Transmisi ibu-anak secara garis besar dapat dibagi atas :2
1. Transmisi intrauterine/ prenatal
2. Transmisi intrapartum/ saat melahirkan
3. Transmisi Postpartum (selama perawatan bayi )

1. Transmisi intrauterin (transmisi prenatal)


Mekanisme pasti terjadinya infeksi prenatal/ intrauterine ini masih belum jelas, namun
demikian terdapat beberapa kemungkinan diantaranya:
 Kerusakan sawar plasenta
Kebocoran transplasenta yang terjadi oleh karena kontraksi uterus selama kehamilan
dan adanya robekan pada sawar plasenta merupakan cara yang sering menjadi
penyebab infeksi intrauterine. sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa tindakan
amniosisntesis yang dilakukan pada wanita hamil dengan HBsAg positif dapat
menyebabkan darah ibu yang infeksius terbawa melalui jarum amniosintesis ke dalam
rongga intrauterine, namun demikian transmisi dengan cara ini sangat jarang terjadi.2
 Infeksi plasenta dan transmisi transplasenta
Penelitian Wang & Zhu menunjukkan kemampuan hepatitis B untuk bergabung
dengan jaringan plasenta dan mengakibatkan terbentuknya fokus infeksi.2,6 Penelitian
Zhang dkk menunjukkan adanya konsentrasi dari 2 antigen (HBsAg dan HBeAg) yang
turun dari sisi ibu ke fetus melalui sel-sel desidua maternal > sel-sel trofoblas> sel-sel
14

vili mesenkim> sel endotel kapiler. dengan hasil tersebut, peneliti menyimpulkan
bahwa cara ini merupakan cara yang dominan pada transmisi intrauterine.7,18,24
 Suatu penelitian mengungkapkan adanya DNA HBV pada oosit dan sperma individu
yang terinfeksi, oleh karena itu infeksi pada fetus dapat terjadi selama masa
konsepsi.24
 Liu dkk mendapati adanya gen genotip "7/5" of DC-SIGNR yang sesuai untuk
terjadinya infeksi intrauterine.25
2. Transmisi intrapartum / saat melahirkan
Transmisi virus hepatitis B ke bayi saat lahir dimungkinkan oleh adanya beberapa
faktor diantaranya perpindahan dari ibu ke janin saat kontraksi selama persalinan atau
sebagai konsekuensi rupture membran plasenta yang terjadi, selain itu dapat pula terjadi
melalui cairan amnion, darah maupun sekret yang terdapat sepanjang jalan lahir tertelan
oleh bayi.2
Okada dkk menemukan 85 % dari infeksi neonatal terjadi selama intrapartum hal ini
disebabkan oleh karena paparan darah dan sekret vagina yang infeksius.7
3. Transmisi Postpartum / post natal/ saat perawatan
Walaupun DNA HBV, HBsAg dan HBeAg telah terbukti di eksresikan bersama
dengan kolostrum dan air susu pada ibu yang terinfeksi hepatitis B, tidak ditemukan bukti
bahwa menyusui meningkatkan resiko transmisi secara ibu-anak.6
Mekanisme pasti mengenai cara transmisi postnatal belum diketahui secara pasti,
namun beberapa literature menduga transmisi terjadi melalui ciuman ibu ke mulut bayi
dan akibat kontaminasi air susu ibu dengan eksudat yang terbentuk dari luka disekitar
putting susu ibu.6

3.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis B seperti pada umumnya,
tidak berbeda antara wanita hamil dengan wanita yang tidak hamil. Pada kasus infeksi akut
akan timbul keluhan yang tidak spesifik, termasuk kelemahan, kelelahan, anoreksia, mual,
sakit kepala, nyeri otot dan demam derajat rendah. Gejala seperti mual muntah pada stradium
prodromal ini terkadang membingungkan dengan gejala yang timbul pada wanita hamil muda
tanpa penyakit hepatitis B. Jika penyakit ini sembuh sebelum terbentuknya kerusakan hati
yang menyebabkan disfungsi hati sekunder maka gejala prodromal seperti diatas akan
dianggap seperti suatu sindrom flu biasa akibat virus atau bahkan akan dianggap sebagai
bentuk efek fisiologis normal dari kehamilan itu sendiri.7
15

Ikterus akan muncul sekitar 2-10 hari setelah gejala prodromal muncul, pasien juga
akan mengeluhkan rasa tidak nyaman di region perut kanan atas dan pada pemeriksaan fisik
bisa ditemukan adanya hepatomegali. Namun pemeriksaan untuk menemukan adanya
hepatomegali tersebut akan sulit dilakukan pada pasien dengan usia kehamilan lanjut. 7
Umumnya ikterus dan gejala penyakit hati lainnya akan sembuh dalam 6 minggu,
namun beberapa diantaranya dapat berlanjut menjadi gagal hati yang fulminant yang ditandai
dengan kegagalan organ multiple, edema cerebri dan koagulopati. Ada pula yang kemudian
menetap lebih dari 6 bulan dan menjadi hepatitis B kronik. 7
Pada sebagian besar individu yang mengalami hepatitis B kronik tidak akan
memberikan gejala klinis hingga stadium akhir. Infeksi kronik hepatitis B kadang kala
diketahui secara tidak sengaja saat pasien hamil tersebut memeriksakan kehamilannya.
Temuan laboratorium lain umumnya normal kecuali kadar ALT yang cenderung tidak normal.
7

Pemeriksaan fisik wanita hamil dengan infeksi kronik hepatitis B terkadang tampak
normal oleh karena tanda-tanda sirosis dini seperti eritema Palmaris, splenomegali dan ukuran
hati yang kecil dapat tersamarkan dengan perubahan kondisi fisik akibat kehamilan tersebut. 7
Efek infeksi hepatitis B pada ibu hamil umumnya tidak bermakna. Namun bagi ibu
yang telah mengalami sirosis sebelum kehamilannya akan memiliki resiko lebih besar untuk
terjadinya rupture varises esophagus yang menyebabkan perdarahan. 7
Penelitian lain menunjukkan infeksi kronik hepatitis B berhubungan dengan terjadinya
diabetes mellitus gestasional, perdarahan antepartum, kelahiran premature dan kondisi skor
apgar yang rendah pada bayi baru lahir. selain itu ibu hamil dengan gangguan hati yang berat
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum, distress hingga kematian janin,
asfiksia neonatorum dan berat badan lahir rendah. Perdarahan postpartum dan intrapartum
dapat terjadi oleh karena kurangnya vitamin K yang terjadi akibat adanya gangguan hati. 13
Adanya infeksi hepatitis B didalam uterus selama kehamilan merupakan indikator
yang penting karena janin yang mengalami paparan dini dengan antigen Hepatitis B saat
perkembangan embriogenik akan mengalami toleransi imun terhadap antigen tersebut dan
memungkinkan terbentuknya infeksi kronik pada janin oleh karena ketidak mampuan imun
janin dalam mengeliminasi virus tersebut. 10

Diagnosis
Diagnosis sering didasarkan pada riwayat klinik, meningkatnya kadar ALT serta
ditemukannya antigen hepatitis B virus (HBsAg) di serum pasien. Pemeriksaan tambahan
seperti anti-HBe IgM kadang kala dibutuhkan pada beberapa kasus dimana pasien diduga
16

mengalami infeksi akut dengan kadar HBsAg negatif, pasien pada kasus ini harus dicurigai
sedang berada pada “fase jendela” (window phase).17
Pada pasien dengan dugaan hepatitis B kronik harus dilakukan pemeriksaan HBsAg
dan HBV DNA guna diagnosis, indikasi terapi dan untuk mengamati perkembangan dari
pasien tersebut.17
Beberapa tes serologi penting antara lain HBeAg yang menunjukkan kondisi pasien
yang sangat infeksius, HBV DNA menunjukkan jumlah virus dalam tubuh pasien, anti HBe
atau HBeAg yang mengindikasikan bahwa pasien tersebut lebih kurang menular
dibandingkan dengan HBeAg positif. 9

Penatalaksanaan
Beberapa faktor yang mempengaruhi pilihan terapi bagi wanita usia reproduktif yang
terinfeksi virus hepatitis B diantaranya adalah keamanan saat bersalin dan menyusui
efektivitas agen terapi, lama masa terapi dan yang paling penting adalah akibat dari terapi
tersebut bagi ibu dan janin.19
Keputusan untuk memulai terapi selama kehamilan harus mempertimbangkan
beberapa hal mengenai resiko dan keuntungan bagi ibu serta janin yang dikandungnya,
bahkan harus pula dipikirkan mengenai kapan atau pada trimester berapa terapi harus
dimulai.19
Pada kasus hepatitis B akut, Tidak diberikan penanganan khusus, penanganan hanya
berupa tira baring (bedrest) dan tinggi protein, diet rendah lemak. Sedangkan indikasi untuk
rawat inap seperti anemia berat, diabetes, mual muntah hebat, gangguan protrombin time,
26
kadar serum albumin yang rendah, kadar bilirubin >15mg/dl. Bagi wanita hamil yang
merasa dirinya telah terpapar dengan virus hepatitis B dapat diberikan immunoglobulin
hepatitis B (HBIG) guna melawan virus tersebut, idealnya diberikan dalam 72 jam pertama
setelah paparan. Selain itu guna meningkatkan profilaksis, pasien tersebut dapat diberikan
vaksin hepatitis B dalam 7 hari pertama setelah terpapar, dilanjutkan dengan 1 dosis pada
bulan berikutnya (vaksin yang kedua) dan 1 dosis (vaksin yang ketiga) lagi setelah 5 bulan
dari vaksin ke dua atau 6 bulan dari saat terpapar. 27
17

Pada kasus tertentu, obat-obatan antiviral harus digunakan. Terdapat 7 pengobatan


antivirus yang telah diterima oleh Food & Drugs Administration (FDA) sebagai terapi untuk
hepatitis B.12 Namun tidak satu pun dari obat-obat tersebut yang diterima untuk digunakan
pada ibu hamil.8

O
bat-
obatan
antiviral
memiliki
kemamp
uan
dalam
mengha

mbat nukleotida
maupun
polimerasenya,
walaupun targetnya
adalah RNA-
dependent DNA
polymerase virus
hepatitis B, namun
karena obat ini
mampu dengan bebas melalui plasenta, mereka juga dapat mengganggu replikasi DNA dalam
mitokondria, jika hal ini terjadi maka akan menganggu organogenesis janin.3,4 oleh karena itu
pasien yang sedang dalam terapi obat antivirus yang kemudian menjadi hamil harus
menghentikan pengobatan tersebut khususnya bagi pasien yang tidak memiliki penyakit hati
yang berat, selain itu pengobatan saat kehamilan muda juga tidak disarankan untuk diterapkan
pada wanita hamil yang infeksinya masih berada dalam fase toleransi imun (serum HBV-
DNA tinggi namun kadar ALT normal serta hasil biopsy hani normal). Hal tersebut
3,8
diterapkan guna mengurangi paparan antiviral pada fetus selama trimester pertama.
Sedangkan bagi mereka yang ingin hamil, harus mengatur rencana kehamilannya. sebagai
contoh, pasien yang sebelumnya menggunakan terapi interferon harus menghentikan terapi
18

tersebut selama minimal 6 bulan sebelum merencanakan kehamilannya, oleh karena interferon
merupakan obat antipolimerase yang menjadi kontraindikasi bagi kehamilan.13,19
Penggunaan antiviral selama kehamilan didasarkan pada data keamanan penggunaan
antiviral virus hepatitis B yang berasal dari 2 sumber utama yaitu Antiviral Pregnancy
Registry (APR) dan Development of Antiretroviral Therapy Study (DART).8
Data dari APR yang dilaporkan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa lamivudine dan
tenovovir merupakan 2 obat dengan pengalaman penggunaan secara in vivo di trimester
pertama kehamilan yang paling aman.8

O
leh sebab
itu
didunia
saat ini terdapat 2 jenis obat yang paling sering digunakan sebagai terapi hepatitis B pada ibu
hamil, yaitu lamivudin dan tenovovir. 3 Walaupun lamivudine digolongkan obat kelas C oleh
FDA atas dasar ditemukannya toksisitas saat penggunaanya di kelinci hamil saat trimester
3
pertama. Namun penelitian di Cina telah menunjukkan kesuksesan lamivudine dalam
menghambat transmisi vertical selama trimester ke 3 kehamilan, saat digunakan pada
pemberian pertama di usia kehamilan 28 minggu , dengan kadar DNA-HBV ≤108 IU/ml.
Penelitian ini juga menunjukkan penurunan kadar DNA-HBV hingga ≤106 IU/ml bagi pasien
dengan kadar DNA-HBV ≥ 108 IU/ml yang mendapatkan terapi lamivudine. Penelitian lain
yang juga menggunakan lamivudin selama trimester 3 kehamilan menunjukan penurunan
angka transmisi intrauterine dan tidak ditemukannya abnormalitas pada bayi baru lahir dalam
kelompok tersebut.6
Tenovovir termasuk kategori kelas B, obat ini memiliki kelebihan tambahan berupa
kemampuannya dalam mancegah resistensi virus, bahkan hingga saat ini tidak terdapat
laporan mengenai terjadinya resistensi virus hepatitis B terhadap obat ini.3
Obat lain yang mulai digunakan adalah telbivudin yang masuk dalam kategori kelas B
menurut FDA, namun penggunaanya masih terbatas oeh karena kurangnya data keamanan
penggunaan obat ini dalam penelitian in vivo pada ibu hamil dan mudahnya obat ini menjadi
resisten.3,8
Penelitian yang melibatkan penggunaan telbivudine telah dilaksanakan pada wanita
hamil dengan usia kehamilan 20-32 minggu yang memiliki HBsAg positif dan kadar DNA-
HBV > 107 IU/ml menunjukan adanya penurunan angka transmisi perinatal, selain itu terjadi
19

penurunan kadar HBV-DNA, HBeAg dan normalnya kadar ALT sebelum tiba saatnya
bersalin.6
Terapi pada wanita hamil dengan HBsAg positif harus didasarkan pada evaluasi dasar
seperti kondisi kadar HBV-DNA, HBV-M (HBsAg, HBeAg, anti-HBe) serta penyulit-
penyulit lain seperti fibrosis hati berat ( kadar ALT meningkat lebih dari 2 kali nilai normal,
kadar HBV-DNA > 105 kopi/ml), atau telah mengalami sirosis hepatis. Dengan kondisi diatas
maka terapi antiviral harus dimulai sejak kehamilan muda. jika pada pemeriksaan awal fungsi
hati, ALT, kadar HBV-DNA didapatkan dalam keadaan normal maka evaluasi ulang harus
dilakukan kembali pada usia kehamilan 26-28 minggu. Jika pada saat itu ditemukan kadar
HBV-DNA > 107 kopi/ml atau pasien memiliki riwayat melahirkan anak yang mengidap
hepatitis B maka antiviral seperti lamivudin, tenofovir harus diberikan saat usia kehhamilan
28-30 minggu hingga 6 bulan setelah melahirkan, selanjutnya pengobatan dapat dilanjutkan
tergantung dari kondisi pasien, namun sebaiknya terapi dihentikan bila ibu yang ingin
menyusui karena antiretroviral tidak di anjurkan saat menyusui. Pemantauan ALT dan HBV-
DNA harus dilakukan pada bulan ke 1, 3 dan 6 setelah melahirkan. 8,13
Penjaringan HBsAg wanita hamil pada kunjungan awal antenatal

HBsAg Negatif HBsAg Positif

Pemberian vaksin Pemberian vaksin Trimester I Periksa: HBs


Hep B pada Bayi Hep B pada Ibu Ab, HBeAg, HBeAb, PLT, Ada dugaan suatu
saat lahir selama kehamilan ALT, Kadar HBV-DNA bentuk infeksi aktif /
sirosis,

TIDAK YA
Melengkapi
Vaksinasi Hep B
Akhir Trimester II (UK 26-28 mgg) Pertimbangkan Terapi
sesuai jadwal
periksa : ALT, Kadar HBV-DNA dengan Lamivudine /
Tenofovir

Riwayat melahirkan anak sebelumnya

TIDAK YA

Anak HBV (-) Anak HBV (+)


HBV-DNA HBV-DNA
< 107 kopi/ml > 107 kopi/ml Pertimbangkan terapi dengan
Lamivudine / Tenofovir pada awal
Pengawasan setelah partus : periksa kadar Trimester III (UK 28-30 mgg)
ALT, HBV-DNA saat bulan 1, 3 & 6
Pertimbangkan penghentian terapi setelah
melahirkan
20

Bagi ibu dengan HBsAg negative, pemberian vaksinasi sangat dianjurkan, sama
halnya dengan pemberian vaksinasi bagi bayi yang dilahirkannya. Selanjutnya pemberian
vaksinasi pada bayi mengikuti jadwal yang telah ada.6

Pencegahan
Penjaringan merupakan teknik yang tepat untuk pencegahan dan penataksanaan
lanjutan bagi pasien hamil yang terinfeksi hepatitis B serta pasien resiko tinggi. Sehingga
penjaringan hepatitis B menjadi standar pada saat asuhan antenatal. penjaringan ini juga
memungkinkan tenaga kesehatan menilai janin yang memerlukan imunoprofilaksis baik
dengan vaksin maupun immunoglobulin hepatitis B (HBIG), mengetahui indikasi terapi
antiviral pada pasien carier, serta berguna dalam konseling aktivitas seksual. The American
Association Study of Liver Disease (AASLD), merekomendasikan penjaringan untuk HBsAg
pada semua wanita hamil selama trimester pertama kehamilan.4
Vaksinasi merupakan salah satu cara pencegahan penularan penularan virus hepatitis
B dari ibu ke anak. Dengan pemberian vaksinasi pada ibu yang hamil akan memungkinkan
terjadinya penyaluran pasif antibodi ke janin yang memungkinkan suatu bentuk perlindungan
dari infeksi horizontal hingga bayi tersebut mendapatkan imunisasi aktif, vaksinasi juga
terbukti aman bagi ibu dan janin, efeksamping yang paling sering muncul adalah nyeri
ditempat suntikan dan demam ringan sampai dengan sedang.15
Vaksin pertama tersedia tahun 1981, vaksin tersebut dibuat dari antigen permukaan
hepatitis B dari pasien HBsAg karrier, yang berisi 22 nm HBsAg partikel inaktif digabungkan
dengan urea , pepsin, formaldehid dan pemanasan. Vaksin ini telah sukses digunakan pada
lebih dari ratusan juta individu dan dikenal dengan istilah plasma –derived vaccine . Pada
tahun 1982, dikembangkan vaksin rekombinan yang di ekstrak dari DNA yeast atau sel
mamalia yang dibuat terinfeksi virus hepatitis B. Teknologi baru ini telah memungkinkan
dibuatnya vaksin dengan produksi tidak terbatas sehingga vaksin dapat digunakan secara luas
di seluruh dunia. 20
Sejak dikembangkan vaksin rekombinan hepatitis B tahun 1982, sebagian besar
otoritas kesehatan, termasuk World Health Organitation (WHO) merekomendasikan
penggunaan vaksin pada bayi baru lahir terutama yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif
4
atau dari kelompok resiko tinggi. Bentuk vaksinasi lainnya adalah vaksinasi pasif yang
dikenal dengan nama immunoglobulin hepatitis B (HBIG). HBIG ini merupakan bentuk anti-
HBs yang di ambil dari individu donor yang dalam plasmanya mengandung kadar anti-HBs
yang tinggi.28
21

Gabungan vaksin Hepatitis B dengan Hepatitis B immunoglobulin (HBIG) yang


merupakan bentuk imunisasi pasif sering diberikan pada bayi baru lahir yang lahir dari ibu
dengan HBsAg positif. US Preventive Task Force (USPSTF) merekomendasikan pemberian
dosis pertama vaksin hepatitis B dan HBIG adalah dalam 12 jam pertama kelahiran, sedangan
Center for Disease Control (CDC) menganjurkan pemberian vaksin hepatitis B dengan atau
tanpa HBIG diberikan segera setelah bayi lahir, kemudian dilanjutkan 1 dosis saat usia 1-2
bulan dan 1 dosis lagi pada saat 6-8 bulan. Dengan pemberian vaksin tersebut, antibodi yang
timbul guna melawan HBsAg yang disebut anti-HBs mendekati 100% pada anak kecil dan
hampir 95% pada dewasa muda.2,4,20

Tabel 3.1 Jadwal vaksinasi aktif dan pasif.7

Penelitian Beasley dkk menunjukkan pemberian HBIG dapat menurunkan transmisi


dari ibu HBsAg positif yang mencapai lebih dari 90% menjadi kurang lebih 26% sedangkan
ketika diganbungkan dengan vaksin, laju transmisi ibu-anak menurun hingga hanya 2-7%.3
Cara pemberian vaksin adalah via injeksi intramuscular, dimana pada bayi usia > 1
tahun dapat diberikan di region deltoid, sedangkan pada bayi usia < 1 tahun diberikan di
region lateral paha. Vaksin hepatitis B dapat ditoleransi dengan sangat baik, efek samping
yang biasa ditemukan adalah bengkak dan kemerahan di tempat suntikan sedangkan efek
yang lebih sistemik seperti demam, nyeri kepala, mual dan nyeri perut sangat jarang
ditemukan. Satu-satunya kontraindikasi pemberian vaksin adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap faksin tersebut atau riwayat syok anafilaktik pada pemberian vaksin sebelumnya.20

3.2 Sectio Caesarea


Definisi
Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan janin melalui
insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi). Tindakan ini dilakukan
22

untuk mencegah kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-kemungkinan komplikasi yang
dapat timbul bila persalinan tersebut berlangsung pervaginam.
Klasifikasi
1. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan dengan
melakukan insisi pada segmen bawah uterus. Hampir 99% dari seluruh kasus seksio
sesarea dalam praktek kedokteran dilakukan dengan menggunakan teknik ini, karena
memiliki beberapa keunggulan seperti kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak
menimbulkan perlekatan. Adapun kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam
mengeluarkan janin sehingga memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan
dapat menimbulkan perdarahan. Arah insisi melintang (secara Kerr) dan insisi
memanjang (secara Kronig).
2. Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas uterus atau korpus uteri.
Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak dapat dicapai dengan aman
(misalnya karena perlekatan yang erat pada vesika urinaria akibat pembedahan
sebelumnya atau terdapat mioma pada segmen bawah uterus atau karsinoma serviks
invasif), bayi besar dengan kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah.
3. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus setelah seksio
sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan tindakan lain, pada uterus
miomatousus yang besar dan atau banyak, atau pada ruptur uteri yang tidak dapat
diatasi dengan jahitan.
4. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior ke dalam
rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam praktek obstetri (Charles,
2005).
5. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi peritoneum
dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung kemih ke bawah atau ke
garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah.
Indikasi Tindakan Sectio Caesarea
A. Faktor janin
1. Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi sulit
keluar dari jalan lahir, umumnya pertumbuhan janin yang berlebihan (macrosomia)
karena ibu menderita kencing manis (diabetes mellitus). Apabila dibiarkan terlalu
lama di jalan lahir dapat membahayakan keselamatan janinnya.
23

2. Kelainan letak janin


Ada 2 kelainan letak janin dalam rahim, yaitu letak sungsang dan letak lintang. Letak
sungsang yaitu letak memanjang dengan kelainan dalam polaritas. Panggul janin
merupakan kutub bawah. Sedangkan letak lintang terjadi bila sumbu memanjang ibu
membentuk sudut tegak lurus dengan sumbu memanjang janin. Oleh karena seringkali
bahu terletak diatas PAP (Pintu Atas Panggul), malposisi ini disebut juga prensentasi
bahu.
3. Ancaman gawat janin (fetal disstres)
Keadaan janin yang gawat pada tahap persalinan, memungkinkan untuk segera
dilakukannya operasi. Apabila ditambah dengan kondisi ibu yang kurang
menguntungkan. Janin pada saat belum lahir mendapat oksigen (O2) dari ibunya
melalui ari-ari dan tali pusat. Apabila terjadi gangguan pada ari-ari (akibat ibu
menderita tekanan darah tinggi atau kejang rahim), serta pada tali pusat (akibat tali
pusat terjepit antara tubuh bayi), maka suplai oksigen (O2) yang disalurkan ke bayi
akan berkurang pula. Akibatnya janin akan tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi
ini dapat menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang
meninggal dalam rahim. Apabila proses persalinan sulit dilakukan melalui vagina
maka bedah casarea merupakan jalan keluar satu-satunya.
4. Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, kerusakan genetik, dan hidrosepalus (kepala besar karena
otak berisi cairan), dapat menyababkan memutuskan dilakukan tindakan operasi.
5. Faktor plasenta
Ada beberapa kelainan plasenta yang dapat menyebabkan keadaan gawat darurat pada
ibu atau janin sehingga harus dilakukan persalinan dengan operasi yaitu Plasenta
previa (plasenta menutupi jalan lahir), Solutio Plasenta (plasenta lepas), Plasenta
accrete (plasenta menempel kuat pada dinding uterus), Vasa previa (kelainan
perkembangan plasenta).
6. Kelainan tali pusat
Berikut ini ada dua kelainan tali pusat yang biasa terjadi yaitu prolapsus tali pusat (tali
pusat menumbung), dan terlilit tali pusat. Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)
adalah keadaan penyembuhan sebagian atau seluruh tali pusat berada di depan atau di
samping bagian terbawah janin atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum
bayi. Dalam hal ini, persalinan harus segera dilakukan sebelum terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan pada bayi, misalnya sesak nafas karena kekurangan oksigen (O2).
Terlilit tali pusat atau terpelintir menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke janin tidak
24

lancar. Jadi, posisi janin tidak dapat masuk ke jalan lahir, sehingga mengganggu
persalinan maka kemungkinan dokter akan mengambil keputusan untuk melahirkan
bayi melalui tindakan Sectio Caesaerea.
7. Bayi kembar (multiple pregnancy)
Tidak selamanya bayi kembar dilakukan secara Caesarea. Kelahiran kembar memiliki
resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Bayi kembar
dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan
melalui persalinan alami. Hal ini diakibatkan, janin kembar dan cairan ketuban yang
berlebihan membuat janin mengalami kelainan letak. Oleh karena itu, pada kelahiran
kembar dianjurkan dilahirkan di rumah sakit karena kemungkinan sewaktu-waktu
dapat dilakukan tindakan operasi tanpadirencanakan. Meskipun dalam keadaan
tertentu, bisa saja bayi kembar lahir secara alami. Faktor ibu menyebabkan ibu
dilakukannya tindaka operasi, misalnya panggul sempit atau abnormal, disfungsi
kontraksi rahim, riwayat kematian pre-natal, pernah mengalami trauma persalinan dan
tindakan sterilisasi. Berikut ini, faktor ibu yang menyebabkan janin harus dilahirkan
dengan operasi.

B. Faktor ibu
1. Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35 tahun memiliki resiko
melahirkan dengan operasi. Apalagi perempuan dengan usia 40 tahun ke atas. Pada
usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah
tinggi, penyakit jantung, kencing manis (diabetes melitus) dan pre- eklamsia (kejang).
Eklamsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga seringkali
menyebabkan dokter memutuskan persalinan dengan operasi caesarea.
2. Tulang panggul
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai
dengan ukuran lingkar kepala janin dan dapat menyebabkan ibu tidak dapat
melahirkan secara alami. Kondisi tersebut membuat bayi susah keluar melalui jalan
lahir.
3. Persalinan sebelumnya Caesar
Persalinan melalui bedah Caesarea tidak mempengaruhi persalinan selanjutnya harus
berlangsung secara operasi atau tidak.
4. Faktor hambatan panggul
25

Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya adanya tumor dan kelainan bawaan pada
jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit. bemafas. Gangguan jalan lahir ini bisa
terjadi karena adanya mioma atau tumor. Keadan ini menyebabkan persalinan
terhambat atau macet, yang biasa disebut distosia.
5. Kelainan kontraksi Rahim
Jika kontraksi lahir lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau
tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan,
menyebabkan kepala bayi tidak terdorong atau tidak dapat melewati jalan lahir dengan
lancar. Apabila keadaan tidak memungkinkan, maka dokter biasanya akan melakukan
operasi Caesarea.

6. Ketuban pecah dini


Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera
dilahirkan. Kondisi ini akan membuat air ketuban merembes keluar sehingga tinggal
sedikit atau habis.
7. Rasa takut kehilangan
Pada umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami rasa
sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha yang
semakin kuat. Kondisi tersebut sering menyebabkan seorang perempuan yang akan
melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Sehingga untuk
menghilangkan perasaan tersebut seorang perempuan akan berfikir melahirkan melalui
Caesarea.
Kontraindikasi
Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin sehingga
dalam praktik obstetri tidak terdapat kontraindikasi pada seksio sesarea. Dalam hal ini adanya
gangguan mekanisme pembekuan darah ibu, persalinan pervaginam lebih dianjurkan karena
insisi yang ditimbulkan dapat seminimal mungkin
Komplikasi
Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya. Morbiditas
pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingakan dengan persalinan pervaginam. Ancaman
utama bagi wanita yang menjalani seksio sesarea berasal dari tindakan anastesi, keadaan
sepsis yang berat, serangan tromboemboli dan perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada
luka.
Demam puerperalis didefinisikan sebagai peningkatan suhu mencapai 38,50C. Demam
pasca bedah hanya merupakan sebuah gejala bukan sebuah diagnosis yang menandakan
26

adanya suatu komplikasi serius . Morbiditas febris merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi pasca pembedahan seksio seksarea.
Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefinisikan sebagai kehilangan darah
lebih dari 1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat kegagalan mencapai homeostatis
di tempat insisi uterus maupun pada placental bed akibat atoni. Komplikasi pada bayi dapat
menyebabkan hipoksia, depresi pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan trauma
persalinan.
27

BAB IV
KESIMPULAN

Pasien datang ke Poli Kandungan RSUD Kanjuruhan Kepanjen pada tgl 21 September
2017 pukul 10.00 WIB untuk memeriksakan (konrol) kehamilannya. Pasien merasakan sudah
hamil 9 bulan dan datang untuk kontrol. Pasien merasakan kenceng-kenceng kurang lebih 1
menitan pada perut sejak 4 hari yang lalu, sifatnya hilang timbul. Pasien tidak mengeluhkan
keluar darah, air maupun lendir dari jalan lahir. Kehamilan ini merupakan kehamilan kedua,
oleh dokter pasien disarankan untuk MRS.
Secara obyektif pasien dalam keadaan umum yang baik dan tanda vital normal.
Pemeriksaan obsetrik menunjukkan TFU 30 cm dan kesan bokong, punggung janin di kiri,
bagian terbawah kepala, dan belum masuk PAP. DJJ 146 x/menit. Reguler, tunggal.
Pemeriksaan dalam tidak ada apa-apa dan portio masih menutup. Pada pemeriksaan darah
lengkap didapatkan HbSAg Reaktif.
1. GII PI00IAb000 usia ibu 32 tahun, gravid uk 36-37 minggu
2. Janin tunggal hidup intrauterin
3. Letak kepala, belum masuk PAP, punggung kiri
4. Belum Inpartu
5. BSC
6. HbSAg Reaktif
Untuk mencegah bahaya persalinan akibat adanya penyakit hepatitis dan prognosis yang
buruk pada ibu dan janin maka pada pasien ini direncanakan akan dilakukan sectio caesar
dengan indikasi HbSAg Reaktif dan bekas SC 4 tahun lalu

Anda mungkin juga menyukai