Anda di halaman 1dari 3

Hipotensi terkendali dengan teknik opioid based

Beberapa manajemen anestesi esensial yang dibutuhkan pada prosedur operasi telinga hidung
dan tenggorokan yaitu: (1) terjaminnya efek analgesia yang baik intra operatif dan post operatif
(kebanyakan prosedur-prosedur ini dilakukan pada area-area yang sangat reflexogenic); (2)
lapang operasi yang sempit (area yang dioperasi memiliki vaskularisasi yang tinggi). Hipotensi
terkontrol moderat yang banyak digunakan: penurunan TDS <100 mmHg, MAP = 60-70 mmHg,
kecuali kontraindikasi; (3) imobilitas (pada prosedur tertentu relaksasi otot mendalam dapat
dibutuhkan, sementara pada prosedur lainnya pemberian NMB harus dihindari); (4) kelancaran
munculnya anestesi. Yang terakhir merupakan salah satu tugas yang paling menantang, karena
setiap upaya harus dilakukan untuk menghindari atau meminimalisir reaksi pasien terhadap ETT
selama ekstubasi trakea. Mengejan, bucking, atau batuk dapat memicu perdarahan post operasi
dini (meningkatkan tekanan vena dan arteri), memutus lajur jahitan operasi yang halus (mis.,
repair saraf fasialis), mencabut graft operasi (mis., timpanoplasti), atau menyebabkan trauma
tambahan pada pita suara setelah operasi pita suara. Banyak dokter spesialis telinga hidung dan
tenggorokan memiliki “daftar” prosedur tersendiri dimana reaksi-reaksi pasien terhadap ETT
harus benar-benar dihindari selama ekstubasi berlangsung, dan seorang anastesiologis harus
familiar dengan preferensi masing-masing dokter bedah.
Teknik anestesi berbasis opioid sangat menguntungkan dan hasilnya signifikan dalam
penurunan MAC sembari mengusahakan penupulan respon trakeal yang cukup terhadap ETT in-
situ. Pada pasien yang jarrang bahkan belum pernah terpapar opioid (opioid-naïve,-red) pilihan
analgesic opioid terutama bergantung pada beberapa faktor: antisipasi stimulasi pembedahan dan
nyeri post operasi, durasi operasi, kondisi medis yang ada sebelumnya. Opioid dosis tinggi
(fentanyl: loading dose 3-10 mcg/kh iv, sufentanil: loading dose 0.5-1.5 mcg/kg iv), diikuti oleh
baik intermiten bolus atau infus kontinyu merupakan preferensi pilihan penulis untuk operasi
THT besar. Untuk prosedur-prosedur yang mungkin memiliki stimulasi yang tinggi, namun
berasosisasi dengan ketidaknyamanan post operasi minimal (mis., operasi operasi laser pada
airway), opioid dengan kerja lebih pendek lebih disukai: remifentanil (loading dose 0.5-1.0
mcg/kg iv, infus 0.1-0.3 mcg/kg iv).
TIVA umumnya digunakan, terutama untuk prosedur endoskopi. Kebanyakan studi
menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan teknik inhalasi dan inhalasi seimbang, TIVA
menawarkan peningkatan pada stabilitas hemodinamik, waktu pemulihan yang lebih cepat,
menurunkan insidens PONV, dan meningkatkan kepuasan pasien.
Pemeliharaan hipotensi terkontrol moderat (MAP, 60-70 mmHg) berguna untuk
mempertahankan kondisi operasi optimal. Sebuah variasi pendekatan faramakologi telah sukses
dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Penggunaan remifentanil sangat efektif dalam hal itu, dan
sangat berguna baik pada teknik inhalasi maupun TIVA. Pengunaan esmolol dalam hal ini 0.5-1
mg/kg iv bolus, diikuti dengan iv infus kontinyu 100-300 mcg/kg/min menunjukkan pilihan
terapi terapi lain yang lebih atraktif.
GETA secara luas telah digunakan. Penguunaan laryngeal mask airway (LMA) untuk operasi
THT, jika memugkinkan, bermanfaat (mengurangi batuk, mengurangi spasme laring; lihat Tabel
3-3). Selanjutnya, penggunaan sebuah LMA tidak memerlukan NMB dan memfasilitasi
kembalinya ventilasi spontan. Ketika digunakan dengan cepat pada pasien tertentu, ketiadaan
akses cepat menuju airway pasien bukan merupakan penyimpangan dari standar perawatan.

Sebuah flexible laryngeal mask airway (FLMA), tetapi bukan sebuah LMA ClassicTM, LMA
ProSealTM, atau LMA SupremeTM, merupakan jenis LMA yang paling sering digunakan dalam
anestesi THT, karena tangkainya dapat diikat jauh dari lapang pandang operasi tanpa
menyebabkan perpindahan cuff. Komunikasi yang erat antara dokter bedah dan anestesiologis
merupakan hal yang sangat penting. karena bahkan FLMA yang dipasang dengan benar dapat
terlepas selama manipulasi bedah. LMA-Proseal/Supreme lebih disukai kapanpun posisi sentral
LMA dapat dipertahankan secara aman, (missal., operasi otologi/telinga). Teknik insersi LMA
yang sesuai merupakan hal krusial untuk meminimalisir risiko aspirasi atau insuflasi gastrik
terutama jika ventilasi tekanan positif (VTP) direncanakan. Untuk meminimalisir kebocoran,
ukuran terbesar (FLMA #5) sebaiknya sedapat mungkin digunakan untuk VTP. Insuflasi gastrik
lebih diminimalkan oleh Vt dari 6-10 mL/kg dan dengan menjaga PIP < 20 cm H2O. Tidak
adanya insuflasi gastrik harus didokumentasikan pada status anastesi setalah melakukan
auskultasi pada area epigatrium.

Kelancaran munculnya efek anestesi merupakan tugas yang sangat menantang ketika GETA
digunakan. Tahap anestesi yang lebih dalam biasanya diperlukan sampai akhir prosedur untuk
menumpulkan respon laring-trakea pasien. Infus remifentanil dosis rendah untuk menumpulkan
respon trakea dan mendorong ekstubasi halus dapat membantu. Efek EC95 terletak pada
konsentrasi remifentanil untuk menumpulkan reflek trakeal setelah anestesi desflurane dan
sevoflurane seimbang pada rentang 2.3-2.9 ng/mL (sesuai manual infusion rate 0.08-1.0
mcg/kg/min).

Antiemetik profilaksis harus rutin dan paling banyak dicapai dengan pemberian 5-HT3 blocker
melalui jalur pemberian intravena. Antiemetik profilaksis multimodal harus digunakan untuk
pasien yang berisiko tinggi mengalami PONV. Penambahan metoclopomide (10-20 mg iv) bisa
bermanfaat pada pasien yang telah menjalani prosedur yang mengakibatkan akumulasi darah
yang tertelan secara pasif di perut (mis., operasi nasal atau intraoral).

Anda mungkin juga menyukai