Anda di halaman 1dari 26

SISTEM PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

MAKALAH

Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak

Dosen Pembimbing: Sri Yekti Widadi, M.Kep.

Disusun oleh:

Kelompok 4

1. Asep Purnama Hidayat (KHGA 16044)

2. Fani Febrianti (KHGA 16051)

3. Reni Apriani (KHGA 16069)

4. Ikhsan Lukmanul Hakim (KHGA 16052)

5. Muhamad Ramdani (KHGA 16059)

6. Mumun Mulyana (KHGA 16060)

IIB-DIII Keperawatan

STIKes Karsa Husada Garut

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam, dimana berkat rahmat dan hidayahnya
kami bisa menyelesaikan proses penyusunan makalah ini. Tidak lupa shalawat beserta salam
semoga terlimpah curahkan kepada nabi kita semua, yakni nabi Muhammad SAW. Kepada
para sahabatnya, para tabiin wal tabiat, para keluarganya dan semoga sampai pada kita selalu
umatnya.

Makalah ini berisi Sistem Perlindungan Anak. Makalah ini berisi tiga bab dengan
rincian, bab 1 adalah pendahuluan, bab 2 adalah pembahasan, dan bab 3 adalah penutup.
Kami juga tidak lupa untuk mencantumkan sumber referensi kami dalam daftar pustaka di
bagian paling belakang.

Semoga makalah yang kami buat bisa bermanfaat bagi para pembacanya, serta bisa
diterima sebagai tugas makalah yang bagus bagi dosen yang bersangkutan. Kami sangat
berterimakasih jika ada kritik maupun saran untuk pembuatan makalah ini, karena dengan hl
itu kami bisa lebih baik lagi dalam membuat makalah.

Garut, Maret 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 3


1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Perlindungan Anak.......................................................... 4

2.2 Kekerasan pada Anak ................................................................................... 5

2.3 Faktor Risiko dan Dampak Kekerasan Pada Anak ....................................... 8

2.4 Dasar Hukum ................................................................................................ 9

2.5 Sistem dan Alur Rujukan Kasus Kekerasan pada Anak ............................... 13

2.6 Sistem Pelaporan ........................................................................................... 19

2.7 Contoh Kasus Kekerasan Tehadap Anak ...................................................... 20

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN ............................................................................................. 24

3.2 SARAN ......................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 25


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dampak globalisasi, perkembangan teknologi, pengaruh negatif media massa


mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai sosial budaya dimana masyarakat terbiasa
dengan pola hidup konsumtif dan individual.

Di sisi lain kemiskinan yang belum teratasi, rendahnya tingkat pendidikan orang
tua, banyaknya anak dalam keluarga serta bencana alam yang akhir-akhir ini banyak
terjadi di Indonesia merupakan faktor pemicu terjadinya peningkatan tindakan kekerasan
terhadap anak baik fisik, mental, seksual maupun penelantaran.

Menurut UU RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran


Negara Tahun 1999 No 165, Tambahan 3886), bahwa Hak anak merupakan bagian dari
hak asasi manusia (sipil, politik, sosial, ekonomi, budaya) dan wajib dijamin, dilindungi
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa pengertian sistem perlindungan anak?
b) Bagaimana konsep kekerasan pada anak dan kasus yang terjadi di Indonesia?
c) Apa resiko dan dampak kekerasan terhadap anak?
d) Apa dasar hukum penegakan perlindungan anak?
e) Bagaimana sistem dan alur rujukan kasus kekerasan terhadap anak?

1.3 Tujuan
a) Mengetahui apa pengertian sistem perlindungan anak.
b) Mengetahui bagaimana konsep kekerasan pada anak dan kasus yang terjadi di
Indonesia.
c) Mengetahui apa resiko dan dampak kekerasan terhadap anak.
d) Mengetahui apa dasar hukum penegakan perlindungan anak.
e) Mengetahui bagaimana sistem dan alur rujukan kasus kekerasan terhadap anak.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem perlindungan anak

Sistem perlindungan anak merupakan suatu sistem yang kompleks melibatkan


berbagai unsur, sehingga perlu dibangun suatu jaringan kerja yang terdiri dari unsur
masyarakat, institusi pemerintah dan non pemerintah terkait dalam pelayanan
kesehatan, pelayanan sosial, pelayanan hukum dan pendidikan. Perlindungan anak
tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan harus memperhatikan dampaknya
terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang
dilakukan tidak menjadi berakibat negatif. Perlindungan anak harus dilaksanakan
secara rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha
yang efektif dan efisien terhadap perkembangan pribadi anak yang bersangkutan.
Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas dan
hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak
terkendali. Sehingga anak menjadi tidak memiliki kemampuan dan kemauan dalam
menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak dijelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal
tersebut didukung dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 yang mengatur tentang tujuan perlindungan anak yaitu untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Dalam Pasal 20 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah diatur bahwa yang
berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak
adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Jadi yang
mengusahakan perlindungan bagi anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai
dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi
tertentu.

Dalam masyarakat, ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai masalah


perlindungan anak dituangkan pada suatu bentuk aturan yang disebut dengan Hukum
Perlindungan Anak. Hukum Perlindungan Anak merupakan sebuah aturan yang
menjamin mengenai hak-hak dan kewajiban anak yang berupa : hukum adat, hukum
perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun peraturan
lain yang berhubungan dengan permasalahan anak. Dalam bukunya yang berjudul
Hukum dan Hak-Hak Anak, mantan hakim agung, Bismar Siregar mengatakan bahwa
masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan
untuk melindungi anak-anak Indonesia, di mana masalahnya tidak semata-mata bisa
didekati secara yuridis saja tetapi juga perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu
ekonomi, sosial dan budaya.

Konvensi Hak Anak PBB yang diratifkasi oleh pemerintah Indonesia dengan
Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, meliputi 4 (empat) prinsip dasar perlindungan
anak yaitu :
a. non diskriminasi
b. kepentingan yang terbaik bagi anak
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.

2.2 Kekerasan Pada Anak

Kekerasan terhadap anak merupakan semua bentuk tindakan /perlakuan


menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran,
ekploitasi komersial atau eksploitasi lainnya, yang mengakibatkan cidera/kerugian
nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh
kembang anak atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan
tanggungjawab.

Dampak globalisasi, perkembangan teknologi, pengaruh negatif media massa


mengakibatkanterjadinya pergeseran nilai sosial budaya dimana masyarakat terbiasa
dengan pola hidup konsumtif dan individual. Di sisi lain kemiskinan yang belum
teratasi, rendahnya tingkat pendidikan orang tua, banyaknya anak dalam keluarga
serta bencana alam yang akhir - akhir ini banyak terjadi di Indonesia merupakan
faktor pemicu terjadinya peningkatan tindakan kekerasan terhadap anak baik fisik,
mental, seksual maupun penelantaran. Bentuk-bentuk kekerasan pada anak
diantaranya adalah:

a. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, di mana
ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan.
Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan
orang dewasa atau anak lain. Aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan
kepuasan bagi orang tersebut. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual
dalam prostitusi atau pornograf, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual,
memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi
seksual, perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain,
hubungan seksual, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang
mempunyai hubungan darah (incest), dan sodomi.
b. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah kekerasan yang mengakibatkan cidera fsik nyata


ataupun potensial terhadap anak sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya
interaksi yang layaknya ada dalam kendali orang tua atau orang dalam hubungan
posisi tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.

c. Kekerasan emosional

Kekerasan emosional adalah suatu perbuatan terhadap anak yang


mengakibatkan atau sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan
atau perkembangan fsik, mental, spiritual, moral dan sosial. Beberapa contoh
kekerasan emosional adalah pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan
anak, memburukkan atau mencemarkan, mengkambinghitamkan, mengancam,
menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan, atau perlakuan
lain yang kasar atau penolakan.

d. Penelantaran anak

Penelantaran anak adalah kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu


yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya, seperti: kesehatan, pendidikan,
perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernaung, dan keadaan
hidup yang aman yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh.
Penelantaran anak dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan
perkembangan fsik, mental, spiritual, moral dan sosial. Kelalaian di bidang
kesehatan seperti penolakan atau penundaan memperoleh layanan kesehatan, tidak
memperoleh kecukupan gizi, perawatan medis, mental, gigi dan pada keadaan
lainnya yang bila tidak dilakukan akan dapat mengakibatkan penyakit atau
gangguan tumbuh kembang.

Kelalaian di bidang pendidikan meliputi pembiaran mangkir (membolos)


sekolah yang berulang, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti
setiap anak, atau kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus.
Kelalaian di bidang fsik meliputi pengusiran dari rumah atau penolakan
sekembalinya anak dari kabur dan pengawasan yang tidak memadai. Kelalaian di
bidang emosional meliputi kurangnya perhatian atas kebutuhan kasih sayang,
penolakan atau kegagalan memberikan. perawatan psikologis, kekerasan terhadap
pasangan di hadapan anak dan pembiaran penggunaan rokok, alkohol dan narkoba
oleh anak.

e. Eksploitasi anak

Eksploitasi anak adalah penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas


lain untuk keuntungan orang lain, termasuk pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan
ini merusak atau merugikan kesehatan fsik dan mental, perkembangan pendidikan,
spiritual, moral dan sosial - emosional anak.
2.3 Faktor Resiko dan Dampak Kekerasan pada Anak

a. Faktor Resiko

1. Faktor anak

Anak dengan gangguan tumbuh kembang akan rentan terhadap


risiko kekerasan, antara lain bisa terjadi pada :
a. Bayi prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dengan
gangguan perkembangan.
b. Cacat fsik.
c. Gangguan perilaku atau gangguan mental emosional.

2. Faktor orang tua/situasi keluarga

a. Kurangnya pemahaman tentang agama.


b. Riwayat orang tua dengan kekerasan fsik atau seksual pada masa
kecil.
c. Riwayat stres berkepanjangan, depresi dan masalah kesehatan
mental lainnya (ansietas, skizofrenia, dll)
d. Riwayat penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat adiktif
lainnya(NAPZA), alkohol dan rokok
e. Kekerasan dalam rumah tangga
f. Pola asuh yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak
g. Nilai-nilai hidup yang dianut orang tua
h. Orang tua tunggal
i. Orang tua masih berusia remaja
j. Pendidikan orang tua rendah
k. Perkembangan emosi yg belum matang
l. Kepercayaan diri yang rendah
m. Penghasilan/pendapatan keluarga yang rendah
n. Kepadatan hunian (tempat tinggal)
o. Masalah interaksi dengan lingkungan
p. Mempunyai banyak anak balita
q. Kehamilan yang tidak diinginkan
r. Kurangnya dukungan sosial bagi keluarga

3. Faktor masyarakat/sosial

a. Kemiskinan
b. Tingkat pengangguran yang tinggi
c. Tingkat kriminalitas yang tinggi
d. Dukungan masyarakat yang rendah
e. Pengaruh pergeseran budaya
f. Layanan sosial yang rendah
g. Kebiasaan yang salah di masyarakat dalam pengasuhan anak
h. Tradisi di masyarakat memberikan hukuman fsik bagi anak
i. Pengaruh negatif media massa

b. Dampak

1. Jangka Pendek

Dampak jangka pendek terutama berhubungan dengan masalah fsik,


antara lain: lebam, lecet, luka bakar, patah tulang, kerusakan organ, robekan
selaput dara, keracunan, gangguan susunan syaraf pusat. Disamping itu
seringkali terjadi gangguan emosi atau perubahan perilaku seperti pendiam,
menangis, menyendiri.

2. Jangka Panjang

Dampak jangka panjang dapat terjadi pada kekerasan fsik, seksual


maupun emosional.

a. Kekerasan Fisik

Kecacatan yang dapat mengganggu fungsi tubuh anggota tubuh

b. Kekerasan Seksual

Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), Infeksi Menular Seksual


(IMS) termasuk HIV/AIDS, gangguan/kerusakan organ reproduksi.

c. Kekerasan Emosional

Tidak percaya diri, hiperaktif, sukar bergaul, rasa malu dan


bersalah, cemas, depresi, psikosomatik, gangguan pengendalian diri,
suka mengompol, kepribadian ganda, gangguan tidur/mimpi buruk,
psikosis, menggunakan NAPZA.

2.4 Dasar Hukum

Rujukan kasus kekerasan pada anak merupakan bagian dari upaya kesehatan
dalam penanganan masalah kekerasan terhadap anak, yang pada hakekatnya adalah
upaya pemenuhan hak anak terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
yang terbebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Beberapa landasan hukum yang berhubungan langsung dengan upaya tersebut


antara lain:

1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 tentang Hak Anak.


Pasal 28B ayat (2)
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Pasal 28H ayat (1)
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.”

2. Undang-undang No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.


3. Undang-undang nomor 23 tahun 1992 - tentang Kesehatan.

Pasal 4

“Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat


kesehatan yang optimal.”

Pasal 9

“Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan


masyarakat.”

Pasal 17 ayat (1)

“Kesehatan anak diselenggarakan utk mewujudkan pertumbuhan dan


perkembangan anak”.

4. Undang-undang nomor 39/1999 - tentang Hak Azasi Manusia.

Pasal 62

“Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan


sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.”

5. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 - tentang Perlindungan Anak

Pasal 44 ayat (1)

“Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan kesehatan


yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan
yang optimal sejak dalam kandungan.”

Pasal 44 ayat (2)

“Penyediaan fasilitas & penyelenggaraan upaya kesehatan secara


komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran
serta masyarakat.”

Pasal 44 ayat (3)

“Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk
pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan”.
6. Undang-undang nomor 23 tahun 2004 - tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.

Pasal 4

“Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan

a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;


b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
d) melahirkan keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.”
7. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak
Pasal 76A
“Setiap orang dilarang:
1. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak
mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga
menghambat fungsi sosialnya; atau
2. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara diskriminatif.?

Pasal 76B

“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh


melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.”

Pasal 76C

“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh


melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.”

Pasal 76D

“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan


memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”

Pasal 76E
“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau
membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul.”

Pasal 76F
“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau
rdagangan Anak.”

Pasal 76G
“Setiap Orang dilarang menghalang-halangi Anak untuk menikmati
budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya dan/atau
menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan
Masyarakat dan budaya.”

Pasal 76H

“Setiap Orang dilarang merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan


militer dan/atau lainnya dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa.”

Pasal 76I

“Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh


melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual terhadap Anak.”

Pasal 76J

“(1) Setiap Orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan,


melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam penyalahgunaan, serta
produksi dan distribusi narkotika dan/atau psikotropika, atau

(2) Setiap Orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan,


melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam penyalahgunaan, serta
produksi dan distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya.”

8. Keputusan Presiden no 87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional


Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (PESKA).
9. Keputusan Presiden no 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.
10. Kesepakatan Bersama Antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
RI No 14/Men PP/Dep V/X/2002; Menkes RI No 1329/Menkes/Skb/X/2002;
Mensos RI No 75/Huk/2002; Kepala Kepolisian Negara RI No:
B/3048/X/2002 Tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Anak
Dan Perempuan.
11. Surat Keputusan Menkes No 131/Menkes/ SK/II/2004 tentang Sistem
Kesehatan Nasional.
12. Surat Keputusan Menkes No 128/Menkes/ SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar
Pusat Kesehatan Masyarakat.
13. Peraturan Menkes No 1045/Menkes/PER/ XI/2006 tentang Pedoman
Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Depkes.
14. Keputusan Menkes no 33 tahun 1998 tentang Kesehatan Reproduksi.
2.5 KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dibentuk berdasarkan amanat


UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut
disahkan oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 22 September 2002 dan
ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, pada tanggal 20 Oktober 2002.
Setahun kemudian sesuai ketentuan Pasal 75 dari undang-undang tersebut, Presiden
menerbitkan Keppres No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Diperlukan waktu sekitar 8 bulan untuk memilih dan mengangkat Anggota
KPAI seperti yang diatur dalam peraturan per-undang-undangan tersebut.

KPAI adalah lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan pasal 74


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedudukan
KPAI sejajar dengan komisi-komisi negara lainnya, seperti Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi
Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), Komisi Kejaksaan, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), dan lain-lain.

KPAI merupakan salah satu dari tiga institusi nasional pengawal dan
pengawas implementasi HAM di Indonesia (NHRI/National Human Right Institusion)
yakni KPAI, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002


TENTANG PERLINDUNGAN ANAK, Pasal 76 Komisi Perlindungan Anak
Indonesia bertugas : melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan
informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; memberikan
laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak.

2.6 Sistem dan Alur Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak

Penyelenggaraan rujukan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak


merupakan proses kerjasama semua unsur terkait dalam sistem jaringan tersebut.
Anak korban kekerasan pada umumnya datang ke fasilitas kesehatan diantar oleh
orang tua, LSM atau Polisi, karena cidera fisik akibat berbagai perlakuan kekerasan
yang dialaminya.

Penanganan dan rujukan kasus kekerasan terhadap anak perlu tindakan secara
cepat dan tepat, oleh karena itu dibutuhkan kesiapan, pemahaman dan keterampilan
tenaga kesehatan, baik dari aspek medis/mediko-Iegal dan psikososial.
a. PUSKESMAS

Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar atau primer dapat


menerima, menangani kasus kekerasan terhadap anak atau apabila diperlukan
merujuk ke Rumah Sakit atau institusi terkait lainnya untuk mendapatkan
penanganan lebih lanjut.

Kasus-kasus yang memerlukan rujukan antara lain:

1. Perdarahan berat
2. Fraktur multipel
3. Syok
4. Kejang-kejang
5. Luka bakar luas
6. Sesak nafas
7. Sepsis
8. Robekan anogenital
9. Stres berat

Sedangkan yang dapat ditangani di puskesmas adalah kasus kekerasan


terhadap anak memiliki derajat ringan, antara lain:

1. Luka ringan
2. Cidera sederhana (Iuka bakar ringan, laserasi superfisialliebam)
3. Cidera ringan/lnfeksi pada organ/saluran reproduksi
4. Cidera ringan/lnfeksi pada anus
5. Fraktur tertutup/terbuka ringan yang perlu tindakan P3K
6. Trauma psikis ringan
7. Malnutrisi

Tindakan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak di tingkat


puskesmas diawali dengan anamnesa untuk identifikasi kasus dan pengisian
lembar persetujuan pemeriksaan (informed concent), yang meliputi antara
lain:

1. Perawatan luka
2. Reposisi fraktur
3. Stabilisasi pernafasan
4. Perbaikan keseimbangan cairan tubuh (infus)
5. Pemberian nutrisi
6. Konseling
7. Pencatatan dan pelaporan kasus
8. Pembuatan visum et repertum atas permintaan Polisi
9. Rujukan
Untuk melakukan rujukan perlu dipersiapkan: surat pengantar rujukan,
kronologis singkat kasus dan bukti-bukti yang mendukung (pakaian, celana
dalam, rambut pubis, kotoran/debris pada kuku, swab vagina, dll).

Keterangan Bagan

Mekanisme penanganan rujukan kasus kekerasan terhadap anak di


Puskesmas.

Korban datang sendiri ke Puskesmas atau diantar oleh Polisi/LSM/


keluarga, kemudian dilakukan registrasi, selanjutnya penanganan
kegawatdaruratan. Apabila kondisi korban tidak memungkinkan untuk
ditangani di puskesmas maka segera dirujuk ke Rumah Sakit.

Jika kondisi korban bisa ditangani di puskesmas, maka langkah-


Iangkah yang dilakukan adalah: anamnesa, pemeriksaan fisik dan psikososial,
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, sehingga dapat ditegakkan diagnosa,
serta dilakukan tindakan medis dan konseling.

Jika kondisi korban telah membaik dapat dipulangkan dan dilakukan


kunjungan rumah bila diperlukan. Namun jika kondisi korban memerlukan
penanganan spesialistik atau penanganan lebih lanjut maka korban dirujuk ke
Rumah Sakit. Bagi korban yang memerlukan dukungan sosial seperti
perlindungan keamanan dapat dirujuk ke rumah perlindungan (Shelter).

Petugas kesehatan di Puskesmas perlu melakukan pencatatan secara


rinci dan lengkap sebagai rekam medis untuk pelaporan dan pembuatan visum
et repertum jika diminta oleh Polisi.

b. RUMAH SAKIT

Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan perorangan yang


menyediakan rawat inap dan rawat jalan dapat menerima, menangani kasus
kekerasan terhadap anak, dan merujuk ke Rumah Sakit yang lebih mampu atau
institusi terkait lainnya apabila diperlukan.

Mekanisme rujukan kasus kekerasan terhadap anak di Rumah Sakit tidak


dibedakan menurut kelas Rumah Sakit baik kelas C, kelas B atau kelas A, tetapi
berdasarkan tersedia atau tidaknya Pusat krisis Terpadu atau Pusat Pelayanan
Terpadu.

Pusat Krisis Terpadu (PKT)/Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) adalah pusat


pelayanan bagi korban kekerasan pada anak dan perempuan yang memberikan
pelayanan komprehensif dan holistik meliputi penangan medis dan mediko- Iegal,
penangan psikologis, sosial dan hukum. Oleh karena itu di dalam PKT/PPT
diperlukan tim yang terdiri dari dokter, perawat, pekerja sosial, psikolog dan ahli
hukum, serta ruang konsultasi khusus. Apabila tidak memungkinkan adanya ruang
khusus, maka ruang konsultasi dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada namun
perlu dijamin kerahasiaan, keamanan dan kenyamanan.

Rumah Sakit yang sudah mempunyai PKT/PPT, dapat memberikan


pelayanan komprehensif dalam satu atap (one stop service) yang mencakup aspek
pelayanan medis/mediko-Iegal, psikologis, sosial, hukum dan perlu bekerjasama
dengan LSM, LBH yang tergabung dalam jaringan kerja penanganan kekerasan
terhadap anak.

Rumah Sakit yang belum memiliki PKT/PPT kegiatan penanganan kasus


penanganan kekerasan terhadap anak dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani di Rumah Sakit mulai dari derajat
ringan sampai berat sesuai dengan ketersediaan sarana, prasarana serta
kemampuan tenaga di Rumah Sakit.

Tindakan dalam penanganan kasus penanganan kekerasan terhadap anak di


Rumah Sakit diawali dengan anamnesa untuk identifikasi kasus dan pengisian
lembar persetujuan pemeriksaan (informed concent).
Untuk melakukan rujukan perlu dipersiapkan: surat pengantar rujukan,
kronologis singkat kasus, pemeriksaan laboratorium (medis, forensik) dan
pemeriksaan penunjang serta bukti-bukti pendukung lainnya seperti pakaian,
celana dalam, rambut pubis, kotoran/debris pada kuku, swab vagina.

Pada kasus yang memerlukan pendampingan, perlindungan, bantuan


hukum, dan lain-lain dilakukan rujukan non medis ke institusi terkait lainnya.

ALUR RUJUKAN DI RUMAH SAKIT YANG MEMILIKI PKT/PPT

Keterangan Bagan

Mekanisme pelayanan kekerasan terhadap anak di Rumah Sakit yang


memiliki PKT/PPT

Korban datang sendiri ke Rumah Sakit atau diantar oleh Polisi/LSM/


keluarga, langsung ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) selanjutnya dilakukan
registrasi dan triage untuk menentukan status korban.

 Apabila kondisi korban non kritis langsung dirujuk ke PKT/PPT untuk


mendapatkan pelayanan medis/mediko-Iegal, psikososial, konseling,
konsultasi spesialis, serta visum et repertum bila diminta oleh Polisi.
Selanjutnya pasien dapat dipulangkan/rawat jalan.
 Apabila kondisi korban semi kritis atau kritis maka korban dikirim ke
ruang ICU/HCU atau rawat inap untuk mendapat perawatan yang
diperlukan, selanjutnya kalau kondisi korban telah membaik dapat dikirim
ke PKT/PPT.
 Apabila kondisi korban tidak dapat ditangani di Rumah Sakit tersebut
maka dirujuk ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas lebih lengkap.
 Apabila pasien meninggal, dibawa ke ruang otopsi untuk pembuatan
visum et repertum bila diperlukan.

ALUR RUJUKAN DI RUMAH SAKIT YANG BELUM MEMILIKI PKT/PPT

Keterangan Bagan
Mekanisme pelayanan KTA di Rumah Sakit yang belum memiliki PKT/PPT

Korban datang sendiri ke Rumah Sakit atau diantar oleh Polisi/LSM/


keluarga, langsung ke IGD selanjutnya dilakukan registrasi dan triage untuk
menentukan status korban.
 Apabila kondisi korban non kritis langsung ditangani di IGD untuk
mendapatkan pelayanan medis, konsultasi spesialis, dan visum et repertum
bila diminta oleh Polisi. Selanjutnya pasien dapat dipulangkan/rawat jalanl
rujukan non medis.
 Apabila kondisi korban semi kritis atau kritis maka korban dikirim ke
ruang ICU/HCU atau rawat inap untuk mendapat perawatan yang
diperlukan, selanjutnya jika kondisi korban telah membaik dapat
dipulangkan/rawat jalan/rujukan non medis.
 Apabila kondisi korban tidak dapat ditangani di Rumah Sakit tersebut
maka dirujuk ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas lebih lengkap.
 Apabila pasien meninggal, dibawa ke ruang otopsi untuk pembuatan visum
et repertum bila diperlukan.

2.6 Sistem Pelaporan

Sistem pencatatan dan pelaporan merupakan bagian penting dalam upaya


penanggulangan KTA, oleh karena melalui pencatatan dan pelaporan yang baik akan
diperoleh data dasar untuk menentukan kebijakan dan pengembangan program
selanjutnya.

ALUR PELAPORAN

Alur Pelaporan

1. Di tingkat masyarakat

Kasus KTA yang telah ditangani di Puskesmas atau Rumah


Sakit Kabupaten/Kota dilaporkan dengan menggunakan Format
Pencatatan Kasus KTA untuk Puskesmas atau Rumah Sakit.
Selanjutnya Puskesmas atau Rumah Sakit mengirim Format pelaporan
ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2. Di tingkat Kabupaten / Kota

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota membuat rekapan laporan


yang masuk dari Puskesmas dan Rumah Sakit di wilayah kerja dengan
menggunakan Format Pencatatan Kasus KTA untuk Kabupaten/Kota .
Selanjutnya Format tersebut dikirim ke Dinas Kesehatan Propinsi
dengan tembusan ke lintas sektor terkait setempat yaitu : Bagian
Kesejahteraan Rakyat/Bagian Sosial Pemerintah Daerah, Kepolisian,
Dinas Sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Berlaku juga bagi
Lintas Sektor terkait, sehingga pada akhirnya dapat dipakai sebagai
data dasar dalam perencanaan program KTA di tingkat
Kabupaten/Kota.

3. Di tingkat Propinsi

Dinas Kesehatan Propinsi membuat rekapan hasil laporan dari


semua Kabupaten/Kota dengan menggunakan Format Pencatatan KTA
untuk Propinsi dan mengirimnya ke Direktorat Bina Kesehatan Anak
Depkes RI dengan tembusan ke lintas sektor terkait setempat yaitu
Biro Pemberdayaan Perempuan dan KPAID.

4. Di tingkat Pusat

Rekapan data KTA dari Propinsi akan di analisa untuk bahan


dasar pembuatan kebijakan dan pengembangan program. Selain itu
laporan tersebut akan di kirim ke Meneg Pemberdayaan Perempuan
sebagai bahan laporan periodik Konvensi Hak-hak Anak (KHA) di
tingkat internasional.

2.7 Contoh Kasus Kekerasan Tehadap Anak

Temperamen, Ibu di Garut Tega Menyetrika Anak Kandungnya

Liputan6.com, Garut - Kejam, demikian kata yang tepat untuk menggambarkan


kelakuan NN (32), ibu rumah tangga asal Garut, Jawa Barat. Ia tega menyetrika
tubuh anaknya hingga melepuh.

Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna mengatakan, pengungkapan kasus


kekerasan yang menimpa MR berasal dari laporan guru korban.

Saat itu, korban yang seharusnya mengikuti upacara bendera pada Senin pagi, tampak
murung menunjukkan gelagat tengah menahan rasa sakit.
"Dan benar setelah dicek ada luka bakar, singkat cerita gurunya langsung
melaporkan," ujarnya saat ditemui, Selasa (20/2/2018).

Mendapati laporan itu, personel Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Garut
langsung meluncur ke rumah korban yang berada di Kampung Lebak Agung,
Kecamatan Karang Pawitan.

Awalnya, petugas kesulitan membuka rumah anak tersebut. Namun, berkat bantuan
ketua RT dan RW setempat, petugas berhasil membuka rumah tersebut.

"Saat dibuka, ibunya sempat ngumpet karena malu," kata Budi.

Melihat luka yang cukup parah, anak itu langsung dibawa petugas ke RSUD Garut
untuk mendapat perawatan. Adapun tersangka yang merupakan ibu kandungnya
langsung digelandang ke sel tahanan Polres Garut.

"Pemeriksaan awal tidak ada masalah, mungkin karena situasi," kata dia.

Pelaku Temperamental

Untuk memastikan kondisi kejiwaan tersangka, Budi masih menunggu hasil uji
psikiater. "Soal motifnya sedang kita dalami, termasuk keterangan lainnya," ujarnya.

Saat ini kondisi MR cukup memprihatinkan. Sejumlah luka bakar dan lebam terlihat
di tangan, kaki, dan sekujur tubuh bocah nahas tersebut.

"Dari keterangan nenek korban, memang ibunya tempramental tinggi," katanya.

Untuk menghindari kelakuan keji sang ibu yang terus mengancam, korban akhirnya
diasuh pihak keluarga, sambil menunggu proses hukum yang dihadapi ibunya.

Iyam (50), salah satu keluarga korban, mengatakan, perlakuan kasar yang dilakukan
NN sudah berada di luar nalar.

Menurutnya, kelakuan korban dalam keseharian di lingkungan sekitar terbilang baik.


Bahkan, diketahui jika MR termasuk hafiz Alquran.

"Putrana bageur pisan (anaknya baik sekali), rajin mengaji, mungkin ibunya khilaf,"
ujarnya.
Korban, imbuh dia, tercatat pernah mondok di salah satu pesantren di Tasikmalaya,
Jawa Barat. Namun, sejak masuk sekolah dasar (SD), korban dipindahkan ke sekolah
umum.

"Mungkin kesulitan biaya, karena dia cerai dari suaminya," katanya.

Motif Kesulitan Ekonomi

Adapun ihwal pelaku, Iyam menyatakan, usai cerai dari suaminya beberapa tahun
lalu, tersangka diketahui bekerja sebagai penjahit baju di Jakarta.

Akan tetapi, saat kejadian berlangsung, diduga tersangka melakukan aksi keji itu
karena banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi.

"Saya sempat dengar saat sedang menyiksa MR, SPP (iuran sekolah) nagih-nagih,
harus beli LKS lagi," ujarnya.

Sementara rumah yang selama ini ditempati korban bersama ibu dan neneknya
tampak lengang dari aktivitas. Beberapa anggota Satuan Reskrim Polres Garut sejak
malam tadi telah menggelar olah tempat kejadian perkara atau TKP.

Budi menambahkan, atas perlakuannya, tersangka dijerat Undang-Undang


Perlindungan Anak, yakni Pasal 76 ayat C dengan ancaman kurungan enam tahun
penjara atau Pasal KDRT yang ancaman hukumannya 10 tahun penjara.
Analisis Kasus

Kasus tersebut merukapan contoh kasus kekerasan fisik, karena NN dengan


tega menyetrika tubuh anaknya hingga melepuh. Lalu korban diantar gurunya ke
RSUD untuk mendapatkan tindakan medis terhadap luka yang dia alami. Karena
menurut berita luka pada tubuh korban cukup parah namun tidak dalam kondisi kronis
dan RSUD Garut adalah RS yang belum memiliki PTK/PPT maka alaurnya:

 Ketika klien datang sendiri atau diantar oleh siapapun klien akan mendapatkan
pelayanan kesehatan di IGD terlebih dahulu, konsultasi spesialis, dan visum et
repertum bila diminta oleh Polisi. Selanjutnya pasien dapat dipulangkan/rawat
jalan rujukan non medis.
 Adapun alur pelaporan tindak kekerasan yang seharusnya terjadi adalah ketika
masyarakat atau pihak kepolisian mendapati kejadian tersebut korban harus
dibawa ke PUSKESMAS atau Rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dulu,
 Setelah korban tertanganani PUSKESMAS atau Rumah Sakit harus
melaporkan kejadian tersebut ke Dinas kesehatan tingkat Kabupaten/Kota,
 Lalu laporan tersebut dikirim ke Dinas Kesehatan Propinsi dengan tembusan
ke lintas sektor terkait setempat yaitu : Bagian Kesejahteraan Rakyat/Bagian
Sosial Pemerintah Daerah, Kepolisian, Dinas Sosial dan Lembaga Swadaya
Masyarakat.
 Lalu Dinas Kesehatan Propinsi membuat rekapan hasil laporan dari semua
Kabupaten/Kota dan mengirimnya ke Direktorat Bina Kesehatan Anak Depkes
RI dengan tembusan ke lintas sektor terkait setempat yaitu Biro Pemberdayaan
Perempuan dan KPAID.
 Dan pada akhirnya rekapan data KTA dari Propinsi akan di analisa untuk
bahan dasar pembuatan kebijakan dan pengembangan program. Selain itu
laporan tersebut akan di kirim ke Meneg Pemberdayaan Perempuan sebagai
bahan laporan periodik Konvensi Hak-hak Anak (KHA) di tingkat
internasional.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi


anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara
berlebihan dan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri
anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak menjadi berakibat
negatif. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif,
kreativitas dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan
berperilaku tak terkendali. Sehingga anak menjadi tidak memiliki kemampuan dan
kemauan dalam menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-
kewajibannya.

3.2 SARAN

Anak adalah sebuah titipan berharga dari tuhan yang tidak semua orang bisa
mendapatkannya. Jangan sia-siakan mereka, karena mereka ada penyambung dan
penerus kita dalam menjalankan hidup dan kehidupan. Sehingga mereka perlu
dilindungi dari orang-orang yang tidak bisa bertanggungjawab atas mereka.
DAFTAR PUSTAKA

a) DEPKES RI dan UNICEF, PEDOMAN RUJUKAN KASUS


KEKERASAN TERHADAP ANAK BAGI PETUGAS KESEHATAN,
Jakarta: 2007
b) UU No. 23 tahun 2003 PERLINDUNGAN ANAK.pdf
c) UU No. 35 tahun 2014 PERLINDUNGAN ANAK.pdf (perubahan dari
UU No. 23 tahun 2003)
d) http://www.kpai.go.id
e) http://Liputan6.com

Anda mungkin juga menyukai