Anda di halaman 1dari 42

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Efusi Pleura


Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang abnormal yang
disebabkan oleh karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari proses
absorpsinya. Sebagian besar efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan absorpsi cairan pleura
tersebut. Pada pasien dengan daya absorpsi normal, pembentukan cairan pleura
harus meningkat 30 kali lipat secara terus menerus agar dapat menimbulkan suatu
efusi pleura. Di sisi lain, penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan
menghasilkan penumpukan caian yang signifikan dalam rongga pleura mengingat
tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat. (Lee YCG, 2013) Efusi
pleura bisa disebabkan oleh penyakit yang berasal dari paru, pleura ataupun
penyakit di luar paru. (Light RW, 2011)
Efusi pleura terbagi menjadi transudat dan eksudat. (Light RW, 2011)
Berdasarkan kriteria Light, dikatakan efusi pleura eksudat jika memenuhi satu
atau lebih kriteria berikut (1) rasio kadar protein cairan pleura/kadar protein serum
lebih besar dari 0,5, (2) rasio kadar LDH cairan pleura/kadar LDH serum lebih
besar dari 0,6 atau (3) kadar LDH cairan pleura lebih besar dari dua pertiga dari
batas atas normal LDH serum. (Mayse M.L, 2008)
Light dan Rodriguez membuat sebuah skema untuk klasifikasi dan
penatalaksanaan efusi pleura berdasarkan jumlah cairan, kekeruhan, dan
karakteristik biokimia cairan dan apakah cairan terlokalisir. Berdasarkan
klasifikasi di atas, maka efusi yang bersifat transudat diangap sebagai
uncomplicated pleural effusion, yang dapat ditangani dengan pengobatan
konservatif atau hanya dengan antibiotik. Efusi pleura eksudat atau efusi pleura
terlokalisir yang luas, diklasifikasikan sebagai complicated pleural effusion harus
dilakukan drainase. Yang termasuk complicated pleural effusion yaitu empiema,
efusi pleura ganas dan hemotoraks. Untuk kasus complicated pleural effusion,
sangat penting untuk dilakukan evakuasi cairan supaya paru dapat kembang untuk

22

Universitas Sumatera Utara


prognosis yang labih baik. Pilihan terapinya adalah torakosentesis untuk
terapeutik, pemasangan selang dada, terapi fibrinolitik, pleurodesis dan
pembedahan. (Yu H, 2011)
Berdasarkan foto toraks, efusi pleura dapat dikelompokkan menjadi efusi
pleura sederhana dan efusi pleura kompleks (Ellis SM, Flower C, 2006)
1. Efusi pleura sederhana
Suatu efusi pleura dikatakan sederhana jika
- Pada foto toraks postero anterior posisi tegak cairan biasanya terakumulasi
mengikuti gravitasi dengan batas atasnya didefinisikan sebagai meniscus
sign.
- Pada posisi terlentang, suatu efusi pleura sederhana akan terakumulasi
pertama sekali di bagian posterior dada dan meniscus sign kadang tidak
terlihat.
- Terdapat peningkatan secara keseluruhan yang membayangi hemitoraks
yang dapat dengan mudah diabaikan
- Jika ukuran efusi cukup besar, makan akan tampak adanya penebalan yang
jelas di tepi pleura yang disebabkan oleh perpindahan posisi paru yang
menjadi terpisah dari dinding dada oleh karena cairan.
- Jika posisi pasien semi-tegak maka cairan akan terakumulasi di bagian
belakang kostofrenikus yang tersembunyi dan di posterior rongga pleura.
- Secara keseluruhan hasilnya adalah peningkatan opasitas pada daerah yang
lebih rendah dengan tetap mempertahankan bayangan diafragma, tanpa
ada meniskus, dan bahkan sudut kostofrenikus masih normal. Kolapsnya
lobus paru tidak tergantung posisi pasien
2. Efusi pleura kompleks
Suatu efusi pleura dikatakan kompleks jika
- Ketika bentuk efusi tidak membentuk meniscus sign seperti dijelaskan di
atas tetapi malah lurus atau cembung, ini menunjukkan bahwa efusi
tersebut adalah kompleks dan biasanya mengandung cairan yang kental
dan atau bersekat

23

Universitas Sumatera Utara


- Efusi pleura kompleks tidak selalu terakumulasi di daerah paling bawah
dan oleh karena itu cairan dapat terakumulasi di mana saja di dalam
rongga pleura
- Suatu efusi pleura kompleks mungkin disebabkan oleh adanya empiema
atau hematom, tetapi efusi pleura sederhana yang kronis dapat menjadi
kompleks tanpa adanya infeksi yang menyertai dan suatu efusi pleura
sederhana yang berada dalam rongga pleura yang kompleks dapat
menunjukkan gambaran efusi pleura kompleks misalnya pada pasien yang
sebelumnya pernah dilakukan intervensi bedah atau pernah terjadi infeksi
sebelumnya.
Berdasarkan USG, efusi pleura juga dapat dibedakan menjadi efusi pleura
sederhana dan efusi pleura kompleks (Coley BD, 2013)
1. Efusi pleura sederhana
- Gambaran anechoic yang homogen
2. Efusi pleura kompleks
- Tidak bersekat dengan gambaran hipoechoic
- Terdapat lebih dari satu sekat
- Gambaran echoic yang homogen

2.2 . Mekanisme Efusi Pleura


Dalam rongga pleura yang normal, cairan masuk dan keluar dengan
jumlah yang sama secara terus – menerus karena adanya filtrasi yang
berkelanjutan dari sejumlah kecil cairan rendah protein dalam pembuluh darah
mikro yang normal. Pada akhir abad ke-19, Starling dan Tubby mengeluarkan
sebuah hipotesis, bahwa pertukaran cairan mikrovaskuler dan zat terlarut diatur
oleh keseimbangan antara tekanan hidrostatik, tekanan osmotik, dan permeabilitas
membran. (McGrath E, Anderson PB, 2011)
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan yang berlebihan di dalam rongga
pleura. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara produksi dan
penyerapan cairan pleura. Pada keadaan normal, rongga pleura hanya terisi
sejumlah kecil cairan, biasanya hanya 0,1-0,2 ml/kgBB.

24

Universitas Sumatera Utara


Cairan pleura terbentuk dan diserap kembali secara lambat, dengan jumlah
yang sama dan mempunyai kadar protein yang rendah dibandingkan dengan paru
dan kelenjar getah bening perifer. Beberapa mekanisme terbentuknya cairan
pleura antara lain : (Yataco JC, Dweik RA, 2005)
 Peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi pembuluh darah kecil.
Data klinis menunjukkan bahwa peningkatan tekanan intra kapiler
merupakan faktor yang paling sering menyebabkan efusi pleura pada gagal
jantung kongestif.
 Penurunan tekanan onkotik di sirkulasi pembuluh darah kecil disebabkan
oleh hipoalbuminemia yang cenderung meningkatkan cairan di dalam
rongga pleura.
 Peningkatan tekanan negatif di rongga pleura juga menyebabkan
peningkatan jumlah cairan pleura. Hal ini biasanya disebabkan oleh
atelektasis.
 Pemisahan kedua permukaan pleura dapat menurunkan pergerakan cairan
dalam rongga pleura dan dapat menghambat drainase limfatik pleura. Hal
ini bisa disebabkan oleh trapped lung.
 Peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler yang disebabkan oleh
mediator inflamasisangat memungkinkan terjadinya kebocoran cairan dan
protein melewati paru dan pleura visceral ke rongga pleura. Hal ini telah
dibuktikan dengan adanya infeksi seperti pneumonia
 Gangguan drainase limfatik permukaan pleura karena penyumbatan oleh
tumor atau fibrosis
 Perembesan cairan ascites dari rongga peritoneal melalui limfatik
diafragma atau dari defek diafragma.

2.3 . Diagnosis
Diagnosis efusi pleura ditegakkan melalui beberapa langkah
1) Anamnesis dan pemeriksaan klinis (Havelock T et al, 2010)
Gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura antara lain sesak napas, nyeri
dada yang bersifat pleuritik, batuk, demam, menggigil. Manifestasi klinis efusi

25

Universitas Sumatera Utara


pleura tergantung kepada penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan fisik bisa
normal jika jumlah cairan kurang dari 300 mL. Selanjutnya, jika fungsi
pernapasan dan pengembangan paru dan dinding dada masih normal biasanya
jarang menimbulkan hipoksemia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh
penurunan ventilasi dan perfusi di saat yang bersamaan di paru yang mengalami
kompresi. (Yu H, 2011)
Akumulasi cairan di dalam rongga pleura akan menyebabkan gangguan
restriksi dan mengurangi kapasitas total paru, kapasitas fungsional, dan kapasitas
vital paksa. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
disebabkan atelektasis parsial pada area yang bersangkutan, jika ukuran efusi
cukup luas maka akan mempengaruhi kardiak output dengan menyebabkan
ventrikel kolaps diastolik.
Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada efusi pleura yaitu nyeri
dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang disebabkan efusi pleura oleh
karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura. Nyeri dada yang ditimbulkan
oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri pleuritik menunjukkan iritasi lokal
dari pleura parietal, yang banyak terdapat serabut saraf. Karena dipersarafi oleh
nervus frenikus, maka keterlibatan pleura mediastinal menghasilkan nyeri dada
dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga bisa menjalar hingga ke perut melalui
persarafan interkostalis. Sedangkan batuk kemungkinan akibat iritasi bronkial
disebabkan kompresi parenkim paru. (Roberts JR et al, 2014)
Efusi pleura dengan ukuran yang besar dapat mengakibatkan peningkatan
ukuran hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal menggembung pada sisi
yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati taktil fremitus berkurang atau
menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut memisahkan paru – paru dari
dinding dada dan menyerap getaran dari paru – paru. Pada perkusi didapati beda,
dan akan berubah saat pasien berubah posisi jika cairan bisa mengalir bebas. Pada
auskultasi akan didapati suara napas yang menghilang tergantung ukuran efusi.
Egofoni dapat terdengar di batas paling atas dari efusi sebagai akibat dari
penyebab jaringan paru yang atelektasis. Gesekan pleura dapat dijumpai jika

26

Universitas Sumatera Utara


terjadi iritasi di pleura, tetapi kadang juga sulit dijumpai dari auskultasi sampai
cairan terevakuasi. (Roberts JR, et al 2014)

Tabel 2.1 Volume cairan pleura dan hubungannya dengan pemeriksaan fisik
(Klopp M, 2013)
Volume cairan pleura Temuan klinis
3
<250-300 cm Kemungkinan masih normal
500 cm3 1. Redup pada perkusi
2. Fremitus melemah
3. Pernapasan vesikular tetapi
intensitasnya menurun
1000 cm3 1. Tidak adanya retraksi inspirasi,
sedikit bulging pada sela iga
2. Ketinggalan bernapas pada sisi
yang sakit
3. Perkusi redup sampai ke scapula
dan axilla
4. Fremitus melemah atau menghilang
di posterior dan lateral
5. Suara pernapasan bronkovesikuler
6. Pada auskultasi terdapat Egophany
(suara i terdengar e) pada batas
paling atas efusi
Masif (memenuhi satu hemitoraks) 1. Bulging pada sela iga
2. Ketinggalan bernapas pada sisi
yang sakit
3. Suara napas menghilang
4. Pada auskultasi terdapat Egophony
(suara i terdengar e) di apeks
5. Liver atau spleen dapat teraba
karena adanya penekanan
diafragma.

2) Pemeriksaan Radiologis
a. Foto Toraks
Karena cairan bersifat lebih padat daripada udara, maka cairan yang
mengalir bebas tersebut pertama sekali akan menumpuk di bagian paling bawah

27

Universitas Sumatera Utara


dari rongga pleura, ruang subpulmonik dan sulkus kostofrenikus lateral. Efusi
pleura biasanya terdeteksi pada foto toraks postero anterior posisi tegak jika
jumlah cairan sampai 200 – 250 ml. Foto toraks lateral dapat mendeteksi efusi
pleura sebesar 50 – 75 ml.
Tanda awal efusi pleura yaitu pada foto toraks postero anterior posisi
tegak maka akan dijumpai gambaran sudut kostofrenikus yang tumpul baik dilihat
dari depan maupun dari samping. Dengan jumlah yang besar, cairan yang
mengalir bebas akan menampakkan gambaran meniscus sign dari foto toraks
postero anterior. Ketinggian efusi pleura sesuai dengan tingkat batas tertinggi
meniskus. Adanya pneumotoraks atau abses dapat mengubah tampilan meniskus
menjadi garis yang lurus atau gambaran air fluid level. (Roberts JR et al, 2014)
Efusi pleura lebih sulit teridentifikasi pada foto toraks dengan posisi
terlentang. Jika ukuran efusi cukup besar, bayangan kabur yang menyebar dapat
dimaklumi. Gambaran lain yang dapat ditemui antara lain tertutupnya bagian
apikal, obliterasi hemidiafragma, gambaran opasitas sebagian di hemitoraks, dan
fisura minor yang melebar.
Foto toraks lateral dekubitus bisa dilakukan ketika dicurigai adanya efusi
pleura. Efusi pleura sederhana akan mengikuti gravitasi dan akan terbentuk
lapisan antara paru yang mengambang dengan dinding dada. Gambaran yang
tidak seperti biasa mencerminkan adanya lakulasi, abses atau massa. Foto toraks
lateral dekubitus terbalik akan menarik cairan ke arah mediastinum dan
memungkinkan untuk melihat parenkim paru untuk melihat apakah ada infiltrat
atau massa yang ada di balik perselubungan tersebut.
Dengan adanya penyakit dan scar paru, perlengketan jaringan dapat
menyebabkan cairan terperangkap di permukaan pleura parietal, visceral atau
interlobar. Karena perlengketan ini menyebabkan penumpukan cairan, maka
bentuk efusi terlokalisir sering digambarkan sebagai D-shape, sedangkan cairan
yang terlokalisir di daerah fisura akan berbentuk lentikular. (Roberts JR et al,
2014)
Berdasarkan foto toraks, efusi pleura terbagi atas small, moderate dan
large. Dikatakan efusi pleura small jika cairan yang mengisi rongga pleura kurang

28

Universitas Sumatera Utara


dari sepertiga hemitoraks. Efusi pleura moderate jika cairan yang mengisi rongga
pleura lebih dari sepertiga tetapi kurang dari setengah hemitoraks. Sedangkan
efusi pleura dikatakan large jika cairan yang mengisi rongga pleura lebih dari
setengah hemitoraks. Selain itu efusi pleura juga dapat dinilai sebagai efusi pleura
masif jika cairan sudah memenuhi satu hemitoraks serta menyebabkan pergeseran
mediastinum ke arah kontralateral, menekan diafragma ipsilateral, dan kompresi
paru, jika tidak ada lesi endobronkial yang menyebabkan atelektasis dan fixed
mediastinum. (Light RW, Lee YCG, 2008)
Pada kasus efusi pleura masif, seluruh hemitoraks akan terdapat bayangan
opasitas. Pada foto tersebut, pergeseran mediastinum dapat mengidentifikasi
penyebab efusi pleura tersebut. Dengan tidak adanya paru atau mediastinum yang
sakit, akumulasi cairan yang besar akan mendorong mediastinum ke kontralateral.
Ketika mediastinum bergeser ke arah efusi kemungkinan kelainannya adalah di
paru dan bronkus utama atau adanya obstruksi atau keduanya. Ketika
mediastinum tetap di medial kemungkinan penyebabnya adalah tumor. (Roberts
JR et al, 2014)

Gambar 2.1 (a) Efusi pleura kiri pada foto toraks tampak dari postero anterior dan lateral (b).
Meniscus sign dapat terlihat dari kedua posisi tersebut. (Roberts JR et al, 2014)

29

Universitas Sumatera Utara


b. USG Toraks
Ada beberapa keuntungan dari penggunaan USG toraks untuk menilai
suatu efusi pleura. USG toraks merupakan prosedur yang mudah dilakukan dan
merupakan tindakan yang tidak invasif dan dapat dilakukan di tempat tidur pasien.
USG toraks lebih unggul daripada foto toraks dalam mendiagnosis efusi pleura
dan dapat mendeteksi efusi pleura sekecil 5ml. meskipun beberapa hal yang detail
hanya bisa terlihat pada CT scan, USG dapat mengidentifikasi efusi yang
terlokalisir, membedakan cairan dari penebalan pleura, dan dapat membedakan
lesi paru antara yang padat dan cair. USG juga dapat digunakan untuk
membedakan penyebab efusi pleura apakah berasal dari paru atau dari abdomen.
Selain itu USG dapat dilakukan di tempat tidur pasien yang sangat berguna untuk
identifikasi cepat lokasi diafragma dan tingkat interkostal untuk menentukan batas
atas efusi pleura. (Roberts JR et al, 2014)

Gambar 2.2 Gambaran efusi pleura pada USG toraks (Lee YCG, 2013)

c. CT scan toraks
Meskipun tindakan torakosentesis biasanya dilakukan berdasarkan temuan
foto toraks, tetapi CT scan toraks lebih sensitif dibandingkan dengan foto toraks
biasa untuk mendeteksi efusi pleura yang sangat minimal dan mudah menilai luas,
jumlah, dan lokasi dari efusi pleura yang terlokalisir. Lesi lokulasi bisa tampak
samar – samar pada foto toraks biasa. Pada gambaran CT scan toraks, cairan yang

30

Universitas Sumatera Utara


mengalir bebas akan membentuk seperti bulan sabit dapa daerah paling bawah,
sedangkan penumpukan cairan yang terlokalisir akan tetap berbentuk lenticular
dan relatif tetap berada dalam ruang tersebut. Selain itu, CT scan toraks dapat
digunakan untuk menilai penebalan pleura, ketidakteraturan, dan massa yang
mengarah keganasan dan penyakit – penyakit lain yang menyebabkan efusi pleura
eksudatif. Dengan menggunakan zat kontras intra vena, CT scan toraks dapat
membedakan penyakit parenkim paru, seperti abses paru. Emboli paru juga dapat
terdeteksi dengan menggunakan zat kontras intra vena. CT scan toraks juga
berguna dalam mengidentifikasi patologi mediastinum dan dalam membedakan
ascites dari efusi pleura subpulmonik yang terlokalisir. (Roberts JR et al, 2014)

Gambar 2.3 Gambaran efusi pleura tampak pada CT scan toraks (Lee YCG, 2013)

3) Torakosintesis untuk diagnostik


Torakosintesis yang dilanjutkan dengan analisis cairan pleura dapat
dengan cepat mempersempit diagnosis banding efusi pleura. Sebagian besar
cairan pleura berwarna kekuningan. Temuan ini tidak spesifik karena cairan
berwarna kekuningan terdapat pada berbagai kasus efusi pleura. Namun tampilan
warna lain efusi pleura dapat membantu untuk mendiagnosis penyebab efusi
pleura. Cairan yang mengandung darah dapat ditemukan pada kasus pneumonia,

31

Universitas Sumatera Utara


keganasan, dan hemotoraks. Jika warna cairan sangat keruh atau seperti susu
maka sentrifugasi dapat dilakukan untuk membedakan empiema dari kilotoraks
atau pseudokilotoraks. Pada empiema, cairan yang berada di bagian atasakan
bersih sedangkan debris – debris sel akan mengendap di bagian bawah, sedangkan
pada kilotoraks ataupun pseudokilotoraks warna cairan akan tetap sama karena
kandungan lipid yang tinggi dalam cairan pleura. Cairan yang berwarna
kecoklatan atau kehitaman dicurigai disebabkan oleh abses hati oleh infeksi
amuba dan infeksi aspergillus. Setelah dilakukan torakosintesis, cairan harus
langsung dikirim untuk analisis biokimia, mikrobiologi dan pemeriksaan sitologi.
Analisis biokimia cairan pleura meliputi menilai kadar protein, pH, laktat
dehydrogenase (LDH), glukosa, dan albumin cairan pleura. Karena rongga pleura
terisi oleh cairan, maka protein menjadi penanda yang penting untuk membedakan
apakah cairan pleura termasuk transudat atau eksudat. (McGrath E, Anderson PB,
2011)
Efusi pleura dikatakan ganas jika pada pemeriksaan sitologi cairan pleura
ditemukan sel – sel keganasan. Diagnosis hemotoraks ditegakkan jika ada bukti
trauma dada pada pasien yang menjalani operasi dalam waktu 24 jam terakhir,
memiliki kecenderungan untuk terjadinya pendarahan, serta perbandingan nilai
hematokrit cairan pleura dengan serum lebih besar dari 50%. (Liu YH et al, 2010)

32

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.4 Proses torakosentesis (Roberts JR et al, 2014)

33

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2 Pemeriksaan cairan pleura untuk penegakan diagnostik (Light RW, Lee
YCG, 2008)
Penyakit Uji diagnostik cairan pleura
Empiema Observasi (nanah, bau busuk), kultur
Keganasan Sitologi positif
Pleuritis karena lupus Terdapat sel lupus eritematosus
Efusi pleura tuberkulosis Positif mengandung BTA, kultur, ADA > 40-60 U/L
Pleuritis karena jamur Positif pewarnaan KOH, kultur
Efusi pleura karena Kolesterol > 300 mg/dL, kolesterol /trigliserida > 1,0
kolesterol kristal kolesterol
Kilotoraks Trigliserida > 110 mg/dL, dijumpai kilomikron
Hemotoraks Hematokrit (rasio cairan pleura/darah > 0,5)
Urinotoraks Kreatinin (rasio cairan pleura/serum >1,0)
Dialisis peritoneum Protein < 1,0g/dL, glukosa > 300 mg/dL
Perpindahan Observasi (seperti susu jika diinfus lipid) cairan
ekstravaskular dari kateter pleura / glukosa serum > 1,0 (infus glukosa)
vena sentral
Pleuritis reumatoid karakteristik sitologi (pH < 7,00, glukosa < 30
mg/dL), LDH > 1000 IU/L
Fistel duro-pleura Terdapat β2 transferin

34

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.3 Tampilan cairan pleura untuk membantu diagnosis (Light RW, Lee
YCG, 2008)
Perkiraan diagnosis
Warna cairan
Kuning pucat (jerami) Transudat, eksudat pauci-cellular
Merah (seperti darah)
Hematokrit < 5% Keganasan, BAPE (benign asbestos pleural
effusion), PCIS (post cardiac injury syndrome),
infark paru
Hematokrit cairan Trauma
pleura/serum ≥0,5
Putih susu Kilotoraks atau efusi pleura karena kolesterol
Coklat Efusi pleura menyerupai darah yang sudah
berlangsung lama; pecahnya abses hati amuba ke
rongga pleura
Hitam Spora Aspergillus niger
Kuning kehijauan Pleuritis reumatoid
Warna dari selang makanan Selang makanan masuk ke dalam rongga pleura,
atau infus vena sentral perpindahan kateter ekstravaskular ke
mediastinum / rongga pleura
Karakteristik cairan
Nanah Empiema
Kental Mesotelioma
Debris Pleuritis reumatoid
Keruh Eksudat inflamasi atau efusi lipid
Anchovy paste Pecahnya abses hati amuba
Bau atau cairan busuk Empiema anaerobik
Ammonia Urinotoraks

35

Universitas Sumatera Utara


4) Biopsi Pleura
Pada kasus efusi pleura yang belum tegak diagnosisnya di mana dicurigai
disebabkan oleh keganasan dan nodul pada pleura tampak pada CT scan dengan
kontras, maka biopsi jarum dengan tuntunan CT scan merupakan metode yang
tepat. Biopsi jarum Abram hanya bermakna jika dilakukan di daerah dengan
tingkat kejadian tuberkulosis yang tinggi, walaupun torakoskopi dan biopsi jarum
dengan tuntunan CT scan dapat dilakukan untuk hasil diagnostik yang lebih
akurat. (Havelock T et al, 2010)

5) Torakoskopi
Torakoskopi merupakan pemeriksaan yang dipilih untuk kasus efusi pleura
eksudat di mana diagnostik dengan aspirasi cairan pleura tidak meyakinkan dan
dicurigai adanya keganasan. (Havelock T et al, 2010)

6) Pemeriksaan Lain Pada Kondisi Tertentu (Havelock T et al, 2010)


- Pleuritis tuberkulosis
Ketika dilakukan biopsi pleura, maka sampel harus dikirim untuk
pemeriksaan histologi dan kultur untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis.
Biopsi pleura melalui torakoskopi merupakan pemeriksaan yang paling akurat
untuk mendapatkan hasil positif untuk kultur mikobakterium (dan juga
sensitivitas obat). Penanda tuberkulosis pleura dapat bermakna di negara -
negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang rendah. Adenosine
deaminase (ADA) adalah penanda yang paling sering digunakan.
- Rheumathoid Arthritis yang berhubungan dengan efusi pleura
Sebagian besar efusi pleura yang disebabkan oleh Rheumathoid Arthritis
menunjukkan kadar glukosa yang sangat rendah yaitu <1,6 mmol/L (29
mg/dL).
- Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
Antinuclear antibody (ANA) cairan pleura tidak diperlukan diukur
secara rutin karena hanya menunjukkan kadar serum dan biasanya tidak
membantu.

36

Universitas Sumatera Utara


- Kilotoraks dan pseudokilotoraks
Pada kasus terduga kilotoraks atau pseudokilotoraks maka cairan
pleura harus diperiksakan untuk menilai kristal kolesterol, kilomikron, kadar
trigliserida cairan pleura dan kadar kolesterol cairan pleura.

2.4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang utama pada kasus efusi pleura adalah dengan
mengurangi gejala yang ditimbulkan dengan jalan mengevakuasi cairan dari
dalam rongga pleura kemudian mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pilihan
terapinya bergantung pada jenis efusi pleura, stadium, dan penyakit yang
mendasarinya. Pertama kita harus menentukan apakah cairan pleura eksudat atau
transudat. (Yu H, 2011)
Penatalaksanaan efusi pleura dapat berupa aspirasi cairan pleura ataupun
pemasangan selang dada. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk tujuan diagnostik
misalnya pada efusi pleura yang tidak diketahui penyebabnya dan terapeutik yaitu
untuk mengevakuasi cairan maupun udara dari rongga pleura ketika pasien tidak
sanggup lagi untuk menunggu dilakukan pemasangan selang dada misalnya pada
pasien tension pneumotoraks. Selain aspirasi cairan pleura dapat juga dilakukan
pemasangan selang dada untuk tujuan terapeutik. Pemasangan selang dada
diperlukan jika terjadi gangguan fungsi fisiologis sistem pernapasan dan
kardiovaskular. (Klopp M, 2013)
Selain torakosentesis, prinsip penanganan efusi pleura adalah dengan
mengobati penyakit yang mendasarinya. Tindakan emergensi diperlukan ketika
jumlah cairan efusi tergolong besar, adanya gangguan pernapasan, ketika fungsi
jantung terganggu atau ketika terjadi perdarahan pleura akibat trauma tidak dapat
terkontrol. Drainase rongga pleura juga harus segera dilakukan pada kasus
empiema toraks.
Efusi pleura minimal yang disebabkan oleh proses malignansi terkadang
akan teratasi dengan sendirinya setelah dilakukan tindakan kemoterapi, namun
tindakan pleurodesis harus tetap dilakukan setelah cairan berhasil dievakuasi pada

37

Universitas Sumatera Utara


kasus di mana efusi pleura berulang atau ketika jumlah cairan dalam rongga
pleura tergolong moderat. (Sato T, 2006)

a. Torakosentesis
Torakosentesis merupakan pilihan pertama dan merupakan tindakan yang
sederhana untuk kasus efusi pleura, bukan hanya untuk diagnosis tapi juga untuk
mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura tersebut. Tetapi
bagaimanapun juga, torakosintesis yang berulang bukan pilihan yang tepat untuk
penanganan efusi pleura ganas yang progresif. Torakosintesis hanya mengurangi
gejala untuk sementara waktu dan akan membutuhkan kunjungan yang berulang
ke rumah sakit untuk melakukannya. (Yu H, 2011)
Indikasi Torakosentesis
Indikasi torakosintesis pada kasus efusi pleura meliputi indikasi diagnostik
dan terapeutik
1) Diagnostik
Saat melakukan torakosentesis, sampel cairan pleura dapat diambil dan
diperiksakan untuk menentukan penyebab efusi. Untuk pemeriksaan
laboratorium dibutuhkan 50 – 100 ml. Sebagian besar efusi pleura yang masih
baru terukur lebih dari 10 mm pada foto toraks posisi lateral dekubitus, CT
scan toraks, atau USG toraks.
2) Terapeutik
Tujuan lain dilakukan torakosentesis adalah untuk mengurangi gejala yang
ditimbulkan misalnya meringankan sesak napas yang diakibatkan jumlah
cairan yang besar dan membutuhkan evakuasi segera.

Kontraindikasi torakosentesis
Tidak ada kontraindikasi untuk torakosentesis. Studi terbaru menunjukkan
bahwa jika torakosentesis dilakukan dengan tuntunan USG, maka hal ini aman
untuk dilakukan meskipun terdapat kelainan koagulasi. Perhatikan pasien dengan
kelainan koagulasi, termasuk gagal ginjal, tanda – tanda perdarahan yang terjadi

38

Universitas Sumatera Utara


setelah prosedur. Hindari tempat yang terdapat selulitis maupun herpes zoster
dengan memilih lokasi torakosentesis alternatif. (Roberts JR et al, 2014)

b. Pemasangan selang dada


Pemasangan selang dada dapat dilakukan pada pasien dengan efusi pleura
ataupun pneumotoraks dengan ukuran moderat sampai large, pasien dengan
riwayat aspirasi cairan pleura berulang, efusi pleura yang berulang, pada pasien
yang dilakukan bedah toraks, pasien dengan pneumotoraks yang berhubungan
dengan trauma, hemotoraks, kilotoraks, empiema, atau pada keadaan lain
misalnya untuk pencegahan setelah tindakan pembedahan untuk evakuasi darah
dan mencegah tamponade jantung. (Klopp M, 2013)
Indikasi pemasangan selang dada. (Dev PS et al, 2007)
1) Pada keadaan darurat
- Pneumothoraks
Pada semua pasien dengan ventilasi mekanik
Pneumotoraks yang luas
Keadaan klinis pasien yang tidak stabil
Pneumotorax ventil
Pada pneumotoraks ventil setelah dekompresi dengan jarum
Pada pneumotoraks berulang atau tetap
Pada pneumothoraks akibat trauma dada
Pada pneumothoraks iatrogenik, jika ukurannya luas dan keadaan
klinisnya signifikan
- Hemopneumotoraks
- Ruptur esophagus dengan kebocoran lambung ke rongga pleura
2) Pada keadaan non-darurat
- Efusi pleura ganas
- Pengobatan dengan agen sklerotik atau pleurodesis
- Efusi pleura berulang
- Efusi parapneumonik atau empiema
- Kilotoraks

39

Universitas Sumatera Utara


- Perawatan pasca operasi (mis: setelah bypass coroner, torakotomi, atau
lobektomi)

Kontraindikasi pemasangan selang dada (Dev PS et al, 2007)


Pedoman yang telah ada menyatakan bahwa tidak ada kontraindikasi
absolut untuk drainase melalui selang dada kecuali ketika paru-paru benar-benar
melekat pada dinding dada seluruh hemitoraks tersebut. Kontraindikasi relatif
meliputi risiko perdarahan pada pasien yang memakai obat antikoagulan atau pada
pasien dengan kecenderungan perdarahan atau profil pembekuan abnormal. Bila
memungkinkan, koagulopati dan cacat trombosit harus diperbaiki dengan infus
produk darah, seperti plasma beku segar dan trombosit
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa jika pemasangan selang dada
dilakukan dengan tuntunan USG maka hal ini dinyatakan aman untuk dilakukan
walaupun terdapat parameter koagulasi yang abnormal. Seluruh pasien dengan
kelainan koagulasi termasuk pasien dengan gagal ginjal, sebagai tanda – tanda
perdarahan setelah prosedur pemasangan. Hindari lokasi insersi melalui bagian
kulit yang terkena selulitis atau herpes zoster dengan memilih lokasi atau
alternatif lain. Lakukan pada waktu yang tepat untuk melakukan torakosintesis
pada pasien – pasien dengan ventilasi mekanik maupun manual karena tekanan
positif berhubungan dengan ventilasi mekanik yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya pneumotoraks pada pasien tersebut. (Roberts JR et al, 2014)
British Thoracic Society mengklasifikasikan selang dada berdasarkan
ukurannya menjadi tiga kelompok yaitu (Laws D et al, 2003)
1. Small-bore tube (8-14 F)
2. Medium-bore tube (16-24 F)
3. Large-bore tube (>24 F)
Ukuran selang dada dari yang paling kecil hingga yang paling besar adalah
antara 8 – 32 F. Ukuran selang dada yang dibutuhkan tergantung pada indikasi
pemasangan selang dada. Untuk pneumotoraks dianjurkan selang dada ukuran 20
F, dan untuk efusi pleura ukuran 24 – 28 F, serta perlu juga dipertimbangkan jenis
kelamin dan ukuran pasien. (Klopp M, 2013)

40

Universitas Sumatera Utara


2.5. Jenis selang dada
2.5.1. Large-bore kateter
Pemasangan selang dada merupakan tindakan yang umum dilakukan untuk
drainase cairan dan udara dari rongga pleura pada sebagian besar rumah sakit di
Amerika Serikat. (Gammie JS, Banks MC, Fuhrman CR, et al 1999) Untuk
drainase cairan maupun udara, penggunaan large-bore kateter tetap tetap
merupakan tindakan yang optimal dan adekuat. Bagaimanapun juga, pemasangan
large-bore kateter baik dengan metode blunt dissection maupun dengan trokar
masih menunjukkan angka kematian yang signifikan. (Liu YH et al, 2010)
Pemasangan selang dada merupakan prosedur yang invasif dan komplikasi
bisa terjadi akibat kurangnya pengetahuan tentang anatomi toraks atau
pangalaman dan latihan yang tidak adekuat. Berbagai komplikasi tersebut dapat
diklasifikasikan secara sederhana sebagai komplikasi teknik dan infeksi. Teknik
trokar dilaporkan mengakibatkan angka komplikasi yang lebih tinggi. (Kesieme
EB et al, 2012)
Ukuran selang dada standar biasanya adalah 32-40 F. Pemasangan large-
bore kateter tersebut memerlukan tekhnik cut-down, traumatis, dan sering
menimbulkan nyeri yang signifikan dan ketidaknyamanan. (Kulvatunyou et al,
2014) Jarak antara tulang rusuk pada orang dewasa adalah sekitar 9 mm (pada sela
iga 5) linea midaxillaris. Selang dada ukuran 32 F memiliki diameter 10,7 mm,
sedangkan selang dada ukuran 24 F memiliki diameter 8 mm dan pigtail kateter
ukuran 8 F memiliki diameter 2,7 mm. selang dada ukuran 32 F memiliki
diameter yang lebih besar dari ruang interkostal dan inilah yang menyebabkan
penggunaan selang dada ukuran besar menimbulkan rasa sakit yang lebih jika
dibandingkan dengan selang dada ukuran kecil. (Caroll P, 2012)
Large-bore kateter sangat umum digunakan untuk berbagai kasus pleura
termasuk di bidang bedah untuk penanganan trauma, pasca operasi dan empiema.
Selain itu, large-bore kateter juga kurang rentan untuk terjadinya blockage
maupun kingking dan sangat cocok untuk kasus – kasus di atas. Beberapa
kekurangan large-bore kateter di antaranya adalah memerlukan diseksi jaringan,
rasa nyeri pada proses pemasangan, luka insisi yang lebih besar, dan dan

41

Universitas Sumatera Utara


merupakan tindakan yang invasif. Beberapa komplikasi yang ditimbulkan adalah
cedera organ (1,4%), malposisi (6,5%), empiema (1,4%), dan blockage (5,2%).
(Caroll P, 2012)

Gambar 2.5 Large Bore kateter (Alazemi S, 2013)

2.5.2. Small-bore kateter


Small-bore kateter telah mengalami perkembangan secara signifikan
selama beberapa tahun terakhir. Kateter tersebut terbuat dari bahan yang lebih
lembut dan lebih fleksibel daripada selang dada ukuran besar yang standar. Hal ini
diyakini dapat mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan yang dirasakan pasien
dan lebih aman digunakan untuk dinding dada. Ada banyak jenis small-bore
kateter yang tersedia yaitu mulai dari ukuran 8 F sampai 28 F, tetapi yang paling
sering digunakan adalah ukuran antara 8 F sampai 16 F. Beberapa kateter
memiliki ujung yang melengkung dan dinamakan pigtail kateter. Bentuk seperti
ini berfungsi sebagai mekanisme pengunci internal untuk mencegah terjadinya
tercabutnya selang secara tidak sengaja misalnya pada pasien yang tidak
kooperatif maupun pada saat transportasi pasien.
Pemilihan ukuran kateter berdasarkan pada kekentalan cairan yang akan
dikeluarkan. Kateter ukuran 8-12 F dinilai cukup untuk mengalirkan cairan pleura
transudatif dan mengalir bebas. Namun, untuk efusi pleura yang lebih kental
seperti pada complicated parapneumonik effusion, empiema dan hemotoraks,
sumbatan di selang dada biasanya terjadi pada kateter dengan ukuran kecil, dan

42

Universitas Sumatera Utara


sebagian besar dokter biasanya menggunakan kateter mulai dari ukuran 16 F atau
lebih. (Alazemi S, 2013)

Gambar 2.6 Pigtail kateter (Alazemi S, 2013)

Gambar 2.7 Pigtail kateter dengan guidewire (Mahmood K, Wahidi MM,2013)

Pada awal tahun 1990-an, diperkirakan hanya tujuh persen penggunaan


small-bore kateter untuk pemasangan selang dada. Namun saat ini penggunaan
small-bore kateter semakin meningkat. Hal ini dikarenakan ukurannya yang lebih
kecil, hanya memerlukan sedikit atau bahkan tidak memerlukan sayatan dalam
proses pemasangannya, dan rasa nyeri yang lebih sedikit dibandingkan dengan
large-bore kateter. Selain itu, sayatan yang kecil biasanya meninggalkan bekas

43

Universitas Sumatera Utara


luka yang lebih sedikit dan tidak memerlukan penjahitan setelah proses
pencabutan selang dada. (Mahmood K, Wahidi MM,2013)
Small-bore kateter disebut juga dengan pigtail kateter. (Azan B et al, 2014)
Pigtail kateter adalah sebuah selang dada ukuran kecil yang digunakan untuk
mengalirkan cairan maupun udara dari rongga pleura. (Cardenas G et al, 2009)
Pigtail kateter pertama kali dilaporkan digunakan untuk drainase cairan pleura
pada tahun 1970. (Caroll P, 2012)
Small-bore kateter juga memiliki beberapa kelemahan di antaranya adalah
aliran drainase yang lebih lambat dan berpotensi tidak dapat mengevakuasi
kebocoran udara yang besar dan cairan yang kental dengan akumulasi yang cepat
seperti darah. Pada satu penelitian yang membandingkan selang dada dengan
berbagai ukuran disimpulkan bahwa small-bore kateter mempunyai aliran
drainase yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan large-bore kateter.
Berdasarkan hal tersebut maka sangat dianjurkan untuk menggunakan large-bore
kateter pada kasus dengan kebocaran udara yang besar dan juga pada pasien post
pneumonektomi. Aliran selang dada yang berukuran sama ternyata bervariasi
sesuai masing – masing produsen. Hal ini mungkin disebabkan oleh panjang
selang dada dan bahan yang digunakan untuk membuat selang selang tersebut.
Oleh karena itu maka setiap klinisi harus benar – benear memahami setiap jenis
selang dada yang disediakan di tempatnya bekerja. (Mahmood K, Wahidi
MM,2013)
Beberapa komplikasi yang ditimbulkan small-bore kateter adalah cedera
organ di sekitarnya (0,2%), malposisi (0,6%), empiema (0,2%), dan blockage
(8,1%). Cairan yang kental seperti darah atau pus dapat menyumbat small-bore
kateter karena alirannya yang lambat. Untuk mencegah terjadinya sumbatan,
biasanya digunakan 30 mL larutan saline steril setiap 6 sampai 8 jam dan hal ini
harus dilakukan secara rutin. (Mahmood K, Wahidi MM,2013)
Insersi pigtail kateter merupakan metode yang efektif dan aman untuk
drainase cairan pleura. (Bediwy AS, Amer HG. 2012) Pigtail kateter mempunyai
resiko yang rendah untuk terjadinya komplikasi yang serius seperti cedera organ,
malposisi, empiema dan blockage. Pigtail kateter menunjukkan skor nyeri yang

44

Universitas Sumatera Utara


rendah, kebutuhan akan analgetik yang rendah, dan tingkat kenyamanan yang
lebih besar dibandingkan dengan pasien yang tatalaksana dengan large-bore
dengan indikasi yang sama. (Havelock T et al, 2010)
Drainase menggunakan pigtail kateter merupakan metode yang mudah
untuk dilakukan, dengan trauma yang minimal, masa rawatan yang relatif singkat,
dan dirasakan lebih nyaman oleh pasien dibandingkan dengan selang dada
konvensional. Drainase menggunakan pigtail kateter merupakan metode yang
efektif dan aman dibandingkan dengan selang dada konvensional untuk drainase
cairan pleura. (Lin CH et al, 2011)
Pigtail kateter sangat jauh berbeda dengan selang dada konvensional, dan
lebih sedikit traumatis pada saat pemasangan dan meninggalkan bekas yang lebih
kecil. Kelebihan lain dari pigtail kateter adalah tidak mudah tertekuk (kingking).
(Pierrepoint MJ et al, 2002)
Untuk selang dada standar dengan ukuran besar, kebanyakan dokter
melakukan insersi selang dada melalui sebuah sayatan yang dibuat di daerah
interkostal IV atau V linea mid-axillaris di mana selang dada dapat dimasukkan
baik ke arah apikal ataupun posterior tergantung dari penyakit pleura yang
mendasarinya. Dengan metode seperti ini, sangat mungkin terjadi malposisi
selang dada, terutama pada kasus efusi pleura terlokalisir. Namun, hal ini dapat
dicegah dengan bantuan tuntunan radiologi sehingga dapat membantu dokter
untuk dapat menempatkan selang dada secara tepat ke dalam rongga pleura.
Pada kasus efusi pleura yang free flowing tempat insersi selang dada lebih
diutamakan pada sisi lateral untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien dan
tercabutnya selang ketika pasien berbaring terlentang. Selain itu, tempat insersi
selang dada juga diusahakan terletak serendah mungkin lalu diarahkan ke
posterior ke tempat di mana cairan pleura paling banyak terkumpul agar dapat
dilakukan drainase maksimal. Penempatan selang dada pada linea mid-skapula
tidak disarankan kecuali pada keadaan tertentu karena dapat beresiko tercabutnya
selang dada oleh gerakan tulang belikat. Namun, pada kasus efusi pleura
terlokalisir, maka lokasi insersi harus benar – benar tepat di tempat terlokalisirnya
cairan (sebaiknya di perbatasan inferior dari tempat terlokalisirnya cairan) terlihat

45

Universitas Sumatera Utara


dari USG toraks. Pada kasus pneumotoraks, tempat insersi biasanya adalah di
bagian anterior dinding dada pada interkostal II.
Ada beberapa jenis small-bore kateter yang tersedia. Ketika kita memilih
sebuah small-bore kateter, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Kateter
harus terbuat dari bahan yang lembut dan fleksibel supaya dapat dipasang dengan
mudah melalui ruang interkostal serta dapat meminimalkan rasa sakkit dan
ketidaknyamanan pasien. Kateter dengan ujung yang melingkar (dinamakan
pigtail kateter lebih disukai untuk drainase efusi pleura jangka panjang misalnya
pada efusi pleura ganas atau pada efusi pleura parapneumonik) karena alat ini
memiliki mekanisme penguncian yang dapat meminimalkan kemungkinan
tercabutnya selang dada. Kateter harus bersifat radioopak supaya dapat terdeteksi
dengan mudah pada foto rontgen. (Alazemi S, 2013)

2.6. Prosedur Pemasangan Selang Dada


Tidak ada kontraindikasi mutak untuk pemasangan selang dada. Sebelum
melakukan pemasangan selang dada, sebaiknya dilakukan identifikasi jika ada
gangguan pada pembekuan darah. Foto toraks harus dilakukan sebelum tindakan
pemasangan selang dada. Kemudian prosedur tindakan harus dijelaskan kepada
pasien dan tindakan dilakukan atas persetujuan pasien. Selain analgesik lokal,
pemberian sedasi dengan opioid atau golongan benzodiazepine untuk pasien
dengan hemodinamik stabil. Reaksi vasovagal biasanya tampak baik pada pasien
usia muda. Pasien yang diberikan obat – obatan sedasi harus terus dipantau dari
segi kardio respiratorinya. (Singh S Gareebo S, 2006)
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemasangan selang dada.
Yang pertama harus dilakukan adalah menentukan lokasi yang akan dilakukan
pemasangan selang dada.
Dalam ruangan interkostal terdapat otot interkostal, vena, arteri, dan saraf
yang terletak di alur kosta sepanjang batas bawah dari iga superior dari atas ke
bawah dan terletak di antara lapisan kedua dan ketiga dari otot. Untuk
menghindari terkena neurovascular bundle biasanya dianjurkan selang dada
ditempatkan di bagian atas kosta. Namun tusukan dilakukan sedekat mungkin

46

Universitas Sumatera Utara


dengan margin superior dari kosta. Bagaimanapun juga, tusukan harus bisa
dilakukan sedekat mungkin dengan batas superior dari kosta yang lebih rendah
dapat menyebabkan laserasi arteri interkostal. Studi terbaru menunjukkan bahwa
lokasi yang ideal harus 50-60 dari arah menurun kosta. Cedera neurovascular
bundle tetap mungkin terjadi sebagai komplikasi dari prosedur pemasangan selang
dada. (Light RW, 2011)
British Thoracic Society (BTS) telah merekomendasikan triangle of safety
sebagai lokasi untuk penempatan selang dada. Lokasi ini berbatasan dengan
musculus latissimus dorsi pada bagian anteriornya, lateralnya berbatasan dengan
musculus pectoralis mayor dan garis horizontalnya adalah garis lurus yang ditarik
dari papilla mammae sampai di bawah axilla. Sebuah survei yang dilakukan oleh
resident junior pada landmark anatomi ketika melakukan pemasangan selang dada
menunjukkan bahwa 45% kasus yang dilakukan pemasangan selang dada di luar
area triangle of safety tersebut terdapat error sebanyak 20% .(Havelock T et al,
2010)

gambar 2.8 triangle of safety (Kesieme EB et al, 2012)

47

Universitas Sumatera Utara


gambar 2.9 anatomi dari neurovascular bundle, saraf interkostal, arteri dan vena terletak di bagian
inferior (Roberts JR et al, 2014)
Setelah menentukan lokasi pemasangan, selanjutnya kita akan menentukan
teknik mana yang akan digunakan dalam prosedur pemasangan. Ada beberapa
teknik yang biasa digunakan pada prosedur pemasangan selang dada seperti
teknik blunt dissection, teknik trokar, dan teknik seldinger (menggunakan guide-
wire). (Havelock T et al, 2010)

2.7. Teknik pemasangan selang dada


2.7.1. Teknik blunt dissection
Setelah dilakukan anestesi lokal, buatlah insisi di kulit sepangjang 2 cm
yang sejajar dengan ruang interkostal dan harus dilakukan tepat di atas iga untuk
mengurangi risiko cedera neurovaskular. Dengan menggunakan lidokain, lakukan
anestesi lokal dengan infiltrasi di daerah periosteum atas dan bawah tempat
pemasangan selang dada.
Pada metode blunt dissection, dibutuhkan klem Kelly untuk menembus
ruang interkostal. Hal ini harus dilakukan secara perlahan dan pada posisi tertutup
sampai menembus pleura lalu klem dilebarkan untuk membuka pleura parietal dan
otot interkostal. Kemudian masukkan satu jari melalui lubang yang telah dibuat
untuk memastikan posisi yang tepat dan mengurangi perlengketan antara kedua
permukaan pleura sebelum pemasangan selang dada. Klem dijepitkan pada
pangkal selang dada, kemudian diarahkan ke posisi yang diinginkan. Pada kasus
pneumotoraks arahkan ke apikal dan untuk kasus efusi pleura diarahkan ke basal.
(Singh S Gareebo S, 2006)

48

Universitas Sumatera Utara


Teknik blunt dissection ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang
lebih besar kepada pasien tetapi resiko untuk terjadinya cedera organ lebih kecil. 33
Lokasi selang dada harus dikonfirmasi dengan gambaran kondensasi di
dalam selang dengan respirasi, atau dengan cairan pleura yang dialirkan dalam
selang dada. Selang dada harus dimasukkan dengan lubang proksimal minimal 2
cm melewati batas iga. Posisi selang dada dengan seluruh lubang drainase harus
dinilai dengan palpasi.
Selang dada dijahitkan ke kulit dengan jahitan yang kuat dengan benang
silk 1.0. Jika dilakukan pemasangan large-bore kateter, maka harus dilakukan
jahitan matras. Jahitan purse string tidak lagi dianjurkan karena dapat mengubah
jahitan. Dan hal ini akan meninggalkan bekas luka yang tidak sedap dipandang.
Selang dada harus benar-benar terhubung ke sistem drainase pleura
dengan aliran searah. Ini biasanya dengan system water seal drainage.
Keuntungan dari sistem ini adalah memungkinkan kita untuk mengamati
keluarnya udara rongga pleura pada kasus pneumotoraks dan pengukuran volume
yang akurat pada kasus efusi pleura, tetapi pasien harus dirawat inap dan sangat
membatasi mobilisasi. Kantung penampung cairan dengan katup flutter dan
saluran udara merupakan alternatif yang lebih fleksibel. Beberapa rumah sakit
menggunakan Heimlich flutter valve (one way) dengan selang dada ukuran kecil
untuk kasus simple pneumotoraks. (Singh S Gareebo S, 2006)

2.7.2. Teknik Trokar


Beberapa selang dada masih disertai dengan trokar logam yang dapat
ditarik sehingga ujungnya yang tajam dapat diposisikan ke dalam selang. Trokar
ini kemudian dapat digunakan untuk mengarahkan selang dada ke posisi yang
diinginkan. Namun, trokar ini tidak boleh digunakan untuk membuat saluran ke
dalam rongga pleura. Teknik ini membutuhkan kekuatan yang signifikan dan
dikaitkan dengan kerusakan struktur intratoraks. (Singh S Gareebo S, 2006)
Teknik trokar mungkin akan lebih mudah untuk dilakukan namun akan
meningkatkan resiko cedera paru karena penetrasi yang berlebihan. Pada teknik
trokar, dokter meng-insisi kulit dan memasukkan trokar dengan selang dadanya

49

Universitas Sumatera Utara


secara perlahan dan terkendali hingga mencapai pleura. Kemudian dokter
mencabut trokar dan hanya meninggalkan selang dada terpasang pada lokasi
insisi. (Durai R et al, 2010)
Teknik trokar memiliki beberapa kelebihan yaitu selang dada dapat
terpasang secara cepat dan dapat mengarahkan selang dada ke posisi yang
diinginkan. Namun, kekurangan dari teknik trokar adalah dapat menyebabkan
cedera organ. Pedoman terbaru dari British Thoracic Society dan Advanced
Trauma Life Support merekomendasikan penggunaan trokar untuk pemasangan
selang dada. (John M et al, 2014)
2.7.3. Teknik Seldinger (menggunakan guide-wire)
Selang dada tertentu dapat dipasang dengan metode teknik Seldinger
untuk menghindari teknik blunt dissection. Selang dada jenis ini awalnya
dirancang dalam ukuran kecil (12 F), tetapi sekarang tersedia dalam berbagai
ukuran sampai ukuran 24 F.
Setelah dilakukan anestesi lokal, kemudian lakukan torakosintesis sampai
cairan atau udara teraspirasi dan memastikan ujung selang terletak pada posisi
yang diinginkan di dalam rongga pleura. Sebuah guide-wire kemudian
dimasukkan ke tengah dan bagian atas dipertahankan. Lalu jarum ditarik dan
dibuat sayatan dangkal yang kecil yang kemudian diperbesar dengan dilator.
Setelah itu selang tersebut dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui guide-
wire. (Singh S Gareebo S, 2006)

2.8. Teknik pemasangan selang dada konvensional


a. Teknik pemasangan selang dada tanpa trokar (Wuryantoro et al, 2011)
1. Lakukan tindakan desinfeksi pada lokasi pemasangan selang dada lalu
tutup dengan duk steril
2. Berikan analgetik (kecuali terdapat kontraindikasi), berikan larutan
anestesi lokal sebanyak 10-20 ml mulai dari subkutan, perikostal,
interkostal hingga pleura parietal lalu lakukan aspirasi cairan atau udara
sehingga dapat menentukan posisi yang tepat untuk insersi selang dada.

50

Universitas Sumatera Utara


3. Buat sayatan di kulit sekitar 2 cm di daerah interkostal sejajar dengan iga,
lalu lakukan diseksi tumpul pada subkutis dan otot M. serratus mengikuti
batas atas iga lalu secara hati – hati menembus otot interkostal dan pleura
baik dengan gunting (dalam posisi tertutup saat memasukkan dan dalam
keadaan terbuka saat ditarik ke luar) maupun dengan jari sehingga cairan
ataupun udara dapat keluar.
4. Lakukan palpasi menggunakan jari untuk merasakan jaringan paru – paru
dan merasakan kemungkinan adanya perlengketan. Putar jari 360 derajat
untuk merasakan adanya perlengketan yang padat.
5. Masukkan selang dada (tanpa menggunakan trokar) menggunakan Kelly
clamp mengarah dorso-apikal atau dorso-caudal pada kasus efusi.Jika
tempat pemasangan selang sudah tepat, maka seharusnya hanya akan
terasa sedikit tahanan. Tahanan yang elastis kadang dapat dirasakan jika
terjadi kingking dan selang dada harus direposisi. Jika kingking terjadi di
luar toraks, maka artinya selang dada terpasang pada tempat yang salah.
6. Fiksasi selang dada ke kulit dengan jahitan
7. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara
8. Selang dada dihubungkan dengan botol WSD steril. (gambar 2.9)

51

Universitas Sumatera Utara


gambar 2.10 Prosedur pemasangan selang dada konvensional dengan teknik blunt dissection
(Roberts JR, Custalow CB, Thomsen TW, et al 2014)

b. Teknik pemasangan selang dada konvensional dengan trokar (Wuryantoro et


al, 2011)
1. Lakukan tindakan desinfeksi pada lokasi pemasangan selang dada lalu
tutup dengan duk steril
2. Berikan analgetik (kecuali terdapat kontraindikasi), berikan larutan
anestesi lokal sebanyak 10-20 ml mulai dari subkutan, perikostal,

52

Universitas Sumatera Utara


interkostal hingga pleura parietal lalu lakukan aspirasi cairan atau udara
sehingga dapat menentukan posisi yang tepat untuk insersi selang dada.
3. Buat sayatan di kulit sekitar 2 cm di daerah interkostal sejajar dengan iga,
lalu lakukan diseksi tumpul pada subkutis dan otot M. serratus mengikuti
batas atas iga lalu secara hati – hati menembus 1 otot interkostal dan
pleura.
4. Trokar ditusukkan melalui lubang insisi, menembus pleura parietalis
5. Trokar ditarik keluar sedikit agar tidak mencederai paru – paru. Kemudian
selang dada diarahkan posisinya dan diatur kedalamannya sesuai dengan
tebal dinding dada yang sudah diukur sebelumnya.
6. Fiksasi selang dada ke kulit
7. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara
8. Selang dada disambungkan dengan botol WSD steril. (gambar 2.10)

1 2

1 1

3 4

1 1

53

Universitas Sumatera Utara


5 6

1 1

7 8

1 1

gambar 2.11 Prosedur pemasangan selang dada konvensional dengan teknik trokar (Wuryantoro,
Nugroho A, Saunar RY, 2011)

2.9. Teknik pemasangan pigtail kateter


a. Teknik pemasangan pigtail kateter menggunakan trokar (Alazemi S, 2013)
1. Menjelaskan prosedur pemasangan pigtail kateter kepada pasien dan
membuat informed consent
2. Memastikan semua peralatan tersedia
3. Memastikan pasien terpantau selama prosedur pemasangan dilakukan

54

Universitas Sumatera Utara


4. Tempatkan pasien dalam posisi berbaring terlentang atau setengah duduk
dengan lengan ipsilateral posisi abduksi maksimal atau diletakkan di
belakang kepala
5. Lakukan tindakan pencegahan untuk mencegah terjadinya kontaminasi
dengan mencuci tangan, penggunaan pakaian steril dan sarung tangan
steril, kacamata pelindung dan masker
6. Buatlah area yang besar dan steril pada kulit pasien menggunakan kain
kasa steril dan larutan klorhexidin 2%
7. Tutupi pasien hingga yang tersisa hanya area yang telah disterilkan.
8. Lakukan tindakan anestesi lokal dengan lidokain 1% atau 2% di kulit
secara infiltrasi dengan jarum mulai dari subkutan, periosteum sampai
pleura parietal.
9. Buat sebuah sayatan kecil
10. Masukkan selang dengan menggunakan trokar hingga menembus pleura.
Arahkan selang ke apikal sambil mendorongnya.
11. Tarik dan cabut trokar secara perlahan.
12. Fiksasi selang dada ke kulit.
13. Hubungkan ke kantung penampung cairan. (gambar 2.11)

gambar 2.12 Pemasangan pigtail kateter dengan teknik trokar (Terra RM, Teixeira LR,
Bibas BJ, et al 2011)

55

Universitas Sumatera Utara


b. Teknik pemasangan pigtail kateter dengan teknik seldinger (Roberts JR et al,
2014)
Teknik seldinger umum digunakan pada pemasangan selang dada ukuran
kecil.
1. Pigtail kateter yang menggunakan teknik seldinger dan semua peralatan
yang diperlukan termasuk anestesi lokal, jarum untuk identifikasi, pisau
bedah, guide-wire, dan dilator
2. Pertama – tama lakukan anestesi lokal, kemudian masukkan jarum tegak
lurus di atas puncak dari iga ke V hingga cairan teraspirasi.
3. Masukkan guide-wire melalui jarum tadi lalu tarik keluar jarum perlahan.
4. Buat sedikit sayatan di tempat masuknya guide-wire tadi dengan pisau
bedah yang muat untuk dilator dan pigtail kateter
5. Masukkan dilator untuk membuat saluran kateter, kemudian keluarkan
dilator perlahan dan pertahankan guide-wire.
6. Masukkan pigtail kateter melalui saluran yang dibuat dengan dilator
sebelumnya. Dan ini akan membuat bentuk selang yang melingkar di
dalam rongga pleura. (gambar 2.12)

56

Universitas Sumatera Utara


gambar 2.13 Prosedur pemasangan pigtail kateter dengan teknik seldinger (Roberts JR et al,
2014)

2.10. Evaluasi selang dada


Pemasangan selang dada yang tepat harus dievaluasi segera setelah
prosedur pemasangan selesai dan setelah evakuasi cairan yang memadai. Evaluasi
dilakukan oleh seorang investigator yang terlatih yang diikuti dengan protokol
tetap, mencari potensi terjadinya komplikasi pemasangan selang dada (seperti
gangguan pernapasan, pendarahan, rasa nyeri, dan batuk). (Terra RM et al, 2011)
Foto toraks perlu dilakukan setelah proses pemasangan selang dada untuk
memastikan bahwa posisi selang dada sudah tepat. Untuk kasus efusi pleura
dengan ukuran besar, maka drainase harus dikontrol untuk mencegah re-
expansion pulmonary edema. Kejadian ini jarang terjadi namun hal ini dapat

57

Universitas Sumatera Utara


berakibat fatal tergantung pada keparahan dan lamanya penyakit yang
menyebabkan kolapsnya paru tersebut. Dianjurkan untuk menjepit selang dengan
klem hingga satu jam setelah evakuasi cairan sebanyak 1 liter. (Singh S Gareebo
S, 2006)
Drainase cairan pleura harus dilakukan sesegera mungkin hingga cairan
terevakuasi sebanyak 1500 mL. Setelah evakuasi cairan, maka harus segera
dilakukan foto toraks atau CT scan untuk memastikan bahwa letak selang dada
sudah pada posisi yang tepat dan untuk mengevaluasi jika terjadi komplikasi
termasuk pneumotoraks. (Yu H, 2011)

2.11. Komplikasi
Komplikasi pemasangan selang dada terdiri dari komplikasi yang terjadi
pada saat prosedur pemasangan dan komplikasi yang timbul setelah selesai
prosedur pemasangan.
a. Komplikasi pada saat pemasangan selang dada
1. Malposisi
Hal ini dapat terjadi jika selang dada ditempatkan terlalu dalam yang
dapat meningkatkan tekanan terhadap pleura sehingga mengiritasi pleura
parietal dan menyebabkan nyeri yang menjalar hingga ke bahu dan punggung
karena. Sebaliknya selang dada yang ditempatkan terlalu dangkal (terletak di
luar rongga toraks) dapat menyebabkan emfisema subkutis terutama pada
kasus pneumotoraks. (Klopp M, 2013)
2. Nyeri
Nyeri dan ketidaknyamanan pada saat pemasangan selang dada
merupakan komplikasi yang sering terjadi. (American Thoracic Society, 2004)
Nyeri dapat terjadi akibat tertekannya persarafan yang terletak pada bagian
atas dari ruang interkosta. (Bediwy AS, Amer HG. 2012) Dokter dapat
mencoba untuk mengurangi rasa nyeri tersebut dengan anastesi lokal. Rasa
tidak nyaman dapat dirasakan sangat berat pada awal pemasangan namun
berangsur-angsur akan berkurang saat selang dada sudah terpasang. (American
Thoracic Society, 2004)

58

Universitas Sumatera Utara


3. Cedera organ
Cedera pada parenkim paru sangat mungkin terjadi terutama pada
pemasangan selang dada dengan menggunakan trokar yang biasanya
terbuat dari metal. Tertusuknya paru, limpa, hati, jantung, abdomen,
pembuluh darah besar serta diafragma akan berakibat fatal. Resiko untuk
terjadinya cedera organ akan lebih tinggi pada keadaan diafragma tertarik
akibat dari paresis nervus frenikus, pasien dengan obesitas dengan posisi
terlentang dan pada pasien yang pernah menjalani pneumonektomi.
(Klopp M, 2013)
4. Perdarahan
Beberapa perdarahan kecil yang timbul akibat pemasangan selang
dada biasanya akan berhenti dengan sendirinya. Cedera pada arteri
interkosta dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Hal ini dapat
dicegah dengan menggunakan teknik insersi yang benar tepat di atas iga.
Perdarahan yang banyak dan terus menerus mengindikasikan telah terjadi
cedera pada pembuluh darah besar (aorta, vena kava, arteri pulmonal,
jantung)-atau mungkin juga oleh karena hemotoraks yang terjadi karena
trauma atau prosedur operasi.
Cedera diafragma dapat menyebabkan perdarahan yang fatal. Jika
terjadi akut abdomen atau syok hemoragik, maka harus difikirkan
kemungkinan telah terjadi cedera yang sudah melewati diafragma yang
telah sampai ke organ abdomen. (Klopp M, 2013)
b. Komplikasi yang timbul setelah pemasangan selang dada
1. Fistel dan Emfisema Jaringan
Jika terjadi emfisema jaringan, maka harus segera dilakukan
pengecekan posisi selang dada dan pada sambungannya. Fistel Broncho-
pleural yang besar dapat menyebabkan emfisema jaringan, jika selang
dada terlalu kecil. Pada kasus seperti ini, harus digunakan sistem yang
aktif. Jika didapati busa yang berdarah, kemungkinan telah terjadi cedera
parenkim paru yang menyebabkan perdarahan dan kebocoran udara.

59

Universitas Sumatera Utara


2. Re-expansion Pulmonary Oedema
Unilateral re-expansion pulmonary oedema merupakan kejadian yang
jarang namun dapat berakibat fatal. Pasien yang sangat berisiko untuk
terjadinya hal ini misalnya pasien yang telah mengalami atelektasis total
dalam waktu yang lama dengan pengembangan paru yang sangat cepat.
Gejala klinis yang biasa ditemui pada keadaan ini adalah iritasi
tenggorokan yang berat, sputum berwarna merah terang, takipnu dan
takikardi. Pada foto toraks akan tampak gambaran edema paru unilateral
yang dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah paru kembang.
3. Infeksi pada luka tempat pemasangan dan empiema
Pada tempat pemasangan selang dada dapat terjadi infeksi lokal. Pada
kebanyakan kasus, penanganan konservatif sudah cukup memadai. Pada
prosedur pemasangan selang dada yang dilakukan secara steril ke dalam
rongga pleura yang steril, empiema diharapkan tidak akan terjadi. Hanya
pada pasien dengan faktor risiko dan komorbid untuk terjadinya infeksi
diperlukan pemberian antibiotik profilaksis. (Klopp M, 2013)
Pada saat pemasangan, bakteri dapat masuk melalui selang dada dan
menyebabkan infeksi di sekitar paru. Semakin lama selang dada terpasang,
maka semakin besar risiko untuk terjadinya infeksi. Risiko infeksi dapat
dikurangi dengan pemakaian perban khusus pada kulit tempat lubang
untuk selang dada terpasang. (American Thoracic Society, 2004)
4. Pneumotoraks
Pneumotoraks yang dimaksud di sini adalah terdapatnya udara
dalam rongga pleura akibat dari prosedur pemasangan selang dada.
5. Kingking
Kingking adalah keadaan di mana selang dada tertekuk.
6. Blockage
Tersumbatnya selang dada yang biasanya oleh karena fibrin-fibrin atau
bekuan darah.
7. Tercabutnya selang dada
Keadaan di mana selang dada tercabut tanpa sengaja (Kim IS, 2013)

60

Universitas Sumatera Utara


2.12. Indikator keberhasilan
Tindakan pemasangan selang dada dianggap berhasil jika gambaran opak
menghilang pada foto toraks dan dikonfirmasi pada USG toraks dan juga jika
tidak ada kebutuhan untuk intervensi kedua (pengulangan pemasangan selang
dada atau operasi) dalam waktu 72 jam setelah pencabutan selang dada. (Bediwy
AS, Amer HG. 2012)
Keberhasilan drainase menggunakan pigtail kateter didefinisikan sebagai
adanya perbaikan pada penyakit pleura berdasarkan foto toraks ataupun
ultrasonografi dan atau adanya perbaikan secara klinis tanpa memerlukan drainase
lebih lanjut atau pemasangan large-bore kateter. Sedangkan kegagalan dari
drainase menggunakan pigtail kateter didefinisikan sebagai terjadinya perburukan
atau tidak adanya perbaikan klinis dan temuan laboratorium yang berhubungan
dengan penyakit pleura atau memerlukan drainase lebih lanjut, pemasangan large-
bore kateter atau bahkan operasi. (Liu YH et al, 2010)

2.13. Indikasi pelepasan selang dada


Waktu untuk dilakukannya pencabutan selang dada bergantung pada
indikasi pemasangannya dan perbaikan klinis pasien. Secara umum, selang dada
dapat dicabut ketika tidak ada lagi indikasi untuk selang dada dipertahankan. Pada
kasus pneumotoraks, selang dada dicabut saat paru sudah kembang sempurna
dengan tidak ada bukti kebocoran udara. Pada kasus efusi pleura, selang dada
dapat dicabut saat paru sudah kembang sempurna dan produksi cairan harian
sudah kurang dari 100-200 ml/hari. (Alazemi s, 2013) Selain itu pada kasus efusi
pleura selang dapat dicabut jika cairan sudah berwarna serous (pada empiema)
dan pada gambaran foto toraks tampak paru sudah kembang sempurna. (Dev PS et
al, 2007)

61

Universitas Sumatera Utara


2.14. Kerangka teori

Peningkatan Pemisahan Peningkatan Gangguan


Peningkatan Penurunan
tekanan kedua permeabilitas drainase Perembesan
tekanan tekanan
negatif di permukaan pembuluh limfatik cairan asites
hidrostatik onkotik
rongga pleura pleura darah pleura

Efusi pleura

Menekan pleura

Ekspansi paru inadekuat

Sesak napas

Torakosentesis Pemasangan selang dada

Pigtail kateter Large bore kateter

Keterangan
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.14 Kerangka teori

62

Universitas Sumatera Utara


2.15. Kerangka konsep

Pasien efusi pleura


moderate s/d masif

Pemasangan selang dada

Pigtail kateter Large bore kateter

1. Re-expansion pulmonary edema


2. Rasa nyeri pada tempat pemasangan
3. Infeksi pada tempat pemasangan
4. Perdarahan
5. Kingking
6. Blockage
7. Pneumotoraks
8. Cedera organ
9. Tercabutnya selang dada

Keterangan
= variabel bebas

= variabel terikat

Gambar 2.15 Kerangka konsep

63

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai