Anda di halaman 1dari 59

BAB I

KONSEP KOMUNIKASI PADA PELAYANAN FARMASI

I. PENGERTIAN KOMUNIKASI
II. JENIS JENIS KOMUNIKASI
1. Komunikasi Lisan
Komunikasi dapat terjadi baik secara langsung maupun tak langsung yang
dibatasi oleh jarak dan waktu. Jarak dan waktu sangat mempengaruhi efisiensi dan
efektifitas komunikasi. Komunikasi lisan bertujuan agar informasi yang
disampaikan oleh si penyampai informasi (berita) dapat diterima dan dipahami oleh
si penerima berita. Teknologi Komunikasi Lisan adalah berkomunikasi dengan
menggunakan alat yang menghasilkan suara berbahasa lisan di antaranya telepon.
Komunikasi lisan langsung artinya komunikasi terjadi antara pemberi informasi
langsung ke penerima informasi tanpa melalui perantara baik orang atau alat.
Komunikasi langsung mem-punyai kelebihan dan kekurangan.
2. Komuniasi Tulis
Komunikasi tulis di-sampaikan secara tak langsung, contoh yang paling kita
kenal adalah surat kabar atau koran, majalah, artikel, dan lain-lain. Teknologi
komunikasi tulis adalah berkomunikasi yang menggunakan tulisan, huruf, atau
gambar. Melalui tulisan, Anda dapat mengkomuikasikan ide, gagasan, pesan dan
informasi lainnya, contohnya surat menyurat.
3. Komunikasi isyarat
Komunikasi isyarat adalah komunikasi dengan mengguna-kan kode-kode
isyarat yang telah disepakati dan dimengerti oleh kedua belah pihak baik yang
memberi maupun yang menerima informasi. Salah satu kode yang umum digunakan
adalah kode Morse. Komunikasi dapat di-lakukan melalui media lambang, simbol
atau gambar. Model komunikasi ini dapat kita temukan di antaranya di pinggir jalan
atau tempat-tempat tertentu yang kita kenal dengan istilah rambu-rambu. Berikut ini
contoh simbol/rambu.
III. PENGHALANG DALAM BERKOMUNIKASI DAN BAGAIMANA TINDAKAN
ANDA SEBAGAI TENAGA TEKNIS KEFARMASIAN
1. Hambatan internal
adalah hambatan yang berasal dari dalam diri individu yang tekait kondisi fisik
dan fisikologis. Contohnya, jika seorang mengalami gangguan pendengaran maka ia
akan mengalami hambatan komunikasi. Demikian pula seseorang yang sedang
tertekan (depresi) tidak akan dapat melakukan komunikasi dengan baik.
2. Hambatan eksternal
adalah hambatan yang berasal dari luar individu yang terkait dengan lingkungan
fisik dan lingkungan sosial budaya.
Contohnya, suara gaduh dari lingkungan sekitar dapat menyebabkan
komunikasi tidak berjalan lancar. Contoh lainnya, perbedaan latar belakang sosial
budaya dapat menyebabkan salah pengertian.
IV. JENIS KOMUNIKASI YANG HARUS DITERIMA OLEH SEORANG FARMASIS .
1. KOMUNIKASI VERBAL
Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan kefarmasian di
rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan
dengan tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu.
Katakata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau
perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi
dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji
minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu
memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.:
a. Jelas dan ringkas
Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin
sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil kemungkinan terjadinya
kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan
mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat
penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari
pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa,
mengapa, bagaimana, kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan
menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana.
Contoh: “Katakan pada saya dimana rasa nyeri anda” lebih baik daripada
“saya ingin anda menguraikan kepada saya bagian yang anda rasakan tidak
enak.”
b. Perbendaharaan Kata
Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu
menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan
dalam keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat,
klien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau
mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang
dimengerti klien. Daripada mengatakan “Duduk, sementara saya akan
mengauskultasi paru-paru anda” akan lebih baik jika dikatakan “Duduklah
sementara saya mendengarkan paru-paru Anda”.Jelas dan ringkas
c. Arti denotatif dan konotatif
Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang
digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide
yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu
kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis
untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika
berkomunikasi dengan klien, perawat harus hati-hati memilih kata-kata
sehingga tidak mudah untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting
ketika menjelaskan tujuan terapi, terapi dan kondisi klien.
d. Selaan dan kesempatan berbicara
Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan
komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada
pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat
sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak
berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu
digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada
pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat
dapat dilakukan denganmemikirkan apa yang akan dikatakan sebelum
mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang
mungkin menunjukkan. Perawat juga bisa menanyakan kepada pendengar
apakah ia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan perlu untuk
diulang.
e. Waktu dan relevansi
Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang
menangis kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi.
Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak
tepat dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu,
perawat harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitu
pula komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan
berkaitan dengan minat.
f. Humor
Dugan (1989) mengatakan bahwa tertawa membantu pengurangi
ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan
keberhasilan farmasi dalam memberikan dukungan emosional terhadap
klien. Sullivan dan Deane (1988) melaporkan bahwa humor merangsang
produksi catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat,
meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas,
memfasilitasi relaksasi pernapasan dan menggunakan humor untuk
menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak mampuannya
untuk berkomunikasi dengan klien.
V. KOMUNIKASI NON-VERBAL
Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan katakata.
Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada
orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang disampaikan
klien mulai dari saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat
non-verbal menambah arti terhadap pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu
kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan keperawatan.
a. Metakomunikasi
Komunikasi tidak hanya tergantung pada pesan tetapi juga pada hubungan
antara pembicara dengan lawan bicaranya. Metakomunikasi adalah suatu
komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang
berbicara, yaitu pesan di dalam pesan yang menyampaikan sikap dan
perasaan pengirim terhadap pendengar. Contoh: tersenyum ketika sedang
marah
b. Penampilan Personal
Penampilan seseorang merupakan salah satu hal pertama yang diperhatikan
selama komunikasi interpersonal. Kesan pertama timbul dalam 20 detik
sampai 4 menit pertama. Delapan puluh empat persen dari kesan terhadap
seseOrang berdasarkan penampilannya (Lalli Ascosi, 1990 dalam Potter
dan Perry, 1993). Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan
kepribadian, status sosial, pekrjaan, agama, budaya dan konsep diri.
Perawat yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan citra
diri dan profesional yang positif. Penampilan fisik perawat mempengaruhi
persepsi klien terhadap pelayanan/asuhan keperawatan yang diterima,
karena tiap klien mempunyai citra bagaimana seharusnya penampilan
seorang perawat. Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan
kemampuan perawat, tetapi mungkin akan lebih sulit bagi perawat untuk
membina rasa percaya terhadap klien jika perawat tidak memenuhi citra
klien.
c. Intonasi (Nada Suara)
Nada suara pembicara mempunyai dampak yang besar terhadap arti pesan
yang dikirimkan, karena emosi seseorang dapat secara langsung
mempengaruhi nada suaranya. Perawat harus menyadari emosinya ketika
sedang berinteraksi dengan klien, karena maksud untuk menyamakan rsa
tertarik yang tulus terhadap klien dapat terhalangi oleh nada suara perawat.
d. Ekspresi wajah
Hasil suatu penelitian menunjukkan enam keadaan emosi utama yang
tampak melalui ekspresi wajah: terkejut, takut, marah, jijik, bahagia dan
sedih. Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar penting dalam
menentukan pendapat interpesonal. Kontak mata sangat penting dalam
komunikasi interpersonal. Orang yang mempertahankan kontak mata
selama pembicaraan diekspresikan sebagai orang yang dapat dipercaya, dan
memungkinkan untuk menjadi pengamat yang baik. Perawat sebaiknya
tidak memandang ke bawah ketika sedang berbicara dengan klien, oleh
karena itu ketika berbicara sebaiknya duduk sehingga perawat tidak tampak
dominan jika kontak mata dengan klien dilakukan dalam keadaan sejajar.
e. Sikap tubuh dan langkah
Sikap tubuh dan langkah menggambarkan sikap; emos, konsep diri dan
keadaan fisik. Perawat dapat mengumpilkan informasi yang bermanfaat
dengan mengamati sikap tubuh dan langkah klien. Langkah dapat
dipengaruhi oleh faktor fisik seperti rasa sakit, obat, atau fraktur.
f. Sentuhan
Kasih sayang, dudkungan emosional, dan perhatian disampaikan melalui
sentuhan. Sentuhan merupakan bagian yang penting dalam hubungan
perawat-klien, namun harus mnemperhatikan norma sosial. Ketika
membrikan asuhan keperawatan, perawat menyentuh klien, seperti ketika
memandikan, melakukan pemeriksaan fisik, atau membantu memakaikan
pakaian. Perlu disadari bahwa keadaan sakit membuat klien tergantung
kepada perawat untuk melakukan kontak interpersonal sehingga sulit untuk
menghindarkan sentuhan. Bradley & Edinburg (1982) dan Wilson & Kneisl
(1992) menyatakan bahwa walaupun sentuhan banyak bermanfaat ketika
membantu klien, tetapi perlu diperhatikan apakah penggunaan sentuhan
dapat dimengerti dan diterima oleh klien, sehingga harus dilakukan dengan
kepekaan dan hati-hati. Komunikasi terapeutik sebagai tanggung jawab
perawat, yakni perawat harus memiliki tanggung jawab moral yang tinggi
yang didasari atas sikap peduli dan penuh kasih sayang, serta perasaan
ingin membantu orang lain untuk tumbuh dan berkembang. Addalati
(1983), Bucaille (1979) dan Amsyari (1995) menambahkan bahwa sebagai
seorang beragama, perawat tidak dapat bersikap tidak perduli terhadap
ornag lain adalah seseorang pendosa yang mementingkan dirinya sendiri.
Selanjutnya Pasquali & Arnold (1989) dan Watson (1979) menyatakan
bahwa
BAB II
FARMASI KLINIK

I. Pengertian Farmasi Klinik


Farmasi klinik merupakan ilmu kefarmasian yang relatif baru berkembang di
Indonesia. Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu
suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan
kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk meningkatkan
outcome pengobatan. Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk
memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya pengobatan,
serta menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin dibutuhkan
dengan adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada
pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas (apotek, puskesmas,
klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi peresepan ataupun penggunaan obat),
harus memiliki kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi klinik yang
berkualitas.
Clinical Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi klinik
sebagai :
“ A discipline concerned with the application of pharmaceutical expertise to
help maximise drug efficacy and minimize drug toxicity in individual patients”.
Menurut Siregar (2004) farmasi klinik didefinisikan sebagai suatu keahlian
khas ilmu kesehatan yang bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat yang
aman dan sesuai dengan kebutuhan pasien, melalui penerapan pengetahuan dan
berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan
khusus dan atau pelatihan yang terstruktur. Dapat dirumuskan tujuan farmasi klinik
yaitu memaksimalkan efek terapeutik obat, meminimalkan resiko/toksisitas obat,
meminimalkan biaya obat.
Kesimpulannya, farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu kesehatan di
mana farmasis memberikan asuhan (“care”; bukan hanya jasa pelayanan klinis) kepada
pasien dengan tujuan untuk mengoptimalkan terapi obat dan mempromosikan
kesehatan, wellness dan prevensi penyakit.
II. Tujuan Farmasi Klinik
1. Memaksimalkan efek terapeutik
Efektivitas terapi meliputi:
a. Ketepatan indikasi
b. Ketepatan pemilihan obat
c. Ketepatan pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
pasien
d. Evaluasi terapi
2. Meminimalkan resiko
a. Memastikan risiko yang sekecil mungkin bagi pasien
b. Meminimalkan masalah ketidakamanan pemakaian obat meliputi efek
samping, dosis, interaksi, dan kontra indikasi
3. Meminimalkan biaya
Untuk rumah sakit dan pasien
a. Apakah jenis obat yang dipilih adalah yang paling efektif dalam hal
biaya dan rasional ?
b. Apakah terjangkau oleh kemampuan pasien atau rumah sakit ?
c. Jika tidak, alternatif jenis obat apa yang memberikan kemanfaatan dan
keamanan yang sama
4. Menghormati pilihan pasien
a. Keterlibatan pasien dalam proses pengobatan akan menetukan keberhasilan
terapi.
b. Hak pasien harus diakui dan diterima semua pihan
III. Macam – Macam Aktivitas Farmasi Klinik
Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi
klinik meliputi :
1. Pemantauan pengobatan
Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan advis kepada
praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan pelayanan
kefarmasian pada pasien secara langsung
2. Seleksi obat
Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang
kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang
digunakan.
3. Pemberian informasi obat
Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi dan melakukan evaluasi literatur
ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat untuk
praktisi pelayanan kesehatan dan pasien
4. Penyiapan dan peracikan obat
Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai dengan standar dan
kebutuhan pasien
5. Penelitian dan studi penggunaan obat.
Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi penggunaan obat,
farmakoepidemio- logi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.
6. Therapeutic drug monitoring (TDM).
Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan kadar obat
7. Uji klinik.
Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta berpartisipasi
dalam uji klinik.
8. Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi
farmasi, khususnya farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia.
IV. Pelayanan farmasi klinik
1. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan
dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau
keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien
dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling Obat bertujuan untuk
mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak
dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya
meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient safety). Secara
khusus konseling Obat ditujukan untuk: meningkatkan hubungan kepercayaan
antara Apoteker dan pasien; menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap
pasien; membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat; membantu
pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan Obat dengan penyakitnya;
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan; mencegah atau
meminimalkan masalah terkait Obat; meningkatkan kemampuan pasien
memecahkan masalahnya dalam hal terapi; mengerti permasalahan dalam
pengambilan keputusan; dan membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan
Obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu
pengobatan pasien. Kegiatan dalam konseling Obat meliputi: membuka komunikasi
antara Apoteker dengan pasien; mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang
penggunaan Obat melalui Three Prime Questions; menggali informasi lebih lanjut
dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah
penggunaan Obat; memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah pengunaan Obat; melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek
pemahaman pasien; dan dokumentasi. Baca Juga: Pedoman Konseling Faktor yang
perlu diperhatikan dalam konseling Obat: a. Kriteria Pasien: pasien kondisi khusus
(pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan menyusui); pasien dengan
terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan lain-lain); pasien
yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (penggunaan kortiksteroid
dengan tappering down/off); pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi
sempit (digoksin, phenytoin); pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi);
dan pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah. b. Sarana dan Peralatan:
ruangan atau tempat konseling; dan alat bantu konseling (kartu pasien/catatan
konseling).
2. Monitoring ESO
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap
respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek
Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi. MESO bertujuan:
a. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang
berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang
baru saja ditemukan.
c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya ESO.
d. Meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang idak dikehendaki.
e. Mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.
Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:
a. Mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO).
b. Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami ESO.
c. Mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo.
d. Mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Komite/Tim
Farmasi dan Terapi.
e. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. kerjasama dengan Komite/Tim Farmasi dan Terapi dan ruang rawat
b. ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
3. Pencampuran obat suntik secara aseptis
Pencampuran obat suntik harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik
aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari
paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
Dispensing sediaan steril bertujuan: a. menjamin agar pasien menerima Obat sesuai
dengan dosis yang dibutuhkan; b. menjamin sterilitas dan stabilitas produk; c.
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan d. menghindari terjadinya
kesalahan pemberian Obat.
4. Analisa efektivitas biaya
Analisis cost effectiveness (analisis efektivitas biaya) pada prinsipnya adalah
membandingkan output yang dihasilkan dari berbagai kombinasi input, sehingga
bisa diperkirakan kombinasi biaya terendah yang menghasilkan output yang
diharapkan atau bisa pula mengidentifikasi output yang terbaik dari suatu biaya
yang besarannya sudah ditentukan. Kesemuanya mengacu pada prinsip efektifitas.
Analisis cost effectiveness adalah suatu bentuk analisis ekonomi yang
membandingkan biaya dengan hasil (efek) dari dua atau lebih tindakan.
Analisis cost effectiveness berbeda dari analisis cost-benefit (biaya-manfaat) yang
memberikan nilai moneter untuk ukuran dari efek. Analisis cost effectiveness sering
digunakan dalam bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan, dimana tidak
memungkinkan untuk menggunakan nilai uang untuk mengukur efek kesehatan dan
pendidikan.
5. Penentuan kadar obat dalam darah
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. PKOD
bertujuan:
a. Mengetahui Kadar Obat dalam Darah
b. Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Kegiatan PKOD meliputi: melakukan penilaian kebutuhan pasien yang
membutuhkan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); mendiskusikan
kepada dokter untuk persetujuan melakukan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah
(PKOD); dan menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
dan memberikan rekomendasi.
6. Penanganan obat sitostatika
Penanganan Sediaan Sitostatik Penanganan sediaan sitostatik merupakan
penanganan Obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan
pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan
terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan
kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat
pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai
pembuangan limbahnya. Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan
harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai.
Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi: melakukan perhitungan
dosis secara akurat; melarutkan sediaan Obat kanker dengan pelarut yang sesuai;
mencampur sediaan Obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan; mengemas
dalam kemasan tertentu; dan membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku.
Faktor yang perlu diperhatikan: ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi
yang sesuai; lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; HEPA filter; Alat
Pelindung Diri (APD); sumber daya manusia yang terlatih; dan cara pemberian
Obat kanker.
7. TPN (Total Parenteral Nutrisi)
Total Parenteral Nutrition (TPN) atau Total Nutrition Admixture (TNA)
merupakan terapi pemberian nutrisi secara intravena kepada pasien yang tidak dapat
makan melalui mulut. Tujuannya adalah mengganti dan mempertahankan nutrisi-
nutrisi penting tubuh melalui infus intravena ketika (dan hanya ketika) pemberian
makanan secara oral bersifat kontraindikasi atau tidak mencukupi. TPN digunakan
ketika diperlukan saja dikarenakan oleh risiko yang terkait dengan terapi ini dan
tingginya biaya untuk melakukan terapi ini.
TPN diberikan pada keadaan-keadaan sebagai berikut:
a. Pasien yang sangat kekurangan gizi tanpa asupan oral lebih dari 1 minggu
b. Pankreatitis berat
c. Radang usus berat (Crohn’s disease dan ulcerative colitis)
d. Operasi usus yang ekstensif
e. Obstruksi usus kecil
f. Kehamilan (pada kasus mual dan muntah yang berat)
g. Pasien dengan cedera di kepala
Kebutuhan dan Pertimbangan Dasar Terapi TPN
- Nutrisi dan cairan dasar
a. Dekstrosa, sumber utama kalori; 1 gram dekstrosa memberikan energi
sebesar 2,4 kilokalori (kkal)
b. Asam amino, untuk sistesis protein yang dibutuhkan dalam pertumbuhan
dan perbaikan jaringan; 1 gram asam asmino memberikan energi sebesar 4
kkal
c. Lemak, untuk kebutuhan asam lemak esensial dan sebagai sumber kalori; 1
gram lemak memberikan energi sebesar 9 kkal
d. Elektrolit, Na, K, Mg, Ca, fosfat
e. Vitamin
f. Trace elements, Cu, Cr, Zn, Mn, Se
- Antagosis reseptor-H2 histamin, untuk mencegah dan mengobati tukak pada GI
atas dan tukak yang terkait dengan stres; pengobatan ini sering disertakan pada
formulasi TPN.
Agar tidak melebihi batas normal cairan sehari-hari, nutrisi-nutrisi tersebut
biasanya diberikan sebagai larutan hipertonis dengan konsentrasi tinggi.
Kerusakan vena yang diakibatkan oleh pemberian larutan TPN hipertonis
diminimalisasi dengan melakukan pemberian larutan TPN melalui vena pusat
berdiameter besar yang aliran darahnya cepat. Hal ini memungkinkan larutan
TPN menjadi cepat terencerkan karena mengalir ke dalam tubuh.
a. Jalur Pemberian
TPN diberikan melalui pembuluh vena, yang secara umum dibagi
menjadi dua jalur, yaitu melalui vena sentral (Central Vein Nutrition /
CPN) dan vena perifer (Peripheral Parenteral Nutrition / PPN). PPN
memiliki resiko komplikasi lebih jarang dan biaya lebih murah. Sedangkan
pada pemberian melalui jalur sentral (central line), nutrisi parenteral
dimasukkan mulai vena subklavian menuju vena cava superior melalui
operasi.
Terdapat jalur khusus perifer yang dimasukkan melalui vena median
basilika atau vena sefalis dan berujung di vena subklavian. Jalur ini dapat
digunakan sebagai regimen CPN dengan keamanan menyamai PPN. Jalur
ini disebut Peripherally Inserted Central Catheters (PICC). Jalur PICC
dapat digunakan untuk berbagai suplai makanan dan dapat diaplikasikan
pada bagian manapun yang memungkinkan (Dartford & Gravesham NHS
Trust, 2006).
b. Regimentasi Pemberian
Untuk dewasa, pemberian TPN dimulai dengan tunjangan parsial yang
lalu ditingkatkan untuk mencapai target kalori dalam 24 jam. Salah satu
metode umum untuk memulai terapi adalah dengan menyediakan setengah
dari volume dan nutrien yang diharapkan pada hari pertama kemudian
ditingkatkan untuk memenuhi target hari selanjutnya.
Metode umum kedua ialah menyediakan volume target TPN dengan
nutrien sekitar 50% total target hari pertama. Emulsi lipid harus diberikan
sebagai infus terpisah, paling tidak pada hari pertama. Pemberian hari
selanjutnya ialah untuk memenuhi jumlah nutrien yang ditargetkan
(Rollins, 2002).
c. Komposisi Total Parenteral Nutrition
TPN ditujukan untuk menyediakan semua nutrisi yang dibutuhkan
seperti pada diet normal. Penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan
pasien secara individual. TPN terdiri dari air, protein, karbohidrat, lemak,
elektrolit, trace elements, dan vitamin.
1. Air
Kebutuhan air pada dewasa normal adalah 30-35 ml/kg/hari. Pasien
dengan kondisi tertentu seperti diare, muntah, berkeringat, dan
demam memerlukan jumlah air yang lebih besar. Kebutuhan air
juga dipengaruhi oleh beberapa penyakit seperti gangguan jantung,
saluran pernafasan, hati, dan ginjal.
2. Energi dan nitrogen
Kebutuhan energi pada pasien sulit ditentukan dan kemungkinan
dapat mencapai 12000 kJ/hari. Kebutuhan energi meningkat pada
pasien dengan luka bakar, sepsis, pireksia dan trauma sehingga
pasien perawatan intensif membutuhkan energi dalam jumlah
besar.
a. Sumber energy
Glukosa adalah sumber karbohidrat yang paling banyak dipilih.
Larutan glukosa pekat diberikan untuk memenuhi kebutuhan
kalori dan diberikan dalam bentuk infus melalui vena sentral
untuk menghindari trombosis. Emulsi lemak menyediakan
asam lemak esensial bagi tubuh dan berguna sebagai pembawa
vitamin larut lemak. Intralipid adalah emulsi lipid/water yang
menyediakan sumber energi 4600 kJ/L (10%) atau 8400 kJ/L
(20%). Meskipun lipid tidak lazim digunakan sebagai sumber
energi, sebaiknya diberikan setidaknya tiap minggu untuk
mencegah defisiensi asam lemak.
b. Sumber nitrogen
Satu gram nitrogen setara dengan 6,25 gram protein,
yang setara dengan 5-6 gram asam amino. Albumin dibutuhkan
jika terjadi hipoalbuminemia yang sering terjadi pada pasien
dalam kondisi sakit kritis.\ Nutrisi mikro
Elektrolit, vitamin, mineral, dan trace elements penting
untuk menyediakan sumber nutrisi menyeluruh dan mencegah
ketidakseimbangan atau defisiensi yang mungkin timbul.
Larutan elektrolit untuk nutrisi parenteral mengandung
Na, K, Ca, Mg, Cl, dan asetat dalam berbagai konsentrasi, atau
berupa garam elektrolit tunggal. Larutan asam amino dapat
mengandung klorida dan asetat, atau fosfat, dan ada yang
mengandung berbagai jenis elektrolit. Jumlah tiap-tiap
elektrolit yang ditambahkan bersifat individual bergantung
kebutuhan pasien.
Vitamin dibutuhkan tubuh dalam proses metabolisme.
Vitamin-vitamin larut air seperti asam askorbat, vitamin B6,
niasin, riboflavin, dan vitamin B12 biasanya tersedia dalam
bentuk injeksi tunggal. Sedangkan vitamin larut lemak, seperti
vitamin A, D, E, K dapat ditambahkan ke dalam formulasi
nutrisi parenteral.
Trace elements esensial dibutuhkan oleh tubuh dalam
jumlah yang kecil, yaitu zink, tembaga, mangan, besi, krom,
molibdenum, dan selenium. Trace elements ini berperan
sebagai kofaktor dalam sistem enzim.
Bahan tambahan lain: insulin dibutuhkan bila glukosa
hipertonik diberikan terkait insulin endogen yang tidak
memadai atau adanya resistensi insulin. (James-Chatgilaou,
1998; Rollins, 2002)
3. Pemantauan penggunaan obat
Pemantauan penggunaan Obat merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman,
efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan
efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO meliputi: pengkajian
pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons terapi, Reaksi
Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); pemberian rekomendasi
penyelesaian masalah terkait Obat; dan pemantauan efektivitas dan
efek samping terapi Obat. Tahapan PTO: pengumpulan data pasien;
identifikasi masalah terkait Obat; rekomendasi penyelesaian
masalah terkait Obat; pemantauan; dan tindak lanjut. Faktor yang
harus diperhatikan: kemampuan penelusuran informasi dan
penilaian kritis terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence
Best Medicine); kerahasiaan informasi; dan kerjasama dengan tim
kesehatan lain (dokter dan perawat).
4. Pengkajian penggunaan obat
Program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan
berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan EPO
yaitu:
a. mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola
penggunaan Obat
b. membandingkan pola penggunaan Obat pada periode
waktu tertentu
c. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat
d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
Kegiatan praktek EPO:
a. Mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif
b. Mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a. Indikator peresepan
b. Indikator pelayanan
c. Indikator fasilitas.
DAFTAR PUSTAKA

Amstrong dkk. 2005. The contribution of community pharmacy to improving the public’s
helath. Report 3 : An overview of evidence-base from 1990-2002 and recommendations for
action.

Aslam M dkk. 2003. Clinical Pharmacy : Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan
Pilihan Pasien

Ikawati Z. 2010. Pelayanan Farmasi Kinik pada Era Genomik: Sebuah Tantangan danPeluang.
Disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar
BAB III
PELAYANAN INFORMASI OBAT

I. Definisi PIO
Pelayanan Informasi Obat (PIO) didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, serta
terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan
(Anonim, 2006). Unit ini dituntut untuk dapat menjadi sumber terpercaya bagi para
pengelola dan pengguna obat, sehingga mereka dapat mengambil keputusan dengan
lebih mantap (Juliantini dan Widayanti, 1996).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit,
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker
untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias, dan terkini kepada dokter,
apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan, pengkajian,
pengevaluasian, pengindeksan, pengorganisasian, penyimpanan, peringkasan,
pendistribusian, penyebaran serta penyampaian informasi tentang obat dalam berbagai
bentuk dan berbagai metode kepada pengguna nyata dan yang mungkin (Siregar, 2004).
Adapun ciri-ciri pelayanan informasi obat meliputi :
a. Mandiri (bebas dari segala bentuik keterikatan).
b. Objektif (sesuai dengan kebutuhan).
c. Seimbang.
d. Ilmiah.
e. Berorientasi kepada pasien dan pro aktif.
II. Sumber-Sumber Informasi
Sumber Daya
Tenaga kesehatan : dokter, apoteker, dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan lain.
Pustaka : terdiri dari majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan
Farmakope.
Sarana: fasilitas ruangan, peralatan, komputer, internet, dan perpustakaan.
Prasarana: industri farmasi, Badan POM, Pusat informasi obat, Pendidikan tinggi
farmasi, Organisasi profesi (dokter, apoteker, dan lain-lain).
III. Metode-Metode PIO
Adapun metode-metode dari PIO adalah seperti berikut:
a. PIO dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call disesuaikan dengan
kondisi RS.
b. PIO dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar jam kerja dilayani
oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas jaga.
c. PIO dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada PIO diluar jam kerja.
d. Tidak ada petugas khusus, PIO dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi,
baik pada jam kerja maupun di luar jam kerja.
e. Tidak ada apoteker khusus, PIO dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi
di jam kerja dan tidak ada PIO di luar jam kerja.
IV. Tujuan PIO
Adapun tujuan pelayanan informasi obat yaitu:
a. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional, berorientasi pada
pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
b. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan,
dan pihak lain.
c. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan obat terutama bagi PFT/KFT (Panitia/Komite Farmasi dan Terapi)
V. Fungsi PIO
Adapun fungsi pelayanan informasi obat yaitu:
a. Memberikan respon terhadap pertanyaan tentang obat.
b. Memberikan masukan terhadap komite farmasi dan terapi di RS.
c. Drug utilization review (DUR)/drug utilization review evaluation (DUE).
d. Pelaporan efek samping obat (ESO).
e. Konseling pasien.
f. Pembuatan buletin / newsletter.
g. Edukasi
h. Riset dan penelitian
VI. Sasaran PIO
Sasaran informasi obat yaitu:
a. Pasien dan atau keluarga pasien.
b. Tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, asisten
apoteker, dan lain-lain.
c. Pihak lain seperti manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan sasaran informasi obat adalah orang, lembaga, kelompok orang,
kepanitiaan, penerima informasi obat, seperti yang tertera dibawah ini:
a. Dokter
Dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pilihan obat serta
regimennya untuk seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari
apoteker agar ia dapat membuat keputusan yang rasional. Informasi obat
diberikan langsung oleh apoteker, menjawab pertanyaan dokter melalui telepon
atau sewaktu apoteker menyertai tim medis dalam kunjungan ke ruang
perawatan pasiean atau dalam konferensi staf medis (Siregar, 2004).
b. Perawat
Dalam tahap penyampaian atau distribusi obat kepada PRT dalam rangkaian
proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi obat tentang berbagai
aspek oabt pasien, terutama tentang pemberian obat. Perawat adalah profesional
kesehatan yaang paling banyak berhubungan dengan pasien karena itu,
perawatlah yang pada umumnya yang pertama mengamati reaksi obat
merugikan atau mendengar keluhan mereka. Apoteker adalah yang paling siap,
berfungsi sebai sumber informasi bagi perawat. Informasi yang dibutuhkan
perawat pada umumnya harus praktis, seera, dan ringkas, misalnya frekuensi
pemberian dosis, metode pemberian obat, efek samping yang mungkin,
penyimpanan obat, inkompatibilitas campuran sediaan intravena, dll (Siregar,
2004).
c. Pasien
Informasi yang dibutuhkan pasien, pada umumnya adalah informasi praktis dan
kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan profesional
kesehatan. Informasi obat untuk PRT diberikan apoteker sewaktu menyertai
kunjungan tim medik ke ruang pasien; sedangkan untuk pasien rawat jalan,
informasi diberikan sewaktu penyerahan obatnya. Informasi obat untuk pasien
pada umumya mencangkup cara penggunaan obat, jangka waktu penggunaan,
pengaruh makanan pada obat, penggunaan obat bebas dikaitkan dengan resep
obat, dan sebagainya (Siregar, 2004).
d. Apoteker
Setiap apoteker suatu rumah sakit masing-msaing mempunyai tugas atau fungsi
tertentu, sesuai dengan pendalaman pengetahuan pada bidang tertentu. Apoteker
yang langsung berinteraksi dengan profesional kesehatan dan pasien, seing
menerima pertanyaan mengenai informasi obat dan pertanyaan yang tidak dapat
dijawabnya dengan segera, diajukan kepada sejawat apoteker yang lebih
mendalami pengetahuan informasi obat. Apoteker apotek dapat meminta
bantuan informasi obat dari sejawat di rumah sakit (Siregar, 2004).
e. Kelompok, Tim, Kepanitiaan, dan Peneliti
Selain kepada perorangan, apoteker juga memberikan informasi obat kepada
kelompok profesional kesehatan, misalnya mahasiswa, masyarakat, peneliti,
dan kpanitiaan yang berhubungan dengan obat. Kepanitiaan di rumah sakit yang
memerlukan informasi obat antara lain, panitia farmasi dan terapi, panitia
evaluasi penggunaan obat, panitia sistem pemantauan kesalahan obat, panitia
sistem pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan, tim pengkaji
penggunaan oabt retrospektif, tim program pendidikan “in-service” dan
sebagainya (Siregar, 2004).
VII. Kategori PIO
Lingkup jenis pelayanan informasi obat disuatu rumah sakit, antara lain seperti tertera
dibawah ini:
a. Pelayana Informasi Obat untuk Menjawab Pertanyaan
Penyedia informasi obat berdasarkan permintaan, biasanya merupakan salah
satu pelayanan yang pertama dipertimbangkan. Pelayanan seperti ini
memungkinkan penanya dapat memperoleh informasi khusus yang dibutuhkan
tepat pada waktunya. Sumber informasi dapat dipusatkan dalam suatu sentra
informasi obat di instalasi farmasi rumah sakit.
b. Pelayana Informasi Obat untuk Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi penggunaaan obat adalah suatu program jaminan mutu pengguna obat
di suatu rumah sakit. Suatu program evaluasi penggunaan obat memerlukan
standar atau kriteria penggunaan obat yang digunakan sebagai acuan dalam
mengevaluasi ketepatan atau ketidak tepatan penggunaan obat. Oleh karena itu,
biasanya apoteker informasi obat memainkan peranan penting dalam
pengenbangan standar atau criteria penggunaan obat.
c. Pelayanan Informasi Obat dalam Studi Obat Investigasi
Obat investigasi adalah obat yang dipertimbangkan untuk dipasarkan secara
komersial, tetapi belum disetujui oleh BPOM untuk digunakan pada manusia.
Berbagai pendekatan untuk mengadakan pelayanan ini bergatung pada berbagai
sumber rumah sakit. Tanggung jawab untuk mengkoordinasikan penambahan,
pengembangan, dan penyebaran informasi yang tepat untuk obat investigasi
terletak pada suatu pelayanan informasi obat.
d. Pelayanan Informasi Obat untuk Mendukung Kegiatan Panitia Farmasi dan
Terapi.
Partisipasi aktif dalam panitia ini merupakan peranan instalasi farmasi rumah
sakit yang vital dan berpengaruh dalam proses penggunaan obat dalam rumah
sakit. Hal ini dapat disiapkan dengan memadai oleh suatu pelayanan informasi
obat.
e. Pelayanan Informasi Obat dalam bentuk publikasi
Upaya mengkomunikasikan informasi tentang kebijakan penggunaan obat dan
perkembangan mutakhir dalam pengobatan yang mempengaruhi seleksi obat
adalah suatu komponen penting dari pelayanan informasi obat. Untuk mencapai
sasaran itu, bulletin farmasi atau kartu informasi yang berfokus kepada suatu
golongan obat, dapat dipublikasikan dan disebarkan kepada professional
kesehatan
Ruang lingkup jenis pelayanan informasi di suatu rumah sakit, antara lain:
a. Pelayanan informasi obat untuk menjawab pertanyaan
b. Pelayanan informasi obat untuk mendukung kegiatan panitia farmasi dan terapi.
c. Pelayanan informasi obat dalam bentuk publikasi.
d. Pelayanan informasi obat untuk edukasi.
e. Pelayanan informasi obat untuk evaluasi penggunaan obat.
f. Pelayanan informasi obat dalam studi obat investigasi.
DAFTAR PUSTAKA

KEMENKES RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1197/Menkes/Sk/X/2004. tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit.: Jakarta

Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan No. Hk. 00. Dj. Ii. 924.
2006. Tentang Pembentukan Tim Penyusun Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas.
:Jakarta

Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI. 2006. Pedoman Pelayanan
Informasi Obat Di Rumah Sakit : Jakarta

Juliantini, E. dan Widayanti, S. 1996. Pelayanan Informasi Obat Rumah Sakit Umum Daerah
Dr Soetomo. Prosiding Kongres Ilmiah XI ISFI, 3-6 juli 1996: Jawa Tengah

Siregar, Charles. 2004. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. ECG: Jakarta
BAB IV
KONSELING DAN EDUKASI PASIEN

I. KONSELING
a. Pengertian Konseling
Menurut KEPMENKES RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di apotik, konseling adalah suatu proses
komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk
mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan
pengobatan. Melalui konseling, apoteker dapat mengetahui kebutuhan pasien
saat ini dan yang akan datang. Apoteker dapat memberikan informasi kepada
pasien apa yang perlu diketahui oleh pasien, keterampilan apa yang harus
dikembangkan dalam diri pasien, dan masalah yang perlu di atasi. Selain itu,
apoteker diharapkan dapat menentukan perilaku dan sikap pasien yang perlu
diperbaiki.
Syarat agar pelaksanaan konseling bisa berjalan dengan baik adalah
tersedianya ruangan khusus untuk melakukan konseling, efektivitas pemberian
kenseling, informasi yang disampaikan kepada pasien harus lengkap dan jelas,
yaitu cara pakai obat, efek samping obat, indikasi, kontraindikasi, dosis,
interaksi obat, mekanisme aksi, penggunaan ibu hamil dan menyusui. Untuk
mengatasi kendala-kendala yang terjadi diperlukan suatu perubahan dari
apoteker itu sendiri, perubahan masing-masing apoteker sangat diperlukan agar
apoteker dapat melaksanakan layanan konseling kepada pasien dengan baik.
b. Manfaat Konseling
1. Bagi pasien
 Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan
 Mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya
 Membantu dalam merawat dan perawatan kesehatan sendiri
 Membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu
 Menurunkan kesalahan penggunaan obat
 Meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi
 Menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan
 Meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya kesehatan
2. Bagi Farmasi
 Menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayan
kesehatan
 Mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai
tanggung jawab profesi Farmasi
 Menghindari farmasi dari tuntutan karena kesalaha penggunaan
obat (Medication Error)
 Suatu pelayanan tambahan untuk menarik pelanggan sehingga
menjadi upaya dalam memasarkan jasa pelayanan
c. Tujuan dari Konseling pada Pelayanan Farmasi
1. Membina hubungan / komunimasi farmasis dengan pasien dan
membangun kepercayaan pasien kepada farmasi
2. Memberikan informasi yang sesuai kondisi dan masalah pasien
3. membantu pasien menggunakan obat sesuai tujuan terapi dengan
memberikan cara/metode yang memudahkan pasien menggunakan obat
dengan benar
d. sasaran Konseling
 Konseling pasien rawat jalan
 Konseling pasien rawat inap
Adapun enam komponen konseling minimal yaitu :
 Nama obat, jumlahnya dan indikasinya
 Aturan pakai, cara dan lama pemakaian
 Interaksi obat
 Efek samping obat
 Pengaruh terhadap pola hidup, pola makan
 Cara penyimpanan

e. Tahap Proses Konseling


Tahapan-tahapan proses konseling meliputi yaitu :
1. Pengenalan/ pembuka
Tujuan : Pendekatan dan membangun kepercayaa
Teknik :
 Memperkenalkan diri
 Menjelaskan tujuan konseling, mengapa dan berapa lama
Contoh pengenalan/pembukaan :
 Sapa pasien dengan ramah
 Perkenal diri anda
 Jelaskan tujuan konseling
 Informasikan lama waktu yang dibutuhkan
Selamat pagi, saya Tanti, Apoteker disini (perkenalkan diri ). Saya
ingin menanyakan beberapa pertanyaan singkat tentang obat-obatan
yang baru anda peroleh (subjek yang akan ditanyakan ). Hanya butuh
waktu beberapa menit saja (waktu yang dibutuhkan). Informasi yang
anda berikan nanti akan sangat membantu kita untuk mengenali
masalah yang mungkin timbul dari obat-obat yang baru anda terima ini
. (tujuan/iuran)
2. Penilaian awal/identifikasi
Tujuan :
 Menilai pengetahuan pasien dan kebutuhan informasi yang
harus dipenuhi
 Perhatikan apakah pasien baru/lama dan peresepan
baru/lama/OTC
Teknik : Three Prime Questions
Contoh narasi :
Pasien mendapat obat anthipertensi :
 Ny. Jamilah :"Doketer bilang, saya memerlukan obat ini, tapi
saya merasa baik-baik saja, mungkin saya benar-benar tidak
membutuhkannya?"
 Tn. Jamil :"Saya tahu TD saya tinggi dan harus minum obat
secara teratur tapi jadwal saya sibuk dan sering lupa..?"
 Pasien baru : Apakah sudah mendapatkan informasi tentang :
nama obat, kegunaan dan cara penggunaan inhaler..?
 Pasien lama : Apakah ada masalah tentang cara penggunaan
inhaler kepatuhan ...?
3. Pemberian informasi
Tujuan : Mendorong perubahan sikap/prilaku agar memahmi dan
mengikuti regimen terapi
Tehnik : Show & Tell
Contoh Pemberian Informasi
Berikan informasi pokok tentang :
 Nama obat dan bentuk sediaan
 Kegunaan inhaler
 Cara menggunakan inhaler
 Cara penyimpanan
Gunakan sarana : Poster, contoh inhaler
 Cara penggunaan Inhaler
 Mengeluarkan dahak / lendir (bila ada )
 Latihan nafas
 Periksa alat / wadah
 Tahap penggunaan :
- Kocok dulu dan buka penutup
- Tarik dan keluarkan nafas
- Pasang alat dimulut
- Ambil nafas pelan-pelan dan tekan alat
- Tutup mulut tahan nafas 5-10 detik, alat dilepas
- Keluarkan nafas lewat hidung, bila ada dosis ke-2, beri
jarak 5 menit
- Cuci mulut atau berkumur
4. Verifikasi
Tujuan :
 Untuk memastikan apakah pasien memahami informasi yang
sudah disampaikan
 Mengulang hal-hal penting
Tehnik : Fill in the gaps
Contoh penilaian akhir/verifikasi yaitu :
 Bertanya tentang pamahaman informasi yang disampaikan
 Meminta pasien untuk menceritakan dan memperagakan ulang
cara penggunaan
5. Tindak lanjut
Tujuan :
 Mengikuti perkembangan pasien
 Monitoring keberhasilan pengobatan
Tehnik :
 Membuat patient medication record (PMR)
 Komunikasi melalui telepon
Contoh penutup / tindak lanjut :
 Ingatkan waktu untuk control
 Berikan salam dan ucapkan "semoga lekas sembuh"
 Lakukan pencatatan pada kartu konseling/PMR

II. EDUKASI
a. Pengertian edukasi
Edukasi Kesehatan adalah kegiatan upaya meningkatkan pengetahuan
kesehatan perorangan paling sedikit mengenai pengelolaan faktor risiko
penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat dalam upaya meningkatkan status
kesehatan peserta, mencegah timbulnya kembali penyakit dan memulihkan
penyakit. Menurut Ross (1998) dalam (Afiatin, 2007), pendidikan yang
berusaha mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku, lebih penting
dibandingkan hanya sekedar memberikan informasi tanpa disertai usaha
pembentukan sikap dan perubahan perilaku nyata. Haloran (1970) menyatakan
bahwa interaksi dengan tatap muka langsung antara pihak penerima pesan dan
pihak penyampai pesan merupakan intervensi dua arah yang lebih
memungkinkan untuk menghasilkan perubahan. Dengan demikian peningkatan
pengetahuan yang bertujuan untuk mengubah sikap akan lebih efektif jika
disampaikan dengan cara tatap muka langsung.
b. Tujuan
1. Agar pasien mengerti dan memahami masalah kesehatan yang ada.
2. Meningkatkan pengetahuan dan atau ketrampilan pasien dan keluarga
tentang masalah kesehatan yang dialami
3. Membantu pasien dan keluarga dalam meningkatkan kemampuan untuk
mencapai kesehatan secara optimal
4. Membantu pasien dan keluarga dalam mengambil keputusan tentang
perawatan yang harus dijalani
5. Agar pasien dan keluarga berpartisipasi dalam proses pelayanan yang
diberikan.
c. Prosedur
1) Pelaksana adalah dokter spesialis/ sub spesialis, dokter umum, perawat,
bidan, therapis, apoteker, ahli gizi, radiographer dan analis yang ditunjuk
sebagai edukator.
2) Ucapkan salam, petugas memperkenalkan diri
3) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang rencana pendidikan kesehatan
yang akan diberikan sesuai dengan hasil assessment atau identifikasi
kebutuhan pendidikan kesehatan. Informasi tersebut meliputi : materi yang
akan diberikan, tujuan diberikan pendidikan kesehatan, tempat dan
lamannya pendidikan kesehatan dilakukan.
4) Siapkan peralatan yang dibutuhkan:
 Materi
 Alat bantu demonstrasi (bila dibutuhkan)
 Formulir pemberian informasi/ edukasi
 Alat tulis
5) Lakukan pendidikan kesehatan /penyuluhan sesuai dengan materi yang
disiapkan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien
dan keluarga.
6) Lakukan pendidikan kesehatan/ penyuluhan dengan metode yang sesuai
dengan topik pendidikan kesehatan yang akan diberikan. Bila materi berupa
informasi seputar pengetahuan, pendidikan kesehatan pasien dilakukan
dengan metode presentasi dan diskusi. Bila materi berupa ketrampilan/
prosedur tindakan (seperti perawatan payudara, perawatan luka sederhana,
dll) pemberian pendidikan kesehatan dilakukan dengan metode
demonstrasi.
7) Beri kesempatan pasien dan keluarga untuk bertanya apabila ada materi
yang dianggap kurang jelas
8) Dokumentasikan tindakan pendidikan kesehatan yang sudah dilakukan
dalam lembar informasi dan edukasi.
d. Ruang lingkup pemberian informasi dan edukasi dapat dilihat dari berbagai
dimensi, antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan
atau aplikasinya, dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan.
1. Sasaran Pendidikan Kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
a) Pendidikan kesehatan individual, dengan sasaran individu
b) Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok
c) Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat
2. Tempat Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan
Menurut dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat
berlangsung di berbagai tempat. Dengan sendirinya sasarannya berbeda
pula, misalnya:
a) Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan
sasaran murid, guru
b) Pendidikan kesehatan di Rumah Sakit, dilakukan di rumah sakit
dengan sasaran pasien, keluarga pasien, pengunjung, petugas
Rumah Sakit, dan masyarakat sekitar Rumah Sakit
c) Pendidikan kesehatan di Posyandu atau Desa Binaan dengan
sasaran masyarakat sekitar
3. Tingkat Pelayanan Pendidikan Kesehatan
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat
dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention)
dari Leavel and Clark, sebagai berikut:
a) Promosi Kesehatan (Health Promotion).
Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam
peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan,
higiene perorangan, dan sebagainya.
b) Perlindungan Khusus (Specifik Protection)
Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan
khusus ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama di
negara-negara berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat
tentang pentingnya imunisasi sebagai cara perlindungan terhadap
penyakit pada orang dewasa maupun pada anak-anaknya masih
rendah.
c) Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment)
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi
penyakit-penyakit yang terjadi di dalam masyarakat. Bahkan
kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan
diobati penyakitnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat tidak
memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu
pendidikan kesehatan sangat diperlukan pada tahap ini.
d) Pembatasan Cacat (Disability Limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat
tentang kesehatan dan penyakit, seringkali mengakibatkan
masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya sampai tuntas.
Dengan kata lain mereka tidak melakukan pemeriksaan dan
pengobatan yang komplit terhadap penyakitnya. Pengobatan yang
tidak layak dan sempurna dapat mengakibatkan orang yang
bersangkutan menjadi cacat atau memiliki ketidakmampuan untuk
melakukan sesuatu. Oleh karena itu pendidikan kesehatan juga
diperlukan pada tahap ini.
e) Rehabilitasi (rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang
menjadi cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-
kadang diperlukan latihan-latihan tertentu. Oleh karena kurangnya
pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak atau segan
melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Di samping itu orang
yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu
untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak
mau menerima mereka sebagai anggota masyarakat yang normal.
Oleh sebab itu jelas pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja
untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga perlu pendidikan
kesehatan kepada masyarakat.
Rumah Sakit dalam memberikan materi dan proses edukasi pada pasien dan
keluarga minimal berupa topik sebagai berikut :
1. Penggunaan obat - obatan yang didapat pasien secara efektif &
aman, termasuk potensi efek samping obat
2. Penggunaan peralatan medis secara efektif & aman
3. Potensi interaksi antara obat yang diresepkan dengan obat lainnya,
serta makanan
4. Diet dan nutrisi
5. Manajemen nyeri dan teknik rehabilitasi
e. Komunikasi yang bersifat Edukasi (Pelayanan Promosi) :
1) Edukasi tentang obat
2) Edukasi tentang penyakit
3) Edukasi pasien tentang apa yang harus di hindari
4) Edukasi tentang apa yang harus dilakukan pasien untuk meningkatkan
kualitas hidupnya pasca dari rumah sakit
5) Edukasi tentang Gizi
Akses untuk mendapatkan materi edukasi melalui unit PKRS (Promosi
Kesehatan Rumah Sakit). Pemberian edukasi dan informasi diberikan oleh
semua petugas yang ada di Rumah Sakit baik petugas medis maupun non
medis. Edukasi dapat diberikan kepada siapa saja yang berada di lingkungan
Rumah Sakit maupun di luar Rumah Sakit, misalnya pelanggan intern (Yayasan
Badan Wakaf Rumah Sakir, petugas Rumah Sakit dan keluarga) dan pelanggan
ekstern (pasien, pengunjung, keluarga, pedagang, masyarakat).
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/MENKES/SK/2004, Tentang


Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit, Departemen Kesehatan RI : Jakarta.

Depkes RI, 2006, Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di Sarana Kesehatan,


Departemen Kesehatan RI: Jakarta.

Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Departemen Kesehatan RI : Jakarta.

Rantucci, M. J., 2009, Komunikasi Apoteker-Pasien: Panduan Konseling Pasien, diterjemahkan


BAB V
INDENTIVIKASI PERMASALAHAN TERKAIT OBAT

I. Definisi DRPs (Drug Related Problems)


DRPs adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan
secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan pasien.
Suatu kejadian dapat disebut DRPs apabila terdapat dua kondisi, yaitu:
a. adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, kejadian ini dapat berupa
keluhan medis, gejala, diagnose penyakit, ketidak mampuan (disability) yang
merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur atau ekonomi
b. adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat (Strand, et al., 1990).
Society Consultant American Pharmacist menyebutkan bahwa tujuan dari terapi
obat adalah perbaikan kualitas hidup pasien melalui pengobatan atau pencegahan
penyakit, mengurangi timbulnya gejala, atau memperlambat proses penyakit.
Kebutuhan pasien berkaitan dengan terapi obat atau drug related needs meliputi
ketepatan indikasi, keefektifan, keamanan terapi, kepatuhan pasien, dan indikasi yang
belum tertangani. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi atau outcome pasien tidak
tercapai maka hal ini dapat dikategorikan sebagai DRP (Cipolle et al., 1998).
Drug Related Problems merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dan
pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga
kenyataannya/potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki
(Cipolle et al, 1998).
DRP aktual adalah DRP yang sudah terjadi sehingga harus diatasi dan
dipecahkan.Dalam hal ini pasien sudah mengalami DRP misalnya dosis terlalu besar
sehingga dosis harus disesuaikan dengan kondisi pasien. DRP potensial adalah DRP
yang kemungkinan besar dapat terjadi dan akan dialami oleh pasien apabila tidak
dilakukan pencegahan, misalnya pasien apabila diberikan suatu obat akan mengalami
kontraindikasi sehingga harus diganti dengan obat lain (Rovers et al, 2003).
II. Komponen-Komponen DPRs
Ada dua komponen penting dalam DRPs yaitu:
1. Kejadian atau resiko yang tidak diharapkan yang dialami oleh pasien. Kejadian ini
dapat diakibatkan oleh kondisi ekonomi, psikologi, fisiologis, atau sosiokultural
pasien.
2. Ada hubungan atau diduga ada hubungan antara kejadian yang tidak diharapkan
yang dialami oleh pasien dengan terapi obat. Hubungan ini meliputi konsekwensi
dari terapi obat sehingga penyebab/diduga sebagai penyebab kejadian tersebut,atau
dibutuhkannya terapi obat untuk mencegah kejadian tersebut.
Menurut Cipolle et al,1998 kategori DRP adalah:
1. Membutuhkan obat tetapi tidak menerimanya
Membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis atau premedikasi,
memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinyu.
2. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai
Menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik kondisinya dengan
terapi non obat,minum beberapa obat padahal hanya satu terapiobat yang
diindikasikan dan atau minum obat untuk mengobati efeksamping.
3. Menerima obat salah
Kasus yang mungkin terjadi: obat tidak efektif, alergi, adanya resiko kontraindikasi,
resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat yang tidak perlu dan bukan
yang paling aman.
4. Dosis terlalu rendah
Penyebab yang sering terjadi: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon yang
diinginkan, jangka waktu terapi yang terlalu pendek,pemilihan obat, dosis, rute
pemberian, dan sediaan obat tidak tepat.
5. Dosis terlalu tinggi
Penyebab yang sering terjadi: dosis salah, frekuensi tidak tepat, jangka waktu tidak
tepat dan adanya interaksi obat.
6. Pasien mengalami ADR
Penyebabnya pasien dengan factor resiko yang berbahaya bila obatdigunakan, efek
dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien,interaksi dengan obat lain,
dosis dinaikkan atau diturunkan terlalu cepatsehingga menyebabkan ADR dan
mengalami efek yang tidak dikehendakiyang tidak diprediksi.
7. Kepatuhan
Penyebab pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat, pasien tidak
menuruti rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan, pasien tidak mengambil
obat yang diresepkan karena harganya mahal, pasien tidak mengambil beberapa
obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat (Cipolle et al,
1998).
III. Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori
1. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis, ras,
sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan jantung,
status nutrisi, serta harapan pasien.
2. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini dan
masa lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan cara
pemberian obat, dan persepsi mengenai pengobatannya.
3. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien, keseriusan,
prognosa, kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses penyakitnya.
Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang yang
merawat pasien, keluarga pasien, medical record, profil pasien dari farmasis, data
laboratorium, dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya (Cipolle et al., 1998).
Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related Problems sebaiknya
diprioritaskan pada pasien geriatri,pasien pediatri, ibu hamil dan menyusui, serta pasien
yang mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit(Yunita et al., 2004).
Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah dan
memecahkan Drug Related Problems (DRPs), walaupun hal tersebut tidak selalu mudah
dicapai.Faktor kepatuhan pasien ikut bertanggung jawab atas kesembuhannya.Sebab itu
farmasis juga harus dapat melakukan konseling, edukasi dan informasi kepada pasien
(Cipolle et al., 1998).
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup
pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan social pasien.Pharmaceutical Care
Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu
kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil
klinis kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).
IV. Klasifikasi DRPs
 Strand, et al., (1990) mengklasifikasikan DRPs menjadi 8 kategori besar:
1. Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obattetapi pasien
tidak mendapatkan obatuntuk indikasi tersebut.
2. Pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang tidak mempunyai
indikasi medis yang valid.
3. Pasien mempunyai kondisi medis tetapi mendapatkan obatyang tidak aman,
tidak palingefektif, dan kontraindikasi dengan pasien tersebut.
4. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benartetapi dosis
obattersebut kurang.
5. Pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benartetapi dosis
obat tersebut lebih.
6. Pasien mempunyai kondisi medis akibat dari reaksi obat yang merugikan.
7. Pasien mempunyai kondisi medis akibatinteraksi obat-obat, obat-makanan,
obat-hasillaboratorium.
8. Pasien mempunyai kondisi medis tetapitidakmendapatkan obat yang
diresepkan.
 Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)
mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care
Network Europe., 2006) :
1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)
Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau
toksisitas.
2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan
memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan
kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi indikasi
tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang
digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.
3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar
atau lebih kecil dar ipada yang dibutuhkannya.
4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)
Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak
menggunakan obat sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak
diresepkan.
5. Interaksi obat (Interaction)
Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang
bermanifestasi atau potensial.
6. Masalah lainnya (Others)
Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang
kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas(memerlukan
klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya,
perlu pemeriksaan laboratorium.
 Pemeriksaan laboratorium.
Klasifikasi DRP:
1. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk
penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
a. Pasien memerlukan obat tambahan
Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien
menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih
buruk daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan.
Penyebab utama perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi
kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk
menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif
atau profilaktif. Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya dikombinasikan
dengan obat antihistamin 2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya iritasi
lambung.
b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi
yang tidak benar, polifarmasi dan duplikasi.Merupakan tanggungjawab
farmasi agar pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi
yang tepat.DRP kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada
pasien berupa toksisitas atau efek samping, dan membengkaknya biaya
yang dikeluarkan diluar yang seharusnya.Misalnya, pasien yang menderita
batuk dan flu mengkonsumsi obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah
padahal dalam obat batuk tersebut sudah mengandung paracetamol.
2. Efektivitas
Pasien menerima regimen terapi yang salah
a. Terapi multi obat (polifarmasi)
Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien
dan penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-
rata 8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih
dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan
satu jenis obat. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan
untuk pengobatan penyakit dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan,
seperti pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek yang berisi :
1) Amoksisillin
2) Parasetamol
3) Gliseril Guaiakolat
4) Deksametason
5) CTM
6) Luminal
b. Frekuensi pemberian
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk
memelihara konsentrasi darah dan jaringan.Namun, beberapa obat yang
dikonsumsi 3 atau 4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila
dikonsumsi sekali dalam sehari.Contohnya: frekwensi pemberian
amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3 kali sehari.
cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin
sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat
mengiritasi lambung.
1) Durasi dari terapi
Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis
selama satu kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah
mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu minum obat
juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk
antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah berada
diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab
penyakit.
2) Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah
Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis
terapinya.Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak
efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat
memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan
pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain
ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi
obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang
diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga
berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara
pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat
yang masuk ke dalam tubuh pasien.
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut
yaitu antara lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya
merujuk pada dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat
badan, jenis kelamin dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan
dosis pada peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih
menekankan keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang
sampai mengorbankan sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang
menyebabkan konsumsi obat tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan
karena faktor ekonomi pasien tidak mampu menebus semua obat yang
diresepkan, dan pasien tidak paham cara menggunakan obat yang tepat.
Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari pada penyakit ISFA
Pneumonia.
3. Keamanan
a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis
terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko
efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien
menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan
dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak
tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara
bersamaan, menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi
metabolisme fenitoin oleh kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam
darah meningkat.
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat
disebabkan karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian
obat yang tidak benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi,
adanya interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada
pemberian obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak
diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1) Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder
yang berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja
obat seperti diuretik mengimbas hipokalemia atau propanolol
mengimbas pemblok jantung. Reaksi ini seringkali bergantung
dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit bersamaan,
interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi
pada setiap orang.
2) Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi.
Reaksi alergi mencakup tipe berikut :
 Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat
sistemik) atau segera (hipersensitivitas)
 Tipe II, sitotoksik
 Tipe III, serum
 Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan
fenitoin dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
Steven Johnson syndrome.
3) Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya
analgesik, nefropati.
4) Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan
karsinogenesis.
5) Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali
karena ketidakcukupan adrenokortikal.
4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat
medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain :
a) Persepsi tentang kesehatan
b) Pengalaman mengobati sendiri
c) Pengalaman dengan terapi sebelumnya
d) Lingkungan (teman, keluarga)
e) Adanya efek samping obat
f) Keadaan ekonomi
g) Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).
Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan
selama pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas.Ketidakpatuhan
seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang
bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya.
Padahal penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien
dalam mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun banyak faktor
pendorongnya, yaitu :
a) Obat tidak tersedia
Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat
menyebabkan pasien enggan untuk menebus obat keapotek lain.
b) Regimen yang kompleks
Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan
pasien mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini
dapat menyebabkan pasien enggan minum obat.
c) Usia lanjut
Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-
obatan beberapa kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan
penampilan seperti ukuran, warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat
berkontribusi pada kebingungan.Beberapa pasien geriatrik dapat
mengalami hilang daya ingat yang membuat ketidak patuhan lebih
mungkin.
d) Lamanya terapi
Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC,
DM, arthritis, hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana
pasien merasa bosan dalam penggunaan obat tersebut yang
menyebabkan efek terapi tidak tercapai.
e) Hilangnya gejala
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa
bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda.
Misalnya, ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama
terapi antibiotik setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal
ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi, sehingga
pasien wajib diberi nasehat untuk menggunakan seluruh obat selama
terapi antibiotik.
f) Takut akan efek samping
Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit
dan nyeri lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi
merah karena minum obat rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak
mau menggunakan obat.
g) Rasa obat yang tidak enak
Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan
cairan oral oleh anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral
bagi anak-anak penambahan penawar rasa dan zat warna dilakukan
untuk daya tarik, sehingga mempermudah pemberian obat dan
meningkatkan kepatuhan.
h) Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif
mahal, pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat
yang lebih mahal.
i) Pasien lupa dalam pengobatan.
j) Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi
dan petunjuk penggunaan obat.
5. Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar.Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang
paling tepat dari yang tersedia.Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika
dokter serta pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang
baik.Pasien yang bijak tidak menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien
akan bekerjasama dengan dokter untuk menyeimbangkan dengan tepat
keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan demikian obat yang dipilih
haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
6. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain
yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah
kuat atau berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi
ini ada dua kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping
atau berkurangnya efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi
sebagai berikut:
a. Obat-Makanan
Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan
pemantauan terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:
 Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi).
Misalnya, obat antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena
akan membenuk ikatan sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan
menurunkan efektifitas.
 Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein
tinggi meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai
tambahan, banyak obat diberikan pada saat lambung kosong.
Sebaliknya, terapi obat dapat mengubah absorpsi secara merugikan
dari penggunaan suatu bahan gizi.
b. Obat-Uji Laboratorium
Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi
uji diagnostik.Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia.Misalnya,
laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau
oleh perubahan zat yang diukur.Apabila mengevaluasi status kesehatan
pasien apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji
diagnostik.
c. Obat-Penyakit
Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu
dipantau.Apoteker harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat
pada kondisi medik pasien.Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit
sering disebut sebagai kontraindikasi absolut dan relatif.Misalnya,
penggunaan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastik, dan
penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat menyebabkan nefrotoksik.
d. Obat-Obat
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari.Semua
obat termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat.Apoteker
perlu mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan.Suatu
interaksi dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai
kemungkinan menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien.Interaksi
antar obat dapat berakibat merugikan atau menguntungkan.Interaksi obat
dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas
dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit.
V. CONTOH ANALISA KASUS DRP
Kasus 1
Seorang pria 42 tahun dengan diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi
dirujuk ke klinik untuk assassment (penilaian) mixed hyperlipidemia yang
ditemukan dalam pemeriksaan rutinnya. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan
di klinik menunjukan hasil yang biasa. Pasien tidak memiliki xanthomatous.
Riwayat keluarga ada yang menderita diabetes melitus tipe 2. Pengobatan saat
ini ramipril, glyburide, dan hydroclorthiazide. Hasil analisis sampel darah
(puasa) kolesterol total 356,34 mg/dL, total trigliserida 5927,4 mg/dL, HDL-c
23,4 mg/dL, TSH 0,94 mIU/L. Urea, kreatininm elektrolit, bilirubin, AST, ALT
normal. HbA1c 9,5%. Kemudian dokter meresepkan fenofibrate, metformin, dan
rosuvastatin termasuk ramipril, glyburide, dan hydroclorothiazide. Empat
minggu kemudian lipid profil pasien mengalami peningkatan. Hasil
laboratorium menunjukkan kadar kolesterol total 213,45 mg/dL, trigliserida
825,5 mg/dL, HDL-c 37,05 mg/dL. Dengan terus dilakukan follow up, 3 bulan
kemudian kolesterol total 145,9 mg/dL, trigliserida 330,4 mg/dL, HDL-c 27,84
mg/dL.
Penyelesaian
A. Subjek
Pria berusia 55 tahun
1. Past Medical History
Diabetes melitus tipe 2
Hipertensi
2. Medication History (Dosis tidak dicantumkan di dalam jurnal)
Ramipril
Glyburide
Hydrochlorothiazide
3. Physical Examination
Results of our physical examination were unremarkable
B. Objek
Data Laboratorium (Puasa)
Saat pertama Nilai uji Nilai normal
Kolestrol Total 536.34 mg/dL 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 5927.4 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 23.4 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
TSH 0.94 mIU/L 0.49 - 4.67 mIU/L
HbA1c 9.5% < 6,5%
Urea, kreatininm
elektrolit, bilirubin,
AST, ALT normal
4 minggu kemudian
Kolestrol Total 213.45 mg/dL 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 825.5 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 37.05 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
3 minggu kemudian
Kolestrol Total 145.9 mg/dL, 146.94 - 201.08 mg/dL
Trigliserida 330.4 mg/dL 31.15 - 151.3 mg/dL
HDL-c 27.84 mg/dL 35.1 - 93.6 mg/dL
C. Assassment
Pasien mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus tipe 2 dan
hipertensi. Glyburide (dosis tidak dicantumkan) digunakan untuk terapi
diabetes pasien. Ramipril dan hydroclorothiazide (dosis tidak dicantumkan)
digunakan untuk terapi hipertensi pasien. Berdasarkan data diatas, kolesterol
total dan trigliserida pasien sangat tinggi sementara kadar HDL-c dibawah
normal. Menurut NCEP (National Cholestrol Education Program)
kolesterol total normal < 200 mg/dL, trigliserida normal < 150 mg/dL, dan
HDL-c 35-93 mg/dL. Hal ini mengindikasikan bahwa pasien menderita
hiperlipidemia (mixed hyperlipidemia). Diabetes melitus tipe 2 yang diderita
pasien merupakan salah satu penyebab terjadinya hiperlipidemia sekunder
karena kondisi tersebut dapat menyebabkan meningkatnya level VLDL dan
menurunkan HDL (Rader & Hobbs, 2012). Menurut Koda-Kimble et al
(2005), pemakaian obat hipertensi golongan tiazid juga menyebabkan
peningkatan kolestrol 5-7% dan peningkatan trigliserida 30-50%. Sementara
menurut Martin et al. 2009, pasien dengan kadar trigliserida > 2001,77
mg/dL semuanya hampir memiliki hiperlipidemia sekunder dan primer.
Dokter meresepkan fenofibrate (dosis tidak dicantumkan) untuk mengatasi
hiperlipidemia. Saat pemeriksaan HbA1c pasien sebesar 9,5% maka dokter
memberi metformin (dosis tidak dicantumkan) tambahan obat untuk diabetes
pasien. Rusovastatin (dosis tidak dicantumkan) untuk terapi mixed
hyperlipidemia.
D. Plan
Tujuan terapi yang ingin dicapai dalam pengobatan adalah penurunan kadar
kolesterol total dan trigliserida, meningkatkan kadar HDL-c, menormalkan
kadar gula darah dan tekanan darah tinggi serta mengurangi resiko pertama
atu berulang dari infark miokardiak, angina, gagal jantung, stroke iskemia,
dan kejadian lain pada penyakit arterial (karotid stenosis atau aortik
abdominal)
1. Terapi hiperlipidemia
 Fenofibrate
Dosis inisial yang biasa digunakan dalam terapi mixed
hyperlipidemia yaitu sebesar 300 mg per hari dan dapat
ditingkatkan menjadi 400 mg perhari. Dosis pemeliharan 200 mg
per hari. Obat diminum setelah makan.
 Rusovastatin
Dosis inisial yang biasa digunakan yaitu 20 mg per hari. Range
dosis 5 – 40 mg per hari dan tidak lebih dari 40 mg perhari. Obat
sebelum atau setelah makan.
2. Terapi hipertensi
 Ramipril
Dosis pemeliharaan yaitu 2,5-5 mg per hari diminum pagi
sebelum atau setelah makan.
 Hidrochlortiazide
Dosis yang biasanya digunakan yaitu 12,5 mg per hari diminum
pagi sebelum atau setelah makan.
3. Terapi Diabetes melitus tipe 2
 Glyburide
Dosis pemeliharaan yaitu 1,25 – 20 mg per hari diminum segera
sebelum makan.
 Metformin
Dosis pemeliharan yaitu 500 mg 1 – 2 kali perhari diminum
setelah makan.
E. Drug Related Problem dalam Kasus 1
Pasien dengan mixed hyperlipidemia , diabetes metitus tipe 2 dan hipertensi
dalam kasus ini menerima 6 macam obat dalam pengobatannya. Walaupun
dokter tetap melakukan follow up terhadap pasien tersebut, analisis DRP
tetap harus dilakukan untuk mencegah pasien mengalami kegagalan terapi
dan kejadian DRP yang dapat merugikan pasien. Adapun analisis DRP
antara lain: indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, ketidaktepatan pemilihan
obat, kelebihan dosis obat, interaksi obat, efek samping obat, dan kegagalan
pasien menerima terapi.
1. Indikasi tanpa obat
Pasien menderita mixed hyperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, dan
hipertensi. Dari data hasil laboratorium dan pemeriksaan fisik tidak
ditemukan adanya indikasi penyakit lain.
2. Obat tanpa indikasi
Enam jenis obat yang digunakan (glyburide, ramipril, hydrochlortiazide,
fenofibrate, rusovostatin, dan metformin) diindikasikan untuk mengobati
mixed hyperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, dan hipertensi. Tidak
ditemukan obat tanpa indikasi dalam kasus ini.
3. Ketidaktepatan pemilihan obat
Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien artinya ada pemberian
obat yang tidak efektif, seperti produk obat tidak efektif berdasarkan
kondisi medisnya atau obat bukan paling efektif untuk mengatasi
penyakit. Rusovostatin efektif menurunkan kadar kolesterol total dan
LDL dan merupakan terapi utama untuk mayoritas pasien
hiperlipidemik. Namun dalam kasus tertentu dapat ditambahkan agen
hipolipidemik lain untuk mencapai tujuan terapi yang lebih agresif. Oleh
sebab itu, Fenofibrate ditambahkan karena memiliki kemampuan
menurunkan kadar VLDL. Mekanisme kunci obat golongan fibrat adalah
dengan meningkatkan lipolisis, meningkatkan asupan lemak hati dan
menurunkan produksi trigliserida hati, meningkankan asupan LDL oleh
reseptor LDL, dan menstrimulasi transpor balik sehingga meningkatkan
HDL. Fibrat utamanya digunakan pada pasien yang hanya mengalami
peningkatan trigliserida dan juga digunakan dalam terapi mixed
hyperlipidemia, terutama jika HDL rendah. Kombinasi golongan statin
dan fibrat meningkatkan resiko miopati bermakna, pertimbangan
pemilihan obat baru seperti ezetimid mungkin akan lebih tepat.
Glyburide golongan sulfonil urea dapat menurunkan HbA1C
sebesar ~ 1,5% dengan menstimulasi sekresi insulin. Metformin
memiliki efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose
output” dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan
metformin dapat menurunkan HbA1C sebesar ~ 1,5%. Algoritma
pengelolaan diabetes melitu tipe 2 menurut ADA/EASD yang pertama
yaitu dengan intervensi pola hidup dan metformin. Bila belum maksimal
maka obat kedua dapat ditambahkan agar HbA1C pasien < 7%,
konsensus menganjurkan penambahan sulfonilurea atau insulin.
Pemilihan kombinasi glyburide dan metformin sebagai antidiabetes
melitus tipe 2 dinilai cukup tepat.
Terapi hipertensi dalam kasus ini menggunakan ramipril dan
hydrochlortiazide. Ramipril adalah antihipertensi golongan ACEi yang
merupakan vasodilator yang menghambat angiotensin II (vasokonstriktor
kuat). Penghambatan pembentukan angiotensin II akan menurunkan
tekanan darah. Jika sistem angiotensin-renin-aldonsteron teraktivasi
(misalnya pada keadaaan penurunan sodium, atau terapi diuretik) efek
antihipertensi ACEi akan lebih besar. Oleh karena itu dalam kasus itu
menggunakan kombinasi ramipril dengan hydrochlorothiazide. Pasien
diabetes memerlukan kombinasi antihipertensi untuk mencapai target
tekanan darah optimal. ACEi merupakan terapi pilihan karena dapat
mencegah progresi mikroalbuminoria ke nefropati. Selain itu,
penggunaan beta-blocker tidak lagi direkomendasikan oleh NICE karena
kurang efektif untuk mengurangi resiko diabetes terutama untuk pasien
yang mendapatkan diuretik tiazid.
4. Dosis obat kurang dan berlebih
Dalam kasus ini hanya terdapat data jenis kelamin dan usia pasien, tidak
dicantumkan berapa dosis yang digunakan dan juga tidak tersedia data
berat badan pasien. Penilaian apakah dosis yang diberikan oleh dokter
kurang atau berlebih sangat sulit dilakukan, kerena perhitungan dosis
tidak dapat dilakukan. Namun, apabila dokter memberikan dosis obat-
obat tersebut dalam jumlah dan range dosis lazimnya maka dapat
dikatakan tidak terjadi kekurangan dan kelebihan dosis obat. Mengingat
kondisi organ pasien dalam keadaan baik (dilihat dari data laboratorium
dan pernyataan dokter mengenai pemeriksaan fisik) maka tidak perlu
dilakukan penyesuaian dosis.
5. Interaksi obat
Obat A Obat B Tingkat Interaksi
Fenofibrate Rosuvastatin Serius Meningkatkan efek karena sinergisme
farmakodinamik. Fenofibrate dapat
meningkatkan risiko rhabdomyolysis
ketika di kombinasi dengan statin
untuk menurun trigliserida dan
meningkatkan HDL. Jika tetap
digunakan maka lakukan monitoring
dengan ketat. Gunakan alternatif obat
lain (ezetimibe).
Fenofibrate meningkatkan efek dari
Glyburide Signifikan glyburide dengan berkompetisi
membentuk ikatan protein plasma.
Signifikan interaksi dapat terjadi,
lakukan monitoring.
Rosuvastatin Glyburide Signifikan Glyburide meningkatkan toksisitas
rosuvastatin. Merupakan inhibitor
OATP1B1, dapat meningkatkan
risiko myopathy. Lakukan
monitoring.
Hydrochloro- Metformin Minor / Hydrochlorothiazide akan
thiazide tidak meningkatkan efek metformin
signifikan melalui mekanisme kompetisi klirens
tubular ginjal.
Ramipril Glyburide Signifikan Ramipril meningkatkan efek
interaksi glyburide melalui aksi sinergisme
mungkin farmakodinamik. Monitoring dengan
terjadi ketat.

6. Efek samping
Obat Efek samping Keterangan
Fenofibrate Nyeri otot, myopathi, myositis, diare,
flatulance, pankreatitis, ulser peptik,
kolelitiasis, depresi CNS, disarithmia,
pulmonari emboli, gangguan ginjal,
anemia, leukopenia.
Keluhan abdominal ringan, ruam
kulit, gatal, nyeri kepala, nyeri otot,
kejang otot, lelah, dan gangguan
Rosuvastatin tidur. Kenaikan konsentrasi
transminase. Efek samping yang
Pasien diingatkan
jarang terjadi: rhabdomiolisis dan
tentang efek
miopati.
samping yang
Anafilaksis, aneroksia, kebingungan,
mungkin terjadi.
gangguan hematopoetik, pusing,
Efek yang mungkin
gangguan lambung, kelelahan, sakit
terjadi berbeda antar
Hydrochlorothiazide kepala, hiperkalemia, hiperkolestro,
invidu, tergantung
hiperurisemi, hipotensi, metabolik
dengan respon
asidosis, nausea, pankreatitis, vertigo,
tubuh.
dan vomitting.
Batuk, hipotensi, pusing, angina
pektoris, sakit kepala, vomitting,
Metformin
vertigo, abnormalitas fungsi ginjal,
dan diare.
Gangguan saluran cerna, sakit kepala,
gejala hematologik, trombositopenia,
Glyburide agranulositosis, anemia aplastik
(jarang). Gangguan fungsi hati dan
ginjal pada pasien lanjut usia
Neutropenia, agranulosis, proteinuria,
Ramipril
glomerulusnefrosis, gagal ginjal akut.

7. Kegagalan terapi
Tidak ditemukan kegagalan terapi dalam kasus ini, sejauh follow up yang
dilakukan oleh dokter pasien terus mengalami perkembangan peningkatan profil lipid.
Kegagalan terapi dalam suatu pengobatan dapat disebabkan oleh faktor psikososial,
ketidakmampuan ekonomi, kurangnya pemahaman pasien tentang terapi yang dia
lakukan, dosis yang tidak sesuai, dan pasien menggunakan obat lain tanpa
sepengetahuan dokter. Kegagalan terapi juga dapat disebabkan oleh petugas kesehatan
yang tidak memberitahu cara penggunaan obat dengan benar.
Kasus 2
Resep
25 maret 2017
R/ Metformin 500 XLV
S 3 dd 1
R/ Glibenklamide 5 XV
S 1 dd 1
R/ Captopril 50 XLV
S 3 dd 1
R/ furosemid X
S ½-0-0
R/ BC XLV
S 3 dd 1
R/ Amlodipin 5 XV
S 1 dd 1
R/ Na-diklofenak 50 XXX
S 0-0-1
R/ Simvastatin 10 XV
S 0-0-1
Pro : Tn. SS (66 tahun)
1. Analisa
1) Anamnesa/ diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia,
ostheoartritis, dan sindrom dispepsia.
2) Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :
a. Metformin, antidiabetes golongan biguanid
b. Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonylurea
c. Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (ACEI
d. Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretic
e. BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B
f. Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)
g. Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid
h. Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin
Kombinsai metformin dan glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain berupa
hipertensi diperbolehkan. Seperti halnya pada kasus resep nomor 2. Dosis kombinasi
kedua obat tersebut juga masih dalam batas aman. Dimana dosis maksimum keduanya
adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000 mg/hari untuk metformin. (Dipiro;
1369, 1384, 1385).
Penanganan hipertensi dalam kasus ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi,
yaitu captopril (ACE inhibitor), furosemid (loop diuretik), dan amlodipin (Pemblok
kanal kalsium).Kombinasi tersebut diperbolehkan.Dosis furosemid merupakan dosis
terendah yaitu 20 mg, dengan waktu pemberian yang tepat yaitu pada pagi
hari.Sedangkan dosis captopril merupakan dosis maksimum yaitu 150 mg/hari, dalam
dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin yang diberikan adalah dosis menengah, yaitu 5
mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu diperhatikan pasien telah cukup lanjut usianya
(66 tahun), captopril diberikan pada dosis maksimum dikombinasi dengan furosemid,
dan amlodipin, akan berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Dengan pemberian
furosemid, pasien akan mengalami diuresis, yang berarti volume darah menurun dan
menurun pula tekanan darahnya, sedangkan pemberian ACE inhibitor dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah melalui berbagai mekanisme yang terlibat
dalam pengaturan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga resiko
hipotensinya semakin meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia, ditambah
dengan kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa dipantau. (Dipiro:
233-234)
Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid dalam dosis
rendah adalah untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin, berupa udema perifer.
Amlodipin dapat menyebabkan terjadinya udema perifer, dengan pemberian furosemid,
maka aktivitas urinary meningkat, sehingga tidak terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat
osteoarthritis.Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif.Dosis
yang diberikan adalah dosis tunggal pada malam hari sebesar 50 mg.
Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi terjadinya
ulkus peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah menyatakan bahwa pasien
mengalami sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk yang disebabkan diklofenak pada
saluran cerna tidak sekuat aspirin, namun pemilihan obat lain yang lebih aman, perlu
dipertimbangkan, mengingat pasien telah dinyatakan mengalami sindrom dispepsia.
(Dipiro; 1131)
Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat terapi
AINS yang dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien tidak mendapat obat
untuk indikasi ini.Tak ada obat yang diberikan untuk mengobati sindrom dispepsianya.
Simvastatin dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi
hiperlipidemia.Penggunaan simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan.
Pemberian vitamin B kompleks, yang mengandung asam nikotinat, akan membentu
menghambat pembentukan kolesterol dan trigliserida, sehingga akan membantu
menekan kadar lipid dalam darah. (BNF 57; 539)
Interaksi yang mungkin terjadi
a. Amlodipin (pemblok kanal kalsium) dan captopril (ACE inhibitor) yang digunakan
bersama-sama, cenderung berinteraksi menyebabkan efek hipotensif, ACE inhibitor
juga akan bekerja pada sistem kanal kalsium, meski tidak secara langsung, begitu pun
dengan furosemid.
b. Captopril berinteraksi dengan makanan, dan menyebabkan absorpsi captopril menurun.
(DIF)
BNF. 2009. British National Formulary, Edisi 57, British Medical Association Royal
Pharmacetical of Great Britain, England.
Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.
Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care, McGraw-Hill, New York.
Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1992, Pharmaceutical Care An Introduction Current
Concept, McGraw-Hill, New York.
Hepler, CD, Strand, LM 1990, ‘Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care’,
American Journal of Hospital Pharmacy, 47, pp.533-543.
PCNE. 2006. Classification for Drug Related Problems V5.01. Europe: Pharmaceutical Care
Network Europe Foundation.
Rovers, J.P., Currie, J.D., Hagel, H.P., McDonough, R.P., Sobotka, J.L. Eds., 2003, A Practical
Guide to Pharmaceutical Care,2nd Ed., American Pharmaceutical Association,
Washington, D.C.
Strand, MD, Morley, PC, Cipolle, RJ, Ramsey, R, Lamsam, GD 1990, ‘Drug-Related
Problems: Their Structure and function’, DICP the Annals of Pharmacotherapy, vol. 24,
pp. 1094-1096.

VI.

Anda mungkin juga menyukai