Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
I. PENGERTIAN KOMUNIKASI
II. JENIS JENIS KOMUNIKASI
1. Komunikasi Lisan
Komunikasi dapat terjadi baik secara langsung maupun tak langsung yang
dibatasi oleh jarak dan waktu. Jarak dan waktu sangat mempengaruhi efisiensi dan
efektifitas komunikasi. Komunikasi lisan bertujuan agar informasi yang
disampaikan oleh si penyampai informasi (berita) dapat diterima dan dipahami oleh
si penerima berita. Teknologi Komunikasi Lisan adalah berkomunikasi dengan
menggunakan alat yang menghasilkan suara berbahasa lisan di antaranya telepon.
Komunikasi lisan langsung artinya komunikasi terjadi antara pemberi informasi
langsung ke penerima informasi tanpa melalui perantara baik orang atau alat.
Komunikasi langsung mem-punyai kelebihan dan kekurangan.
2. Komuniasi Tulis
Komunikasi tulis di-sampaikan secara tak langsung, contoh yang paling kita
kenal adalah surat kabar atau koran, majalah, artikel, dan lain-lain. Teknologi
komunikasi tulis adalah berkomunikasi yang menggunakan tulisan, huruf, atau
gambar. Melalui tulisan, Anda dapat mengkomuikasikan ide, gagasan, pesan dan
informasi lainnya, contohnya surat menyurat.
3. Komunikasi isyarat
Komunikasi isyarat adalah komunikasi dengan mengguna-kan kode-kode
isyarat yang telah disepakati dan dimengerti oleh kedua belah pihak baik yang
memberi maupun yang menerima informasi. Salah satu kode yang umum digunakan
adalah kode Morse. Komunikasi dapat di-lakukan melalui media lambang, simbol
atau gambar. Model komunikasi ini dapat kita temukan di antaranya di pinggir jalan
atau tempat-tempat tertentu yang kita kenal dengan istilah rambu-rambu. Berikut ini
contoh simbol/rambu.
III. PENGHALANG DALAM BERKOMUNIKASI DAN BAGAIMANA TINDAKAN
ANDA SEBAGAI TENAGA TEKNIS KEFARMASIAN
1. Hambatan internal
adalah hambatan yang berasal dari dalam diri individu yang tekait kondisi fisik
dan fisikologis. Contohnya, jika seorang mengalami gangguan pendengaran maka ia
akan mengalami hambatan komunikasi. Demikian pula seseorang yang sedang
tertekan (depresi) tidak akan dapat melakukan komunikasi dengan baik.
2. Hambatan eksternal
adalah hambatan yang berasal dari luar individu yang terkait dengan lingkungan
fisik dan lingkungan sosial budaya.
Contohnya, suara gaduh dari lingkungan sekitar dapat menyebabkan
komunikasi tidak berjalan lancar. Contoh lainnya, perbedaan latar belakang sosial
budaya dapat menyebabkan salah pengertian.
IV. JENIS KOMUNIKASI YANG HARUS DITERIMA OLEH SEORANG FARMASIS .
1. KOMUNIKASI VERBAL
Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan kefarmasian di
rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan
dengan tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu.
Katakata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau
perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi
dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji
minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu
memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.:
a. Jelas dan ringkas
Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin
sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil kemungkinan terjadinya
kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan
mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat
penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari
pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa,
mengapa, bagaimana, kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan
menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana.
Contoh: “Katakan pada saya dimana rasa nyeri anda” lebih baik daripada
“saya ingin anda menguraikan kepada saya bagian yang anda rasakan tidak
enak.”
b. Perbendaharaan Kata
Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu
menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan
dalam keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat,
klien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau
mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang
dimengerti klien. Daripada mengatakan “Duduk, sementara saya akan
mengauskultasi paru-paru anda” akan lebih baik jika dikatakan “Duduklah
sementara saya mendengarkan paru-paru Anda”.Jelas dan ringkas
c. Arti denotatif dan konotatif
Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang
digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide
yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu
kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis
untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika
berkomunikasi dengan klien, perawat harus hati-hati memilih kata-kata
sehingga tidak mudah untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting
ketika menjelaskan tujuan terapi, terapi dan kondisi klien.
d. Selaan dan kesempatan berbicara
Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan
komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada
pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat
sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak
berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu
digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada
pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat
dapat dilakukan denganmemikirkan apa yang akan dikatakan sebelum
mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang
mungkin menunjukkan. Perawat juga bisa menanyakan kepada pendengar
apakah ia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan perlu untuk
diulang.
e. Waktu dan relevansi
Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang
menangis kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi.
Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak
tepat dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu,
perawat harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitu
pula komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan
berkaitan dengan minat.
f. Humor
Dugan (1989) mengatakan bahwa tertawa membantu pengurangi
ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan
keberhasilan farmasi dalam memberikan dukungan emosional terhadap
klien. Sullivan dan Deane (1988) melaporkan bahwa humor merangsang
produksi catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat,
meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas,
memfasilitasi relaksasi pernapasan dan menggunakan humor untuk
menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak mampuannya
untuk berkomunikasi dengan klien.
V. KOMUNIKASI NON-VERBAL
Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan katakata.
Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada
orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang disampaikan
klien mulai dari saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat
non-verbal menambah arti terhadap pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu
kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan keperawatan.
a. Metakomunikasi
Komunikasi tidak hanya tergantung pada pesan tetapi juga pada hubungan
antara pembicara dengan lawan bicaranya. Metakomunikasi adalah suatu
komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang
berbicara, yaitu pesan di dalam pesan yang menyampaikan sikap dan
perasaan pengirim terhadap pendengar. Contoh: tersenyum ketika sedang
marah
b. Penampilan Personal
Penampilan seseorang merupakan salah satu hal pertama yang diperhatikan
selama komunikasi interpersonal. Kesan pertama timbul dalam 20 detik
sampai 4 menit pertama. Delapan puluh empat persen dari kesan terhadap
seseOrang berdasarkan penampilannya (Lalli Ascosi, 1990 dalam Potter
dan Perry, 1993). Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan
kepribadian, status sosial, pekrjaan, agama, budaya dan konsep diri.
Perawat yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan citra
diri dan profesional yang positif. Penampilan fisik perawat mempengaruhi
persepsi klien terhadap pelayanan/asuhan keperawatan yang diterima,
karena tiap klien mempunyai citra bagaimana seharusnya penampilan
seorang perawat. Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan
kemampuan perawat, tetapi mungkin akan lebih sulit bagi perawat untuk
membina rasa percaya terhadap klien jika perawat tidak memenuhi citra
klien.
c. Intonasi (Nada Suara)
Nada suara pembicara mempunyai dampak yang besar terhadap arti pesan
yang dikirimkan, karena emosi seseorang dapat secara langsung
mempengaruhi nada suaranya. Perawat harus menyadari emosinya ketika
sedang berinteraksi dengan klien, karena maksud untuk menyamakan rsa
tertarik yang tulus terhadap klien dapat terhalangi oleh nada suara perawat.
d. Ekspresi wajah
Hasil suatu penelitian menunjukkan enam keadaan emosi utama yang
tampak melalui ekspresi wajah: terkejut, takut, marah, jijik, bahagia dan
sedih. Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar penting dalam
menentukan pendapat interpesonal. Kontak mata sangat penting dalam
komunikasi interpersonal. Orang yang mempertahankan kontak mata
selama pembicaraan diekspresikan sebagai orang yang dapat dipercaya, dan
memungkinkan untuk menjadi pengamat yang baik. Perawat sebaiknya
tidak memandang ke bawah ketika sedang berbicara dengan klien, oleh
karena itu ketika berbicara sebaiknya duduk sehingga perawat tidak tampak
dominan jika kontak mata dengan klien dilakukan dalam keadaan sejajar.
e. Sikap tubuh dan langkah
Sikap tubuh dan langkah menggambarkan sikap; emos, konsep diri dan
keadaan fisik. Perawat dapat mengumpilkan informasi yang bermanfaat
dengan mengamati sikap tubuh dan langkah klien. Langkah dapat
dipengaruhi oleh faktor fisik seperti rasa sakit, obat, atau fraktur.
f. Sentuhan
Kasih sayang, dudkungan emosional, dan perhatian disampaikan melalui
sentuhan. Sentuhan merupakan bagian yang penting dalam hubungan
perawat-klien, namun harus mnemperhatikan norma sosial. Ketika
membrikan asuhan keperawatan, perawat menyentuh klien, seperti ketika
memandikan, melakukan pemeriksaan fisik, atau membantu memakaikan
pakaian. Perlu disadari bahwa keadaan sakit membuat klien tergantung
kepada perawat untuk melakukan kontak interpersonal sehingga sulit untuk
menghindarkan sentuhan. Bradley & Edinburg (1982) dan Wilson & Kneisl
(1992) menyatakan bahwa walaupun sentuhan banyak bermanfaat ketika
membantu klien, tetapi perlu diperhatikan apakah penggunaan sentuhan
dapat dimengerti dan diterima oleh klien, sehingga harus dilakukan dengan
kepekaan dan hati-hati. Komunikasi terapeutik sebagai tanggung jawab
perawat, yakni perawat harus memiliki tanggung jawab moral yang tinggi
yang didasari atas sikap peduli dan penuh kasih sayang, serta perasaan
ingin membantu orang lain untuk tumbuh dan berkembang. Addalati
(1983), Bucaille (1979) dan Amsyari (1995) menambahkan bahwa sebagai
seorang beragama, perawat tidak dapat bersikap tidak perduli terhadap
ornag lain adalah seseorang pendosa yang mementingkan dirinya sendiri.
Selanjutnya Pasquali & Arnold (1989) dan Watson (1979) menyatakan
bahwa
BAB II
FARMASI KLINIK
Amstrong dkk. 2005. The contribution of community pharmacy to improving the public’s
helath. Report 3 : An overview of evidence-base from 1990-2002 and recommendations for
action.
Aslam M dkk. 2003. Clinical Pharmacy : Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan
Pilihan Pasien
Ikawati Z. 2010. Pelayanan Farmasi Kinik pada Era Genomik: Sebuah Tantangan danPeluang.
Disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar
BAB III
PELAYANAN INFORMASI OBAT
I. Definisi PIO
Pelayanan Informasi Obat (PIO) didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, serta
terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan
(Anonim, 2006). Unit ini dituntut untuk dapat menjadi sumber terpercaya bagi para
pengelola dan pengguna obat, sehingga mereka dapat mengambil keputusan dengan
lebih mantap (Juliantini dan Widayanti, 1996).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit,
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker
untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias, dan terkini kepada dokter,
apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan, pengkajian,
pengevaluasian, pengindeksan, pengorganisasian, penyimpanan, peringkasan,
pendistribusian, penyebaran serta penyampaian informasi tentang obat dalam berbagai
bentuk dan berbagai metode kepada pengguna nyata dan yang mungkin (Siregar, 2004).
Adapun ciri-ciri pelayanan informasi obat meliputi :
a. Mandiri (bebas dari segala bentuik keterikatan).
b. Objektif (sesuai dengan kebutuhan).
c. Seimbang.
d. Ilmiah.
e. Berorientasi kepada pasien dan pro aktif.
II. Sumber-Sumber Informasi
Sumber Daya
Tenaga kesehatan : dokter, apoteker, dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan lain.
Pustaka : terdiri dari majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan
Farmakope.
Sarana: fasilitas ruangan, peralatan, komputer, internet, dan perpustakaan.
Prasarana: industri farmasi, Badan POM, Pusat informasi obat, Pendidikan tinggi
farmasi, Organisasi profesi (dokter, apoteker, dan lain-lain).
III. Metode-Metode PIO
Adapun metode-metode dari PIO adalah seperti berikut:
a. PIO dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call disesuaikan dengan
kondisi RS.
b. PIO dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar jam kerja dilayani
oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas jaga.
c. PIO dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada PIO diluar jam kerja.
d. Tidak ada petugas khusus, PIO dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi,
baik pada jam kerja maupun di luar jam kerja.
e. Tidak ada apoteker khusus, PIO dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi
di jam kerja dan tidak ada PIO di luar jam kerja.
IV. Tujuan PIO
Adapun tujuan pelayanan informasi obat yaitu:
a. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional, berorientasi pada
pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
b. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan,
dan pihak lain.
c. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan obat terutama bagi PFT/KFT (Panitia/Komite Farmasi dan Terapi)
V. Fungsi PIO
Adapun fungsi pelayanan informasi obat yaitu:
a. Memberikan respon terhadap pertanyaan tentang obat.
b. Memberikan masukan terhadap komite farmasi dan terapi di RS.
c. Drug utilization review (DUR)/drug utilization review evaluation (DUE).
d. Pelaporan efek samping obat (ESO).
e. Konseling pasien.
f. Pembuatan buletin / newsletter.
g. Edukasi
h. Riset dan penelitian
VI. Sasaran PIO
Sasaran informasi obat yaitu:
a. Pasien dan atau keluarga pasien.
b. Tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, asisten
apoteker, dan lain-lain.
c. Pihak lain seperti manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan sasaran informasi obat adalah orang, lembaga, kelompok orang,
kepanitiaan, penerima informasi obat, seperti yang tertera dibawah ini:
a. Dokter
Dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pilihan obat serta
regimennya untuk seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari
apoteker agar ia dapat membuat keputusan yang rasional. Informasi obat
diberikan langsung oleh apoteker, menjawab pertanyaan dokter melalui telepon
atau sewaktu apoteker menyertai tim medis dalam kunjungan ke ruang
perawatan pasiean atau dalam konferensi staf medis (Siregar, 2004).
b. Perawat
Dalam tahap penyampaian atau distribusi obat kepada PRT dalam rangkaian
proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi obat tentang berbagai
aspek oabt pasien, terutama tentang pemberian obat. Perawat adalah profesional
kesehatan yaang paling banyak berhubungan dengan pasien karena itu,
perawatlah yang pada umumnya yang pertama mengamati reaksi obat
merugikan atau mendengar keluhan mereka. Apoteker adalah yang paling siap,
berfungsi sebai sumber informasi bagi perawat. Informasi yang dibutuhkan
perawat pada umumnya harus praktis, seera, dan ringkas, misalnya frekuensi
pemberian dosis, metode pemberian obat, efek samping yang mungkin,
penyimpanan obat, inkompatibilitas campuran sediaan intravena, dll (Siregar,
2004).
c. Pasien
Informasi yang dibutuhkan pasien, pada umumnya adalah informasi praktis dan
kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan profesional
kesehatan. Informasi obat untuk PRT diberikan apoteker sewaktu menyertai
kunjungan tim medik ke ruang pasien; sedangkan untuk pasien rawat jalan,
informasi diberikan sewaktu penyerahan obatnya. Informasi obat untuk pasien
pada umumya mencangkup cara penggunaan obat, jangka waktu penggunaan,
pengaruh makanan pada obat, penggunaan obat bebas dikaitkan dengan resep
obat, dan sebagainya (Siregar, 2004).
d. Apoteker
Setiap apoteker suatu rumah sakit masing-msaing mempunyai tugas atau fungsi
tertentu, sesuai dengan pendalaman pengetahuan pada bidang tertentu. Apoteker
yang langsung berinteraksi dengan profesional kesehatan dan pasien, seing
menerima pertanyaan mengenai informasi obat dan pertanyaan yang tidak dapat
dijawabnya dengan segera, diajukan kepada sejawat apoteker yang lebih
mendalami pengetahuan informasi obat. Apoteker apotek dapat meminta
bantuan informasi obat dari sejawat di rumah sakit (Siregar, 2004).
e. Kelompok, Tim, Kepanitiaan, dan Peneliti
Selain kepada perorangan, apoteker juga memberikan informasi obat kepada
kelompok profesional kesehatan, misalnya mahasiswa, masyarakat, peneliti,
dan kpanitiaan yang berhubungan dengan obat. Kepanitiaan di rumah sakit yang
memerlukan informasi obat antara lain, panitia farmasi dan terapi, panitia
evaluasi penggunaan obat, panitia sistem pemantauan kesalahan obat, panitia
sistem pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan, tim pengkaji
penggunaan oabt retrospektif, tim program pendidikan “in-service” dan
sebagainya (Siregar, 2004).
VII. Kategori PIO
Lingkup jenis pelayanan informasi obat disuatu rumah sakit, antara lain seperti tertera
dibawah ini:
a. Pelayana Informasi Obat untuk Menjawab Pertanyaan
Penyedia informasi obat berdasarkan permintaan, biasanya merupakan salah
satu pelayanan yang pertama dipertimbangkan. Pelayanan seperti ini
memungkinkan penanya dapat memperoleh informasi khusus yang dibutuhkan
tepat pada waktunya. Sumber informasi dapat dipusatkan dalam suatu sentra
informasi obat di instalasi farmasi rumah sakit.
b. Pelayana Informasi Obat untuk Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi penggunaaan obat adalah suatu program jaminan mutu pengguna obat
di suatu rumah sakit. Suatu program evaluasi penggunaan obat memerlukan
standar atau kriteria penggunaan obat yang digunakan sebagai acuan dalam
mengevaluasi ketepatan atau ketidak tepatan penggunaan obat. Oleh karena itu,
biasanya apoteker informasi obat memainkan peranan penting dalam
pengenbangan standar atau criteria penggunaan obat.
c. Pelayanan Informasi Obat dalam Studi Obat Investigasi
Obat investigasi adalah obat yang dipertimbangkan untuk dipasarkan secara
komersial, tetapi belum disetujui oleh BPOM untuk digunakan pada manusia.
Berbagai pendekatan untuk mengadakan pelayanan ini bergatung pada berbagai
sumber rumah sakit. Tanggung jawab untuk mengkoordinasikan penambahan,
pengembangan, dan penyebaran informasi yang tepat untuk obat investigasi
terletak pada suatu pelayanan informasi obat.
d. Pelayanan Informasi Obat untuk Mendukung Kegiatan Panitia Farmasi dan
Terapi.
Partisipasi aktif dalam panitia ini merupakan peranan instalasi farmasi rumah
sakit yang vital dan berpengaruh dalam proses penggunaan obat dalam rumah
sakit. Hal ini dapat disiapkan dengan memadai oleh suatu pelayanan informasi
obat.
e. Pelayanan Informasi Obat dalam bentuk publikasi
Upaya mengkomunikasikan informasi tentang kebijakan penggunaan obat dan
perkembangan mutakhir dalam pengobatan yang mempengaruhi seleksi obat
adalah suatu komponen penting dari pelayanan informasi obat. Untuk mencapai
sasaran itu, bulletin farmasi atau kartu informasi yang berfokus kepada suatu
golongan obat, dapat dipublikasikan dan disebarkan kepada professional
kesehatan
Ruang lingkup jenis pelayanan informasi di suatu rumah sakit, antara lain:
a. Pelayanan informasi obat untuk menjawab pertanyaan
b. Pelayanan informasi obat untuk mendukung kegiatan panitia farmasi dan terapi.
c. Pelayanan informasi obat dalam bentuk publikasi.
d. Pelayanan informasi obat untuk edukasi.
e. Pelayanan informasi obat untuk evaluasi penggunaan obat.
f. Pelayanan informasi obat dalam studi obat investigasi.
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan No. Hk. 00. Dj. Ii. 924.
2006. Tentang Pembentukan Tim Penyusun Pedoman Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas.
:Jakarta
Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI. 2006. Pedoman Pelayanan
Informasi Obat Di Rumah Sakit : Jakarta
Juliantini, E. dan Widayanti, S. 1996. Pelayanan Informasi Obat Rumah Sakit Umum Daerah
Dr Soetomo. Prosiding Kongres Ilmiah XI ISFI, 3-6 juli 1996: Jawa Tengah
Siregar, Charles. 2004. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. ECG: Jakarta
BAB IV
KONSELING DAN EDUKASI PASIEN
I. KONSELING
a. Pengertian Konseling
Menurut KEPMENKES RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di apotik, konseling adalah suatu proses
komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk
mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan
pengobatan. Melalui konseling, apoteker dapat mengetahui kebutuhan pasien
saat ini dan yang akan datang. Apoteker dapat memberikan informasi kepada
pasien apa yang perlu diketahui oleh pasien, keterampilan apa yang harus
dikembangkan dalam diri pasien, dan masalah yang perlu di atasi. Selain itu,
apoteker diharapkan dapat menentukan perilaku dan sikap pasien yang perlu
diperbaiki.
Syarat agar pelaksanaan konseling bisa berjalan dengan baik adalah
tersedianya ruangan khusus untuk melakukan konseling, efektivitas pemberian
kenseling, informasi yang disampaikan kepada pasien harus lengkap dan jelas,
yaitu cara pakai obat, efek samping obat, indikasi, kontraindikasi, dosis,
interaksi obat, mekanisme aksi, penggunaan ibu hamil dan menyusui. Untuk
mengatasi kendala-kendala yang terjadi diperlukan suatu perubahan dari
apoteker itu sendiri, perubahan masing-masing apoteker sangat diperlukan agar
apoteker dapat melaksanakan layanan konseling kepada pasien dengan baik.
b. Manfaat Konseling
1. Bagi pasien
Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan
Mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya
Membantu dalam merawat dan perawatan kesehatan sendiri
Membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu
Menurunkan kesalahan penggunaan obat
Meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi
Menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan
Meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya kesehatan
2. Bagi Farmasi
Menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayan
kesehatan
Mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai
tanggung jawab profesi Farmasi
Menghindari farmasi dari tuntutan karena kesalaha penggunaan
obat (Medication Error)
Suatu pelayanan tambahan untuk menarik pelanggan sehingga
menjadi upaya dalam memasarkan jasa pelayanan
c. Tujuan dari Konseling pada Pelayanan Farmasi
1. Membina hubungan / komunimasi farmasis dengan pasien dan
membangun kepercayaan pasien kepada farmasi
2. Memberikan informasi yang sesuai kondisi dan masalah pasien
3. membantu pasien menggunakan obat sesuai tujuan terapi dengan
memberikan cara/metode yang memudahkan pasien menggunakan obat
dengan benar
d. sasaran Konseling
Konseling pasien rawat jalan
Konseling pasien rawat inap
Adapun enam komponen konseling minimal yaitu :
Nama obat, jumlahnya dan indikasinya
Aturan pakai, cara dan lama pemakaian
Interaksi obat
Efek samping obat
Pengaruh terhadap pola hidup, pola makan
Cara penyimpanan
II. EDUKASI
a. Pengertian edukasi
Edukasi Kesehatan adalah kegiatan upaya meningkatkan pengetahuan
kesehatan perorangan paling sedikit mengenai pengelolaan faktor risiko
penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat dalam upaya meningkatkan status
kesehatan peserta, mencegah timbulnya kembali penyakit dan memulihkan
penyakit. Menurut Ross (1998) dalam (Afiatin, 2007), pendidikan yang
berusaha mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku, lebih penting
dibandingkan hanya sekedar memberikan informasi tanpa disertai usaha
pembentukan sikap dan perubahan perilaku nyata. Haloran (1970) menyatakan
bahwa interaksi dengan tatap muka langsung antara pihak penerima pesan dan
pihak penyampai pesan merupakan intervensi dua arah yang lebih
memungkinkan untuk menghasilkan perubahan. Dengan demikian peningkatan
pengetahuan yang bertujuan untuk mengubah sikap akan lebih efektif jika
disampaikan dengan cara tatap muka langsung.
b. Tujuan
1. Agar pasien mengerti dan memahami masalah kesehatan yang ada.
2. Meningkatkan pengetahuan dan atau ketrampilan pasien dan keluarga
tentang masalah kesehatan yang dialami
3. Membantu pasien dan keluarga dalam meningkatkan kemampuan untuk
mencapai kesehatan secara optimal
4. Membantu pasien dan keluarga dalam mengambil keputusan tentang
perawatan yang harus dijalani
5. Agar pasien dan keluarga berpartisipasi dalam proses pelayanan yang
diberikan.
c. Prosedur
1) Pelaksana adalah dokter spesialis/ sub spesialis, dokter umum, perawat,
bidan, therapis, apoteker, ahli gizi, radiographer dan analis yang ditunjuk
sebagai edukator.
2) Ucapkan salam, petugas memperkenalkan diri
3) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang rencana pendidikan kesehatan
yang akan diberikan sesuai dengan hasil assessment atau identifikasi
kebutuhan pendidikan kesehatan. Informasi tersebut meliputi : materi yang
akan diberikan, tujuan diberikan pendidikan kesehatan, tempat dan
lamannya pendidikan kesehatan dilakukan.
4) Siapkan peralatan yang dibutuhkan:
Materi
Alat bantu demonstrasi (bila dibutuhkan)
Formulir pemberian informasi/ edukasi
Alat tulis
5) Lakukan pendidikan kesehatan /penyuluhan sesuai dengan materi yang
disiapkan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien
dan keluarga.
6) Lakukan pendidikan kesehatan/ penyuluhan dengan metode yang sesuai
dengan topik pendidikan kesehatan yang akan diberikan. Bila materi berupa
informasi seputar pengetahuan, pendidikan kesehatan pasien dilakukan
dengan metode presentasi dan diskusi. Bila materi berupa ketrampilan/
prosedur tindakan (seperti perawatan payudara, perawatan luka sederhana,
dll) pemberian pendidikan kesehatan dilakukan dengan metode
demonstrasi.
7) Beri kesempatan pasien dan keluarga untuk bertanya apabila ada materi
yang dianggap kurang jelas
8) Dokumentasikan tindakan pendidikan kesehatan yang sudah dilakukan
dalam lembar informasi dan edukasi.
d. Ruang lingkup pemberian informasi dan edukasi dapat dilihat dari berbagai
dimensi, antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan
atau aplikasinya, dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan.
1. Sasaran Pendidikan Kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
a) Pendidikan kesehatan individual, dengan sasaran individu
b) Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok
c) Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat
2. Tempat Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan
Menurut dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat
berlangsung di berbagai tempat. Dengan sendirinya sasarannya berbeda
pula, misalnya:
a) Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan
sasaran murid, guru
b) Pendidikan kesehatan di Rumah Sakit, dilakukan di rumah sakit
dengan sasaran pasien, keluarga pasien, pengunjung, petugas
Rumah Sakit, dan masyarakat sekitar Rumah Sakit
c) Pendidikan kesehatan di Posyandu atau Desa Binaan dengan
sasaran masyarakat sekitar
3. Tingkat Pelayanan Pendidikan Kesehatan
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat
dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention)
dari Leavel and Clark, sebagai berikut:
a) Promosi Kesehatan (Health Promotion).
Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam
peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan,
higiene perorangan, dan sebagainya.
b) Perlindungan Khusus (Specifik Protection)
Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan
khusus ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama di
negara-negara berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat
tentang pentingnya imunisasi sebagai cara perlindungan terhadap
penyakit pada orang dewasa maupun pada anak-anaknya masih
rendah.
c) Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment)
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi
penyakit-penyakit yang terjadi di dalam masyarakat. Bahkan
kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan
diobati penyakitnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat tidak
memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu
pendidikan kesehatan sangat diperlukan pada tahap ini.
d) Pembatasan Cacat (Disability Limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat
tentang kesehatan dan penyakit, seringkali mengakibatkan
masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya sampai tuntas.
Dengan kata lain mereka tidak melakukan pemeriksaan dan
pengobatan yang komplit terhadap penyakitnya. Pengobatan yang
tidak layak dan sempurna dapat mengakibatkan orang yang
bersangkutan menjadi cacat atau memiliki ketidakmampuan untuk
melakukan sesuatu. Oleh karena itu pendidikan kesehatan juga
diperlukan pada tahap ini.
e) Rehabilitasi (rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang
menjadi cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-
kadang diperlukan latihan-latihan tertentu. Oleh karena kurangnya
pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak atau segan
melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Di samping itu orang
yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu
untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak
mau menerima mereka sebagai anggota masyarakat yang normal.
Oleh sebab itu jelas pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja
untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga perlu pendidikan
kesehatan kepada masyarakat.
Rumah Sakit dalam memberikan materi dan proses edukasi pada pasien dan
keluarga minimal berupa topik sebagai berikut :
1. Penggunaan obat - obatan yang didapat pasien secara efektif &
aman, termasuk potensi efek samping obat
2. Penggunaan peralatan medis secara efektif & aman
3. Potensi interaksi antara obat yang diresepkan dengan obat lainnya,
serta makanan
4. Diet dan nutrisi
5. Manajemen nyeri dan teknik rehabilitasi
e. Komunikasi yang bersifat Edukasi (Pelayanan Promosi) :
1) Edukasi tentang obat
2) Edukasi tentang penyakit
3) Edukasi pasien tentang apa yang harus di hindari
4) Edukasi tentang apa yang harus dilakukan pasien untuk meningkatkan
kualitas hidupnya pasca dari rumah sakit
5) Edukasi tentang Gizi
Akses untuk mendapatkan materi edukasi melalui unit PKRS (Promosi
Kesehatan Rumah Sakit). Pemberian edukasi dan informasi diberikan oleh
semua petugas yang ada di Rumah Sakit baik petugas medis maupun non
medis. Edukasi dapat diberikan kepada siapa saja yang berada di lingkungan
Rumah Sakit maupun di luar Rumah Sakit, misalnya pelanggan intern (Yayasan
Badan Wakaf Rumah Sakir, petugas Rumah Sakit dan keluarga) dan pelanggan
ekstern (pasien, pengunjung, keluarga, pedagang, masyarakat).
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
6. Efek samping
Obat Efek samping Keterangan
Fenofibrate Nyeri otot, myopathi, myositis, diare,
flatulance, pankreatitis, ulser peptik,
kolelitiasis, depresi CNS, disarithmia,
pulmonari emboli, gangguan ginjal,
anemia, leukopenia.
Keluhan abdominal ringan, ruam
kulit, gatal, nyeri kepala, nyeri otot,
kejang otot, lelah, dan gangguan
Rosuvastatin tidur. Kenaikan konsentrasi
transminase. Efek samping yang
Pasien diingatkan
jarang terjadi: rhabdomiolisis dan
tentang efek
miopati.
samping yang
Anafilaksis, aneroksia, kebingungan,
mungkin terjadi.
gangguan hematopoetik, pusing,
Efek yang mungkin
gangguan lambung, kelelahan, sakit
terjadi berbeda antar
Hydrochlorothiazide kepala, hiperkalemia, hiperkolestro,
invidu, tergantung
hiperurisemi, hipotensi, metabolik
dengan respon
asidosis, nausea, pankreatitis, vertigo,
tubuh.
dan vomitting.
Batuk, hipotensi, pusing, angina
pektoris, sakit kepala, vomitting,
Metformin
vertigo, abnormalitas fungsi ginjal,
dan diare.
Gangguan saluran cerna, sakit kepala,
gejala hematologik, trombositopenia,
Glyburide agranulositosis, anemia aplastik
(jarang). Gangguan fungsi hati dan
ginjal pada pasien lanjut usia
Neutropenia, agranulosis, proteinuria,
Ramipril
glomerulusnefrosis, gagal ginjal akut.
7. Kegagalan terapi
Tidak ditemukan kegagalan terapi dalam kasus ini, sejauh follow up yang
dilakukan oleh dokter pasien terus mengalami perkembangan peningkatan profil lipid.
Kegagalan terapi dalam suatu pengobatan dapat disebabkan oleh faktor psikososial,
ketidakmampuan ekonomi, kurangnya pemahaman pasien tentang terapi yang dia
lakukan, dosis yang tidak sesuai, dan pasien menggunakan obat lain tanpa
sepengetahuan dokter. Kegagalan terapi juga dapat disebabkan oleh petugas kesehatan
yang tidak memberitahu cara penggunaan obat dengan benar.
Kasus 2
Resep
25 maret 2017
R/ Metformin 500 XLV
S 3 dd 1
R/ Glibenklamide 5 XV
S 1 dd 1
R/ Captopril 50 XLV
S 3 dd 1
R/ furosemid X
S ½-0-0
R/ BC XLV
S 3 dd 1
R/ Amlodipin 5 XV
S 1 dd 1
R/ Na-diklofenak 50 XXX
S 0-0-1
R/ Simvastatin 10 XV
S 0-0-1
Pro : Tn. SS (66 tahun)
1. Analisa
1) Anamnesa/ diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia,
ostheoartritis, dan sindrom dispepsia.
2) Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :
a. Metformin, antidiabetes golongan biguanid
b. Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonylurea
c. Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin (ACEI
d. Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretic
e. BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B
f. Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)
g. Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid
h. Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin
Kombinsai metformin dan glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain berupa
hipertensi diperbolehkan. Seperti halnya pada kasus resep nomor 2. Dosis kombinasi
kedua obat tersebut juga masih dalam batas aman. Dimana dosis maksimum keduanya
adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000 mg/hari untuk metformin. (Dipiro;
1369, 1384, 1385).
Penanganan hipertensi dalam kasus ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi,
yaitu captopril (ACE inhibitor), furosemid (loop diuretik), dan amlodipin (Pemblok
kanal kalsium).Kombinasi tersebut diperbolehkan.Dosis furosemid merupakan dosis
terendah yaitu 20 mg, dengan waktu pemberian yang tepat yaitu pada pagi
hari.Sedangkan dosis captopril merupakan dosis maksimum yaitu 150 mg/hari, dalam
dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin yang diberikan adalah dosis menengah, yaitu 5
mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu diperhatikan pasien telah cukup lanjut usianya
(66 tahun), captopril diberikan pada dosis maksimum dikombinasi dengan furosemid,
dan amlodipin, akan berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Dengan pemberian
furosemid, pasien akan mengalami diuresis, yang berarti volume darah menurun dan
menurun pula tekanan darahnya, sedangkan pemberian ACE inhibitor dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah melalui berbagai mekanisme yang terlibat
dalam pengaturan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga resiko
hipotensinya semakin meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia, ditambah
dengan kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa dipantau. (Dipiro:
233-234)
Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid dalam dosis
rendah adalah untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin, berupa udema perifer.
Amlodipin dapat menyebabkan terjadinya udema perifer, dengan pemberian furosemid,
maka aktivitas urinary meningkat, sehingga tidak terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat
osteoarthritis.Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif.Dosis
yang diberikan adalah dosis tunggal pada malam hari sebesar 50 mg.
Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi terjadinya
ulkus peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah menyatakan bahwa pasien
mengalami sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk yang disebabkan diklofenak pada
saluran cerna tidak sekuat aspirin, namun pemilihan obat lain yang lebih aman, perlu
dipertimbangkan, mengingat pasien telah dinyatakan mengalami sindrom dispepsia.
(Dipiro; 1131)
Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat terapi
AINS yang dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien tidak mendapat obat
untuk indikasi ini.Tak ada obat yang diberikan untuk mengobati sindrom dispepsianya.
Simvastatin dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi
hiperlipidemia.Penggunaan simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan.
Pemberian vitamin B kompleks, yang mengandung asam nikotinat, akan membentu
menghambat pembentukan kolesterol dan trigliserida, sehingga akan membantu
menekan kadar lipid dalam darah. (BNF 57; 539)
Interaksi yang mungkin terjadi
a. Amlodipin (pemblok kanal kalsium) dan captopril (ACE inhibitor) yang digunakan
bersama-sama, cenderung berinteraksi menyebabkan efek hipotensif, ACE inhibitor
juga akan bekerja pada sistem kanal kalsium, meski tidak secara langsung, begitu pun
dengan furosemid.
b. Captopril berinteraksi dengan makanan, dan menyebabkan absorpsi captopril menurun.
(DIF)
BNF. 2009. British National Formulary, Edisi 57, British Medical Association Royal
Pharmacetical of Great Britain, England.
Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill, New York.
Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care, McGraw-Hill, New York.
Cipolle, R., Strand, L.M., Morley, P.C., 1992, Pharmaceutical Care An Introduction Current
Concept, McGraw-Hill, New York.
Hepler, CD, Strand, LM 1990, ‘Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care’,
American Journal of Hospital Pharmacy, 47, pp.533-543.
PCNE. 2006. Classification for Drug Related Problems V5.01. Europe: Pharmaceutical Care
Network Europe Foundation.
Rovers, J.P., Currie, J.D., Hagel, H.P., McDonough, R.P., Sobotka, J.L. Eds., 2003, A Practical
Guide to Pharmaceutical Care,2nd Ed., American Pharmaceutical Association,
Washington, D.C.
Strand, MD, Morley, PC, Cipolle, RJ, Ramsey, R, Lamsam, GD 1990, ‘Drug-Related
Problems: Their Structure and function’, DICP the Annals of Pharmacotherapy, vol. 24,
pp. 1094-1096.
VI.