Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit arteri koroner merupakan suatu hasil akhir dari akumulasi
plak ateromatosa dalam dinding-dinding arteri yang memasok darah ke otot
jantung (miokardium) yang dapat menyebabkan serangan jantung (1).
Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010
untuk wilayah Asia Tenggara ditemukan 3,5 juta kematian penyakit
kardiovaskular, 52% diantaranya disebabkan oleh penyakit infark miokard dan
7% akibat hipertensi (2). Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2015 menyatakan bahwa prevalensi arteri koroner berdasarkan pernah
didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,5%, dan berdasarkan diagnosis
(3)
dokter atau gejala sebesar 1,5% . Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah Penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit kardiovaskuler, stroke,
diabetes melitus dan penyakit kronik lainnya merupakan 63 persen penyebab
kematian di seluruh dunia dan menempati urutan ke 4 terbesar dari seluruh
(2)
PTM yang dilaporkan . Hal tersebut menjadi peringatan besar bagi
masyarakat terhadap PTM yang dapat menjadi beban kesehatan utama (4).
Penyakit jantung koroner dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu faktor
yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia, riwayat keluarga, jenis kelamin,
dan faktor yang dapat dimodifikasi seperti kolesterol, hipertensi, diabetes
melitus, obesitas, kurang aktivitas fisik, dan stres (5).
Stres adalah sebuah kondisi seseorang yang mengalami tuntutan emosi
berlebihan dan atau waktu yang membuatnya sulit mengatur secara efektif
semua wilayah kehidupan. Stres merupakan faktor risiko yang juga harus
diperhatikan untuk penderita PAK. Penderita arteri koroner memiliki tingkat
stres dan kecemasan tinggi, yang berkaitan dengan gejala klinis yang timbul
seperti nyeri dada yang tiba-tiba muncul atau berlangsung lama maupun
pengobatan dan kontrol rutin yang harus dijalani penderita. Selain itu, risiko
komplikasi penyakit yang dapat dialami penderita juga dapat meningkatkan

1
2

(6)
stres . Stres yang meningkat ini dapat mengakibatkan terjadinya pelepasan
hormon katekolamin dan peningkatan hormon adrenalin di dalam sistem
kardiovaskuler, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah yang
menyebabkan aliran darah dan oksigen ke otot jantung (miokardium)
menurun. Saat pasokan ke otot jantung berkurang, terjadi ketidakseimbangan
antara pasokan aliran darah dan oksigen. Apabila terjadi secara terus menerus,
maka makin besar persentase penyempitan pembuluh darah koroner atau otot
jantung mengalami iskemik, sehingga bisa menimbulkan reaksi berupa nyeri
dada (angina pektoris) (7).
Angina pektoris merupakan nyeri dada kardiak yang disebabkan oleh
insufisiensi pasokan oksigen miokardium distal dan daerah lesi yang akhirnya
menyebabkan penyakit arteri koroner. Terkadang pasien tidak bisa mengetahui
atau mengukur intensitas nyeri dada yang dirasakannya. Untuk dapat
mengukur intensitas nyeri, salah satu cara yang paling banyak digunakan
adalah dengan menggunakan skala linier yang diukur secara tingkatan gradasi
tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien dengan menggunakan
angka untuk menggambarkan tingkatan nyeri atau yang disebut dengan
Numeric Rating Scale (8).
Tingginya insidensi stres di Indonesia juga merupakan alasan mengapa
stres harus diprioritaskan penanganannya sebab pada tahun 2008 tercatat
sekitar 10% dari total penduduk Indonesia mengalami gangguan mental atau
(3)
stres . Penelitian yang dilakukan Putu Sudayasa, Sjarif Subijakto, dan Wa
Ode Asfiyai Sahrul menghasilkan bahwa orang yang mengalami stres berisiko
terkena penyakit jantung koroner 6,250 kali lebih besar dibandingkan dengan
orang yang tidak mengalami stres. Penelitian yang dilakukan di Nepal oleh
Vaidya, Abhinav juga mengemukakan bahwa PAK lebih banyak ditemukan
pada seseorang yang selalu stres dalam hidupnya dibandingkan dengan orang
yang jarang mengalami stres, dengan odds ratio = 4,93. Salah satu indikator
tervalidasi yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat stresor psikososial
(9)
yang dapat digunakan adalah Questioner Holmes and Rahe Scale .
Penelitian serupa dilakukan oleh Albertus Bayu K dengan judul “Hubungan
3

Intensitas Nyeri Dada Dengan Depresi Pada Pasien Infark Miokard Di


Poliklinik Jantung RSUD Dr.Moewardi Surakarta” didapatkan kesimpulan
yakni terdapat hubungan positif yang secara statistik signifikan antara
intensitas nyeri dada dengan depresi pada pasien infark miokard. Pasien infark
miokard dengan depresi mempunyai intensitas nyeri dada yang lebih tinggi
dibanding dengan pasien infark miokard yang tanpa depresi. Namun, selain
depresi, masih banyak gangguan psikologis lainnya yang dapat mempengaruhi
seperti contohnya kecemasan ataupun stres (10).
Berdasarkan uraian singkat di atas, hal itulah yang menjadikan alasan
peneliti tertarik dan ingin mencoba melakukan penelitian dengan judul
“Hubungan tingkat stres dengan intensitas nyeri dada pada pasien penyakit
arteri koroner di Poliklinik Jantung RS Bhakti Asih Brebes”.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “Adakah hubungan antara intensitas nyeri dada dengan
stres pada pasien penyakit arteri koroner di Poliklinik Jantung RS Bhakti
Asih Brebes?”

1.3 Tujuan penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan intensitas
nyeri dada dengan stres pada pasien penyakit arteri koroner di
Poliklinik Jantung RS Bhakti Asih Brebes”.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tingkat stres pada pasien penyakit arteri koroner
di RS Bhakti Asih Brebes.
2. Untuk mengetahui intensitas nyeri dada pada pasien penyakit arteri
koroner di RS Bhakti Asih Brebes.
3. Untuk menganalisis hubungan antara tingkat stres dengan
4

intensitas nyeri dada pada pasien penyakit arteri koroner di RS


Bhakti Asih Brebes.

1.4 Manfaat penelitian


1.4.1 Manfaat untuk ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan mengenai
ada tidaknya hubungan tingkat stres dengan intensitas nyeri dada pada
pasien penyakit arteri koroner.
1.4.2 Manfaat untuk pelayanan kesehatan
Manfaat di bidang pelayanan kesehatan adalah dapat
digunakannya sebagai sumber informasi dalam upaya mengenali tingkat
stres dengan intensitas nyeri dada pada pasien penyakit arteri koroner.
1.4.3 Manfaat untuk masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh masyarakat
sebagai informasi agar lebih memahami hubungan antara intensitas
nyeri dada dengan stres, sehingga masyarakat dapat mencegah nyeri
dada agar tidak berkembang lebih buruk dan lebih memahami cara
hidup sehat.
1.4.4 Manfaat untuk peneliti lain
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan
penelitian-penelitian lain untuk mengembangkan pengetahuan
mengenai hubungan intensitas nyeri dada dengan stres.

1.5 Orisinalitas penelitian


Tabel 1. Orisinalitas Penelitian
Peneliti Judul Metode Hasil
Albertus Bayu Hubungan cross Hasil penelitian diperoleh
K (2011) Intensitas Nyeri sectional total 30 sampel terdiri atas
Dada Dengan 22 pasien infark miokard
Depresi Pada yang mengalami nyeri
5

Pasien Infark dada dengan depresi dan 8


Miokard Di pasien infark miokard yang
Poliklinik mengalami nyeri dada
Jantung RSUD tanpa depresi. Berdasarkan
Dr. Moewardi analisis statisitik
Surakarta didapatkan hubungan
antara intensitas nyeri dada
dengan depresi pada pasien
infark miokard
menghasilkan nilai
signifikansi (p = 0,002)
dan didapatkan nilai
koefisien kontingensi
0,540 (54%).
Putu Sudayasa, Analisis Faktor case control Hasil penelitian diperoleh
Sjarif Risiko Merokok, 49 responden yang
Subijakto, Wa Stres, dan menderita PJK terdapat 42
Ode Asfiyai Riwayat (85,7%) responden dengan
Sahrul (2014) Keluarga Yang stres dan 7 (14,3%)
Berhubungan responden tidak
Dengan mengalami stres.
Kejadian PJK
6

Tri Ardianti Hubungan cross Hasil penelitian diperoleh


Khasanah Tingkat Stres sectional pasien hipertensi rawat
(2013) dan Asupan jalan RSUD Dr. Moewardi
Natrium dengan Surakarta mengalami
Tekanan Darah tingkat stres ringan sebesar
pada Pasien 50%, stres sedang sebesar
Hipertensi 40,6%, dan stres berat
Rawat Jalan sebesar 9,4%.
RSUD Dr.
Moewardi
Surakarta
Ashraf Eljedi Risk Factors of Case control Sebagian besar kasus
dan Mohammed Coronary Artery adalah laki-laki (72,9%), ≥
Mushtaha Disease in 50 tahun (70%) dan tinggal
(2014) Palestinians di kampung pengungsian
Patients (57,9%). Faktor risiko
Undergoing yang paling umum adalah
Coronary ketidakaktifan fisik (OR
Angiography 3,96, P = 0,002), hipertensi
(OR 2,73, P <0,001),
diabetes (OR 2,21, P =
0,006), rasio LDL / HDL
≥3 (OR 3,76, P < 0,001),
merokok
(OR 1,96, P = 0,031),
riwayat keluarga positif
(OR 2,12, P = 0,012),
multigravida (OR 10,5, P =
0,034) dan tinggal di
kampung pengungsian
(OR 1,92, P = 0,023).
7

Penyakit arteri koroner


tidak berkorelasi dengan
usia, indeks massa tubuh,
pengangguran dan
pendapatan bulanan.

Pada penelitian ini yang hendak dikaji adalah hubungan antara tingkat
stres dengan intensitas nyeri dada pada pasien penyakit arteri koroner di RS
Bhakti Asih Brebes. Desain penelitian yang hendak digunakan adalah desain
cross sectional, sedangkan yang membedakan dengan penelitian terdahulu
adalah :

a. Judul penelitian ini dengan penelitian terdahulu. Judul penelitian ini


adalah hubungan intensitas nyeri dada dengan tingkat stres pada pasien
penyakit arteri koroner di RS Bhakti Asih Brebes.
b. Variabel yang diteliti berbeda dengan penelitian terdahulu. Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah intensitas nyeri dada pada pasien
penyakit arteri koroner, sedangkan variabel terikatnya adalah tingkat
stres pada pasien penyakit arteri koroner.
c. Metode yang diteliti berbeda dengan penelitian terdahulu. Pada metode
penelitian ini menggunakan analitik observasional dengan desain cross
sectional.
d. Tempat penelitian berbeda dengan penelitian terdahulu. Penelitian ini
dilakukan di Rumah Sakit Bhakti Asih di Kabupaten Brebes.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Nyeri Dada
2.1.1.1 Definisi
Nyeri dada merupakan salah satu keluhan terbanyak bagi setiap
orang untuk segera mendapatkan pelayanan kesehatan baik di layanan
primer maupun sekunder. Sebagian orang dewasa merasa takut karena
bagi mereka nyeri dada sering dikaitkan dengan penyakit jantung yang
berat, walaupun bisa juga dikarenakan penyakit lain. Diagnosa akurat
didapatkan dari anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik yang cermat.
Pada anamnesis perlu ditanyakan bagaimana karakteristik nyeri,
meliputi lokasi, durasi, radiasi, kualitas serta faktor pencetus dan gejala
penyerta yang dapat menimbulkan nyeri dada (11).
Nyeri dada yang paling banyak dikeluhkan adalah angina
pektoris yang merupakan gejala penyakit jantung koroner yang bersifat
progresif dan bisa mengakibatkan kematian. Jenis nyeri dada ini harus
memerlukan pemeriksaan yang lebih lanjut dan penanganan yang lebih.
Untuk itu, agar diagnosa tidak keliru dengan jenis nyeri dada yang
lainnya, maka perlu tahu terlebih dahulu etiologi dari nyeri dada (11).
2.1.1.2 Etiologi
Etiologi nyeri dada dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Nyeri dada pleuritik
Nyeri dada pleuritik biasa ditemukan di lokasi dada posterior
atau lateral. Nyeri dada jenis ini bersifat tajam dan seperti ditusuk.
Nyeri dada akan bertambah nyeri apabila sedang batuk atau
bernapas dalam dan akan berkurang apabila menahan napas atau
sisi dada yang sakit saat digerakan. Nyeri berasal dari dinding dada,
otot, iga, pleura parietalis, saluran napas besar, diafragma,
mediastinum dan saraf interkostalis. Nyeri dada pleuritik dapat

8
9

disebabkan oleh difusi pleura akibat infeksi paru, emboli paru,


keganasan atau radang subdiafragmatik contohnya pneumotoraks
(12)
.
2. Nyeri dada non pleuritik
Nyeri dada non pleuritik biasa ditemukan di lokasi sentral,
menetap atau dapat menyebar ke tempat lain. Nyeri dada tipe ini
paling sering disebabkan oleh kelainan di luar paru. Nyeri dada non
pleuritik meliputi :
a. Kardiak
Angina pektoris terjadi sebagai respon suplai oksigen yang
tidak adekuat ke sel-sel miokardium. Nyeri angina dapat
menyebar ke lengan kiri, ke punggung, ke rahang, atau ke
daerah abdomen. Angina pektoris ini akan menimbulkan rasa
tertekan atau nyeri substernal yang menjalar ke aksila dan
turun ke bawah ke bagian dalam lengan terutama lebih sering
ke lengan kiri. Rasa nyeri juga dapat menjalar ke epigastrium,
leher, rahang, lidah, gigi, mastoid dengan atau tanpa nyeri dada
substernal. Nyeri dada tipe ini disebabkan karena saraf eferen
viseral akan terangsang selama iskemik miokard, akan tetapi
korteks serebral tidak dapat menentukan apakah nyeri berasal
dari miokardium dikarenakan rangsangan saraf melalui medula
spinalis TI-T4 yang juga merupakan jalur rangsangan saraf
sensoris dari sistem somatis yang lain.
b. Pericardial
Nyeri dada pericarditis menyerupai nyeri dada pleura. Saraf
sensoris untuk nyeri ini terdapat pada pericardium parietalis
diatas diafragma. Nyeri pericardial terletak di daerah sternal
dan area preokordinal, tetapi dapat menyebar ke epigastrium,
leher, bahu dan punggung. Nyerinya seperti ditusuk dan timbul
pada saat menarik napas dalam, menelan, miring ataupun
bergerak. Yang membedakan dengan nyeri angina adalah saat
10

melakukan gerakan tertentu dan telentang maka dapat


memperberat rasa nyeri. Nyeri biasanya berkurang apabila
pasien duduk dan condong ke depan.
c. Aortal
Penderita hipertensi, trauma dinding dada, diseksi aorta
merupakan resiko tinggi untuk pendesakan aorta. Pada pasien
ini biasanya mengeluh nyeri dada hebat akut anterior menjalar
ke belakang atas. Dicurigai pula apabila ada rasa nyeri dada
depan yang hebat timbul secara tiba-tiba atau nyeri
interskapuler. Nyeri dada dapat menyerupai infark miokard
akan tetapi lebih tajam dan lebih sering turun ke bawah
tergantung lokasi dan luasnya pendesakan (12).
d. Gastrointestinal
Infeksi esophagus dapat menyebabkan nyeri esophageal.
Nyeri esophageal lokasinya ditengah, dapat menjalar ke
punggung, bahu dan kadang-kadang ke bawah ke bagian dalam
lengan sehingga dapat menyerupai nyeri angina. Refluks
esophageal ditandai dengan sensasi terbakar di retrosternal
atau nyeri di epigastrium yang menjalar sampai ke bawah
rahang. Nyeri akan muncul dan bertambah berat bila terjadi
spasme esophageal secara bersamaan. Spasme esophageal
sering pula terjadi tanpa disertai refluks esophageal. Dalam hal
ini, nyeri timbul saat sedang makan terutama untuk makanan
yang sangat pedas atau sangat dingin. Nyeri menjalar sampai
ke punggung dan berkurang setelah mengkonsumsi nitrat.
Perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut distensi gaster
kadang-kadang dapat menyebabkan nyeri substernal sehingga
mengacaukan nyeri iskemik cardinal (12).
e. Musculoskeletal
Nyeri dada musculoskeletal bersifat atipikal dan cukup
berbeda dengan nyeri dada yang mengancam nyawa seperti
11

nyeri dada karena kelainan jantung. Hal ini terjadi karena


adanya pusat nyeri pada kartilago dan otot-otot sekitar tulang
iga. Penyebab utama nyeri musculoskeletal aalah trauma local
atau radang dari rongga dada otot. Nyeri dada ini biasanya
timbul setelah aktivitas fisik, berbeda halnya dengan nyeri
angina yang terjadi sewaktu aktivitas berlangsung (13).
f. Pulmonal
Obstruksi saluran napas atas seperti pada penderita infeksi
laring kronis dapat menyebabkan nyeri dada, terutama terjadi
pada waktu menelan. Nyeri dada pada emboli paru akut hampir
sama dengan infark miokard akut dan substernal. Bila disertai
dengan infark paru sering timbul nyeri pleuritik. Pada
hipertensi pulmonal primer lebih dari 50% penderita mengeluh
nyeri precordial yang terjadi pada waktu aktivitas fisik (11).
g. Fungsional
Contoh nyeri dada fungsional adalah kecemasan.
Kecemasan dapat menyebabkan nyeri substernal atau
prekordinal, rasa tidak enak di dada, jantung berdebar-debar,
sesak, pusing, dan rasa takut mati. Gangguan emosi tanpa
adanya kelainan objektif dari organ jantung dapat
membedakan nyeri fungsional dengan nyeri iskemik miokard
(11)
.

2.1.2 Angina Pektoris


2.1.2.1 Definisi
Angina pektoris merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan
rasa tidak enak yang berulang di dada dan daerah lain disekitarnya yang
berkaitan yang disebabkan oleh iskemik miokard tetapi tidak sampai
terjadi infark. Rasa tidak enak tersebut sering kali digambarkan sebagai
rasa tertekan, rasa terjerat, rasa penuh, rasa terbakar, rasa bengkak, dan
rasa seperti sakit gigi. Rasa tidak enak tersebut biasanya berkisar 1-15
12

menit di daerah retrosternal, tetapi dapat juga menjalar ke rahang, leher,


bahu, punggung, dan lengan kiri. Walaupun jarang, namun terkadang
juga bisa menjalar ke lengan kanan. Kadang-kadang juga keluhannya
dapat berupa cepat capai, sesak napas pada saat aktivitas, yang
disebabkan oleh gangguan fungsi akibat iskemik miokard. Penyakit
angina pektoris ini juga disebut sebagai penyakit kejang jantung.
Penyakit ini timbul karena adanya penyempitan pembuluh koroner pada
jantung yang mengakibatkan jantung kehabisan tenaga pada saat kegiatan
jantung dipacu secara terus-menerus karena aktifitas fisik atau mental
(14)
.
2.1.2.2 Klasifikasi
Angina pektoris diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
1. Angina stabil (Angina Klasik, Angina of Effort)
Serangan nyeri dada khas yang timbul pada waktu beraktifitas
atau bekerja. Pada angina ini arteri koroner yang mengalami
aterosklerosis tidak dapat berdilatasi untuk meningkatkan aliran
darah saat terjadi peningkatan kebutuhan oksigen. Nyeri dada ini
berlangsung hanya beberapa menit dan menghilang dengan
nitrogliserin atau dengan menghentikan aktifitasnya/ istirahat (15).
2. Angina tak stabil
Merupakan jenis angina yang sangat berbahaya dan
membutuhkan penanganan segera. Pada angina ini penyakit arteri
koronernya telah memburuk karena terjadi peningkatan beban kerja
jantung. Adanya aterosklerosis koroner yang ditandai perkembangan
trombus yang mudah mengalami spasme dimana terjadi respon
terhadap peptida vasoaktif yang dikeluarkan trombosit yang tertarik
ke area yang mengalami kerusakan. Seiring dengan pertumbuhan
trombus, frekuensi dan keparahan serangan angina tak stabil
meningkat dan individu beresiko mengalami kerusakan jantung
irreversible.Jenis angina ini dicurigai bila penderita telah sering
berulang kali mengeluh rasa nyeri di dada walaupun sedang dalam
13

istirahat atau saat sedang kerja ringan dan berlangsung lebih lama
(15)
.
3. Angina variant (Prinzmetal)
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan pada
kenyataannya sering terjadi pada saat istirahat. Pada angina ini, suatu
arteri koroner mengalami spasme yang menyebabkan iskemik
jantung. Kadang-kadang tempat spasme berkaitan dengan
aterosklerosis. Ada kemungkinan bahwa walaupun tidak jelas
tampak lesi pada arteri, namun tetap dapat terjadi kerusakan lapisan
endotel yang samar. Hal ini menyebabkan peptida vasoaktif
memiliki akses langsung ke lapisan otot polos dan menyebabkan
kontraksi arteri koroner. Disritmia sering terjadi pada angina tipe ini
(16)
.
Untuk lebih jelasnya, inilah perbedaan dari ke 3 jenis angina
pektoris yang telah diringkas pada gambar berikut :

Gambar 1. Klasifikasi Angina Pektoris (13).


14

2.1.2.3 Etiologi
Angina pektoris biasanya berkaitan dengan penyakit jantung
koroner aterosklerotik, tapi dalam beberapa kasus dapat merupakan
kelanjutan dari stenosis aorta berat, insufisiensi atau hipertrofi
kardiomiopati tanpa atau disertai obstruksi, peningkatan kebutuhan
metabolik (seperti hipertiroidisme atau pasca pengobatan tiroid), anemia,
takikardi paroksisimal dengan frekuensi ventricular cepat, emboli, atau
spasme koroner.Penyakit jantung iskemik merupakan masalah jantung
yang paling banyak terjadi di masyarakat Barat. Sejauh ini yang paling
sering menyebabkan angina adalah obstruksi ateromatus pembuluh-
pembuluh darah koroner besar (angina aterosklerotik, angina klasik).
Walaupun demikian spasme sesaat dari pembuluh darah setempat yang
biasanya dikaitkan dengan terbentuknya atheroma yang mendasarinya,
dapat pula menyebabkan iskemik miokardium yang bermakna serta bisa
menimbulkan nyeri (angiospatik atau angina variant) (17).

2.1.2.4 Patofisiologi
Angina pektoris terjadi karena adanya ketidakadekuatan suplai
oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri
dan penyempitan lumen arteri koroner (aterosklerosis). Aterosklerosis
merupakan penyakit arteri koroner yang paling sering ditemukan.
Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen
juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat
maka arteri koroner berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan
oksigen ke otot jantung. Namun apabila arteri koroner mengalami
kekakuan atau menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat
berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen,
maka terjadi iskemik miokardium. Berkurangnya kadar oksigen
memaksa miokardium mengubah metabolisme yang bersifat aerobik
menjadi metabolisme aerobik melalui fosforilasi oksidatif dan siklus
Kreb. Pembentukan fosfat berenergi tinggi mengalami penurunan yang
15

cukup besar. Hasil akhir metabolisme anaerobik ini, yaitu asam laktat,
akan tertimbun sehingga mengurangi pH sel dan menimbulkan nyeri
dada (18).

Gambar 2. Patofisiologi Angina Pektoris (18).

2.1.2.5 Penegakan Diagnosis


1. Anamnesis
Diagnosa pada angina seringkali berdasarkan adanya keluhan
sakit dada yang mempunyai ciri khas sebagai berikut :
a. Lokasi
Pasien merasakan adanya sakit dada di daerah sternum atau
di bawah sternum, atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang
menjalar ke lengan kiri atau menjalar ke punggung, rahang,
leher, atau ke lengan kanan (18).
b. Kualitas
Kualitas sakit dada pada angina biasanya timbul pada saat
melakukan aktivitas. Sakit dada tersebut segera hilang bila
16

pasien menghentikan aktifitas atau beristirahat. Serangan angina


dapat timbul pula pada saat tidur malam (18).
c. Onset
Lamanya serangan sakit dada berlangsung sekitar 1-5 menit,
walaupun perasaan tidak enak di dada masih dapat terasa setelah
nyeri dada hilang. Bila sakit dada berlangsung lebih dari 20
menit, kemungkinan pasien tersebut mendapat serangan infark
miokard akut dan bukan hanya sekedar serangan angina pektoris
biasa (18).
d. Faktor pencetus
Biasanya pasien mengeluhkan faktor yang mencetuskan
serangan angina tersebut adalah latihan fisik, pajanan terhadap
dingin, makan-makanan berat,maupun stres emosional (18).
e. Faktor memperingan
Sakit dada tersebut segera hilang atau membaik apabila
pasien menghentikan aktifitasnya atau dengan beristirahat (18).

Gambar 3. Manifestasi Klinis Angina Pektoris (14).

Setelah semua deskriptif nyeri dada teersebut didapat,


pemeriksa dapat menggolongkan tiga kelompok angina yaitu
angina yang tipikal, angina yang atipikal atau nyeri dada yang
17

bukan karena jantung. Angina termasuk tipikal bila ada rasa


tidak enak atau nyeri di belakang sternum dengan kualitas dan
lamanya yang khas, dipicu oleh aktivitas atau stres emosional,
mereda bila istirahat atau diberi nitrat. Angina dikatakan atipikal
bila hanya memenuhi 2 dari 3 kriteria di atas. Nyeri dada
dikatakan bukan berasal dari jantung bila tidak memenuhi atau
hanya memenuhi 1 dari 3 kriteria di atas (19).
Berat ringannya nyeri pada angina pektoris dapat dinyatakan
menggunakan skala dari Canadian Cardiovascular Society
(CCS) seperti pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Skala berat ringannya Nyeri Dada (1).

Kelas CCS Deskripsi


CCS I Pada aktivitas fisik biasa tidak mencetuskan angina. Angina
akan muncul ketika melakukan aktivitas fisik yang berat
(berlari cepat, olahraga dalam waktu yang lama).
CCS II Adanya pembatasan aktivitas sedikit/aktivitas sehari-hari (naik
tangga dengan cepat, jalan naik, jalan setelah makan, stress,
pajanan yang terlalu dingin).
CCS III Benar-benar ada pembatasan aktivitas fisik karena sudah
timbul gejala angina ketika pasien baru berjalan 1 blok atau
naik tangga baru 1 tingkat.
CCS IV Tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari, tidak nyaman,
untuk melakukan aktivitas sedikit saja bisa kambuh, saat
istirahat pun bisa terjadi angina.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik biasanya normal pada penderita angina
pektoris ini. Tetapi pemeriksaan fisik yang dilakukan saat terjadi
serangan dapat memberikan infornasi tambahan yang berguna seperti
pada saat pemeriksaan jantung ditemukan adanya gallop, murmur,
18

regurgitasi mitral, split S2 atau ronkhi basah basal yang kemudian


menghilang bila nyerinya telah mereda. Tanda-tanda klinis tersebut
menguatkan diagnosa penyakit jantung koroner. Selain itu, hal-hal
lain yang bisa didapatkan dari pemeriksaan fisik adalah tanda-tanda
vital yang menggambarkan faktor resiko seperti adanya tekanan
darah yang tinggi (19).

3. Pemeriksaan penunjang
a. EKG
Gambaran EKG saat istirahat diikuti dengan latihan tes
toleransi dan bukan pada saat serangan angina masih terbilang
normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien pernah
mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang
menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi
dan angina, dapat pula menunjukkan perubahan segmen ST dan
gelombang T yang tidak khas. Pada saat serangan angina, EKG
akan menunjukkan depresi segmen ST dan gelombang T yang
dapat menjadi negatif (19).
b. Foto rontgen dada
Foto rontgen dada sering menunjukkan bentuk jantung yang
normal. Pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar
dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta. Foto x-
ray dada seharusnya dilakukan jika pasien memiliki gejala gagal
jantung (19).
c. Echocardiography
Echocardiography juga dapat digunakan untuk menilai gerak
dinding ventrikel saat istirahat atau selama ada tekanan/stres.
d. Kateterisasi jantung dan arteriografi koroner
Kateterisasi jantung dan arteriografi koroner digunakan untuk
menentukan anatomi arteri, merupakan satu-satunya teknik yang
memungkinkan untuk melihat penyempitan pada koroner.
19

e. Multigated imaging (MUGA)


Multigated imaging (MUGA) berfungsi untuk mengevaluasi
penampilan ventrikel.
f. Injeksi Ergotrate
Injeksi ergonovive (Ergotrate) berfungsi untuk pasien yang
mengalami angina saat istirahat, akan menunjukkan hiperplastik
pembuluh koroner (13).
g. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan lab tidak terlalu penting, namun untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut sering dilakukan
pemeriksaan enzim CPK, SGOT, atau LDH karena pada infark
miokard akut enzim-enzim tersebut mengalami peningkatan.
Sedangkan pada angina kadarnya masih dalam batas normal.
Pemeriksaan lipid darah seperti kolesterol, HDL, LDL,
trigliserida, dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk
mencari faktor risiko seperti hiperlipidemia atau diabetes melitus
(13)
.

2.1.3 Stres
2.1.3.1 Definisi
Ada beberapa istilah psikologis populer yang sering dikaburkan
sebagai “stres”. Pada hakikatnya, tentunya kata ini merujuk pada sebuah
kondisi seseorang yang mengalami tuntutan emosi berlebihan atau waktu
yang membuatnya sulit mengendalikan secara efektif semua wilayah
kehidupan. Keadaan ini dapat mengakibatkan munculnya cukup banyak
gejala, seperti depresi, kelelahan kronis, mudah marah, gelisah,
(20)
impotensi, dan kualitas kerja yang rendah . Hawari (dalam Yusuf,
2004) berpendapat bahwa istilah stres tidak dapat dipisahkan dari distress
dan depresi, karena satu sama lainnya saling berkaitan. Stres merupakan
reaksi fisik terhadap permasalahan kehidupan yang dialaminya dan
apabila fungsi organ tubuh sampai terganggu dinamakan distress.
20

Sedangkan depresi merupakan reaksi kejiwaan terhadap stressor yang


dialaminya.. Ardani (2007) mendefinisikan stress merupakan suatu
keadaan tertekan baik itu secara fisik maupun psikologis. Kondisi stres
terjadi karena ketidakseimbangan antara tekanan yang dihadapi individu
dan kemampuan untuk menghadapi tekanan tersebut. Individu
membutuhkan energi yang cukup untuk menghadapi situasi stres agar
tidak mengganggu kesejahteraan mereka (20).

2.1.3.2 Jenis-jenis
Jenis stres dibagi menjadi dua macam, yaitu : distress dan
eustress. Distress merupakan jenis stres negatif yang sifatnya
mengganggu individu yang mengalaminya, sedangkan eustress adalah
jenis stres yang sifatnya positif atau membangun (20).

2.1.3.3 Klasifikasi / Tingkatan


Stres dibagi menjadi 3 tingkatan. Klasifikasi tingkatan tersebut
antara lain:
a. Stres Ringan
Stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek fisiologis dari
seseorang. Stres ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang
misalnya lupa, ketiduran, dikritik, dan kemacetan. Stres ringan
biasanya hanya terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam.
Situasi ini tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi
secara terus-menerus (20).
b. Stres Sedang
Stres sedang dan stres berat dapat memicu terjadinya penyakit.
Stres sedang terjadi lebih lama, dari beberapa jam hingga beberapa
hari. Contoh dari stresor yang dapat menimbulkan stres sedang
adalah kesepakatan yang belum selesai, beban kerja yang berlebihan,
mengharapkan pekerjaan baru, dan anggota keluarga yang pergi
dalam waktu yang lama (20).
21

c. Stres Berat
Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Contoh dari stresor yang dapat menimbulkan
stres berat adalah hubungan suami istri yang tidak harmonis,
kesulitan finansial, dan penyakit fisik yang terjadi sejak lama (20).

2.1.3.4 Aspek-aspek
Pada saat seseorang mengalami stres ada dua aspek utama dari
dampak yang ditimbulkan akibat stres yang terjadi, yaitu aspek fisik dan
aspek psikologis yaitu :
a. Aspek Fisik
Aspek fisik berdampak pada menurunnya kondisi seseorang pada
saat stres sehingga orang tersebut mengalami sakit pada organ
tubuhnya, seperti sakit kepala, gangguan pencernaan (20).
b. Aspek Psikologis
Aspek psikologis terdiri dari gejala kognisi, gejala emosi, dan
gejala tingkah laku. Masing-masing gejala tersebut mempengaruhi
kondisi psikologis seseorang dan membuat kondisi psikologisnya
menjadi negatif, seperti menurunnya daya ingat, merasa sedih dan
menunda pekerjaan. Hal ini dipengaruhi oleh berat atau ringannya
stres. Berat atau ringannya stres yang dialami seseorang dapat dilihat
dari dalam dan luar diri mereka yang menjalani kegiatan mereka
sehari-hari (20).

2.1.3.5 Sudut Pandang dan Faktor yang Mempengaruhi


Setiap teori yang berbeda memiliki konsepsi atau sudut pandang
yang berbeda dalam melihat penyebab dari berbagai gangguan fisik yang
berkaitan dengan stres. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa sudut
pandang tersebut, antara lain :
22

a. Sudut pandang psikodinamik


Sudut pandang psikodinamik mendasarkan diri mereka pada
asumsi bahwa gangguan tersebut muncul sebagai akibat dari emosi
yang direpres. Hal-hal yang direpres akan menentukan organ tubuh
mana yang terkena penyakit. Sebagai contoh, apabila seseorang
sedang melepaskan kemarahannya, maka berdasarkan pandangan ini
kondisi tersebut dapat memunculkan hipertensi esensial.
b. Sudut pandang biologis
Salah satu sudut pandang biologis adalah somatic weakness
model. Model ini memiliki asumsi bahwa hubungan antara stres dan
gangguan psikofisiologis terkait dengan lemahnya organ tubuh
individu. Faktor biologis seperti misalnya genetik ataupun penyakit
yang sebelumnya pernah diderita membuat suatu organ tertentu
menjadi lebih lemah daripada organ lainnya, hingga akhirnya rentan
dan mudah mengalami kerusakan ketika individu tersebut dalam
kondisi tertekan dan tidak fit.
c. Sudut pandang kognitif dan perilaku
Sudut pandang kognitif menekankan pada bagaimana individu
mempersepsi dan bereaksi terhadap ancaman dari luar. Seluruh
persepsi individu dapat menstimulasi aktivitas sistem simpatetik dan
pengeluaran hormon stres. Munculnya emosi yang negatif seperti
perasaan cemas, kecewa dan sebagainya dapat membuat sistem ini
tidak berjalan dengan berjalan lancar dan pada suatu titik tertentu
akhirnya memunculkan penyakit. Berdasarkan penelitian diketahui
bahwa bagaimana seseorang mengatasi kemarahannya ternyata
berhubungan dengan penyakit hipertensi (Fausiah dan Widury,
2005). Menurut Greenwood III dan Greenwood Jr (dalam Yusuf,
2004) faktor faktor yang mengganggu kestabilan (stres) organisme
berasal dari dalam maupun luar. Faktor yang berasal dari dalam diri
organisme adalah :
23

1. Faktor Biologis
Stressor biologis meliputi faktor-faktor genetik, pengalaman
hidup, ritme biologis, tidur, makanan, postur tubuh, kelelahan,
penyakit.
2. Faktor Psikologis
Stressor psikologis meliputi faktor persepsi, perasaan dan
emosi, situasi, pengalaman hidup, keputusan hidup, perilaku dan
melarikan diri.
3. Faktor Lingkungan (luar individu)
Stressor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, biotik dan
sosial (21).

2.1.3.6 Patofisiologi
Sebelum membahas bagaimana patofisiologi stres, menurut
Rumiani, 2006 menyebutkan bahwa stres terjadi melalui beberapa tahap
antara lain :
1. Tahap 1
Stres pada tahap ini justru dapat membuat seseorang lebih
bersemangat, penglihatan lebih tajam, peningkatan energi, rasa puas
dan senang, muncul rasa gugup, tapi mudah diatasi.
2. Tahap 2
Stres pada tahap ini menunjukan keletihan, otot tegang, gangguan
pencernaan.
3. Tahap 3
Stres pada tahap ini menunjukkan gejala seperti tegang, sulit
tidur, badan terasa lesu dan lemas.
4. Tahap 4 dan 5
Stres pada tahap ini seseorang tidak mampu menanggapi situasi
dan konsentrasi menurun dan mengalami insomnia.
24

5. Tahap 6
Gejala yang muncul adalah detak jantung meningkat, gemetar
sehingga dapat pula mengakibatkan pingsan

STRESSOR

Pituitaria anterior : Sistem saraf simpatik :

Merangsang kelenjar Jaringan saraf yang


tiroid mempersiapkan organ
tubuh bagian dalam
untuk aktivitas berat
Pituitaria anterior :

Merangsang hati untuk Medula adrenal :


meningkatkan kadar
Pengaruhnya serupa
gula dalam darah, serta
dengan sistem dengan
meningkatkan
simpatetik
metabolisme protein
dan lemak

Norepinefrin dan
Glukokortikoid :
epinefrin :
Memberikan
Senyawa kimia yang
pengaruh terhadap
berkerabat dekat dan
metabolisme nutrisi
digolongkan dalam satu
kategori yaitu
katekolamin

Gambar 4. Hubungan antara stressor dengan kelenjar tubuh manusia (14).

Ketika stres, terjadi pelepasan hormon katekolamin dan


peningkatan hormon adrenalin didalam sistem kardiovaskuler,
sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah dan oksigen ke otot jantung (miokardium) menurun.
Saat pasokan ke otot jantung berkurang, terjadi ketidakseimbangan
antara pasokan aliran darah dan oksigen. Apabila terjadi secara terus
25

menerus, maka makin besar persentase penyempitan pembuluh darah


koroner atau otot jantung mengalami iskemik, sehingga bisa
(7)
menimbulkan reaksi berupa nyeri dada (angina pektoris) . Angina
pektoris merupakan nyeri dada kardiak yang disebabkan oleh
insufisiensi pasokan oksigen miokardium distal dan daerah lesi yang
akhirnya menyebabkan penyakit arteri koroner (14).

Gambar 5. Patofisiologi Stres Menjadi Nyeri Dada (14).

2.1.3.7 Gambaran Klinis


Individu yang mengalami stres memiliki beberapa gejala atau
gambaran yang dapat diamati secara subjektif maupun objektif. Hardjana
(dalam Sukoco, 2014) menjelaskan bahwa individu yang mengalami stres
memiliki gejala sebagai berikut :
1. Gejala fisik
Gejala stress yang berkaitan dengan kondisi dan fungsi fisik atau
tubuh dari seseorang.
26

2. Gejala emosional
Gejala stres yang berkaitan dengan keadaan psikis dan mental
seseorang.
3. Gejala intelektual
Gejala stres yang berkaitan dengan pola piker seseorang.
4. Gejala interpersonal
Gejala stres yang mempengaruhi hubungan dengan orang lain,
baik yang berada di dalam maupun di luar rumah (14).

2.1.4 Penyakit Arteri Koroner


2.1.4.1 Definisi
Penyakit Arteri Koroner (PAK) adalah istilah umum untuk
penumpukan plak di arteri jantung yang dapat menyebabkan serangan
(7)
jantung . PAK disebut juga dengan Penyakit Jantung Koroner (PJK),
penyakit jantung iskemik, atau penyakit jantung aterosklerotik. PAK
adalah hasil akhir dari akumulasi plak ateromatosa dalam dinding-dinding
arteri yang memasok darah ke miokardium (otot jantung) (22).
PAK adalah penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri
jantung yang disebut pembuluh darah koroner. Sebagaimana halnya organ
tubuh lain, jantung pun memerlukan zat makanan dan oksigen agar dapat
memompa darah ke seluruh tubuh, jantung akan bekerja baik jika terdapat
keseimbangan antara pasokan dan pengeluaran. Jika pembuluh darah
koroner tersumbat atau menyempit, maka pasokan darah ke jantung akan
berkurang, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan
pasokan zat makanan dan oksigen, makin besar persentase penyempitan
pembuluh koroner makin berkurang aliran darah ke jantung, akibatnya
timbullah nyeri dada (22).
2.1.4.2 Etiologi
Penyakit arteri koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh
penyempitan atau penyumbatan arteri yang mengalirkan darah ke otot
jantung. Penyakit arteri koroner terjadi karena adanya ketidakseimbangan
27

antara pengeluaran dan pemasukan atau kebutuhan dan penyediaan


oksigen otot jantung dimana terjadi kebutuhan yang meningkat atau
penyediaan yang menurun, atau bahkan gabungan dari keduanya (14).
Denyut jantung yang meningkat, kekuatan berkontraksi yang
meninggi, tegangan ventrikel yang meningkat, merupakan beberapa faktor
yang dapat meningkatkan kebutuhan dari otot-otot jantung. Sedangkan
faktor yang mengganggu penyediaan oksigen antara lain, tekanan darah
koroner meningkat, yang salah satunya disebabkan oleh aterosklerosis
yang mempersempit saluran sehingga meningkatkan tekanan, kemudian
gangguan pada otot regulasi jantung dan lain sebagainya (14).

2.1.4.3 Faktor Risiko


Penyakit arteri koroner dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu
faktor yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur, riwayat keluarga atau
keturunan, jenis kelamin, dan faktor yang dapat dimodifikasi seperti
kolesterol, hipertensi, diabetes melitus, obesitas, kurang aktivitas fisik, dan
stres (3).
1. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
a. Umur
PAK berkembang semakin bertambahnya umur seseorang.
Semakin bertambah usia semakin besar kemungkinan untuk
menderita PAK dan menderita serangan jantung fatal. Setelah
umur 40 tahun risiko terkena PAK adalah 49% untuk laki-laki dan
32% untuk perempuan. Lebih dari 4/5 atau 81% orang-orang yang
meninggal akibat PAK adalah ≥ 65 tahun. Dari data statistik
tersebut menunjukan bahwa bertambahnya usia merupakan faktor
risiko yang membuat orang-orang merasa tidak berdaya dalam
penyakit tersebut (14).
b. Riwayat keluarga / Keturunan
Fakta menyebutkan bahwa faktor keturunan telah lama
dikenal memainkan peran terhadap kejadian PAK. Berdasarkan
28

hasil studi kasus yang diterbitkan dalam American Heart Journal


mengungkapkan bahwa individu yang memiliki setidaknya satu
orang tua biologis yang menderita PAK memiliki risiko 40-60%
terkena jika dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak
memiliki riwayat PAK. Kemudian berdasarkan hasil penelitian
ini, dapat disimpulkan bahwa risiko PAK tidak ditransfer melalui
gaya hidup yang tidak sehat dalam keluarga, melainkan melalui
gen. Akan tetapi bukan berarti gaya hidup seseorang bukanlah
faktor risiko terhadap peningkatan kejadian PAK (14).
c. Jenis kelamin
Menurut AHA 2013 melaporkan bahwa 1 dari 3 wanita
dewasa menderita cardiovascular disease. Sekitar 3 juta wanita
memiliki riwayat serangan jantung akibat PAK. 38% wanita yang
menderita serangan jantung akan meninggal lebih awal dalam
waktu satu tahun dibandingkan dengan laki-laki hanya 25%,
meskipun wanita memiliki serangan jantung pada usia yang lebih
tua daripada laki-laki. Peningkatan kejadian PAK pada wanita itu
terjadi setelah menopause dan kematian 2-3 kali lebih besar
daripada wanita sebelum menopause (1).
2. Faktor yang dapat dimodifikasi
a. Dislipidemia
Dislipidemia mencakup spektrum yang luas dari kelainan
lipid, beberapa di antaranya sangat penting dalam pencegahan
penyakit kardiovaskular (PKV). Dislipidemia mungkin
berhubungan dengan penyakit lain (dislipidemia sekunder) atau
interaksi antara predisposisi genetik dan faktor lingkungan.
Peningkatan kolesterol total dan low-density lipoprotein
cholesterol (LDL-C) telah menerima perhatian yang besar,
terutama karena dapat dimodifikasi dengan perubahan gaya hidup
dan terapi. Bukti menunjukkan bahwa mengurangi kolesterol total
dan LDL-C dapat mencegah PKV adalah kuat dan menakjubkan,
29

berdasarkan hasil dari beberapa percobaan terkontrol acak


(randomized control trials, RCTs).
Selain peningkatan kolesterol total dan kadar LDL-C,
beberapa jenis lain dari dislipidemia tampaknya predisposisi
terhadap PAK dini. Sebuah pola tertentu, disebut triad lipid
aterogenik, lebih umum daripada yang lain, dan terdiri dari ko-
eksistensi peningkatan lipoprotein densitas sangat rendah (very
low density lipoprotein, VLDL) reminan diwujudkan sebagai
peningkatan ringan trigliserida (TG), peningkatan partikel kecil
LDL, dan mengurangi kadar high density lipoprotein-cholesterol
(HDL-C). Namun, bukti uji klinis terbatas pada efektivitas dan
keamanan dari intervensi dalam pola ini untuk mengurangi risiko
PAK; Oleh karena itu, pola ini atau komponennya harus dianggap
sebagai target opsional pencegahan PAK (14).
b. Hipertensi
Klasifikasi didasarkan pada rata-rata dua atau lebih
pengukuran yang tepat, pembacaan tekanan darah dalam posisi
duduk pada masing-masing dua atau lebih setiap kunjungan.
Berbeda dengan klasifikasi yang disediakan dalam laporan JNC 6,
sebuah prehipertensi kategori baru telah ditambahkan, dan tahap 2
dan 3 hipertensi telah digabungkan. Pasien dengan prehipertensi
berada pada peningkatan risiko untuk hipertensi; seseorang yang
memiliki tekanan darah pada rentang 130-139 / 80-89 mmHg
berada memliliki dua kali lipat risiko untuk mengalami hipertensi
dibanding orang-orang dengan nilai-nilai yang lebih rendah.
Hipertensi mempengaruhi sekitar 50 juta orang di Amerika
Serikat dan sekitar 1 miliar di seluruh dunia. Berdasarkan usia
penduduk, prevalensi hipertensi akan meningkat lebih jauh
kecuali tindakan pencegahan yang luas dan efektif dilaksanakan.
Data terbaru dari Framingham Heart Study menunjukkan bahwa
30

individu yang normotensif pada usia 55 memiliki 90 persen risiko


seumur hidup untuk terkena hipertensi.
Hubungan antara tekanan darah dan risiko kejadian
kardiovaskular adalah kontinu, konsisten, dan independen dari
faktor risiko lain. Semakin tinggi tekanan darah, semakin besar
kemungkinan mengalami serangan jantung, gagal jantung, stroke,
dan penyakit ginjal.
Bagi individu 40-70 tahun, setiap kenaikan dari 20 mmHg
tekanan darah sistolik (TDS) atau 10 mmHg tekanan darah
diastolik (TDD) menggandakan risiko kardiovaskular di seluruh
rentang tekanan darah dari 115/75 ke 185/115 mmHg (7).
c. Diabetes mellitus
Pada pasien dengan diabetes, PAK lebih sering dan lebih
berkembang, serta terjadi pada usia yang lebih muda
dibandingkan dengan pasien nondiabetes. Beberapa kelainan,
termasuk hiperglikemia metabolik kronik, dislipidemia, stres
oksidatif, dan resistensi insulin, telah dikaitkan dengan
aterogenesis yang dipercepat yang diamati pada orang dengan
diabetes. Selain gangguan metabolik, diabetes mengubah fungsi
dari dinding beberapa sel, termasuk sel-sel endotel, sel-sel otot
halus, dan trombosit. Meskipun deskripsi dari beberapa keanehan
yang menjadi ciri aterosklerosis yang berhubungan dengan
diabetes, mekanisme yang mendasari proses inisiasi dan
perkembangan aterosklerosis yang tetap sulit dipahami.
Resistensi insulin yang lama, yang ditandai dengan
peningkatan glukosa plasma dan kompensasi hiperinsulinemia,
telah dikaitkan dengan komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler diabetes. Perkiraan hubungan ini melalui
pengembangan dari (1) disfungsi endotel dan stres oksidatif, (2)
keadaan inflamasi, (3) keadaan protrombotik, dan (4)
ketidakstabilan plak aterosklerosis dengan risiko selanjutnya
31

ruptur plak dan pembentukan trombus oklusif. Mekanisme


proaterogenik ini yang diamati pada pasien diabetes mungkin
bertanggung jawab untuk tingkat mortalitas dan reinfarksi pada
pasien dengan PAK, serta lebih tingginya trombosis stent dan
stent restenosis setelah PCI diamati dalam populasi diabetes (15).
d. Kurang aktifitas fisik
Aktivitas fisik dianjurkan terhadap setiap orang untuk
mempertahankan dan meningkatkan kebugaran tubuh. Aktivitas
fisik juga berguna untuk melancarkan peredaran darah dan
membakar kalori dalam tubuh. Kegiatan aktivitas fisik
dikategorikan cukup apabila kegiatan tersebut dilakukan terus-
menerus sekurang-kurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa
henti dan secara kumulatif 150 menit selama 5 hari dalam 1
minggu. Namun hamper separuh penduduk (47,6%) kurang
melakukan aktivitas fisik. Salah satu aktivitas fisik adalah latihan
aerobik secara teratur dapat menurunkan risiko PAK meskipun
hanya 11% laki-laki dan 4% perempuan (14).
2.1.4.4 Patogenesis
Salah satu yang paling sering menyebabkan PAK adalah
aterosklerosis. Aterosklerosis adalah penyakit pada dinding arteri yang
besar maupun yang kecil, akibat adanya disfungsi endotel, inflamasi
vaskuler, menumpuknya lipd, dan kolesterol pada dinding intima
pembuluh darah. Menumpuknya lipid dan kolesterol dapat membuat
formasi plak, remodeling vascular, aliran darah abnormal, kurangnya
penyaluran oksigen ke target organ.
Aterosklerosis terbentuk dalam beberapa tahap :
a. Tahap 1 : endotel menarik lebih banyak sel polimorfonuklear dan
monosit ke dalam ruang subendotel (intima dinding pembuluh darah).
b. Tahap 2 : makrofag bekerja sebagai sel scavenger dan mulai
mengambil LDL oksidasi dalam jumlah banyak. Selama proses
berlanjut, makrofag tersebut berubah menjadi sel busa (Foam Cells).
32

c. Tahap 3 : hasil dari akumulasi oleh banyaknya serum lipoprotein pada


dinding intima pembuluh darah yang disebut Fatty Streak.
d. Tahap 4 : sel otot polos bertanggung jawab pada endapan matriks
ekstraseluler jaringan ikat, lipid ekstraseluler dan sisa jaringan
nekrotik. Sehingga limfosit dan kolagen menyisip ke otot pembuluh
darah untuk menghalangi terjadinya negative remodeling dari sel otot
polos dan membentuk Fibrous Cap.
e. Tahap 5 : lipid mengendap masuk ke dalam ruang ekstraseluler dan
mulai bergabung membentuk inti lipid (Lipid core).
f. Tahap 6 : fibroblas dan sel-sel otot polos bermigrasi dan membentuk
fibroatheroma dengan lipid core pada bagian dalam dan fibrous cap
pada bagian luarnya.
g. Tahap 7 : rupturnya fibrous cap yang diakibatkan oleh thrombosis
merupakan penyebab acute coronary syndrome (ACS). ACS bisa
terjadi karena banyaknya kandungan lemak pada lipid core, tipisnya
fibrous cap dan meningkatnya aktivitas leukosit pada bagian tepi plak
(14)
.

Gambar 5. Patogenesis terjadinya aterosklerosis (14).


33

2.2 Kerangka Teori

Aterosklerosis Nyeri dada

Faktor risiko

Tidak Bisa Bisa


dimodifikasi dimodifikasi
- Umur - HT
-s Jenis - Obes
kelamin
- DM
- Riwayat
Keluarga -Penurunan
Aktivitas fisik

- Stres

1. Hormon
adrenalin&Chate
colamine
Releasing 4. Angina Pektoris
Hormone
3. Merangsang
2. nosiseptor nyeri
Vasokonstriksi
2. Asam laktat
3. Aliran darah meningkat
ke jantung
1. Metabolisme
menurun
Anaerob
4. Iskemik
miocard
34

2.3 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Tingkat Stres Intensitas Nyeri Dada

2.4 Hipotesis
Terdapat hubungan antara intensitas nyeri dada dengan tingkatan stres
pada pasien penyakit arteri koroner.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup bidang Ilmu Penyakit
Dalam Sub bagian Kardiologi dan Ilmu Psikologi.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian ini dilakukan di Poliklinik Jantung RS Bhakti Asih
Brebes pada bulan November 2017-Januari 2018.

3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan
desain Cross sectional, yaitu peneliti mempelajari hubungan antara variabel
bebas dan variabel terikat yang diobservasi dalam waktu satu kali pada saat
yang sama

3.4 Populasi dan Sampel


3.4.1 Populasi target
Semua pasien yang terdiagnosis penyakit jantung koroner di
Poliklinik Jantung.
3.4.2 Populasi terjangkau
Semua pasien yang telah didiagnosis penyakit jantung koroner
yang kontrol di Poliklinik Jantung RS Bhakti Asih Brebes pada bulan
November 2017- Januari 2018 .
3.4.3 Sampel penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah pasien yang telah didiagnosis
penyakit jantung koroner yang memenuhi kriteria inklusi.
3.4.3.1 Kriteria inklusi
1. Pasien kontrol poli jantung (pasien lama)
2. Pasien usia 40-70 tahun

35
36

3. Pasien penyakit arteri koroner


4. Pasien yang bersedia mengisi kuesioner penelitian
3.4.3.2 Kriteria ekslusi
1. Pasien baru
2. Pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung bawaan
3. Pasien yang memiliki riwayat kardiomiopati
4. Pasien mengalami penyakit katup jantung
5. Pasien sindrom koroner akut
6. Pasien yang menderita demensia
7. Pasien yang menolak informed consent

3.4.4 Teknik Sampling


Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive
sampling, dimana setiap subjek yang datang dan memenuhi kriteria
pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang
diperlukan terpenuhi.

3.4.5 Besar sampel


Perhitungan besar sampel menggunakan rumus Slovin :

Dimana,
n : Besar sampel
N : Besar populasi
d : Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan :
10% (0,10), 5% (0,05) atau 1% (0,01).
Dengan jumlah populasi 85 pasien PAK, maka didapat :
37

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁(𝑑)2

85
𝑛=
1 + 85 (0,05)2

85
𝑛=
1 + 85 . 0,0025

85
𝑛=
1 + 0,2125

85
𝑛=
1,2125

𝑛 = 71

Jumlah sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah sebanyak
71 pasien. Sampel yang digunakan untuk penelitian adalah sebanyak 75
pasien.

3.5 Variabel Penelitian


3.5.1 Variabel Bebas (Independent)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat stres pada pasien
penyakit arteri koroner.
3.5.2 Variabel Terikat (Dependent)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah intensitas nyeri
dada pada pasien penyakit arteri koroner.
38

3.6 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Skala
Operasional Ukur
1. Variabel bebas Tingkatan Kuisioner Ringan Ordinal
dalam penelitian respon fisik Tingkat (0-38)
ini adalah tingkat dan psikis Stres Sedang
stres pada pasien terhadap (39-48)
PAK tekanan Berat
akibat (>49)
penyakit
arteri
koroner
yang
diderita
pasien

2. Variabel terikat Berupa Numeric Nyeri Ordinal


dalam penelitian ini rasa Rating ringan
adalah nyeri dada tertekan Scale (1-3)
atau nyeri (NRS) Nyeri
substernal sedang
yang (4-6)
menjalar Nyeri
ke aksila berat
dan turun (7-10)
ke bawah

3.7 Cara Pengumpulan Data


3.7.1 Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan adalah catatan medik (data
sekunder) pasien penderita penyakit arteri koroner di poliklinik jantung
RS Bhakti Asih Brebes dan kuesioner (data primer) dari para pasien
penderita penyakit arteri koroner yang datang untuk kontrol di tempat
tersebut.
3.7.2 Prosedur Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner
pada pasien yang melakukan kunjungan atau kontrol di bulan, dan
mencatat data-data yang terdapat dalam catatan medik penderita
39

penyakit arteri koroner yang menjalani rawat jalan di Poliklinik Jantung


RS Bhakti Asih Brebes.
Penelitian diawali dengan mencari responden sesuai dengan
kriteria inklusi dan ekslusi dari catatan medis pasien penderita penyakit
jantung koroner yang datang ke poliklinik jantung, kemudian responden
yang telah terpilih diminta mengisi kuesioner dengan sebelumnya
melakukan informed consent yang berisi tingkat stres untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap penyakit jantung koroner dan mengisi skala nyeri
dada untuk mengetahui intensitas nyeri dada yang dialami oleh pasien.

3.8 Alur Penelitian

Menyiapkan proposal Meminta data


penelitian sekunder setelah
mendapat izin
Mengurus surat izin pada
instansi yang berwenang

Memperoleh izin dari


kepala Rumah Sakit Mencatat data-data
Bhakti Asih Brebes yang terdapat di dalam
catatan medik sesuai
inklusi dan ekslusi

Melakukan informed consent kepada Melakukan wawancara dan


responden dan memberikan lembaran menetapkan sampel sesuai dengan
kuesioner kepada responden yang kriteria pada pasien yang datang ke
sebelumnya telah ditandatangani poliklinik di bulan penelitian
responden sebagai bentuk persetujuan

Melakukan Menyusun laporan


pengumpulan data penelitian
baik data sekunder
maupun primer
40

3.9 Analisis Data


3.9.1 Pengolahan data
1. Editing (penyuntingan data)
Melihat kembali apakah lembar kuesioner atau formulir yang
sudah terisi dengan lengkap dan benar sehingga dapat diproses
lebih lanjut. Penyuntingan segera dilakukan pada saat itu juga di
tempat pengumpulan data di lapangan, sehingga apabila terdapat
kesalahan dalam pengisian kuesioner dapat segera dilakukan
perbaikan.
2. Coding (pengkodean data)
Setelah semua kuesioner disunting atau diperbaiki, kemudian
melakukan pengkodean ke dalam bentuk angka atau bilangan pada
setiap jawaban yang telah diberikan responden sehingga
mempermudah dalam menganalisa data.
3. Data Entry (memasukan data) atau processing
Memasukkan data jawaban dari masing-masing responden dan
data hasil rekam medik pada program pengolahan data untuk
statistic.
4. Tabulating
Mengelompokkan data sesuai variabel yang diteliti agar
memudahkan analisis data.
5. Entry
Kegiatan memasukkan data hasil rekam medik pada program
pengolahan data.
6. Cleaning Data (pembersihan data)
Data yang sudah dimasukkan dilakukan pengecekan.
Pembersihan dilakukan jika ditemukan kesalahan kode,
memasukkan data dan ketidaklengkapan sehingga dapat dikoreksi
dan data pun benar-benar siap untuk dianalisis.
41

3.9.2 Analisis data


1. Analisis data univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik yaitu distribusi frekuensi variabel
bebas (tingkat stres) dan variabel terikat (intensitas nyeri dada) dari
penelitian.
2. Analisis data bivariat
Analisis data bivariat mempunyai tujuan untuk mengetahui
hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Analisis ini
dilakukan untuk melihat kebermaknaan hubungan antara variabel
bebas dengan variabel terikat berdasarkan perhitungan statistik (p ≤
0,05). Kemudian sebelum itu dilakukan uji normalitas terlebih
dahulu dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dikarenakan
jumlah subjek yang lebih dari 50 orang. Kemudian dilihat korelasi
antar variabel dengan menggunakan uji Pearson apabila distribusi
data normal dan uji Spearman apabila distribusi data tidak normal.

3.10 Etika Penelitian


Etika penelitian yang dilakukan peneliti dengan mengambil catatan
medik pasien dan memberikan kuesioner, oleh karena itu peneliti meminta
persetujuan etik terlebih dahulu dari Komisi Etika Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati. Kemudian setelah itu, surat
permohonan dan persetujuan juga diajukan untuk Kepala Rumah Sakit
Bhakti Asih Brebes untuk melakukan penelitian yang intinya berisi :
1) Izin dan persetujuan untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit
Bhakti Asih Brebes.
2) Pemberitahuan dan rekomendasi kepada penulis untuk melakukan
penelitian di Rumah Sakit Bhakti Asih Brebes.
Pihak rumah sakit diberikan penjelasan mengenai penelitian yang
akan dilakukan seperti tujuan, manfaat, prosedur penelitian dan jaminan
terhadap kerahasiaan semua informasi dan data diri responden.Informed
42

consent didapatkan dari pasien penderita penyakit jantung koroner yang


berkunjung di Poliklinik Jantung untuk kontrol/ check up yang memenuhi
kriteria dan bersedia sebagai subjek penelitian. Subjek penelitian juga
berhak menolak untuk diikutsertakan, boleh berhenti sewaktu-waktu,dan
dijamin kerahasiaannya. Biaya yang terkait dengan penelitian ditanggung
oleh peneliti secara keseluruhan.
43

DAFTAR PUSTAKA

1. AHA. Update on the Journal of The American College of Cardiology,


2013. Guideline on The Assessment of Cardiovascular Risk; 2013
2. WHO. World Health Statistics; 2014
3. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2015. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia; 2015
4. Dinkes Jateng. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015.
Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah; 2015
5. Alwi, Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FK UI; 2009
6. Anwar, T Bahri. Nyeri Dada. Sumatera Utara: USU; 2004
7. Brown, TC. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam : Price, SA.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th ed. Jakarta:
EGC; 2006
8. Cayley Jr WE. Diagnosing The Cause of Chest Pain. Am Fam Physician.
[Online Journal] 2005 [diunduh 17 maret 2011]. Tersedia dari:
http://www/aafp.org/afp/2005/1115/p2012.html.
9. Dirjen PP&P. Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah. Jakarta: Kemenkes RI; 2011
10. Bayu K, Albertus. Hubungan Intensitas Nyeri Dada dengan Depresi Pada
Pasien Infark Miokard Di Poliklinik Jantung RSUD Dr. Moewardi
Surakarta [skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 2011
11. Gray H, Dawkins KD, Morgan JM, dan Simpson IA. Kardiologi : Lecture
Notes edisi 4. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005
12. Salmandi. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Penyakit Jantung Koroner
Pada Pasien Di RSI Malahayati Medan Tahun 2014 [skripsi]. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2014
13. Alpert JS Christian, Allan TS, Harvey D. A Universal Definition of
Coronary Artery Disease for The Twenty-First Century. Journal of
Cardiology [Online Journal] 2010 [diunduh 20 Maret 2011]. Tersedia
dari: http://www.medscape.com/viewarticle/716457.
44

14. Coronary Artery Disease (CAD). Centers for Disease Control and
Prevention [Online Journal] 2015 [diunduh 07 Juli 2016]. Tersedia dari:
http://www.cdc.gov/heartdisease/coronary_ad.htm.
15. Rampengan, Starry H. Mencari Penyebab Nyeri Dada?: Kardiak dan
Nonkardiak. Penyebab Kardiak Nyeri Dada Akut. 2012; 20(1):045-053.
16. Cristina A, Benjamin W, Sami RA. Noncardiac Chest Pain and
Fibromyalgia. 2010; 94(1):275-289.
17. Yenny Okvitasari, Hamzah, Muhsinin. Analisis Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner di Poliklinik
Jantung RSUD Ulin Banjarmasin. 2016; Volume 2 Nomor 2.
18. Putu Sudayasa, Sjarif Subijakto, Wa Ode Asfiyai Sahrul. Analisis Faktor
Risiko Merokok, Stres, dan Riwayat Keluarga Yang Berhubungan Dengan
Kejadian PJK [skripsi]. Semarang : Universitas Muhammadiyah Semarang
; 2013
19. Guyton dan Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007
20. Rafiudin. Psikologi Kehidupan. Jakarta: Athoillah Press; 2007
21. Tri Ardianti Khasanah. Hubungan Tingkat Stres dan Asupan Natrium
dengan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan RSUD Dr.
Moewardi Surakarta [skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta; 2013.
22. Erasta Agri Ramandika. Hubungan Faktor Risiko Mayor Penyakit Jantung
Koroner dengan Skor Pembuluh Darah Koroner dari Hasil Angiografi
Koroner di RSUP Dr. Kariadi Semarang [skripsi]. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2012.

Anda mungkin juga menyukai