Anda di halaman 1dari 11

MISKONSEPSI (Kesalah Pahaman) dalam BK

Bidang bimbingan dan konseling yang ada selama ini telah banyak digeluti oleh
berbagai pihak dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Sebagian besar diantara mereka
tidak memiliki latar belakang pendidikan bidang bimbingan dan konseling. Di samping itu,
literatur yang memberikan wawasan, pengertian, dan berbagai seluk beluk teori dan praktek
bimbingan dan konseling yang dapat memperluas dan mengarahkan pemahaman mereka itu
juga masih sangat terbatas.

Melihat hal tersebut diatas, maka tak heran bila dalam kenyataannya masih banyak
terjadi kesalahpahaman tentang bimbingan dan konseling.

A. Beberapa Miskonsepsi BK di Sekolah

Menurut Prof.Dr.H.Prayitno,M.Sc.Ed dalam bukunya “Dasar-dasar Bimbingan


dan konseling” (1994) memaparkan 15 kesalahpahaman (Miskonsepsi) yang sering
dijumpai dilapangan, yaitu :

1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah
identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah
implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai
pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting
bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan
bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan
bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-
hari.

Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah


dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat
dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan
pengajaran dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh
perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas
dan berbeda.

2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan


psikiater.

Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan


bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama
menginginkan konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya. Kendati
demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama, dokter dan
psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang yang
normal (sehat) namun sedang mengalami masalah. Cara penyembuhan yang
dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis
medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan
masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan
mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan
dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.

3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang


bersifat insidental.

Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya


bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan
responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara
spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.
Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis
dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan
dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan
pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan).

4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.

Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang


bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan
konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All).
Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui
berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.

5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”.

Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang


mengalami masalah.Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan
orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya.Jika seseorang
mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau
dokter untuk penyembuhannya.Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan
konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk
menyatakan seseorang tidak normal.Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan
dialihtangankan (referal).
6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala) saja.

Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang
ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli.Namun seringkali justru konselor
mengejar dan mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang
muncul.Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas,
pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan
tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk
kelasnya.

7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.

Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali


masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata
masalah itu sangat kompleks dan berat.Begitu pula sebaliknya, suatu masalah
dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan
saja.Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi konselor adalah berusaha
untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor
sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor
seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak yang lebih kompeten

8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi sekolah”.

Tidak jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian,


bahkan diberi wewenang bagi siswa yang bersalah. Dengan kekuatan inti bimbingan
dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan
berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan apa-
apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa sehingga siapa pun yang berhubungan
dengan bimbingan dan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi
harapan.

9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.

Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian


nasihat.Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya
bimbingan dan konseling.Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh
kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.
10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau
petugas lain.

Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi,


melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Di
sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri.
Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan pihak-pihak
lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat
sekitarnya.

Namun demikian, konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu


mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah siswa guru
pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti “praktik pribadi”,
artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain atau
tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional justru salah satu cirinya
pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan orang lain atau ahli.

11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif.

Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai


pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara
langsung aktif terlibat dalam proses tersebut. Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan
konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata
ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat
usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka
hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama
sekali.

12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja.

Benarkah pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja?
Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”.Jawaban ”benar”, jika bimbingan
dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara
amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti
filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara
profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa
pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan
dan konseling.Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup
lama di Perguruan Tinggi.
13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien.

Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan
dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara
pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi,
untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang
tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya
berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya.Pada
dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat
masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling,
dan sarana yang tersedia.

14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasi.

Perlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada
diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan
digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah
sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau
bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh
sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu
sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan
bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan
selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha
mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan.

15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat.

Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien
dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan
itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu
adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti
makan sambal, begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan
konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan
beberapa tahun kemuadian.. Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-
citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan
dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.
B. Timbulnya Miskonsepsi BK di Sekolah

Timbul pertanyaan kita bersama, mengapa kesalahpahaman ini terjadi? Ada


beberapa penyebabnya yakni;

a. Kesalahpahaman-kesalahpahaman diatas diakibatkan karena bidang BK masih


tergolong baru dan merupakan produk impor sehingga menyebabkan para
pelaksanaannya dilapangan belum terlalu mengetahui BK secara menyeluruh
(Prayitno: Dasar-dasar bimbingan dan konseling, 2004).
b. Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola
yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan disebabkan diantaranya
oleh hal-hal sebagai berikut :
a) Belum adanya hukum

Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan


Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus
pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah.
Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan
keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama
Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan
berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dann Penyuluhan
di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya.

b) Semangat luar biasa untuk melaksanakan

BP di sekolahLahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka


Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah.
Semangat yang luar biasa untuk melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas
guru adalah mengajar dan/atau membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah
dan didukung tenaga atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak
tahun 1984/1985) masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan
di sekolah tidak jelas. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi
sekolah berasal dari guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam
mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan
SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan
dan Penyuluhan di sekolah.

c) Belum ada aturan main yang jelas

Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di
mana pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh
siapa bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan
kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang
kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini
jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi
Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid
Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga
ketika orang tua dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil Guru Pembimbing,
orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa dengan anaknya,
bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga belum jelas
arah dan pelaksanaan pengawasannya. Selain itu dengan pola yang tidak jelas tersebut
mengakibatkan:

Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan


tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi
tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah
satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dan sebagainya.

d) Penyebabnya dari konselor itu sendiri.


Banyak yang bukan dari tamatan BK itu sendiri yang menjadi pelaksanan BK,
sehingga tidak efesiennya pelaksanaan BK dilapangan, dan juga pelaksanaan yang
belum efesin dari guru BK itu sendiri, tidak jelasnya program yang akan dijalankan,
baik program harian, mingguan, bulanan maupun semesteran, walaupun dia dari
tamatan BK itu sendiri.

e) Masih belum disepakatinya penggunaan istilah Bimbingan dan Konseling itu


sendiri, di Indonesia masih ada yang menggunakan istilah pelayanan BP, BK, dan
konseling, dan ini juga mempengaruhi persepsi masyarakat tentang pelayanan
yang dilakukan oleh petugas BK dilapangan.

Padahal Istilah “konseling” sebagai pengganti “bimbingan dan konseling”


semakin menguat sejak digunakan istilah Konselor dalam UU No. 20/2003 tentang
SPN, secara resmi istilah konseling telah digunakan dalam permendiknas no.22/2006
tentang Standarisasi Untuk Satuan Dasar Dan Menengah, Rumusan tentang Istilah
“Bimbingan dan Konseling” dan istilah Konseling dapat dilihat sebagai berikut dalam
SK Mendiknas no. 25/1995;

Walaupun pemerintah telah mengeluarkan peraturan baru untuk memperkuat


status BK di indonesia tentang istilah dan pelaksanaan BK, akan tetapi tetap saja
belum semaksimal mungkin pelaksanaan BK dengan semestinya, ini sangat
memprihatinkan sekali, padahal Guru BK bermanfaat sekali bagi perkembangan anak
disekolah untuk menjadi lebih bagi.

C. Pemecahan masalah Miskonsepsi BK di Sekolah

Apabila diabaikan, kesalahpahaman ini akan terus berlanjut sehingga


menimbulkan penilaian yang negatif dari masyarakat terhadap BK. Selain itu pandangan
mereka pun terhadap BK menjadi kabur. Untuk itu banyak yang harus dilakukan untuk
permasalahan ini, agar adanya meningkatkan pelayanan Bimbingan dan Konseling yang
berdaya guna. Mari kita bangun kerjasama yang baik dalam satu tujuan yang sama yaitu
menjadikan anak didik kita menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negara.
Menciptakan kerjasama yang baik dengan pihak-pihak tertentu sangatlah tidak mudah,
perlu adanya kerja keras dari Guru pembimbing.Untuk itu perlu adanya langkah-langkah
penguatan dan penegasan peran serta identitas profesi. Langkah-langkah untuk penguatan
dan penegasan peran serta identitas profesi tersebut adalah :

1. Peran Kepala Sekolah

Kepala sekolah selaku penanggung jawab seluruh penyelenggaraan pendidukan


sekolah memegang peranan strategis dalam mengembangkan peran bimbingan dan
konseling di sekolah. Tugas atau peran kepala sekolah dalam hal ini :

1) Hubungan antara kepala sekolah dengan konselor sangat penting terutama di


dalam menentukan keefektifan program. Kepala Sekolah harus dapat memahami
dengan baik profesi Bimbingan dan konseling akan :
a) Memberikan kepercayaan kepada konselor dan memelihara komunikasi yang
teratur dalam berbagai bentuk.
b) Memahami dan merumuskan peran konseling
c) Menempatkan staf sekolah sebagai tim atau mitra kerja
2) Membebaskan konselor dari tugas yang tidak relevan. Masih ada konselor di
sekolah yang diberi tugas mengajar bidang studi, bahkan mengrus hal-hal yang
tidak relevan dengan Bimbingan dan Konseling seperti petugas piket, bagian tata
tertib sekolah , wali kelas dan sebagainyanya. Tugas-tugas ini tidak relevan
dengan latar belakang pendidikan dan tidak akan menjadikan Bimbingan dan
Konseling dapat dilaksanakan secara professional. Contoh : seorang pembimbing
di tugas kan sebagai guru piket, pada saat dia piket ada seorang siswa yang
terlambat dan menurut aturan bahwa siswa yang terlambat harus di hukum dahulu
oleh guru piket baru boleh masuk kelas. Tidak kah hal ini akan menjadikan fungsi
Bimbingan dan konseling menjadi kabur.Dimana seorang guru pembimbing di
tuntut untuk menghindari sikap menghukum siswa,namun karena sebagai guru
piket,dia harus menjalani tugasnya sebagai guru piket.
3) Membangun standar supervisi akibat tidak terpenuhinya standar yang diharapkan
untuk melakukan supervisi Bimbingan dan Konseling membuat layanan tersebut
terhambat dan tidak efektif. Supervisi yang dilakukan oleh orang yang tidak
memahami dan tidak berlatar belakang disamakan dengan perlakuan supervise
guru bidang studi. Akibatnya balikan yang diperoleh konselor dari pengawas
bukanlah hal-hal yang substanstif tentang kemampuan bimbingan dan konseling
melainkan hal-hal tekhnis administratif. Supervisi Bimbingan dan konseling mesti
diarahkan kepada upaya membina ketrampilan professional konselor seperti :
Memahirkan ketrampilan konseling, belajar bagaimana menangani kesulitan
siswa, mempraktekkan kode etik profesi, mengembangkan program komprehensif,
mengembangkan ragam intervensi psikologis, dan melakukan fungsi-fungsi yang
relevan.
4) Mengkoordinir segenap kegiatan yang diprogramkan yang berlangsung di sekolah
sehingga pelayanan pengajaran, latihan, bimbingan dan konseling merupakan
suatu kesatuan yang terpadu, harmonis dan dinamis.
5) Menyediakan prasarana, tenaga dan berbagai kemudahan bagi terlaksananya
melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan
program penilaian dan tindak lanjut pelayanan bimbingan dan konseling.
6) Mempertanggung jawabkan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di
sekolah.
7) Memfasilitasi guru BK untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya
melalui berbagai kegiatan pengembangan profesi.
8) Menyediakan fasilitas, kesempatan, dan dukungan dalam kepengawasan yang
dilakukan oleh pengawas sekolah di bidang bimbingan dan konseling.

2. Peran Guru Bimbingan dan Konseling


a) Mengikuti sosialisasi tentang fungsi dan tujuan Bimbingan dan konseling. Banyak
cara untuk melakukan sosialisasi ini. Diantaranya mengikuti Seminar-seminar
pendidikan yang diselenggarakan oleh ABKIN untuk semua guru bidang studi.
Selalu berbicara dalam rapat atau musyawarah yang diadakan di sekolah sendiri.
Bertukar pikiran dengan teman-teman guru di sekolah dan sambil menjelaskan
fungsi dan kedudukan Bimbingan dan konseling sebenarnya.
b) Meningkatkan kinerja guru pembimbing sendiri. Banyak yang bisa kita lakukan
sebagai guru pembimbing untuk meningkatkan kinerja kita.
c) Guru BK harus mengetahui prinsip-prinsip, asas-asas, dan tujuan mereka, agar
mereka tidak lagi di anggap sebagai polisi sekolah dan mampu menghilangkan
kekeliruan yang terjadi selama ini dengan lebih intensif lagi berkomunikasi
dengan para siswanya dan mengikuti semua bentuk kegiatan yang marak di
kalangan siswa sekarang. Seperti penggunaan facebook. Sehingga guru BK bisa
memanfaatkan media tersebut untuk lebih mendekatkan diri dengan siswanya,
agar dapat mengubah citra yang buruk menjadi pribadi yang menyenangkan.

3. Peran Guru Mata Pelajaran

Di sekolah tugas dan tanggung jawab guru yang utama adalah melaksanakan
kegiatan pembelajaran siswa. Walaupun demikian, bukan berarti dia sama sekali lepas
dengan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Peran dan kontribusi
guru mata pelajaran tetap sangat diharapkan guna kepentingan efektivitas dan efisien
pelayanan bimbingan dan konseling. Sehingga peran guru mapel di sini, meliputi:

a) Membantu memasarkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa


b) Membantu guru BK mengidentifikasikan siswa-siswa yang memerlukan
pelayanan bimbingan dan konseling.
c) Mengalih tangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling
kepada guru BK.
d) Menerima siswa alih tangan yang memerlukan pelayanan pengajaran atau latihan
khusus
e) Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru dengan murid, murid
dengan murid yang menunjang pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling.
f) Memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa yang memerlukan layanan
untuk mengikuti layanan atau kegiatan yang di maksud.
g) Berpartisipasikhusus dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa seperti
konferensi kasus.
h) Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian
pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.

4. Peran Wali Kelas

Sebagai pengelola kelas tertentu, dalam pelayanan bimbingan konnseling, wali


kelas berperan:

a) Membantu guru BK melaksanakan tugas-tugasnya khususnya di kelas yang


menjadi tanggung jawabnya.
b) Membantu guru mapel melaksanakan perannya dalam pelaksanaan bimbingan dan
konseling khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
c) Membantu untuk memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa di kelasnya
untuk mengikuti layanan bimbingan dan konseling.
d) Berpartisipasi aktiv dalam kegiatan khusus bimbingan koonseling.
e) Mengalih tangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling
pada guru BK.
f) Peran kepala sekolah, guru, walikelas dalam peningkatan peranan bimbingan dan
konseling.
g) Keberhasilan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah, tidak lepas
dari pelayanan berbagai pihak di sekolah. Selain guru BK sebagai pelaksana
layanan bimbingan dan konseling, penyelenggaraan bimbingan konseling juga
perlu melibatkan kepala sekolah, guru mata pelajaran, walikelas.

PENUTUP

Dari pembahasan tentang miskonsepsi diatas dapat disimpulkan bahwa dalam bidang BK
masih banyak kesalahpahaman yang perlu diluruskan dibatasi penyebarannya. Hal ini
disebabkan oleh:
1. Pelayanan BK masih dinggap baru.
2. Pelaksana layanan (guru pembimbing atau konselor) sendiri yang masih belum
professional
3. Pandangan pimpinan sekolah dan guru yang belum jelas tentang BK.
4. Penggunaan istilah dalam BK yang masih belum mantap dan kompak.
KEPUSTAKAAN

Andi Mappiare. 1984.. Pengantar Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Surabaya: Usaha
Nasional

Shertzer/ Stone. 1980. Fundamental of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.

Prayitno. 2007. Konsolidasi Profesionalisasi Konselor. Padang: UNP

-----------, 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta

Winkel, WS. 2006. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media
Abadi

Anda mungkin juga menyukai