Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN HASIL STUDI LAPANGAN &

ASUHAN KEPERAWATAN PEKA BUDAYA


DI DESA WISATA CIBUNTU

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Keperawatan Transkultural

Oleh:
Barzam Fathan 1706107176
Joice Polanida H. 1706
Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan 1706107466
Risma Isudawati S. 1706107554

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA

2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Laporan Hasil Studi Lapangan & Asuhan Keperawatan Peka Budaya di Desa
Wisata Cibuntu”. Makalah ini kami susun dengan harapan agar dapat menambah
pengetahuan tentang bagaimana eksplorasi kebudayaan yang ada di Desa Wisata
Cibuntu, Kuningan, Jawa Barat serta bagaimana aplikasi dari asuhan keperawatan
peka budaya.

Dalam penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari konstribusi rekan-rekan


kelompok 4 dan pembimbing. Untuk itu kami menyampaikan rasa terima kasih
kepada :
1. Ibu Dr. Enie Novieastari, S.Kp., MSN selaku koordinator mata ajar
Keperawatan Transkultural, serta selaku fasilitator kelas A.
2. Para fasilitator mata ajar Keperawatan Transkultural:
- Wiwin Wiarsih, SKp.,MN (WW)
- Agus Setiawan, SKp.,MN, DN (AS)
- Dr. Drs. Jajang Gunawijaya, MA (JJG)
3. Rekan-rekan kelompok yang telah menyumbangkan ide dan
pemikirannya sehingga terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Demi
kesempurnaan makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga makalah ini bermanfaat.

Depok, 21 Mei 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………….……………………………………. i
Daftar isi ………………………….…………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………….................... 1
1.1 Latar belakang………………..…………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………..…………………......... 3
1.3 Tujuan…………………………………………………………….... 3
1.3.1 Tujuan Umum……………………………………………..... 3
1.3.2 Tujuan Khusus………………....………………………….... 3
1.4 Sistematika Penulisan…………………………………………….... 4
1.5 Metode Penulisan…………………………………………………….. 4
BAB II TINJAUAN TEORI………………………………………......... 5
2.1 Kebudayaan terkait Makanan.………………………………… 6
2.2 Keperawatan Transkultural……………………….....................
2.3 Asuhan Keperawatan Peka Budaya………………..…………. 8
BAB III PEMBAHASAN …………………………………………... 21
3.1.1 Kebudayaan Seputar Makanan…..……….. 21
3.1.2 Asuhan Keperawatan Peka Budaya…………………………... 24
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………….. 28
4.1 Kesimpulan………………………………………………….. 28
4.2 Saran………………………………………………………….. 29
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 30
LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Desa Wisata Cibuntu merupakan sebuah desa yang terletak di
Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan profil desa Cibuntu tahun 2011, luas wilayah desa Cibuntu adalah
199,78 ha, dengan batas wilayah: Sebelah Utara: Desa Paniis Kecamatan
Pasawahan; Sebelah Selatan: Gunung Ciremai; Sebelah Timur: Desa Seda
Kecamatan Mandirancan; Sebelah Barat: Desa Pasawahan Kecamatan
Pasawahan. Desa ini mendapatkan predikat Desa Wisata oleh Bupati Kuningan
sejak bulan Desember 2012. Desa Cibuntu merupakan sebuah desa yang
termasuk unik karena keberadaan desa tersebut merupakan ujung desa dan
berada di lereng gunung Ciremai, setelah desa Cibuntu selanjutnya merupakan
lahan hutan pinus yang merupakan area hutan gunung Ciremai.
Desa Wisata Cibuntu memiliki banyak sekali ragam kebudayaan yang
bisa dijelajahi di dalamnya. Cibuntu yang berasal dari kata “acining embun
ingkang saestu” memiliki makna sebagai “tetesan embun yang paling terbaik”.
Falsafah hidup masyarakat yang ada di Desa Wisata Cibuntu berdasar pada
tiga unsur yang ada di dunia yaitu mungal atau gunung (sumber kehidupan),
mangil atau laut (laut tidak pernah menolak apa yang menghampirinya), serta
munguk atau matahari (selalu pasti/tidak pernah ingkar). Ketiga unsur tersebut
melaksanakan kodratnya bukan untuk dirinya, tetapi untuk yang lainnya.
Keperawatan peka budaya merupakan salah satu keilmuan dalam
keperawatan yang menekankan bagaimana aspek budaya sangat berperan
penting dalam pemberian asuhan keperawatan. Oleh karenanya, mendalami
apa saja kebudayaan yang ada di Desa Wisata Cibuntu dan menelaah
bagaimana aplikasi asuhan keperawatan peka budaya di sana menjadi sangat
menarik untuk dilaksanakan.

4
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Melakukan eksplorasi kebudayaan seputar makanan yang ada di Desa
Wisata Cibuntu.
1.2.2 Melakukan aplikasi pengkajian keperawatan peka budaya pada klien
dalam keluarga di Desa Wisata Cibuntu.
1.2.3 Melakukan aplikasi analisa dan validasi data pada asuhan keperawatan
peka budaya pada klien dalam keluarga di Desa Wisata Cibuntu.
1.2.4 Mendokumentasikan aplikasi proses asuhan keperawatan peka budaya
pada klien dalam keluarga di Desa Wisata Cibuntu.

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1 Mengetahui kebudayaan seputar makanan yang ada di Desa Wisata
Cibuntu.
1.3.2 Memahami aplikasi pengkajian keperawatan peka budaya pada klien
dalam keluarga di Desa Wisata Cibuntu.
1.3.3 Menganalisis aplikasi analisa dan validasi data pada asuhan
keperawatan peka budaya pada klien dalam keluarga di Desa Wisata
Cibuntu.
1.3.4 Menyimpulkan proses asuhan keperawatan peka budaya pada klien
dalam keluarga di Desa Wisata Cibuntu.

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Kebudayaan terkait Makanan


Manusia menggunakan kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
yang terdiri dari kebutuhan primer/Biologis yaitu makan, minum, pakaian,
perumahan, udara segar, buang air besar dan kecil, istirahat, dorongan sexual, dan
sebagainya. Kebutuahan sosial seperti berkomunikasi, berserikat, kerjasama,
aktualisasi diri, dan berpenampilan menarik (cantik, seksi atau jantan). Kebutuhan
adab seperti prinsip-prinsip benar dan salah, hubungan dengan pencipta, hasrat
seni, rekreasi, rasa aman, dan sebaginya. Kebutuhan itu ditentukan oleh
kebudayaan dan cara memenuhinya pun ditentukan secara budaya, misalnya apa
yang disebut makanan atau minuman adalah apa yang diajarkan oleh manusia
secara budaya, kadang sesuatu yang sebenarnya mengandung nutrisi, tetapi tidak
dimakan karena secara budaya sesuatu itu bukan dianggap makanan. Demikian juga
bentuk pakaian, corak pakaian dan cara berpakaian, antara masyarakat yang
berbudaya berbeda akan berbeda pula bentuk, corak dan cara mengenakannya.

2.1.1 Pandangan Budaya terhadap makanan


Makanan berbeda dengan nutrisi, makanan (food) adalah konsep budaya
sedangkan nutrisi adalah senyawa biokimia yang dibutuhkan tubuh manusia
berupa karbohidrat, protein, mineral, vitamin, dan air. Alam menyediakan seluruh
nutrisi untuk manusia, tetapi manusia hanya mampu mengkonsumsi sebagian
kecil dari nutrisi, hal ini disebabkan karena nutrisi yang ada di alam tidak semuanya
diketahui secara budaya sebagai makanan atau bahkan tidak dianggap makanan.
Selain itu, ada banyak beragam nutrisi terkandung dalam berbagai jenis
tumbuhan dan hewan, tetapi manusia dari kelompok sosial tertentu tidak
mengetahuinya dan tidak menganggapnya sebagai makanan. Sebagai contoh, tidak
semua orang mengenal tumbuhan pakis liar sebagai makanan, bahkan agama
tertentu mengharamkan berbagai jenis hewan untuk dimakan padahal di dalam
hewan tersebut mengandung nutrisi tinggi. Ulat sagu bagi penduduk dataran tinggi

6
Papua adalah makanan favorit, tapi bagi suku bangsa lain adalah menjijikan
sehingga tidak layak dimakan.

2.1.2 Klasifikasi Makanan


Secara budaya makanan dan minuman dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa bentuk yaitu makanan suci dan profane, makanan feminin dan maskulin,
makanan penguji iman, makanan stimulant, dan makanan obat.
a. Makanan suci dan profane
Makanan suci adalah makanan biasa yang disajikan untuk kepentingan
upacara atau persembahan kepada mahluk-mahluk gaib yang dianggap suci
atau mempunyai kekuatan supranatural, seperti sesajen untuk para leluhur,
para dewa atau untuk Tuhan. Sedangkan makanan profane adalah makanan
sehari yang dikonsumsi manusia.
b. Makanan feminin dan maskulin.
Kebudayaan menggolongkan makanan berdasarkan gender, misalanya
rujak, asinan, bakso, the botol, adalah makanan minuman untuk perempuan;
sedangkan bir, sate kambing, steak, adalah makanan utuk laki-laki.
c. Makanan penguji iman
Pada kalangan penganut agama tertentu berbagai jenis hewan diharamkan
oleh agama meskipun bernutrisi tinggi, sesuai dengan ajaran agama
larangan itu menjadi penguji iman.
d. Makanan stimulant
Makanan yang tidak mengenyangkan tetapi dapat menimbulkan gairah,
rileksasi atau kenikmatan lainnya seperti tembakau, daun sirih, cengkeh,
tuak dan sebagainya.
e. Makanan obat
Makanan ini dianggap sebagai obat kerena dianggap mengandung kualitas
panas atau dingin yang dapat digunakana manusia untuk mengobati
berbagai penyakit yang disebabkan oleh keadaan panas atau dingin yang
berlebihan. Bila penyakitnya disebabkan oleh panas dalam tubuh, makan
harus memakan makanan yang berkualitas dingin, demikian pula

7
sebaliknya hingga terjadi keseimbangan unsur panas dan dingin dalam
tubuh. Dalam sistem medis Unanitibia (Foster, 1985) tubuh akan sehat bila
unsur-unsur humoral (cairan) yang memiliki kualitas panas dan dingin
dalam tubuh dalam keadaan seimbang, keseimbangan ini pada manusia
berbeda-beda sesuai dengan golongan usianya. Makanan dianggap sebagai
obat karena rupa dan bentuknya dianggap analog dengan organ-organ
tubuh manusia, mengkonsumsi makanan-makanan tertentu yang bentuknya
mirip atau analog dengan organ-organ tubuh tertentu akan memberikan
kekuatan pada oragan tubuh yang bersangkutan.

2.1.3 Folklore Makanan


Adanya pengetahuan secara budaya berkaitan dengan makanan yang
memiliki kualitas panas, dingin dan analogi bentuk, rupa dan sifat makanan
dengan organ tubuh manusia, menjadikan makanan-makanan tertentu sebagai
obat bagi manusia dan dapat menimbukan efek kesehatan, kecantikan dan
kekuatan bagi pria dan wanita. Pengetehuan tentang hal itu bukanlah
pengetahuan secara ilmiah, tetapi pengetahuan sacara budaya.
Pengetahuan budaya itu ada yang tertulis dalam kitab-kita budaya tertentu
seperti primbon pada masyarakat Jawa dan Sunda: Kitab I La Galigo pada
masyarakat Bugis dan Makasar, namun ada juga yang beredar secara lisan atau
lazim disebut sebagai bagian dari kebudayaan lisan atau secara antropologi
disebut folklore.
Folklor adalah kebudayaan yang berbentuk tradisi lisan. Disebut tradisi
lisan karena diturunkan dan disebarkan secara lisan di dalam kelektif-kolektif
apa saja tanpa diketahui siapa penciptana (anonym), melalui alat bantuk
pengingat atau gerak isyarat. Oleh karena penyebarannya lisan maka
bentuknya memiliki banyak versi meskipun polanya sama (Danandjaja, 2002).
Folkore dapat berbentuk lisan, sebagian lisan maupun bukan lisan.
- Folklor lisan di antaranya Cerita Prosa Rakyat (mithe; legenda, dongeng)
nyanyian dan puisi rakyat (termasuk mantra) seperti lagu-lagu daerah
untuk anak-anak, remaja, maupun dewasa; pantun dan bentuk-bentuk

8
syair. Mantra-mantra baik yang digunakan oleh para dukun, shaman, atau
anak-anak yang bertujuan hanya sekedar permainan. Lelucon, anekdot
dan humor (dari yang lucu hingga yang fullgar); lelucon tentang suku-
suku bangsa atau kelompok etnik tertentu; anekdot, cerita lucu yang
menggambarkan tokoh-tokoh masyarakat tertentu ; humur pergaulan,
humor politik, humor seksual dan lain-lain.
- Folkor bukan lisan terdiri dari arsitektur rakyat, senjata tradisional,
Pakaian dan perhiasan tradisonal, makanan dan minuman rakyat.
Mengacu kepada definisi folklor itu, makanan dan minuman tradisional
adalah termasuk folklore bukan lisan. Meskipun bukan lisan tetapi cara
penyebarannya dilakukan secara lisan dan tradisonal sesuai dengan definisi
folklore di atas. Oleh karena merupakan tradisi, maka kebenaran dari khasiat
makanan dan minuman itu sudah tidak penting lagi, karena yang tradisi adalah
berbagai praktik yang dilakukan secara berulang ulang dan turun temurun tanpa
memperhitungkan rasio atau kebenaran berdasarkan nalar. Hal itu berlaku pada
praktek-praktek sosial dalam membuat dan mengkonsumsi makanan dan
minuman tradisional.

2.2 Keperawatan Transkultural


Leineger dan McFarland (2002) dalam Pratiwi (2011), menjelaskan bahwa
pada era kedepan dunia akan membahas pada konsep yang spesifik tetapi
mengandung arti yang kompleks dan banyak berbagai perbedaan budaya yang
berfokus kepada kepercayaan, nilai dan gaya hidup.
Teori trankultural dari Leineger, dipakai sebagai pendekatan asuhan
keperawatan yang berorientasi pada latar belakang budaya. Memahami budaya
yang dianut oleh pasien, merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam
memberikan asuhan keperawatan. Menurut Leineger (2002) dalam Potter dan
Perry (2009) mendefinisikan keperawatan trankultural sebagai penelitian
perbandingan budaya untuk memahami persamaan (budaya universal) dan
perbedaan budaya di antara kelompok manusia. Menurut Brunnert dan Suddart
(2007) dala Pratiwi (2011) keperawatan transkultural merupakan istilah yang

9
kadang digunakan secara bergantian dengan keperawatan antar kultur,
interkultur atau multikultur mengacu pada formal disiplin ilmu dan praktik yang
dipusatkan pada nilai, kepercayaan, dan praktik asuhan kultural untuk individu
dan kelompok dengan kultur tertentu. Tujuan keperawatan trankultural adalah
memberikan asuhan yang bersifat kultur spesifik dan kultur universal yang akan
menghasilkan kesehatan dan kenyamanann individu, keluarga, kelompok,
komunitas dan intitusi (Leineger, 1997 dalam Pratiwi, 2011).
Dalam penerapan keperawatan trankultural ini juga penting bagi perawat
untuk mengingat kembali paradigma keperawatan, sehingga keperawatan
trankultural ini bisa di aplikasikam dalam paradigma keperawata.

BAGAN 2.1
Penerapan Asuhan Keperawatan Transkultural

10
2.1.1 Konsep Utama Teori Cultural Care
Leineger (2002) mendefiniskan trankultural nursing sebagai area yang
luas dalam keperawatan yang mana berfokus pada komparatif studi dan
analisi perbedaan kultur dan subkultur dengan menghargai perilaku
caring, nursing care dan nila sehat-sakit, kepercayaan dan pola tingkah
laku dengan tujuan perkembangan ilmu dan humanistic body of
knowledge untuk kultur yang spesifik dan kultur yang universal dalam
keperawatan. Tujuan dari trankultural dalam keperawatan adalah
kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan kultur, hal ini berarti perawat
yang profesional memiliki pengetahuan dan praktik yang berdasarkan
kultur secara konsep perencanna untuk mengaplikasikan praktik
keperawatan.
Leineger mengembangkan teorinya dari perbedaan kultur dan
kepercayaan masyarakat, dan menjadikan hal tersebut sebagai sumber
informasi yang menentukan jenis perawatan yang diinginkan dari
pemberi pelayanan yang profesional, karena kultur adalah pola
kehidupan masyarakat yang berpengaruh terhadap keputusan dan
tindakan.
BAGAN 2.2
Bagan Hubungan Penerapan Cultural care
terhadap Konflik Etik dan Etnik

11
Terdapat beberapa asumsi yang mendasari konep trankultural
berasal dari hasil penelitian kualitatif tentang kultur, yang kemudian
kemudian digunakan sebagai pedoman untuk mencari culture care yang
akan diaplikasikan. Adapun definisi tersebut adalah human caring,
cuture, culture care, culture care diversity, culture care universality,
worldview, cultural and social stucture dimensions, environmental
context, ethnohistory, emic, etic, health, trancultural nursing, culture
care preservation and maintannance, culture care accomodation, culture
care repating dan culturally competent.
Human caring dan caring secara umum dikatakan sebagai segala
sesuatu yang berkaitan dengan kepedulian, dukungan dan bimbingan
pada manusia yang utuh, hal ini merujuk pada bagaimana cara
mendukung, memfasilitasi diri sendiri atau orang orang lain dalam
meningkatkan kesehatan, gaya hidup, dan untuk menghadapi kecacatan
atau kematian. Human caring merupakan fenomena yang universal
dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satu
tempat dengan tempat lainnya. Caring act dikatakan sebagaidalam
memberikan dukungan kepada individu secara utuh (Alligod, 2015).

12
Caring adalah esensi dari keperawatan dan membedakan,
mendominasi serta mempersatuan tindakan keperawatan. Perilaku care,
bertujuan dan berfungsi mengubah struktur sosial, pandangan hidup dan
nilai kultur setiap orang yang berbeda pada satu tempat dengan tempat
lainnya. Leineger mendefiniskan Caring adalah tindakan yang yang
diarahkan untuk membimbing, mendukukung individu lain/kelompok
dengan nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi
kehidupan manusia. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan
bimbingan, dukungan atau perilaku lain yang berkaitan untuk
individu/kelompok dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi
kehidupan manusia.
Culture adalah berkenaan dengan mempelajari, membagi, dan
transmisi nilai, kepercayaan, norma dan praktek kehidupan dari sebuah
kelompok yang dapat menjadi tuntunan dalam berpikir, mengambil
keputsan, bertindak dan berbahasa. Sedangkan cultural care berkenaan
dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui, nilai, kepercayaan dan
pola ekpresi yang mana membimbing, mendukung atau memberi
kesmepatan individu atau kelompok untuk mempertahankan kesehatan,
meningkatkan kondisi kehidupan atau kematian serta keterbatasan
(Alligood, 2015).
Perbedaan kultur dalam keperawatan (Culture Care diversity)
adalah variasi dari pengertian pola, nilai, atau simbol dari perawatan,
kesehatan atau untuk meningkatkan kondisi manusia, jalan kehidupan
atau kematian. Culture care universality berkenaan dengan hal umum,
merupakan bentuk dari pemahaman terhadap pola, nilai atau simbol dari
perawatan yang mana kultur mempengaruhi kesehatan atau memperbaiki
kondisi manusia. Cultural imposition berkenaan dengan kecenderungan
tenaga kesehatan untuk mekasakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas
kultur lain karena mereka percaya bahwa ide mereka lebih tinggi dari
kelompok lain (Pratiwi, 2011).

13
2.2.2 Asumsi Teori Cultural Care
Beberapa asumsi utama yang dikemukakan oleh Leineger (2002) dan
menjadi inti dari teori yang ia kemukakan, dan tergambar dari bagan teori
Sunrise Enabler (Pratiwi, 2011).
a. Culture care
Nilai-Nilai, keyakinan, norma, pandangan hidup yang dipelajari dan
diturunkan serta diasumsikan yang dapat membantu
mempertahankan kesejahteraan dan kesehatan serta meningkatkan
kondisi dan cara hidupnya.
b. World View
Cara pandang individu atau kelompok dalam memandang
kehidupannya sehingga menimbulkan keyakinan dan nilai.
c. Culture and social structure Dimention
Pengaruh adri faktor-faktor budaya tertentu (sub budaya) yang
mencangkup religus, kekeluargaan, politik dan legal, ekonomi,
pendidikan, teknologi dan nilai budaya yang saling berhubungan
dan berfungsi untuk mempengarui perilaku dalam konteks
lingkungan yang berbeda.
d. Generic Care system
Budaya tradisional yang diwariskan untuk membantu,
mendudukung, memperoleh kondisi kesehatan, memperbaiki atau
meningkatkan kualitas hidup untuk mengadapi kecacatan dan
kematian
e. Profesional system
Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan
kesehatan yang memiliki pengetahuan dari proses pembelajaran di
intitusi pendidikan formal serta melakukan pelayanan kesehatan.
f. Culture Care Preservation
Upaya untuk mempertahankan dan memfasilitasi tindakan
professional untuk mengambil keputusan dalam memelihara dan
menjaga nilai-nilai pada individu atau kelompok sehingga dapat

14
mempertahankan kesejahteraan, sembuh dan sakit serta mampu
menghadapi kecacatan kematian.
g. Culture Care Acomodation
Teknik negosiasi dalam memfasilitasi kelompok orang dengan
budaya tertentu untuk beradaptasi/berunding terhadap tindakan dan
pengambilan kesehatan.
h. Culture Care Repattering
Menyusun embali dalam memfasilitasi tindakan dan pengambilan
keputusan professional yang dapat membawa perubahan cara hidup
seseorang.
i. Culture Congruent/Nursing Care
Suatu kesadaran untuk menyesuaikan nilai-nilai budaya/keyakinan
dan cara hidup individu/golongan atau intitusi dalam upaya
memberikan asuhan keperawatan yang bermanfaat.

2.3 Asuhan Keperawatan Peka Budaya


Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan
asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari
terbit (Sunrise Model). Geisser dalam Andrew dan Boyle (2008) menyatakan bahwa
proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berpikir dan
memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew dan Boyle, 2008). Pengelolaan
asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Pengkajian adalah proses
mengumpulkan data untuk mengidentifikasimasalah kesehatan kliensesuai dengan
latar belakang budaya klien (Giger, 2014). Pengkajian dirancang berdasarkan tujuh
komponen yang ada pada Sunrise Mode‖ yaitu (Giger, 2014):
a. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih ataumendapat
penawaranmenyelesaikan masalah dalam pelayanankesehatan. Perawat
perlu mengkaji: persepsi sehat-sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi
masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih

15
pengobatan alternatif dan persepsi kliententang penggunaan
danpemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat
ini.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat
realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat
kuat untuk menempatkan kebenaran diatas segalanya, bahkan di atas
kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah
agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap
penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yangberdampak
positif terhadap kesehatan.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor nama lengkap, nama
panggilan, umur dantempat tanggal lahir, jenis kelamin,status, tipe
keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga,danhubungan klien
dengan kepala keluarga.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh
penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya
adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada
penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah :posisidan
jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan,
kebiasaan makan,makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi
sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan
diri.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu
yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas
budaya (Andrew and Boyle, 2008). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah
peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah

16
anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien
yangdirawat.
f. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material
yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor
ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya: pekerjaan klien,
sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,biaya dari
sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan
antar anggota keluarga.
g. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalammenempuh
jalur pendidikanformal tertinggi saat ini. Semakin tinggipendidikan klien
maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti bukti ilmiah yang
rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya
yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap
ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya
untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga
tidak terulang kembali.

17
BAB III
HASIL STUDI LAPANGAN

3.1 Kebudayaan Seputar Makanan


Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia, karena berperan penting
untuk sumber tenaga, pertumbuhan tubuh, serta melindungi tubuh dari penyakit.
Makanan menurut World Health Organization (WHO) yaitu semua substansi yang
diperlukan tubuh, kecuali air dan obat-obatan dan substansi-substansi yang
dipergunakan untuk pengobatan.
Makanan dan nutrisi adalah dua hal yang berbeda, makanan adalah konsep
budaya sedangkan nutrisi adalah senyawa biokimia yang dibutuhkan tubuh manusia
berupa protein, karbohidrat, mineral, vitamin dan air. Alam menyediakan hampir
seluruh nutrisi untuk manusia, tetapi manusia hanya mampu mengkonsumsi nutrisi
itu tidak lebih dari 10% yang disebabkan oleh nutrisi yang ada di alam tidak
semuanya diketahui secara budaya sebagai makanan atau bahan tidak dianggap
sebagai makanan.
3.1.1 Jenis Makanan Khas Desa Cibuntu
Dalam konteks budaya, makanan dan minuman dapat diklasifikasikan
dalam beberapa bentuk, yaitu makanan suci, makanan profane, makanan feminim
dan maskulin, makanan penguji iman, makanan stimulan dan makanan obat.
a. Cookies rebung dan berbagai olahan dari Rebung
Desa Cibuntu merupakan sebuah desa yang unik karena keberadaan desa
tersebut merupakan ujung desa dan berada di lereng gunung Ciremai, setelah
desa Cibuntu selanjutnya merupakan lahan hutan bambu dan hutan pinus yang
merupakan area hutan gunung Ciremai. Hutan bambu yang melimpah di desa
Cibuntu, menjadikan olahan dari pohon bambu menjadi salah satu makanan
khas di desa Cibuntu. Salah satu olahan dari bambu adalah cookies/makanan
kering yang terbuat dari rebung.
Rebung adalah tunas yang masih muda yang tumbuh dari akar bambu.
Masyarakat desa Cibuntu sering menggunakan tepung yang terbuat dari rebung

18
untuk dijadikan olahan makanan salah satunya adalah cookies rebung. Cara
pembuatan cookies rebung ini diantaranya:
 Rebung bambu kuning di parut
 Lalu kemudian diambil sarinya
 Sari rebung pun di keringkan dengan cara di jemur
 Sari rebung tersebut dihaluskan untuk dijadikan tepung.
 Tepung rebung tersebut kemudian di campur dengan margarin, gula,
telur dan baking soda untuk dijadikan adonan cookies/kue kering
 Adonan cookies/kue kering tersebut dicetak dan kemudian di
panggang.
Kendala yang ditemukan dalam pembuatan cookies rebung adalah
ketersediaan rebung. Rebung bambu sangat melimpah pada musim hujan, tetapi
warga kesulitan ketika akan menjemurnya.
Gambar 3.1
Sari Rebung Bambu Kuning

b. Jasreh (Jahe Sereh)


Desa Cibuntu merupakan desa yang berada di kaki gunung Ciremai, dengan
iklim yang dingin. Warga desa Cibuntu biasa mengkonsumsi minuman
penghangat tubuh yaitu Jasreh (Jahe Sereh).

19
Jahe (Zingiber officinale) adalah sejenis rhizome yang memiliki banyak
varietas di antaranya adalah jahe merah dan jahe putih. Kedua varietas jahe
tersebut secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia dijadikan minuman,
bumbu, obat berupa jamu atau campuran obat. Tumbuhan tersebut dianggap
memiliki kualitas hangat atau panas sehingga berkhasiat untuk mengobati
penyakit yang berkategori dingin seperti sakit saluran pencernaan, flu atau
demam, masuk angin dan berbagai jenis penyakit dalam seperti beberapa jenis
penyakit hepatitis dan paru paru.
Ibu Ucum narasumber kami, sudah hampir empat tahun menjadi produsen
pembuat jasreh instan di desa Cibuntu. Beliau mengatakan bahwa jahe yang
digunakan untuk membuat Jasreh adalah jahe Emprit atau biasa di sebut jahe
Sunti. Jahe Emprit (Zingiber Majus Rumph) adalah bentuk jahe yang kecil dan
pipih dan biasanya berwarna putih. Cara pembuatan jasreh adalah:
 Jahe Emprit dan dibersihkan dan kemudian direbus bersama air
 Rebusan air jahe dan sereh kemudian ditambahkan gula, dengan
perbandingan 1:1
 Kemudian di olah selama 1-3 jam hingga menjadi bentuk seperti karamel
dan kemudian mengkristal.
 Dalam keadaan seperti karamel/kristal inilah olahan jasreh dapat
dihaluskan yang dikeringkan. Jasreh instan ini dapat bertahan hinggal 6
bulan.
Gambar 3.2
Jasreh Instan dan Jahe Emprit

20
Berdasarkan klasifikasi makanan berdasarkan budaya, jasreh (jahe
sereh) merupakan makanan stimulant. Makanan stimulant adalah makanan
yang tidak mengenyangkan tetapi dapat menimbulkan gairah, rileksasi atau
kenikmatan lainnya. Selain itu jasreh juga dianggap sebagai makanan obat
karena masyarakat percaya dengan mengkonsumsi jasreh akan
menghangatkan tubuh, membuat tubuh rileks, mengurangi masuk angin dan
dapat megobati penyakit influenza.
c. Kerupuk pisang, Ciled, dan Kempul
Desa Cibuntu merupakan dataran tinggi yang memiliki tanah yang
subur untuk ditanami berbagai macam tumbuh-tumbuhan. Salah satu yang
tumbuhan khas dan tumbuh subur tumbuh di desa Cibuntu adalah pisang
nangka dan ubi Manohara. Pisang nangka yang dihasilkan di desa Cibuntu
terkenal dengan pisang yang sangat manis. Masyarakat biasanya mengolah
pisang nangka dengan membuatnya menjadi keripik pisang. Keripik pisang
khas desa Cibuntu memiliki rasa yang manis dan gurih. Rasa manis dari
keripik pisang itu merupakan rasa manis asli dari pisang nangka tanpa
ditambahkan pemanis buatan. Keripik pisang biasanya dikonsumsi sebagai
cemilan/snack.
Selain tanaman pisang nangka yang khas di desa Cibuntu, terdapat ubi
Manohara. Masyarakat biasa menyebutnya sebagai ubi Manohara karena
bentuk ubinya yang kecil namun padat dan kulitnya berwarna putih dengan
daging berwarna kuning. Masyarakat biasa mengolah ubi menjadi makanna
khas yaitu ciled. Ciled adalah kepanjangan dari aci (tepung tapioka) dan
buled (buled adalah bahasa sunda yang artinya ubi jalar). Ciled biasanya
dimasak ketika ada perayaan hari besar, sedekah bumi dan untuk
menyambut tamu yang datang ke desa Cibuntu.
Selain ciled dan keripik pisang, makanan khas desa Cibuntu yang lain
adalah kempul. Kempul adalah makanan sejenis perkedel, namun isinya
diisi oleh oncom. Bentuk kempul ini bulat dengan rasa gurih dan sedikit
peda. Masyarakat biasa mengkonsumsi kempul sebagai camilan di pagi hari
sebelum beraktivitas.

21
Gambar 3.3
Keripik pisang, Ciled dan Kempul

3.1.2 Makanan obat atau Tanaman Obat


Selain jasreh yang digunakan untuk mengobati penyakit influenza dan untuk
menghangatkan, masyarakat juga biasa menggunakan kunyit sebagai tanaman obat.
Menurut Hartati & Balittro (2013), kunyit (Curcuma Domestica Val) dikenal
sebagai tanaman obat yang memiliki khasiat sebagai antioksidan, antitumor,
antikanker, antimikroba dan antiinflamasi. Kunyit merupakan jenis rumput-
rumputan dengan bagian utamanya adalah rimpang yang berada di dalam tanah.
Rimpang induk biasanya berbentuk elips dengan kulit luarnya berwarna jingga
kekuningan.
Menurut Ibu Ucum sebagai narasumber kami, kunyit biasa digunakan untuk
mengurangi diare. Salah satu bentuk penangan pertama pada anak diare adalah
dengan menggunakan kunyit. Cara mengolah kunyit sebagai obat diare adalah
kunyit diparut, diambil sarinya kemudian diberikan pada anak yang sedang diare.
Jika dalam sehari setelah pemberian kunyit anak masih diare, baru kemudian di
bawa ke puskesmas atau dokter setempat.
Selain kunyit terdapat juga tumbuhan yang digunakan sebagai obat yaitu
bunga Korejat. Bunga Korejat (Lauentia Longiflora) merupakan tanaman dengan
famili Campanulacae berasal dari Hindia Barat.
Menurut ibu Ucum sebagai narasumber kami, masyarakat biasa
menggunakan bunga korejat sebagai obat tetes mata jika mata terasa gatal, perih

22
dan merah. Cara menggunakannya yaitu bagian bunga yang diekstrakkan (air
diujung bunga) di teteskan kepada mata yang dirasa perih atau gatal.

Gambar 3.4
Tanaman Kunyit (Curcuma Domestica Val) dan
Bunga Korejat (Lauentia Longiflora)

3.1.3 Acara kebudayaan terkait Makanan


Terdapat sebuah tradisi yang diturunkan secara turun temurun dari leluhur
masyarakat desa Cibuntu, yaitu sedekah bumi. Acara sedekah bumi adalah acara
rutin yang dilaksanan setiap tahun, setiap menjelang musim tanam biasanya pada
bulan Oktober. Sedekah bumi merupakan bentuk syukur masyarakat desa Cibuntu
kepada Tuhan, atas hasil panen yang telah diperoleh dan sekaligus memohon
kepada Tuhan agar tanaman pertanian masyarakat desa Cibuntu lebih subur dan
produksi panen lebih baik pada musim-musim tanam berikutnya.
Ratusan warga desa Cibuntu berkeliling kampung dengan membawa hasil
bumi dan makanan, kemudian berkumpul pada satu titik (lapangan) untuk
kemudian makanan tersebut dimakan bersama. Kepala desa turut serta dalam
rombongan warga dengan menunggangi delman (kereta kuda) dan diikuti oleh
warga masyaraat yang berjalan kaki mengelilingi desa. Rombongan warga laki-laki
wajib membawa tetenong yang berisi makanan sedangkan rombongan perempuan
membawa boboko (tempat nasi).
Adat budaya sunda sangat kental sekali pada acara ini, ditandai dengan
selama acara rombongan diiringi dengan irama tabuhan genjring dan umbul-umbul.
Warga juga menggunakan pakaian khas sunda yaitu pangsi untuk kaum pria dan

23
kebaya untuk kaum perempuan. Pada puncak acara, masyarakat maupun
pengunjung makan bersama tanpa memandang status sosial dan ekonomi.
Masyarakat dibebaskan memilih dan mengambil sendiri makanan dari wadah yang
di gelar. Meskipun prosesinya terbilang sederhana tetapi berhasil menarik
pengunjung untuk ikut serta dalam pelaksanannya.
Gambar 3.4
Acara Sedekah Bumi Desa Cibuntu

24
3.2 Asuhan Keperawatan Peka Budaya pada Klien dalam Keluarga
3.2.1 Gambaran Umum Klien
Klien merupakan seorang perempuan berusia 43 tahun dan sudah menikah.
Memiliki 3 orang anak, tinggal di rumah bersama dengan suami, 2 orang anak serta
2 orang cucu. Keseharian klien sebagai ibu rumah tangga sekaligus memiliki
kesibukan industri rumah tangga berupa produksi makanan khas tradisional.
3.2.2 Pengkajian
a. Waktu Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada hari Jumat, 4 Mei 2018 pada pukul 14.30
b. Identitas Klien
1) Nama : Ibu U
2) Umur : 43 tahun
3) Jenis kelamin : perempuan
4) Status perkawinan: sudah menikah
5) Agama : Islam
6) Alamat : Cibuntu
c. Data Terkait Kebudayaan Pasien
1) Suku bangsa / kelompok etnik
Klien berasal dari suku Sunda. Kedua orang tuanya merupakan asli dari
Sunda. Klien sejak lahir hingga sekarang tinggal di Cibuntu.
2) Nilai-nilai kebudayaan yang dianut terkait penyebab penyakit atau
masalah yang diderita saat ini
Klien mengatakan bila ia sakit, itu merupakan sebuah bentuk teguran
untuk melakukan koreksi diri mengenai kesalahan yang pernah
dilakukan. Selebihnya, klien lebih meyakini bahwa sakit disebabkan
oleh faktor kebiasaan sehari-hari, seperti misalnya kebiasaan makan,
cara menjaga kebersihan.
3) Kebiasaan klien saat sakit mencakup pola aktivitas dan istirahat
Klien mengatakan ketika sakit, selama ia masih bisa berjalan dan
bangun dari tempat tidur, klien tetap akan beraktivitas seperti biasa.

25
Klien mengatakan akan menghentikan aktivitasnya apabila kepalanya
sangat pusing dan badan sudah sangat lemas.
4) Pola komunikasi klien
Klien dapat menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Klien
mengatakan menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi sehari-
hari. Saat berbicara, klien tidak mengalami hambatan untuk
berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal. Sesekali klien
tampak menggunakan gesture seperti mengangguk untuk menunjukkan
persetujuan, menggeleng untuk menyatakan tidak. Klien mengatakan
dapat berinteraksi di lingkungan sekitar dengan baik.
5) Kebiasaan klien yang berhubungan dengan pola makanan
Klien merupakan penyaji utama makanan di dalam keluarga dengan
mengatur frekuensi makan sebanyak 3 kali sehari (makan pagi, makan
siang dan makan malam). Klien mengatakan cara penyajian makanan
bervariasi setiap harinya baik dengan cara digoreng, direbus atau
dikukus sesuai dengan menu yang ingin disajikan. Klien mengatakan
dalam setiap menu makanannya berusaha mengurangi tambahan garam
karena di keluarga ada yang memiliki darah tinggi (suami). Klien
mengatakan tidak ada pantangan tertentu terhadap makanan yang
dikonsumsi, selama itu bisa mengenyangkan atau menyehatkan, klien
akan menyajikannya.
6) Nilai-nilai terkait orientasi waktu
Klien mengatakan bahwa ia terbiasa untuk melaksanakan aktivitas rutin
berdasarkan perkiraan jam (social time), seperti misalnya, “saya biasa
belanja di pasar pagi hari, kemudian mengantar makanan ke suami di
kebun nanti siang hari sebelum dzuhur”.
7) Nilai-nilai terkait jarak atau space saat berhubungan dengan orang lain
Selama pengkajian, komunikasi dilakukan dengan jarak yang dekat
(kurang lebih satu meter) dengan posisi saling berhadapan dan sejajar.
Selama komunikasi, klien tampak nyaman dan menjawab pertanyaan
dengan antusias.

26
8) Sanksi dan batasan budaya terkait penyakit klien
Klien mengatakan jika ia sakit, klien sudah terbiasa untuk mencoba
melakukan pengobatan sendiri yang bisa dilakukan di rumah
menggunakan bahan-bahan tradisional dan yang ada di rumah.
Selebihnya, tidak ada hambatan dari segi kebudayaan yang membatasi
klien untuk pergi mencari pengobatan. Klien mengatakan akan mencari
pertolongan medis ketika pengobatan sendiri atau di rumah tidak bisa
dilakukan sama sekali. Klien tidak mempermasalahkan ketika ia sakit
dan harus bertemu dengan dokter yang berbeda jenis kelamin.
9) Aktivitas keagamaan dan pengaruhnya terhadap penyakit
Klien mengatakan ketika ia sakit, ia tetap melaksanakan ibadah rutin
sesuai dengan tuntunan agamanya (Islam). Klien mengatakan tidak akan
mengurangi frekuensi dalam melaksanakan rutinitas ibadahnya selama
ia masih bisa beraktivitas seperti biasa.
10) Variasi biologis terkait kelompok etnis/ras pasien
Tinggi badan klien adalah 155 cm dan berat badan 55 kg. Klien memiliki
warna kulit sawo matang, rambut hitam, warna mata coklat gelap. Postur
tubuh klien proporsional. Klien mengatakan tidak ada masalah dengan
penampilannya saat ini dan mengatakan sama seperti kebanyakan orang
Sunda lainnya.
11) Organisasi sosial yang diikuti pasien
Klien menjadi anggota dari kelompok arisan yang ada di lingkungan
RT-nya.
12) Latar belakang pendidikan
Klien merupakan lulusan SMA. Klien bisa membaca dan menulis
dengan baik. Menurut klien, tingkat pendidikannya sudah sesuai standar
dan memudahkan klien dalam beraktivitas sehari-hari.
13) Pekerjaan pasien
Klien merupakan seorang wirausahawan dengan memproduksi
makanan khas tradisional.

27
d. Penggunaan Terapi Alternatif (herbal, akupuntur, komplementer lainnya)
Klien mengatakan ketika sakit, ia akan mencoba menggunakan bahan-
bahan herbal yang ada di lingkungannya untuk mengatasi sakit tersebut.
Seperti misalnya, ia akan menggunakan racikan kencur dan perasan jeruk
nipis saat mengalami sakit batuk.
e. Aktivitas Tertentu di Rumah untuk Mengatasi Keluhan
Klien mengatakan akan lebih banyak beristirahat ketika ada keluhan seperti
sakit.
f. Pola Fungsional dan Sistem Tubuh
1) Pola aktivitas dan istirahat/sistem sirkulasi dan pernafasan
Tekanan darah klien adalah 130/80 mmHg, frekuensi nadi 82x/menit,
frekuensi pernapasan 20x/menit dan suhu tubuh pasien 36.6oC. Tidak
ada hambatan dalam bernafas dan beraktivitas. Klien mengatakan biasa
tidur pada pukul 21.00 dan bangun pada pukul 04.00. Klien mengatakan
jarang istirahat siang (napping).
2) Pola eliminasi/sistem eliminasi urin dan fekal
Klien dapat BAB dan BAK dengan lancar. Klien mengatakan lebih
terbiasa untuk melaksanakan BAB dan BAK dengan posisi jongkok.
3) Pola nutrisi dan metabolik (keseimbangan cairan dan elektrolit)
Klien mengatakan biasa makan sebanyak 3 kali sehari pada pagi hari
(jam 06.00), siang hari (jam 13.00) dan malam hari (jam 19.00). Klien
jarang untuk menyantap makanan ringan (snack).
4) Pola kognitif-perseptual/sistem neurosensori
Kondisi umum klien baik dengan tingkat kesadaran compos mentis.
Tidak ada masalah dengan sistem neurosensori. Orientasi terhadap
waktu, tempat dan orang baik.
5) Pola seksualitas/sistem reproduksi
Klien mengatakan siklus haid teratur. Klien mengatakan tidak ada
masalah dengan pola seksualitas.
6) Tingkat kecemasan

28
Klien tidak cemas. Saat diajak berkomunikasi dapat menjaga kontak
mata dengan baik, menjawab pertanyaan dengan jelas dan tidak terburu-
buru.
7) Pola koping
Klien mengatakan ketika ia dihadapkan pada situasi yang stress, klien
terbiasa untuk diam kemudian mencoba mendiskusikannya dengan
orang lain untuk menemukan jalan keluar.
8) Pola peran hubungan/sistem sosial
Klien mengatakan puas dengan perannya sebagai ibu rumah tangga
sekaligus produktif dalam bekerja sebagai wirausahawan.

3.2.3 Analisa Data & Diagnosa Keperawatan


No. Data Diagnosa Keperawatan
1. Data Subjektif: Kesiapan meningkatkan manajemen
- Klien mengatakan lebih kesehatan diri
meyakini bahwa sakit
disebabkan oleh faktor
kebiasaan sehari-hari,
seperti misalnya kebiasaan
makan, cara menjaga
kebersihan.
- Klien mengatakan jika ia
sakit, klien sudah terbiasa
untuk mencoba melakukan
pengobatan sendiri yang
bisa dilakukan di rumah
menggunakan bahan-
bahan tradisional dan yang
ada di rumah.
- Klien mengatakan akan
mencari pertolongan medis

29
ketika pengobatan sendiri
atau di rumah tidak bisa
dilakukan sama sekali.
- Klien mengatakan akan
lebih banyak beristirahat
ketika ada keluhan seperti
sakit.
- Klien mengatakan ketika
sakit, ia akan mencoba
menggunakan bahan-
bahan herbal yang ada di
lingkungannya untuk
mengatasi sakit tersebut.
Data Objektif:
- Keadaan umum klien baik,
kesadaran compos mentis
- Tanda-tanda vital dalam
batas normal:
Tekanan darah 130/80
mmHg, frekuensi nadi
82x/menit, frekuensi
pernapasan 20x/menit dan
suhu tubuh pasien 36.6oC.
- Durasi tidur baik (tidur
pada pukul 21.00 dan
bangun pada pukul 04.00)

30
3.2.4 Rencana Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan Intervensi Keperawatan


Keperawatan
1. Kesiapan Setelah dilakukan Cultural Care
meningkatkan tindakan Preservations:
manajemen keperawatan selama 1. Diskusikan
kesehatan diri 1x kunjungan, klien kebiasaan-kebiasaan
dapat mengambil yang dilakukan klien
keputusan/komitmen ketika sakit.
untuk melaksanakan 2. Lakukan
kebiasaan yang komunikasi dengan
menunjang pertanyaan terbuka
manajemen dan tidak terburu-
kesehatan diri buru.
3. Berikan apresiasi
(reinforcement
positif) pada
kebiasaan klien yang
sudah sesuai untuk
menunjang
kesehatan.
4. Berikan pendidikan
kesehatan mengenai
pola hidup bersih
dan sehat, termasuk
penggunaan terapi
herbal, alternatif
atau komplementer
lainnya.

31
5. Identifikasi dan
pertahankan
kebiasaan klien
terkait dengan
kebudayaan klien
yang sudah
menunjang
kesehatan.

32
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Desa Cibuntu terletak di kecamatan Pasawahan, kabupaten Kuningan, Jawa
Barat merupakan desa yang keberadaan desanya merupakan ujung desa yang
berada di lereng gunung Ciremai. Desa Cibuntu memiliki banyak sekali potensi
untuk mejadi desa wisata, diantaranya wisata gunung Ciremai, Wisata situs
Purbakala, Agrowisata yang indah, wisata air terjun Curug Gongsen dan
keanekaragaman budaya yang terus dilestarikan. Sehingga pada tahun 2012 berkat
kerjasama masyarakat, desa wisata Cibuntu diresmikan sebagai desa wisata oleh
bupati Kuningan.
Letak geografis desa Cibuntu yang berada di dataran tinggi dan beriklim
sejuk, membuat berbagai macam tanaman tumbuh subur disana. Hal tersebut
dimantaatkan baik oleh masyarakat untuk ditanami berbagai macam tumbuhan
seperti padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, tanaman buah dan
sebagainya. Masyarakat mengelola tanaman di desa Cibuntu dengan baik sehingga
menghasilkan berbagai makanan-makanan khas desa Cibuntu.
Dalam konteks budaya, makanan dan nutrisi adalah dua hal yang berbeda.
Makanan sangat erat kaitannya dengan budaya sedangkan nutrisi adalah senyawa
biokimia yang dibutuhkan tubuh manusia berupa protein, karbohidrat, mineral,
vitamin dan air. Berbagai macam olahan makanan yang khas di desa Cibuntu,
diantaranya cookies rebung, jasreh, ciled, kempul dan keripik pisang. Pengelolaan
lahan pertanian yang baik dan terus dikembangkan, dapat bernilai ekonomis bagi
masyarakat setempat. Hal itu menjadi peluang bagi kelompok masyarakat yang
tergabung dalam kelompok wanita tani desa Cibuntu, dalam memproduksi
minuman tradisional Jasreh cepat saji/instant (Jahe Sereh).
Seperti yang telah dipelajari bahwa latarbelakang budaya, dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang terhadap tindakan pengobatan
yang akan diambil. Oleh sebab itu, asuhan keperawatan peka budaya sangat
dibutuhkan bagi perawat dalam melakukan asuhan keperawatan baik secara

33
individu, kelompok atau masyarakat. Asuhan budaya adalah asuhan keperawatan
profesional yang peka budaya, tepat budaya dan kompeten secara budaya. Ini
adalah pemberian asuhan keperawatan yang melintasi batasan budaya dan
mempertimbangkan konteks tempat tinggal klien tersebut serta situasi yang
menyebabkan munculnya masalah kesehatan klien. Masyarakat di desa Cibuntu
banyak yang mengombinasikan biomedis yang diresepkan dokter dan juga mencari
penyembuhan tradisional. Sikap ini berhubungan dengan faktor budaya, agama dan
kepercayaan sebagai salah satu alternatif dalam penangan kesehatan.

4.2 Saran
4.2.1 Kegiatan mengamati dan memahami kebudayaan di desa Cibuntu
memperlukan waktu yang lebih panjang, dan proses keperawatan dari
mulai pengkajian sampai evaluasi dapat dilaksanakan semestinya
sehingga tercipta proses Culture Care Preservation, Culture Care
Acomodation dan/atau Culture Care Repaterning.
4.3.2 Dalam penerapan asuhan keperawatan yang peka budaya, kelompok
memiliki saran untuk mengasah kemampuan pengkajian yang berbasis
budaya diharapkan perawat terus belajar dan mengulang bagaimana
baiknya memberikan asuhan kepada pasien yang menganut kepercayaan
yang berbeda dengan perawat.
4.3.3 Ini merupakan sebuah keterampilan yang didukung kemauan untuk terus
belajar bagaimana memberikan asuhan keperawatan agar maksimal. Di
Indonesia masih banyak pasien yang mengkombinasikan pengobatan
medis dengan pengobatan tradisional. Karena ini dipengaruhi oleh faktor
budaya, keprcayaan dan agama yang dianut oleh si pasien tersebut.

34
Daftar Pustaka

Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorist and Their Work. 8th Ed. St. Louis:
Elsevier

Berman, A. Synder, S & Fransen, G. (2016). Kozier & Erb’s Fundamental of


nursing Concepts, Process and Practice. United State of America.

Leineger, M. (2014). The worldwide trankultural Nursing Movement. Diakses di


http://www.madeleine-leininger.com/. Diakses pada tanggal 26 Maret 2018.
Potter & Perry. (2009). Fundamental Keperawatan buku 2 edisi 7. Jakarta: Salemba
Medika

Pratiwi, A. (2011). Buku Ajar Keperawatan Trankultural. Yogjakarta: Gosyen


Publishing.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). (2013). Badan Penelitian dan
Pengembangan. Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Diakses: 19
Oktober 2014, dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%20

Andrews, M. M & Boyle, J. S. Transcultural concepts in nursing care. Fifth edition.


Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
Giger, J. N. (2014). Transcultural Nursing: Assessment and Intervention. Elsevier
Health Sciences.
Danandjaja, James. Folklor Indonesia, Jakarta: Grafiti, 2002

Foster, George M dan Barbara Anderson. Antropologi Kesehatan, Jakarta: UI


Prers, 1985.
Geertz, C.The interpretation of Culture. New York: Basic Book. 1973
Hobsbawm, Eric dan Terence Ranger
The Invention of Tradition, Cambridge: University Press, 1992.

Isjoni. Orang Melayu di Zaman yang berubah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007.

35
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Pip, Jones. Pengantar Teori-Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor, 2009.

Suparlan, Parsudi. Sukubangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa. Jakarta:


YPKIK, 2005

36
LAMPIRAN

37

Anda mungkin juga menyukai

  • Jurnal Diare Hiv
    Jurnal Diare Hiv
    Dokumen7 halaman
    Jurnal Diare Hiv
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat
  • Kompetensi Berfikir Kritis
    Kompetensi Berfikir Kritis
    Dokumen2 halaman
    Kompetensi Berfikir Kritis
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat
  • Dapus
    Dapus
    Dokumen3 halaman
    Dapus
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat
  • Tujuan Edukasi
    Tujuan Edukasi
    Dokumen1 halaman
    Tujuan Edukasi
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat
  • DAFTAR PUSTAKA Jiwa
    DAFTAR PUSTAKA Jiwa
    Dokumen1 halaman
    DAFTAR PUSTAKA Jiwa
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat
  • Pemfiboid Bulosa
    Pemfiboid Bulosa
    Dokumen9 halaman
    Pemfiboid Bulosa
    Nabillanisya Tiani Nurul Ichwan
    Belum ada peringkat