Anda di halaman 1dari 7

Hiperemesis Gravidarum

1. Pengertian Hiperemesis Gravidarum

Emesis gravidarum adalah gejala yang wajar atau sering terdapat pada kehamilan
trimester pertama. Mual biasanya terjadi pada pagi hari, tetapi ada yang timbul setiap saat dan
malam hari. Gejala-gajala ini biasanya terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid terahir dan
berlangsung kurang lebih 10 minggu. Hiperemesis gravidarum adalah keluhan mual dan
muntah hebat lebih dari 10 kali sehari dalam masa kehamilan yang dapat menyebabkan
kekurangan cairan, penurunan berat badan, atau gangguan elektrolit, sehingga menganggu
aktivitas sehari-hari dan membahayakan janin dalam kandungan. Mual dan muntah berlebihan
yang terjadi pada wanita hamil sehingga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan kadar
elektrolit, penurunan berat badan (lebih dari 5% berat badan awal), dehidrasi, ketosis, dan
kekurangan nutrisi. Hal tersebut mulai terjadi pada minggu keempat sampai kesepuluh
kehamilan dan selanjutnya akan membaik pada usia kehamilan 20 minggu, namun pada
beberapa kasus dapat terus berlanjut sampai pada kehamilan tahap berikutnya.

Pada umumnya hiperemesis gravidarum terjadi pada minggu ke 6-12 masa kehamilan,
yang dapat berlanjut sampai minggu ke 16-20 masa kehamilan. Mual dan muntah merupakan
gejala yang wajar ditemukan pada kehamilan triwulan pertama. Biasanya mual dan muntah
terjadi pada pagi hari sehingga sering dikenal dengan morning sickness. Sementara setengah
dari wanita hamil mengalami morning sickness, antara 1,2 - 2% mengalami hiperemesis
gravidarum, suatu kondisi yang lebih serius. Hampir 50% wanita hamil mengalami mual dan
biasanya mual ini mulai dialami sejak awal kehamilan. Mual muntah saat hamil muda sering
disebut morning sickness tetapi kenyataannya mual muntah ini dapat terjadi setiap saat. Pada
beberapa kasus dapat berlanjut sampai kehamilan trimester kedua dan ketiga, tapi ini jarang
terjadi.

2. Etiologi dan faktor resiko hiperemesis gravidarum

Hingga saat ini penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti dan
multifaktorial. Walaupun beberapa mekanisme yang diajukan bisa memberikan penjelasan
yang layak, namun bukti yang mendukung untuk setiap penyebab hiperemesis gravidarum
masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan penyebab hiperemesis
gravidarum. Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis hiperemesis gravidarum,
yaitu faktor endokrin dan faktor non endokrin. Yang terkait dengan faktor endokrin antara lain
Human Chorionic Gonodotrophin, estrogen, progesteron, Thyroid Stimulating Hormone,
Adrenocorticotropine Hormone, human Growth Hormone, prolactin dan leptin. Sedangkan
yang terkait dengan faktor non endokrin antara lain immunologi, disfungsi gastrointestinal,
infeksi Helicobacter pylori, kelainan enzym metabolik, defisiensi nutrisi, anatomi dan psikologis.

Faktor risiko terjadinya hiperemesis gravidarum diantaranya adalah:

a. Level hormon ß-hCG yang tinggi. Hormon ini meningkat cepat pada triwulan pertama
kehamilan dan dapat memicu bagian dari otak yang mengontrol mual dan muntah.

b. Peningkatan level estrogen. Mempengaruhi bagian otak yang mengontrol mual dan
muntah.

c. Perubahan saluran cerna. Selama kehamilan, saluran cerna terdesak karena


memberikan ruang untuk perkembangan janin. Hal ini dapat berakibat refluks asam
(keluarnya asam dari lambung ke tenggorokan) dan lambung bekerja lebih lambat
menyerap makanan sehingga menyebabkan mual dan muntah.

d. Faktor psikologis. Stress dan kecemasan dapat memicu terjadinya morning sickness.

e. Diet tinggi lemak. Risiko hiperemesis gravidarum meningkat sebanyak 5 kali untuk
setiap penambahan 15 g lemak jenuh setiap harinya.

f. Helicobacter pylori. Penelitian melaporkan bahwa 90% kasus kehamilan dengan


hiperemesis gravidarum juga terinfeksi dengan bakteri ini, yang dapat menyebabkan
luka pada lambung.

3. Patofisiologi hiperemesis gravidarum

Patofisiologi hiperemesis gravidarum dapat disebabkan karena peningkatan Hormone


Chorionic Gonodhotropin (HCG) dapat menjadi faktor mual dan muntah. Peningkatan kadar
hormon progesteron menyebabkan otot polos pada sistem gastrointestinal mengalami relaksasi
sehingga motilitas menurun dan lambung menjadi kosong. Hiperemesis gravidarum yang
merupakan komplikasi ibu hamil muda bila terjadi terus menerus dapat mengakibatkan
dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, serta dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat dan
lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Pada beberapa kasus berat, perubahan yang
terjadi berhubungan dengan malnutrisi dan dehidrasi yang menyebabkan terdapatnya non
protein nitrogen, asam urat, dan penurunan klorida dalam darah, kekurangan vitamin B1, B6,
B12, dapat mengakibatkan terjadinya anemia.

4.Gejala dan Tingkatan Hiperemesis Gravidium


Menurut berat ringannya gejala hiperemesis gravidarum dapat dibagi ke dalam tiga
tingkatan sebagai berikut :

A) Tingkat I

Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum. Pada tingkatan ini
ibu hamil merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa
nyeri pada epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 kali per menit, tekanan darah
sistolik menurun, dapat disertai peningkatan suhu tubuh, turgor kulit berkurang,
lidah kering dan mata cekung.

B) Tingkat II

Ibu hamil tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah
kering dan tampak kotor, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun, suhu kadang-
kadang naik, mata cekung dan sedikit ikterus, berat badan turun, hemokonsentrasi,
oligouria, dan konstipasi. Aseton dapat tercium dari hawa pernapasan karena
mempunyai aroma yang khas, dan dapat pula ditemukan dalam urine.

C) Tingkat III

Keadaan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran menurun dari


somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, serta suhu
meningkat. Komplikasi fatal terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai wenickle
ensefalopati. Gejala yang dapat timbul seperti nistagmus, diplopia, dan perubahan
mental, keadaan ini adalah akibat sangat kekurangan zat makanan, termasuk vitamin
B kompleks. Timbulnya ikterus menunjukkan terjadinya payah hati. Pada tingkatan
ini juga terjadi perdarahan dari esofagus, lambung, dan retina.

5. Diagnosis

Diagnosis hiperemesis gravidarum ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,


serta pemeriksaan penunjanga.

A) Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan amenorea, tanda kehamilan muda, mual, dan


muntah. Kemudian diperdalam lagi apakah mual dan muntah terjadi terus menerus,
dirangsang oleh jenis makanan tertentu, dan mengganggu aktivitas pasien sehari-
hari. Selain itu dari anamnesis juga dapat diperoleh informasi mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan terjadinya hiperemesis gravidarum seperti stres, lingkungan
sosial pasien, asupan nutrisi dan riwayat penyakit sebelumnya (hipertiroid, gastritis,
penyakit hati, diabetes mellitus, dan tumor serebri).

B) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik perhatikan keadaan umum pasien, tanda-tanda vital,


tanda dehidrasi, dan besarnya kehamilan. Selain itu perlu juga dilakukan
pemeriksaan tiroid dan abdominal untuk menyingkirkan diagnosis banding. 7

C) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan


menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan yang dilakukan adalah darah
lengkap, urinalisis, gula darah, elektrolit, USG (pemeriksaan penunjang dasar),
analisis gas darah, tes fungsi hati dan ginjal. Pada keadaan tertentu, jika pasien
dicurigai menderita hipertiroid dapat dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid dengan
parameter TSH dan T4. Pada kasus hiperemesis gravidarum dengan hipertiroid 50-
60% terjadi penurunan kadar TSH. Jika dicurigai terjadi infeksi gastrointestinal dapat
dilakukan pemeriksaan antibodi Helicobacter pylori. Pemeriksaan laboratorium
umumnya menunjukan tanda-tanda dehidrasi dan pemeriksaan berat jenis urin,
ketonuria, peningkatan blood urea nitrogen, kreatinin dan hematokrit. Pemeriksaan
USG penting dilakukan untuk mendeteksi adanya kehamilan ganda ataupun mola
hidatidosa.

6. Komplikasi

Baik komplikasi yang relatif ringan maupun berat bisa disebabkan karena hiperemesis
gravidarum. Kehilangan berat badan, dehidrasi, acidosis akibat dari gizi buruk, alkalosis akibat
dari muntah-muntah, hipokalemia, kelemahan otot, kelainan elektrokardiografi dan gangguan
psikologis dapat terjadi. Komplikasi yang mengancam nyawa meliputi ruptur esofagus yang
disebabkan muntah-muntah berat, Wernicke's encephalopathy (diplopia, nystagmus,
disorientasi, kejang, coma), perdarahan retina, kerusakan ginjal, pneumomediastinum spontan,
IUGR dan kematian janin. Pasien dengan hiperemesis gravidarum pernah dilaporkan mengalami
epistaxis pada minggu ke-15 kehamilan karena intake vitamin K yang tidak adekuat yang
disebabkan emesis berat dan ketidakmampuannya mentoleransi makanan padat dan cairan.
Dengan penggantian vitamin K, parameter-parameter koagulasi kembali normal dan penyakit
sembuh. Vasospasme arteri cerebral yang terkait dengan hiperemesis gravidarum juga ada
dilaporkan pada beberapa pasien. Vasospasme didiagnosa dengan angiografi Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Tetapi bila semua bentuk pengobatan gagal dan kondisi ibu menjadi
mengancam nyawa, pengakhiran kehamilan merupakan pilihan. Verberg melaporkan pilihan
pengakhiran kehamilan kira-kira 2 % pada kehamilan yang terkomplikasi dengan hiperemesis
gravidarum. Namun demikian, Kuscu dan Koyuncu menilai luaran maternal dan neonatal dari
penderita hiperemesis gravidarum yang diteliti pada dua penelitian berbeda yang melibatkan
193 dan 138 pasien. Dari 193 pasien, 24% membutuhkan perawatan inap dan satu pasien
membutuhkan nutrisi parenteral. Berat lahir, usia kandungan, kelahiran preterm, skor Apgar,
mortalitas perinatal dan kejadian kelainan bawaan janin tidak berbeda antara pasien
hiperemesis dan populasi umum. Dalam studi lainnya, tidak ada terdeteksi peningkatan risiko
keterlambatan pertumbuhan, kelainan bawaan dan prematuritas. Umumnya hiperemesis
gravidarum dapat disembuhkan. Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis
gravidarum sangat memuaskan. Namun pada tingkatan yang berat, penyakit ini dapat
mengancam jiwa ibu dan janin.

7. Terapi

Terdapat beberapa kontroversi mengenai tipe pengobatan yang harus diberikan pada
wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Terapi cairan dan elektrolit parenteral pengganti,
pemberian vitamin B6, antiemetik dan tirah baring secara rutin digunakan pada hiperemesis
gravidarum dan biasanya tanpa perbaikan yang berarti.

Pada pasien dengan hiperemesis gravidarum tingkat II dan III harus dilakukan rawat inap
dirumah sakit, dan dilakukan penanganan yaitu :

A) Medikamentosa

Berikan obat-obatan seperti yang telah dikemukakan diatas. Namun harus diingat untuk
tidak memberikan obat yang teratogenik. Obat-obatan yang dapat diberikan diantaranya
suplemen multivitamin, antihistamin, dopamin antagonis, serotonin antagonis, dan
kortikosteroid. Vitamin yang dianjurkan adalah vitamin B1 dan B6 seperti pyridoxine (vitamin
B6). Pemberian pyridoxin cukup efektif dalam mengatasi keluhan mual dan muntah. Anti
histamin yang dianjurkan adalah doxylamine dan dipendyramine. Pemberian antihistamin
bertujuan untuk menghambat secara langsung kerja histamin pada reseptor H1 dan secara
tidak langsung mempengaruhi sistem vestibular, menurunkan rangsangan di pusat muntah.
Selama terjadi mual dan muntah, reseptor dopamin di lambung berperan dalam menghambat
motilitas lambung. Oleh karena itu diberikan obat dopamin antagonis. Dopamin antagonis yang
dianjurkan diantaranya prochlorperazine, promethazine, dan metocloperamide.
Prochlorperazin dan promethazine bekerja pada reseptor D2 untuk menimbulkan efek
antiemetik. Sementara itu metocloperamide bekerja di sentral dan di perifer. Obat ini
menimbulkan efek antiemetik dengan cara meningkatkan kekuatan spincter esofagus bagian
bawah dan menurunkan transit time pada saluran cerna. Pemberian serotonin antagonis cukup
efektif dalam menurunkan keluhan mual dan muntah. Obat ini bekerja menurunkan rangsangan
pusat muntah di medula. Serotonin antagonis yang dianjurkan adalah ondansetron. Odansetron
biasanya diberikan pada pasien hiperemesis gravidarum yang tidak membaik setelah diberikan
obat-obatan yang lain. Sementara itu pemberian kortikosteroid masih kontroversial karena
dikatakan pemberian pada kehamilan trimester pertama dapat meningkatkan risiko bayi lahir
dengan cacat bawaan.

B) Terapi Nutrisi

Pada kasus hiperemesis gravidarum jalur pemberian nutrisi tergantung pada derajat
muntah, berat ringannya deplesi nutrisi dan peneriamaan penderita terhadap rencana
pemberian makanan. Pada prinsipnya bila memungkinkan saluran cerna harus digunakan. Bila
peroral menemui hambatan dicoba untuk menggunakan nasogastric tube (NGT). Saluran cerna
mempunyai banyak keuntungan misalnya dapat mengabsorsi banyak nutrien, adanya
mekanisme defensif untuk menanggulangi infeksi dan toksin. Selain itu dengan masuknya sari
makanan ke hati melalui saluran porta ikut menjaga pengaturan homeostasis nutrisi. Bila
penderita sudah dapat makan peoral, modifikasi diet yang diberikan adalah makanan dalam
porsi kecil namun sering, diet tinggi karbohidrat, rendah protein dan rendah lemak, hindari
suplementasi besi untuk sementara, hindari makanan yang emetogenik dan berbau sehingga
menimbulkan rangsangan muntah.1,2 Pemberian diet diperhitungkan jumlah kebutuhan basal
kalori sehari- hari ditambah dengan 300 kkal perharinya.

C) Isolasi

Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, cerah, dan memiliki peredaran udara
yang baik. Sebaiknya hanya dokter dan perawat saja yang diperbolehkan untuk keluar masuk
kamar tersebut. Catat cairan yang keluar dan masuk. Pasien tidak diberikan makan ataupun
minum selama 24 jam. Biasanya dengan isolasi saja gejala-gejala akan berkurang atau hilang
tanpa pengobatan.

D) Terapi psikologik

Perlu diyakinkan kepada pasien bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Hilangkan rasa
takut oleh karena kehamilan dan persalinan karena itu merupakan proses fisiologis, kurangi
pekerjaan serta menghilangkan masalah dan konflik lainnya yang melatarbelakangi penyakit ini.
Jelaskan juga bahwa mual dan muntah adalah gejala yang normal terjadi pada kehamilan muda,
dan akan menghilang setelah usia kehamilan 4 bulan.

E) Cairan parenteral

Resusitasi cairan merupakan prioritas utama, untuk mencegah mekanisme kompensasi


yaitu vasokonstriksi dan gangguan perfusi uterus. Selama terjadi gangguan hemodinamik,
uterus termasuk organ non vital sehingga pasokan darah berkurang. Pada kasus hiperemesis
gravidarum, jenis dehidrasi yang terjadi termasuk dalam dehidrasi karena kehilangan cairan
(pure dehidration). Maka tindakan yang dilakukan adalah rehidrasi yaitu mengganti cairan
tubuh yang hilang ke volume normal, osmolaritas yang efektif dan komposisi cairan yang tepat
untuk keseimbangan asam basa. Pemberian cairan untuk dehidrasi harus memperhitungkan
secara cermat berdasarkan: berapa jumlah cairan yang diperlukan, defisit natrium, defisit
kalium dan ada tidaknya asidosis. Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat,
dan protein dengan glukosa 5% dalam cairan garam fisiologis sebanyak 2-3 liter sehari. Bila
perlu dapat ditambahkan kalium dan vitamin, terutama vitamin B kompleks dan vitamin C,
dapat diberikan pula asam amino secara intravena apabila terjadi kekurangan protein Dibuat
daftar kontrol cairan yang masuk dan yang dikeluarkan. Urin perlu diperiksa setiap hari
terhadap protein, aseton, klorida, dan bilirubin. Suhu tubuh dan nadi diperiksa setiap 4 jam dan
tekanan darah 3 kali sehari. Dilakukan pemeriksaan hematokrit pada permulaan dan seterusnya
menurut keperluan. Bila dalam 24 jam pasien tidak muntah dan keadaan umum membaik dapat
dicoba untuk memberikan minuman, dan lambat laun makanan dapat ditambah dengan
makanan yang tidak cair. Dengan penanganan ini, pada umumnya gejala-gejala akan berkurang
dan keadaan aman bertambah baik. Daldiyono mengemukakan salah satu cara menghitung
kebutuhan cairan untuk rehidrasi inisial berdasarkan sistiem poin. Adapun poin-poin gejala
klinis dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Anda mungkin juga menyukai