Pemeriksaan Pajak Data Pasal 29
Pemeriksaan Pajak Data Pasal 29
Menurut sistem self assessment, Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif wajib:
a. mendaftar diri ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendapatkan NPWP sesuai
tempat tinggal, tempat domisili atau tempat kedudukan Wajib Pajak tersebut.
b. Menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang.
c. Menyetor sendiri pajak yang terutang ke bank persepsi.
d. Melaporkan kegiatan usaha, penghasilan, harta, dan hutang melalui media
Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, jelas dan ditandatangan.
Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang
berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan. Jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek
pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Penjelasan terbaik sistem self assessment ada pada Pasal 12 UU KUP. Pasal ini
merupakan penegasan bahwa kewajiban perpajakan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak. Penerbitan surat ketetapan pajak terbatas hanya
pada Wajib Pajak tertentu yang terbukti melaporkan SPT tidak benar. Berbeda
dengan sistem official assessment bahwa pajak terutang timbul dari terbitnya surat
ketetapan pajak.
Berikut kutipan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP dan bagian penjelasannya.
Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak.
Penjelasan
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai
pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak
tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja,
atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena
Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak
harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1).
Ruang lingkup pemeriksaan pajak bisa diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui
Surat Pemberitahuan yang disampaikan. Dapat juga Wajib Pajak melihat ruang
lingkup pemeriksaan dari SP2 yang diperlihatkan atau disampaikan oleh pemeriksa.
Kode pemeriksaan yang tercantum di SP2 juga memperlihatkan ruang lingkup atau
batasan “perintah” diberikan kepada pemeriksa pajak. Jenis pajak yang diperiksa
dapat berupa:
[a.] seluruh jenis pajak (all taxes);
[b.] beberapa jenis pajak; atau
[c] satu jenis pajak (single tax).
Seluruh jenis pajak artinya semua kewajiban perpajakan yang menjadi kewajiban
Wajib Pajak harus diperiksa oleh pemeriksa. Atas pemeriksaan ini, dalam hal
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan, maka pemeriksa akan menerbitkan surat
ketetapan pajak kecuali jika penyelesaian pemeriksaan melalui laporan hasil
pemeriksaan (LHP) Sumir. Pada umumnya, pemeriksaan khusus dengan jenis
pemeriksaan lapangan biasanya pemeriksa diberikan ruang lingkup pemeriksaan
suluruh jenis pajak. Untuk seluruh jenis pajak, kode pemeriksaan yang tercantum di
SP2 adalah dengan digit pertama 1 (satu). Contoh: 1412, 1422, atau 1912. Artinya,
jika digit pertama angka 1 maka jenis pajak yang diperiksa meliputi: PPh Badan atau
PPh OP, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4
(2), PPh Pasal 15, PPN, PPnBM, dan PBB (kecuali PBB P2 yang sudah
kewenangan Pemda).
Beberapa jenis pajak biasanya digunakan untuk jenis PPh pemotongan dan
pemungutan, yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. PPh
pemotongan dan pemungutan biasa disingkat P2PPh. Tetapi sejak akhir 2013, bisa
beberapa jenis pajak bisa juga ditambahkan PPN. Untuk pemeriksaan Wajib Pajak
yang bergerak dibidang minyak dan gas bumi, terutama yang baru tahap eksplorasi
maka biasanya menggunakan beberapa jenis pajak karena kewajiban perpajakan
PPh Badan belum ada. Seperti seluruh jenis pajak tetapi dikurangi jenis pajak PPh
Badan. Kode pemeriksaan untuk beberapa jenis pajak menggunakan digit pertama
0 (nol). Untuk memperjelas jenis pajak apa saja yang diperiksa, setelah kode
pemeriksaan maka disebutkan jenis pajak apa saja. Contoh kode 0412
(P2PPh dan PPN), atau 0412 (PPh Badan dan PPN), atau 0412 (P2PPh).
Satu jenis pajak artinya jenis pajak yang diperiksa hanya satu saja. Sebelumnya,
satu jenis pajak lebih banyak digunakan untuk pemeriksaan lebih bayar PPN. Tetapi
sejak SE-28/PJ/2013 maka untuk pemeriksaan lebih bayar PPh Orang Pribadi dan
PPh Badan diharuskan satu jenis pajak. Maksud pembatasan jenis pemeriksaan
menjadi satu jenis pajak adalah agar pemeriksaan fokus kepada yang lebih bayar
dan mempercepat penyelesaian. Analisis dari Direktorat Pemeriksaan dan
Penagihan menyimpulkan bahwa pemeriksaan rutin untuk pemeriksaan lebih bayar
terlalu membebani kinerja pemeriksa pajak secara keseluruhan. Kegiatan
pemeriksaan lebih bayar sekitar 65% dari keseluruhan penugasan. Dan diantara
penugasan pemeriksaan lebih bayar tersebut sebagiannya dikarena SPT lebih bayar
yang nominalnya tidak signifikan. Untuk mengurangi beban tersebut, maka sejak
SE-28/PJ/2013 pemeriksaan pajak karena SPT lebih bayar dilakukan dengan satu
jenis pajak. Ditambah lagi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No.
198/PMK.03/2013 dan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-12/PJ/2014 yang
menggeser lebih bayar “receh-receh” dilakukan dengan penelitan oleh petugas AR.
Dan jangka waktu penyelesaian lebih bayar menjadi lebih cepat, yaitu 15 hari kerja
untuk PPh OP dan satu bulan untuk PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Bagian Tahun
Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. Bagian tahun pajak
artinya kurang dari 12 bulan kalender. Tahun pajak dan bagian tahun pajak biasa
digunakan dalam PPh.
SP2 yang diberikan harus secara jelas menyebutkan periode pembukuan yang
diperiksa. Sehingga di SP2 biasanya disebutkan bulan atau masa pajak yang
diperiksa. Periode bulan pembukuan (periode akuntansi) kebanyakan dimulai dari
bulan Januari dan diakhir bulan Desember. Tetapi ada juga yang tidak mengikuti
kalender masehi, seperti periode pembukuan mulai April sampai dengan Maret.
Dalam hal bulan permulaan periode pembukuan yang tercantum di SP2 berbeda
dengan periode akuntansi yang dianut Wajib Pajak, maka atas SP2 tersebut harus
dibatalkan dan dibuatkan SP2 baru yang sesuai dengan periode pembukuan Wajib
Pajak.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan PPh Badan tidak mungkin dilakukan untuk
tahun berjalan. Kenapa? Karena pemeriksaan untuk menguji kepatuhan harus
menerbitkan surat ketetapan pajak. Artinya, periode pembukuan yang diperiksa
harus sudah lewat. Tetapi pemeriksaan tahun berjalan masih bisa dilakukan untuk
pemeriksaan PPN untuk masa pajak yang sudah lewat. Contoh SP2 ditandatangani
bulan Agustus 2014 untuk pemeriksaan satu jenis pajak PPN masa pajak Maret
2014.
KRITERIA PEMERIKSAAN PAJAK
Kata kunci yang menunjukkan kewenangan adalah kata "dapat" dalam kalimat
"Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat dilakukan dalam hal..." Menurut peraturan menteri keuangan,
kriteria atau alasan pemeriksaan selain pemeriksaan SPT Lebih Bayar yaitu:
Mazhab yang kedua mengatakan bahwa alasan pemeriksaan pajak adalah analisis
risiko. Ini yang digunakan sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor
199/PMK.03/2007. Kata-kata pertama analisis risiko sebenarnya ada di Pasal 29A
Undang-Undang KUP, yaitu terkait dengan pemeriksaan pajak atas Wajib Pajak
yang terdaftar di bursa efek (listed company). Berikut petikannya:
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah
dinyatakan efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17B; atau
b. terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko
dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.
Sementara di Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 dibunyikan
di Pasal 4 ayat (3) huruf e yang petikannya seperti ini:
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak: ..... menyampaikan Surat
Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis
risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan Wajib
Pajak yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Istilah analisis risiko tetap digunakan sampai Peraturan Menteri Keuangan nomor
17/PMK.03/2013 seperti yang petikannya sudah diatas. Bukti ketidakpatuhan tentu
berbeda dengan analisis risiko. Namanya analisis tentu bisa saja hanya berupa
indikasi. Analisis juga bisa berbentuk kuantitatif yaitu angk-angka dan bisa juga
kualitatif yang berupa deskripsi yang menggambarkan indikasi ketidakpatuhan.
Perkembangan selanjutnya, ditingkat kebijakan yang dituangkan dalam surat
edaran, analisis risiko ini dibagi dua:
Analisis manual dilakukan dengan manual. Satu Wajib Pajak atau satu grup
dilakukan analisis secara manual. Analisi ini dituangkan dalam lembar analisis yang
disebut "Analisis Risko Wajib Pajak". Di SE-28/PJ/2013 dicontohkan di lampiran I.39
seperti ini:
Perincian lebih detil tentang analisis manual terdapat dalam SE-15/PJ/2014 yaitu:
[a.] Wajib Pajak yang bertransaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa di dalam negeri (Wajib Pajak Grup).
[b.] Wajib Pajak sektor minyak dan gas bumi yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan antara SKK Migas, BPKP, dan tentu saja DJP.
[c.] Wajib Pajak yang bertransaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa (pemeriksaan transfer pricing).
[d.] Pemeriksaan yang dilakukan secara bersama-sama antara DJP dengan pihak
eksternal (biasa disebut joint audit, TOPN, atau Tim Gab).
[e.] Pemeriksaan berdasarkan hasil pengembangan dan analisis IDLP.
[f.] Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko yang dibuat oleh Direktorat P2 dan
Kanwil DJP.
[g.] Pemeriksaan bottom-up yang berasal dari usulan kantor pelayanan pajak.
Ketentuan diatas kemudian diganti oleh Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
No. SE-02/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Berdasar Kriteria Seleksi.
Surat Edaran ini mengatur Kriteria Seleksi Risiko dan Kriteria Seleksi Lainnya.
Analisis risiko diarahkan pada Wajib Pajak dengan risiko tinggi (high risk) yang
dihitung dari tax revenue at riskberdasarkan analisa tertentu baik secara kuantitatif
maupun kualitatif, sehingga terdapat potensi penerimaan sebagai akibat
ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya misalnya
dengan menyampaikan SPT secara tidak lengkap dan tidak benar. Analisis risiko
akan memanfaatkan perekaman SPT pada Pusat Data (Data Processing Centre)
dan secara sistem akan melakukan cek silang (cross check) dengan data atau
informasi perpajakan menurut basis data atau sumber lainnya, data industri (sektor
usaha) rata-rata sesuai KLU, pola pemenuhan kewajiban perpajakan pada setiap
industri (sektor usaha), serta mempertimbangkan pengetahuan setempat (local
knowledge) yang dimiliki oleh masing-masing UP3.
Sedangkan intruksi yang bersifat topdown tidak banyak. Banyak pemeriksa pajak di
UP2 kekurangan pekerjaan. Atau ada pekerjaan tetapi hanya mengerjakan restitusi
SPT LB yang tidak potensial. Fungsional Pemeriksa digaji dengan grade tinggi.
Dengan sedikit beban kerja, tetapi mendapatkan grade tertinggi bagi sebagian
pegawai KPP lain timbul kecemburuan. Berdasarkan pertimbangan
“mengoptimalkan” tenaga fungsional pemeriksa pajak di UP2, maka perlu diadakan
intruksi pemeriksaan yang bersifat massal. Supaya setiap UP2 tidak kekurangan
pekerjaan. Fungsional Pemeriksa didorong supaya tetap memiliki beban tinggi
sesuai dengan grade yang diberikan. Satu-satunya jalan adalah intruksi
pemeriksaan dengan Kriteria Seleksi. Maka pada tahun pertama "menghidupkan
kembali" yaitu tahun 2012, intruksi topdown yang berasal dari Kriteria Seleksi sudah
diteken sebanyak 4502 intruksi. Ditahun kedua, yaitu tahun 2013 intruksi
pemeriksaan topdown yang berasal dari Kriteria Seleksi lebih banyak lagi karena
pada tahun tersebut ada permintaan khusus dari Dirjen Pajak berupa pemeriksaan
PPh Pasal 21 dan pemeriksaan sektor properti.
Balik lagi kepada mazhab alasan dilakukan pemeriksaan pajak. Mazhab ketiga
alasan pemeriksaan pajak adalah karena kewenangan yang diberikan oleh Undang-
Undang KUP yaitu Pasal 29 seperti yang sudah dikutip diatas. Saya kutip ulang
supaya lebih jelas:
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemikiran lain dari mazhab ketiga ini bahwa tidak ada satupun ketentuan di Undang-
Undang KUP yang melarang atau membatasi Direktur Jenderal Pajak untuk
melakukan pemeriksaan. Artinya, dengan kewenangan yang diberikan Pasal 29
sudah jelas bahwa Dirjen Pajak bisa saja melakukan pemeriksaan pajak dengan
"suka-suka". Setelah dilakukan pemeriksaan, baru diketahui apakah Wajib Pajak
melaporkan SPT dengan benar atau salah. Ini merupakan kebalikan dari mazhab
pertama diatas.
Pada tingkat praktek, pemeriksaan rutin itu adalah pemeriksaan yang tidak
memerlukan analisis risiko. UP2 cukup mengusulkan pemeriksaan rutin ke Kanwil
DJP, kemudian Kanwil DJP menyetujui atau menolak usulan pemeriksaan rutin.
Tetapi ternyata sejak SE-28/PJ/2013 pemeriksaan pun ada skala prioritas. Apa itu
skala prioritas? Kepala UP2 diberikan kewenangan untuk melakukan prioritas
berdasarkan beban kerja dan potensi pajak. Sedangkan untuk melihat potensi pajak
harus ada hitung-hitungan. Artinya, untuk mengusulkan pemeriksaan rutin yang
menggunakan skala prioritas, maka kepala UP2 juga harus melakukan analisis risiko
juga dengan analisis risiko versinya masing-masing kepala UP2.
Pada awalnya pemeriksaan rutin adalah pemeriksaan yang harus dilakukan oleh
DJP. Ini memang kebijakan awal terutama sebelum modernisasi DJP. Pada waktu
itu tenaga pemeriksa sangat banyak karena semua pegawai DJP boleh melakukan
pemeriksaan. Bahkan pada prakteknya, yang benar-benar melakukan pemeriksa
bisa jadi orang yang tidak tercantum dalam SP2. Sebagian kecil pemeriksa pajak
bahkan ada yang memiliki "bawahan sendiri" dengan menyuruh orang lain
melakukan rekapitulasi. Tetapi setelah modernisasi, maka yang namanya
pemeriksa itu pejabat fungsional pemeriksa pajak. Orang yang bekerja melakukan
pekerjaan pemeriksaan benar-benar seorang pejabat fungsional pemeriksa pajak.
Sehingga benar-benar ada penurunan tenaga pemeriksa. Bahkan sampai dengan
tahun 2014 ini DJP tetap merasa kekurangan tenaga pemeriksa walaupun diantara
pekerjaan pemeriksaan sudah "dialihkan". DJP tetap masih mengejar tax audit
coverage ratio (ACR) yang ideal. SE-15/PJ/2014 tentang rencana dan strategi
pemeriksaan tahun 2014, DJP membuat target ACR sebesar 5% untuk Wajib
Pajak badan, sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi hanya 0,1% saja.
Itupun dengan rumusan ACR yang "modifikasi". Sebagai perbandingan, pada sekitar
tahun 2011 saya pernah membuat perhitungan ACR seperti berikut:
Sebagian pegawai berpendapat bahwa SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi
harus diperiksa karena memiliki risiko tinggi. Kerugian tersebut seperti cek untuk
mengurangi pajak terutang di tahun pajak berikutnya. Terkait dengan ini, sebenarnya
untuk SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak benar-benar tidak diperiksa.
Dalam hal tahun pajak yang diperiksa terdapat kompensasi kerugian dari tahun lalu,
maka dalam kebijakan pemeriksaan tetap mengharuskan kepada pemeriksa pajak
untuk melakukan perluasan pemeriksaan sampai dengan tahun pajak yang belum
daluwarsa. Tetapi jika memang sudah daluwarsa atau segera akan daluwarsa tidak
harus diperiksa. Salah satu pertimbangannya, dilihat dari manajemen risiko bahwa
SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak otomatis memiliki risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT atau bahkan SPT
Tahunan Nihil. Bisa jadi justru risiko sangat tinggi ada pada SPT Nihil. Sejak 2014,
risiko Wajib Pajak harusnya berdasarkan CRM bukan status SPT.
Menurut SE-28/PJ/2013 Wajib Pajak akan dilakukan pemeriksaan dengan kriteria
pemeriksaan rutin jika:
1. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar
restitusi.
2. Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar
restitusi.
3. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang
menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP.
4. Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi.
5. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D
Undang-Undang KUP.
6. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi.
7. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau
pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi akan meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya.
8. Wajib Pajak melakukan: perubahan tahun buku, perubahan metode
pembukuan; dan/atau penilaian kembali aktiva tetap.
Hal yang perlu dirubah adalah praktek pemeriksaan serta metode dan teknik yang
digunakan oleh pemeriksa pajak. Akan lebih efektif jika Pemeriksaan Lapangan
benar-benar dilakukan oleh pemeriksaan pajak ditempat Wajib Pajak. Pemeriksa
dibekali laptop yang sudah tersedia data-data terkait Wajib Pajak yang diperiksa.
Baik data-data laporan SPT, pembayaran pajak, data internal DJP yang dilaporkan
oleh lawan transaksi Wajib Pajak, sampai data-data eksternal DJP yang biasa
disebut data PP31. Data-data tersebut kemudian "dicocokkan" dengan kenyataan
sebenarnya. Kenyataan yang ditemukan pada saat pemeriksaan lapangan. Diuji
silang dan dibandingkan dengan dokumen-dokumen yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
Melakukan pengujian-pengujian yang diperlukan berdasarkan data
lapangan. Setelah kembali ke kantor, pemeriksa pajak tinggal menerbitkan SPHP
dan closing conference. Praktek pemeriksaan lapangan yang benar-benar dilakukan
di lapangan sudah dilakukan oleh auditor BPK saat memeriksa obrik (objek
pemeriksaan). Begitu juga pemeriksaan terhadap perusahaan Migas yang biasa
dilakukan bersama-sama dengan BPKP dan SKK Migas. Sedangkan dari sisi
metode dan teknik pemeriksaan perlu ada pembeda antara Pemeriksaan Kantor dan
Pemeriksaan Lapangan. Teknik pemeriksaan untuk Pemeriksaan Kantor harus lebih
longgar dan lebih sederhana karena memiliki risiko lebih kecil. Hal ini juga akan
memberikan guide bagi pemeriksa pajak yang melakukan pemeriksaan. Semoga
pasca perubahaan KUP 2009 bisa terlaksana :-)
Pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi adalah Wajib Pajak tertentu
yang berulang-ulang atau sering atau setidaknya lebih dari sekali meminta restitusi.
Terutama resitusi PPN yang bisa dilakan setiap bulan, setiap masa pajak oleh Wajib
Pajak tertentu. Diantara yang sering restitusi tersebut adalah Wajib Pajak rekanan
pemerintah yang pajaknya sudah dipotong dan/atau dipungut oleh bendahara.
Diantara yang sering restitusi, Wajib Pajak sudah menyiapkan dokumen-dokumen
yang diperlukan untuk pemeriksaan pajak. Sehingga begitu datang pemeriksa pajak
atau bahkan cukup ditelpon dari kantor, maka Wajib Pajak langsung meminjamkan
dokumen yang sudah disiapkan tersebut. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan
bahwa pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi memiliki risiko relatif
kecil.
Inilah dasar pemikiran kenapa pemeriksaan yang berdasarkan Pasal 17B Undang-
Undang KUP dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor. Pasal 5 ayat (2)
Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 secara tegas menyebutkan
bahwa terhadap pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, dalam hal permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan:
1. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh
akuntan publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua)
Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan
publik, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian
2. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan,
penyidikan, atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak
dalam 5 (lima)
Tarkait dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor
17/PMK.03/2013 saya sudah "membocorkan" latar belakang pada Juli 2013.
Silakan diklik. Tetapi yang ingin saya tekankan disini bahwa Pemeriksaan Kantor
adalah untuk pemeriksaan yang memiliki risiko rendah. Dengan berprasangka
baik kepada anggota IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) bahwa Wajib Pajak
yang telah dilakukan audit dan hasil audit tersebut menyatakan wajar tanpa
pengecualian maka pembukuan Wajib Pajak sudah benar-benar wajar dan sesuai
standar akuntansi yang berlaku. Karena Laporan Keuangan yang dilaporkan ke
kantor pajak sudah sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku ditambah lagi
atas Wajib Pajak tersebut tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan,
penyidikan, atau penuntutan tindak pidana perpajakan dalam jangka waktu 5 tahun
maka DJP kemudian berpendapat bahwa atas Wajib Pajak seperti itu cukup
dilakukan Pemeriksaan Kantor saja.
Karena jenis Pemeriksaan Kantor untuk pemeriksaan Wajib Pajak yang memiliki
risiko rendah dan bermaksud mendorong pemeriksaan restitusi dilakukan dengan
jenis Pemeriksaan Kantor maka SE-28/PJ2013 kemudian "memperluas" persyaratan
Pemeriksaan Kantor yaitu:
[a.] Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas, atau melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tetapi memilih
menghitung pajak terutang dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto;
[b.] Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas, atau Wajib Pajak badan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kembali pos (kempos);
ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi;
iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan petugas Account Representative di
Kantor Pelayanan Pajak;
iv. hasil kunjungan petugas Account Representative dapat menggambarkan dengan
jelas kegiatan usaha dan proses bisnis Wajib Pajak;
v. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan yang restitusi tepat waktu; dan
vi. hasil Pemeriksaan Pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau
mendapatkan koreksi atas pos peredaran usaha dan/atau pembelian tetapi tidak
bernilai material (koreksi di bawah 5% dari peredaran usaha dan/atau pembelian)
Dengan kebijakan tersebut DJP menganggap bahwa Wajib Pajak yang sering
berkomunikasi dengan petugas Account Representative (AR) memiliki risiko rendah
sampai Wajib Pajak tersebut diperiksa dan hasil pemeriksaan terbukti ada koreksi
peredaran usaha dan/atau pembelian diatas 5%. Wajib Pajak yang tidak bisa
dihubungi AR, tidak jelas alamatnya, dilakukan visit tetapi Wajib Pajak justru
menolak maka Wajib Pajak seperti ini dianggp memiliki risiko menengah sampai
tinggi. Apalagi jika Wajib Pajak memiliki alamat berpindah-pindah ditambah tidak ada
pegawai Wajib Pajak atau Wajib Pajak itu sendiri yang dapat dihubungi maka DJP
harus menggap Wajib Pajak seperti ini memiliki risiko tinggi.
STANDAR PEMERIKSAAN PAJAK
1. standar umum
2. standar pelaksanaan
3. standar pelaporan hasil pemeriksaan
[a.] telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki
keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.
Persyaratan ini merupakan syarat kompetensi untuk dapat menjadi seorang
Pemeriksa Pajak, baik sebagai individu maupun sebagai tim Pemeriksa Pajak
(kompetensi kolektif). Pemeriksa Pajak harus memiliki pengetahuan dan keahlian
yang memadai dibidang perpajakan, akuntansi, dan Pemeriksaan. Pemeriksa Pajak
diharuskan memiliki pengetahuan umum tentang lingkungan dan proses bisnis Wajib
Pajak, termasuk di antaranya adalah kemampuan menerapkan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku. Pemeriksa Pajak harus memiliki keterampilan
berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan maupun tulisan. Pemeriksa
Pajak harus memelihara dan meningkatkan keahlian dan kompetensinya melalui
pendidikan berkelanjutan. Pendidikan dimaksud dapat berupa diklat-diklat, kursus
singkat, maupun seminar, baik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak,
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, maupun oleh instansi lainnya, di dalam
negeri maupun di luar negeri.
[c.] jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan
kepentingan negara. Pemeriksa Pajak dituntut untuk selalu jujur dan bersih dari
tindakan tercela serta mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi ataupun golongan. Pemeriksa Pajak harus tunduk pada kode etik yang telah
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam semua hal yang berkaitan dengan
Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus bersikap independen, yaitu tidak mudah
dipengaruhi oleh keadaan, kondisi, perbuatan dan/atau Wajib Pajak yang
diperiksanya. Gangguan independensi yang dapat dialami oleh Pemeriksa Pajak
selama Penieriksaan meliputi hal-hal berikut:
[c.1.] memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan Wajib Pajak.
[c.2.] memiliki kepentingan keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan Wajib Pajak.
[c.3.] pernah bekerja atau memberikan jasa di bidang yang berhubungan dengan
masalah perpajakan, akuntansi, atau pun keuangan kepada Wajib Pajak dalam
kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir.
[c.4.] memiliki teman dekat atau keluarga yang dapat berposisi sebagai wakil Wajib
Pajak yang diperiksa.
[c.5.] keadaan, kondisi dan perbuatan tertentu lainnya yang menurut pertimbangan
Pemeriksa Pajak dapat mengganggu independensi tersebut..
penugasan Pemeriksaan;
identitas Wajib Pajak;
pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
pemenuhan kewajiban perpajakan;
data/informasi yang tersedia;
buku dan dokumen yang dipinjam;
materi yang diperiksa;
uraian hasil Pemeriksaan;
ikhtisar hasil Pemeriksaan;
penghitungan pajak terutang; dan
simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.
Pasal 31 Undang-Undang KUP ini merupakan dasar hukum atau amanat yang
diberikan oleh Undang-Undang KUP bahwa jangka waktu pemeriksaan pajak "harus
dibatasi". Ada sebagian yang tidak setuju dengan adanya jangka waktu
pemeriksaan. Hal ini karena proses pengumpulan data untuk diuji seringkali
tergantung pada pihak eksternal. Contoh adalah ijin membuka rahasia perbankan
yang seringkali bisa berbulan-bulan baru dijawab. Atau konfirmasi pihak ketiga yang
berasal dari negara lain yang jawabannya seringkali baru bisa diterima sekian tahun
kemudian. Tetapi karena Undang-Undang KUP mengharuskan adanya jangka waktu
pemeriksaan maka dalam peraturan menteri keuangan selalu diatur batas waktu
pemeriksaan.
Pada awalnya, jangka waktu pemeriksaan memang tidak diatur. Undang-Undang
No. 16 Tahun 2000 tidak mengatur masalah jangka waktu. Baru muncul jangka
waktu pemeriksaan di Keputusan Menteri Keuangan nomor 545/KMK.04/2000
tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Padahal keputusan menteri keuangan ini
masih berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000. Jangka waktu
pemeriksaan masuk Undang-Undang KUP baru pada Undang-Undang No. 28
Tahun 2007, yaitu di Pasal 31 ayat (2) seperti yang saya kutip diatas.
Kenapa jangka waktu pemeriksaan menjadi dua? Karena pada awalnya jangka
waktu pemeriksaan yang 8 bulan tidak tegas. Dalam Peraturan Menteri Keuangan
nomor 82/PMK.03/2011 dikatakan bahwa setelah 8 bulan pemeriksaan belum
selesai, maka dalam jangka waktu 7 hari harus diterbitkan SPHP. Padahal setelah
SPHP masih ada waktu 1 bulan lagi. Artinya, total jangka waktu pemeriksaan bukan
8 bulan tetapi 9 bulan. Pasal 5A ayat (4) mengatur bahwa SPHP harus diselesaikan
dan disampaikan terlebih dahulu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak
berakhirnya perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor atau perpanjangan
jangka waktu Pemeriksaan Lapangan. Pasal 23 ayat (11) mengatur bahwa SPHP
sampai LHP harus diselesaikan paling lama 1 (satu bulan). Dengan demikian, total
jangka waktu pemeriksaan lapangan menjadi 4 bulan + 4 bulan perpanjangan + 7
hari + 1 bulan pembahasan, total 9 bulan lebih. Sedangkan di Pasal 5 mengatur
bahwa jangka waktu pemeriksa paling lama 8 bulan.
Kenapa jangka waktu pengujian pertama 6 bulan? Jangka waktu yang 8 bulan
berasal dari 4 bulan jangka waktu pemeriksaan, ditambah 4 perpanjangan. Jangka
waktu 8 bulan ini dipertahankan tetapi hanya jangka waktu pengujian. Supaya ada
efek psikologis, maka jangka waktu pengujian bukan 4 bulan tetapi 6 bulan.
Sedangkan sisanya yang 2 bulan adalah perpanjangan jangka waktu pemeriksaan.
Konon kabarnya, perubahan jangka waktu pemeriksaan dari 2+2+2+2 menjadi 4+4
ditentukan oleh Dirjen Pajak sendiri. Tetapi perubahan dari 4+4 menjadi 6+2+2
cukup ditentukan oleh pejabat setingkat Kasubdit :-)
Tetapi jangka waktu perpanjangan diatas ada pengecualian. Untuk Wajib Pajak
berikut total jangka waktu pengujian dapat 24 bulan ditambah jangka waktu
pembahasan sehingga total jangka waktu pemeriksaan menjadi 26 bulan, yaitu
berlaku untuk pemeriksaan atas:
[a.] Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi
[b.] Wajib Pajak dalam satu grup
[c.] Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau
transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.
PEMINJAMAN DOKUMEN
Masalah dokumen adalah masalah penting. Pemeriksa Pajak tidak boleh melakukan
koreksi berdasarkan analisis. Bukan berarti Pemeriksa Pajak tidak melakukan
analisis tetapi analisis yang digunakan untuk mendeteksi ketidakpatuhan Wajib
Pajak. Dasar koreksi tetap dokumen dan dasar hukum. Temuan hasil Pemeriksaan
harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 4 PER-
23/PJ/2013).
Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan dengan tetap
mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi Wajib
Pajak yang memiliki hubungan istimewa. Valid berarti bukti dapat diandalkan untuk
menyimpulkan suatu fakta. Relevan berarti bahwa bukti harus berkaitan dengan
pos-pos yang akan diperiksa. Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk
mendukung temuan hasil Pemeriksaan. Kecukupan terkait dengan pertimbangan
profesional (professional judgement) Pemeriksa Pajak. Lebih lanjut, silakan cek
Pasal 4 PER-23/PJ/2013.
Apakah buku, catatan, dan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak setelah
SPHP diterbitkan boleh diterima oleh Pemeriksa Pajak. Ini adalah perdebatan yang
belum selesai sampai sekarang. Ada yang bilang boleh, ada yang bilang tidak boleh.
Permasalahannya, setelah SPHP adalah waktu untuk pembahasan hasil
pemeriksaan. Bukan waktunya lagi menguji dokumen Wajib Pajak. Pengujian tetap
disarankan sebelum SPHP. Tetapi disatu sisi ada ketentuan Pasal 26A ayat (4)
Undang-Undang KUP:
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat
pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum
diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
Secara tidak langsung Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP mengatakan bahwa
selama jangka waktu pemeriksaan belum selesai maka dokumen dapat diterima
oleh Pemeriksa Pajak. Sedangkan pemeriksaan selesai setelah ditanda-tanganinya
LHP. Bagaimana jika Wajib Pajak sebelum SPHP tidak pernah menyampaikan
dokumen, tetapi setelah SPHP menyampaikan dokumen seabreg-abreg?
Bagaimana nasib SPHP? Apakah boleh menyampaikan SPHP dua/tiga/empat/lima
kali? Kalo boleh, sampai berapakali? Atau dibuatkan SPHP sementara dan SPHP
final? Kebijakan pemeriksaan sampai dengan SE-28/PJ/2013 (cek halaman 8)
menggariskan bahwa SPHP hanya satu kali untuk setiap SP2 dan tidak ada ralat
SPHP! Sebenarnya obat mujarab atas Wajib Pajak yang wasting time seperti ini
adalah Pemeriksa Pajak mengambil langsung dokumen yang diperlukan ditempat
usaha atau gudang Wajib Pajak dan/atau melakukan penyegelan.
PENYEGELAN
Pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan. Kewenangan
penyegelan ini berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang KUP:
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan
tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b
Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan pajak? Menurut Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan,
dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda
lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Wajib Pajak. Artinya semua benda yang menurut pemeriksa pajak akan memberikan
petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.
PENYELESAIAN PEMERIKSAAN
Pasal 20 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:
Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan diselesaikan dengan cara:
a. menghentikan Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir; atau
b. membuat LHP, sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat
Tagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP atau LHP Sumir. Kecuali jika
atas SP2 tersebut dibatalkan. Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah
pemeriksa pajak menyampaikan SPHP. Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan
jangka waktu pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian
pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa Wajib Pajak
harus diberitahu jika penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir.
Kenapa? Karena awalnya LHP Sumir itu hanya untuk WP tidak ditemukan!
Pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak tidak
ditemukan atau tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dapat dilakukan
Pemeriksaan kembali apabila dikemudian hari Wajib Pajak ditemukan.
tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan
sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor
diterbitkan.
SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri
Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP
yang berbunyi:
Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur
tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan
surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak
untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan
Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 31 (2) Undang-Undang KUP
terdiri dari:
[a.] pemeriksaan ulang,
[b.] jangka waktu pemeriksaan,
[c.] kewajiban menyampaikan SPHP, dan
[d.] hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference)
Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah
santri) pemeriksaan yang harus ditunaikan. Jika SPHP tidak ada maka hasil
pemeriksaan menjadi batal, dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan
Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri. Ketentuan "rukun" pemeriksaan ini diatur di
Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
...
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum
Undang-Undang KUP 2007 ada pendapat seperti itu. Tetapi karena ada rukun
pemeriksaan diatas, dan Undang-Undang KUP mengamanatkan pengaturan
pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada tanggapan SPHP,
tetap wajib dibuat undangan pembahasan!
Undangan pembahasan 10 hari kerja setelah SPHP diterima atau dikirim. Kira-kira
dua minggu kalender. Tetapi bisa kurang dari 10 hari kerja jika Wajib Pajak sudah
memberikan tanggapan SPHP. Misal pada hari kerja ke 2 tanggapan SPHP sudah
diterima pemeriksa pajak maka pada hari kerja ke 3 dapat dikirim undangan closing
conference. Pasal 43 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
mengatakan bahwa hak hadir diberikan melalui penyampaian undangan secara
tertulis kepada Wajib Pajak dengan mencantumkan hari dan tanggal
dilaksanakannya Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality
Assurance Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan
Wajib Pajak. Diskusi atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa
dilakukan pada periode jangka waktu pengujian. Sehingga ada waktu 6 bulan atau 8
bulan diskusi masalah pemeriksaan antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak.
Lebih baik memberi ruang waktu pembahasan lebih banyak kepada Tim QA supaya
lebih independen. Perlu dipertimbangkan "jeda" waktu permohonan pembahasan
dengan Tim QA, yaitu 3 hari, kemudian "jeda" waktu pembuatan undangan
pembahasan oleh Tim QA. Dan pembahasan dengan Tim QA tetap harus dalam
periode jangka waktu pembahasan dua bulan sejak SPHP diterima oleh Wajib
Pajak.
Kemudian ditegaskan lagi oleh Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-
28/PJ/2013 yang menyebutkan, "Tim Quality Assurance Pemeriksaan tidak
melakukan pengujian pemeriksaan tetapi memberikan simpulan atas perbedaan
pendapat antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak mengenai dasar hukum
koreksi dan/atau penerapan ketentuanperaturan perundang-undangan perpajakan."
Walaupun Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) boleh memiliki kesimpulan
yang berbeda dengan Wajib Pajak dan pemeriksa, tetapi Tim QA tidak boleh
membuat koreksi fiskal baru diluar yang disengketakan pada saat pembahasan.
Sesuai dengan tugasnya, Tim QA hanya memberikan kesimpulan dan keputusan
atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak. Jika Tim QA
boleh membuat koreksi baru, berarti Tim QA sudah bertindak sebagai pemeriksa
pajak. Tim QA juga tidak melakukan pengujian dokumen. Metode Pemeriksaan dan
Teknik Pemeriksan diperuntukkan bagi pemeriksa pajak, bukan Tim QA. Pengujian-
pengujian dilakukan oleh pemeriksa pajak saja. Pembahasan masalah ini memang
cukup panjang tetapi pembatasannya tidak secara detil tercantum. Alasannya,
aturan yang terlalu detil sering membelenggu. Tetapi inti pembatasan yang saya
sarikan adalah jangka waktu pembahasan bukan saatnya pengujian dokumen.
Apakah Tim QA bertanggung jawab atas pendapatnya? Tentu saja, Tim QA harus
bertanggung jawab atas keputusannya dan pemeriksa pajak harus bertanggung
jawab atas pendapatnya. Jika pendapat pemeriksa "dipatahkan" oleh Tim QA maka
pemeriksa pajak sebenarnya seperti tidak berpendapat untuk masalah tersebut.
Kalau melihat sanksi administrasi Pasal 8 ayat (5) UU KUP diatas (yaitu 50%) maka
sanksi ini akan lebih tinggi 2% dibandingkan sanksi bunga di surat ketetapan pajak.
Sanksi bunga di surat ketetapan pajak paling banyak (maksimal) 48% saja. Tetapi
beberapa Wajib Pajak ternyata tidak peduli dengan besarnya sanksi ini. Mereka
bersedia bayar lebih besar. Salah satu motif melakukan pengungkapan ini adalah
menghindari koreksi pajak yang besar. Jadi lebih kepada pencitraan. Karena kalo
pengungkapannya benar, maka nanti di surat ketetapan pajak tidak ada lagi koreksi
fiskal. Produk pemeriksaan pun SKPN. Karena hasil pemeriksaan menjadi nihil,
maka citra manajemen Wajib Pajak dianggap lebih baik. Padahal, sebelum
pemeriksaan selesai mereka telah bayar lebih dulu!
Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan
Pemeriksaan Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat
pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan. Jika
pemeriksaan pajak kemudian menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib
Pajak akan menerima:
1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti
Permulaan, dan
2. Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.
Coba perhatikan keempat syarat diatas! Pada intinya, pemeriksa Bukti Permulaan
atau penyidik tidak mendapatkan cukup bukti tindak pidana. Pertama, pemeriksaan
Bukti Permulaan tidak dapat dilanjutkan karena calon tersangka meninggal. Kedua,
secara jelas menyebutkan tidak ada bukti pidana. Ketiga, penyidikan dihentikan oleh
penyidik karena bukan tindak pidana perpajakan. Sebenarnya Pasal 44 A UU KUP
mengatur empat alasan dihentikannya penyidikan, yaitu tidak cukup bukti, bukan
merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena
peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia. Hanya saja jika
penyidikan saja sudah daluwarsa maka penetapan pajak pun sudah pasti daluwarsa
karena daluwarsa penetapan hanya 5 tahun saja. Keempat, terbukti di pengadilan
bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana perpajakan. Alasan keempat ini
cukup rasional, artinya Wajib Pajak terbukti berbuat salah. Hanya saja setiap sanksi
pidana ada denda 2 kali pajak terutang sampai dengan 4 kali denda pajak terutang.
Ini bukan denda administrasi. Sedangkan pemeriksaan akan menimbulkan pajak
terutang yang secara administrasi ditagih oleh negara dan dicatat sebagai
penerimaan pajak. Surat ketetapan pajak akan disetor oleh Wajib Pajak melalui
MPN ke kas negara. Sedangkan sanksi denda pidana akan dieksekusi oleh
Kejaksaan.
Oh ya, pemeriksaan yang dilakukan setelah empat kondisi diatas dilakukan dalam
jangka waktu paling lama empat bulan. Ketentuan 4 bulan ini diatur di Pasal 67 ayat
(1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Empat bulan ini adalah
jangka waktu pengujian. Ditambah jangka waktu pembahasan maka dalam enam
bulan, pemeriksaan harus selesai dan diterbitkan surat ketetapan pajak. Ketentuan 4
bulan ditambah 2 bulan ini berlaku baik untuk pemeriksaan lebih bayar maupun
bukan pemeriksaan lebih bayar. Pembatasannya hanya daluwarsa penetapan.
Selama belum sampai batas jatuh tempo daluwarsa penetapan, maka DJP tetap
dapat menerbitkan surat ketetapan.
PEMERIKSAAN ULANG
Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 Undang-Undang KUP. Berikut kutipan
Pasal 15:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih
rendah dari yang seharusnya. Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa
lewat keberatan, atau pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU
KUP. Masing-masing memiliki "jalur" atau alasan. Misalnya, keberatan terkait
dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada
salah tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak
benar. Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.
Karena itu perlu dipahami apa dan bagaimana data baru. Nah, untuk lebih jelas
masalah data baru sebagaimana dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste
bagian penjelasan Pasal 15 UU KUP:
Yang dimaksud dengan “data baru” adalah data atau keterangan mengenai segala
sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang
yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik
dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan
perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum
terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta
lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau
mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya
atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus
tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar
sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal
tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya
iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas
Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah
sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian
tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa
sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara
benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut
tergolong data yang semula belum terungkap.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan
rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi
atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah
itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak
Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum
terungkap.
Ada aturan yang baru di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
terkait pemeriksaan ulang, yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir.
Sebelumnya tidak diatur. Karena tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka
sebelumnya pemeriksaan ulang selalu ditekankan harus berujung SKPKBT. Harus
jelas dulu novum-nya apa? Jika novum masing samar-samar maka tidak boleh
dilakukan pemeriksaan ulang. Sejak 1 Februari 2013, novum yang sama-sama pun
boleh menjadi pemeriksaan ulang. Nanti pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai
apakah benar-benar sudah ada novum atau tidak.
Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya
pemeriksaan lapangan. Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan
jenis pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya
14 hari saja. Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan
karena memang tidak ada yang dibahas. Juga tidak ada jangka waktu pengujian
karena memang bukan menguji SPT. Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat
pelayanan atau pendapat kedua ( second opinion).
Ada beberapa istilah yang digunakan secara resmi digunakan untuk Pemeriksaan
Pajak. Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.03/2013 telah mendefinisikan
istilah-istilah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya
disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
7. Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak adalah tanda pengenal yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak yang merupakan bukti bahwa orang yang namanya
tercantum pada kartu tanda pengenal tersebut sebagai Pemeriksa Pajak.
8. Surat Perintah Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat SP2 adalah surat perintah
untuk melakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
10. Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor adalah surat panggilan
mengenai dilakukannya Pemeriksaan Kantor dalam rangka menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
11. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan
laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
12. Data yang dikelola secara elektronik adalah data yang bentuknya elektronik,
yang dihasilkan oleh komputer dan/atau pengolah data elektronik lainnya dan
disimpan dalam disket, compact disk, tape backup, hard disk, atau media
penyimpanan elektronik lainnya.
13. Tempat Penyimpanan Buku, Catatan, Dan Dokumen adalah tempat yang
diselenggarakan oleh Wajib Pajak, perusahaan penyimpan arsip atau dokumen
dan/atau yang diselenggarakan oleh pihak lain.
14. Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat atau
ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang digunakan
atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan buku atau
catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda
lain.
15. Kertas Kerja Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat KKP adalah catatan
secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur
Pemeriksaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan,
pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan
pelaksanaan Pemeriksaan.
17. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak
dan Pemeriksa Pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam
berita acara pembahasan akhir hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang baik yang disetujui maupun yang
tidak disetujui dan perhitungan sanksi administrasi.
18. Tim Quality Assurance Pemeriksaan adalah tim yang dibentuk oleh Direktur
Jenderal Pajak dalam rangka membahas hasil Pemeriksaan yang belum disepakati
antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan guna menghasilkan Pemeriksaan yang berkualitas.
19. Laporan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat LHP adalah laporan yang
berisi tentang pelaksanaan dan hasil Pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa
Pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan
Pemeriksaan.
20. Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir yang selanjutnya disebut LHP Sumir adalah
laporan tentang penghentian Pemeriksaan tanpa adanya usulan penerbitan surat
ketetapan pajak.
21. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di
bidang perpajakan.
22. Pemeriksaan Ulang adalah Pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak
yang telah diterbitkan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan sebelumnya
untuk jenis pajak dan masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang sama.
23. Kuesioner Pemeriksaan adalah formulir yang berisikan sejumlah pertanyaan dan
penilaian oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
Selain itu, ada juga beberapa istilah yang terkait dengan standar pemeriksaan.
Berikut ini adalah istilah-istilah yang ada di Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-23/PJ/2013 tentang Standar Pemeriksaan dan PER-4/PJ/2012 tentang
Pedoman dan Teknik Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan :
24. Standar Pemeriksaan adalah capaian minimum yang harus dicapai dalam
melaksanakan Pemeriksaan.
25. Unit Pelaksana Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat UP2 adalah unit yang
berada di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan
Pemeriksaan.
26. Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) adalah rencana kerja Pemeriksaan yang
disusun oleh Supervisor dan harus ditelaah serta mendapat persetujuan dari Kepala
UP2 yang berisi identitas Wajib Pajak, identitas tim Pemeriksa Pajak, dan uraian
rencana.
29. Metode Langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan
pengujian atas kebenaran pos-pos Surat Pemberitahuan (SPT) termasuk
lampirannya, yang dilakukan secara langsung terhadap buku, catatan, dan dokumen
terkait.
30. Metode Tidak Langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan
melakukan pengujian atas kebenaran pos-pos Surat Pemberitahuan (SPT) termasuk
lampirannya, yang dilakukan secara tidak langsung melalui suatu pendekatan
penghitungan tertentu.
33. Kertas Kerja Pemeriksaan yang selarijutnya disingkat KKP adalah catatan
secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur
Pemeriksaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan,
pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan
pelaksanaan Pemeriksaan.
http://pajaktaxes.blogspot.com/p/blog-page_5.html