Anda di halaman 1dari 62

pemeriksaan pajak

Oleh Raden Agus Suparman


TUJUAN PEMERIKSAAN PAJAK

Pasal 29 ayat (1) Undang-undang KUP:


Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in) dengan sistem self
assessment yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia. Pemeriksaan pajak
dilakukan dalam rangka pengawasan (control) kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan. Tanpa pengawasan, Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya cenderung menghindari bayar pajak. Bahkan banyak juga Wajib
Pajak yang menghindari bayar pajak dengan cara yang tidak benar seperti
menurunkan omset, atau menambah biaya yang pada akhirnya menghilangkan
keuntungan fiskal atau meminimalkan penghasilan kena pajak.

Menurut sistem self assessment, Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif wajib:
a. mendaftar diri ke Kantor Pelayanan Pajak untuk mendapatkan NPWP sesuai
tempat tinggal, tempat domisili atau tempat kedudukan Wajib Pajak tersebut.
b. Menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang.
c. Menyetor sendiri pajak yang terutang ke bank persepsi.
d. Melaporkan kegiatan usaha, penghasilan, harta, dan hutang melalui media
Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, jelas dan ditandatangan.

Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang
berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan. Jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek
pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Penjelasan terbaik sistem self assessment ada pada Pasal 12 UU KUP. Pasal ini
merupakan penegasan bahwa kewajiban perpajakan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak. Penerbitan surat ketetapan pajak terbatas hanya
pada Wajib Pajak tertentu yang terbukti melaporkan SPT tidak benar. Berbeda
dengan sistem official assessment bahwa pajak terutang timbul dari terbitnya surat
ketetapan pajak.

Berikut kutipan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP dan bagian penjelasannya.
Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak.

Penjelasan
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai
pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak
tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja,
atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena
Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus
dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak
harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1).

Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk


menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang
disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas
pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian
Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan
oleh Wajib Pajak.

Fungsi pemeriksaan pajak adalah mendorong Wajib Pajak melaporkan kegiatan


usahanya dengan benar. Benar karena Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya,
penghasilannya, hartanya, dan hutangnya sesuai keadaan sebenarnya. Tidak ada
yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan dan terbuka. Benar karena Wajib Pajak
telah menghitung pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Benar karena Wajib Pajak menyetor pajak-pajak ke Kas
Negara yang telah dipungut atau dipotong dari pihak lain. Pada saat
pemeriksaan, pemeriksa akan menguji:

 pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau


melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak
atau Bagian Tahun Pajak;
 penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
 harta dan kewajiban; dan/atau
 pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan


Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan,
pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya
dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya yang dilakukan oleh
Wajib Pajak. Kewajiban perpajakan atas pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak
Penghasilan atau yang dikenal PPh Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun
kewajiban pemotongan dan pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh
Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Pelaksanaan
pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
dilakukan dengan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan.
Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data, keterangan, dan/atau bukti
maka pemeriksa akan menerbitkan surat ketetapan pajak:
[a.] Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak;
[b.] Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya jumlah pokok
pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya
sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
[c.] Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau seharusnya tidak terutang;
[d.] Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa bunga
dan/atau denda;
[e.] Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

Berbeda dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak, pemeriksaan untuk


tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan pajak. Pemeriksaan untuk tujuan
lain di antaranya:
[a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
[b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
[c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
[d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan;
[e.] pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
[f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan;
[g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
[h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
[i.] pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
[j.] penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan;
dan/atau
[k.] pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda

RUANG LINGKUP PEMERIKSAAN


Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu
atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam tahun-
tahun lalu maupun tahun berjalan.
Ruang lingkup pemeriksaan merupakan cakupan dari jenis pajak dan periode dari
pencatatan atau pembukuan yang menjadi objek untuk dilakukan pemeriksaan
. Dengan pengertian seperti ini, ruang lingkup pemeriksaan pajak dapat dibagi
menjadi dua:
[a.] jenis pajak yang diperiksa; dan
[b.] periode pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak.

Ruang lingkup pemeriksaan pajak bisa diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui
Surat Pemberitahuan yang disampaikan. Dapat juga Wajib Pajak melihat ruang
lingkup pemeriksaan dari SP2 yang diperlihatkan atau disampaikan oleh pemeriksa.
Kode pemeriksaan yang tercantum di SP2 juga memperlihatkan ruang lingkup atau
batasan “perintah” diberikan kepada pemeriksa pajak. Jenis pajak yang diperiksa
dapat berupa:
[a.] seluruh jenis pajak (all taxes);
[b.] beberapa jenis pajak; atau
[c] satu jenis pajak (single tax).

Seluruh jenis pajak artinya semua kewajiban perpajakan yang menjadi kewajiban
Wajib Pajak harus diperiksa oleh pemeriksa. Atas pemeriksaan ini, dalam hal
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan, maka pemeriksa akan menerbitkan surat
ketetapan pajak kecuali jika penyelesaian pemeriksaan melalui laporan hasil
pemeriksaan (LHP) Sumir. Pada umumnya, pemeriksaan khusus dengan jenis
pemeriksaan lapangan biasanya pemeriksa diberikan ruang lingkup pemeriksaan
suluruh jenis pajak. Untuk seluruh jenis pajak, kode pemeriksaan yang tercantum di
SP2 adalah dengan digit pertama 1 (satu). Contoh: 1412, 1422, atau 1912. Artinya,
jika digit pertama angka 1 maka jenis pajak yang diperiksa meliputi: PPh Badan atau
PPh OP, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4
(2), PPh Pasal 15, PPN, PPnBM, dan PBB (kecuali PBB P2 yang sudah
kewenangan Pemda).

Beberapa jenis pajak biasanya digunakan untuk jenis PPh pemotongan dan
pemungutan, yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. PPh
pemotongan dan pemungutan biasa disingkat P2PPh. Tetapi sejak akhir 2013, bisa
beberapa jenis pajak bisa juga ditambahkan PPN. Untuk pemeriksaan Wajib Pajak
yang bergerak dibidang minyak dan gas bumi, terutama yang baru tahap eksplorasi
maka biasanya menggunakan beberapa jenis pajak karena kewajiban perpajakan
PPh Badan belum ada. Seperti seluruh jenis pajak tetapi dikurangi jenis pajak PPh
Badan. Kode pemeriksaan untuk beberapa jenis pajak menggunakan digit pertama
0 (nol). Untuk memperjelas jenis pajak apa saja yang diperiksa, setelah kode
pemeriksaan maka disebutkan jenis pajak apa saja. Contoh kode 0412
(P2PPh dan PPN), atau 0412 (PPh Badan dan PPN), atau 0412 (P2PPh).

Satu jenis pajak artinya jenis pajak yang diperiksa hanya satu saja. Sebelumnya,
satu jenis pajak lebih banyak digunakan untuk pemeriksaan lebih bayar PPN. Tetapi
sejak SE-28/PJ/2013 maka untuk pemeriksaan lebih bayar PPh Orang Pribadi dan
PPh Badan diharuskan satu jenis pajak. Maksud pembatasan jenis pemeriksaan
menjadi satu jenis pajak adalah agar pemeriksaan fokus kepada yang lebih bayar
dan mempercepat penyelesaian. Analisis dari Direktorat Pemeriksaan dan
Penagihan menyimpulkan bahwa pemeriksaan rutin untuk pemeriksaan lebih bayar
terlalu membebani kinerja pemeriksa pajak secara keseluruhan. Kegiatan
pemeriksaan lebih bayar sekitar 65% dari keseluruhan penugasan. Dan diantara
penugasan pemeriksaan lebih bayar tersebut sebagiannya dikarena SPT lebih bayar
yang nominalnya tidak signifikan. Untuk mengurangi beban tersebut, maka sejak
SE-28/PJ/2013 pemeriksaan pajak karena SPT lebih bayar dilakukan dengan satu
jenis pajak. Ditambah lagi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No.
198/PMK.03/2013 dan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-12/PJ/2014 yang
menggeser lebih bayar “receh-receh” dilakukan dengan penelitan oleh petugas AR.
Dan jangka waktu penyelesaian lebih bayar menjadi lebih cepat, yaitu 15 hari kerja
untuk PPh OP dan satu bulan untuk PPh Badan dan Pajak Pertambahan Nilai.

Ruang lingkup pemeriksaan yang kedua adalah periode pembukuan atau


pencatatan Wajib Pajak. Undang-Undang KUP mengenal istilah masa pajak, tahun
pajak, dan bagian tahun pajak. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar
bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang
dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
KUP. Secara umum, satu masa pajak adalah satu bulan kalender. Tetapi bisa juga
satu masa pajak tiga bulan kalender. Masa pajak biasa digunakan untuk jenis pajak
PPN.

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Bagian Tahun
Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. Bagian tahun pajak
artinya kurang dari 12 bulan kalender. Tahun pajak dan bagian tahun pajak biasa
digunakan dalam PPh.

SP2 yang diberikan harus secara jelas menyebutkan periode pembukuan yang
diperiksa. Sehingga di SP2 biasanya disebutkan bulan atau masa pajak yang
diperiksa. Periode bulan pembukuan (periode akuntansi) kebanyakan dimulai dari
bulan Januari dan diakhir bulan Desember. Tetapi ada juga yang tidak mengikuti
kalender masehi, seperti periode pembukuan mulai April sampai dengan Maret.
Dalam hal bulan permulaan periode pembukuan yang tercantum di SP2 berbeda
dengan periode akuntansi yang dianut Wajib Pajak, maka atas SP2 tersebut harus
dibatalkan dan dibuatkan SP2 baru yang sesuai dengan periode pembukuan Wajib
Pajak.

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan PPh Badan tidak mungkin dilakukan untuk
tahun berjalan. Kenapa? Karena pemeriksaan untuk menguji kepatuhan harus
menerbitkan surat ketetapan pajak. Artinya, periode pembukuan yang diperiksa
harus sudah lewat. Tetapi pemeriksaan tahun berjalan masih bisa dilakukan untuk
pemeriksaan PPN untuk masa pajak yang sudah lewat. Contoh SP2 ditandatangani
bulan Agustus 2014 untuk pemeriksaan satu jenis pajak PPN masa pajak Maret
2014.
KRITERIA PEMERIKSAAN PAJAK

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:


Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus
dilakukan terhadap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-
Undang KUP.
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat
dilakukan dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar,
selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak;
c. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
d. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi,
pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
e. Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau
karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
f. Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi
melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih
untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko; atau
g. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang terpilih untuk dilakukan
Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.

Menurut SE-28/PJ/2013 bahwa kriteria adalah alasan dilakukan pemeriksaan


pajak. Peraturan menteri keuangan selalu membagi alasan pemeriksaan menjadi
dua, yaitu pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan
pemeriksaan yang merupakan kewenangan Direktur Jenderal Pajak. Pemeriksaan
yang wajib dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak mengacu pada ketentuan Pasal
17B Undang-Undang KUP. Sedangkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak
mengacu pada Pasal 29 Undang-Undang KUP. Penjabaran kewenangan
pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam peraturan menteri keuangan
kemudian diatur pada Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor
17/PMK.03/2013 yang dikutif diatas.

Kata kunci yang menunjukkan kewenangan adalah kata "dapat" dalam kalimat
"Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat dilakukan dalam hal..." Menurut peraturan menteri keuangan,
kriteria atau alasan pemeriksaan selain pemeriksaan SPT Lebih Bayar yaitu:

1. SPT LB, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan


pembayaran pajak yang biasa disebut restitusi Pasal 17 Undang-Undang
KUP;
2. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak;
3. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;
4. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi,
pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
5. Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau
karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap;
6. Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi melampaui
jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk
dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko; atau
7. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan
berdasarkan analisis risiko.

Ada tiga "mazhab" yang saya temukan terkait alasan pemeriksaan


pajak. Mazhab pertama alasan pemeriksaan mengatakan bahwa SPT Wajib Pajak
diperiksa jika ada bukti ketidakpatuhan yang dimiliki oleh DJP. Harus ditemukan
bukti ketidakbenaran SPT Wajib Pajak, baru kemudian dilakukan pemeriksaan.
Itulah pemeriksaan menguji kepatuhan. Tetapi dalam kondisi database DJP yang
belum terkelola dengan baik maka akan ada simalakama antara pencarian data dan
pemeriksaan. Salah satu kewenangan pemeriksaan itu adalah meminjam dokumen
apapun yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Dengan data ini tentu pemeriksa bisa
menguji kepatuhan Wajib Pajak. Tetapi untuk masuk ke pemeriksaan, apa yang
dimiliki DJP? Jika Wajib Pajak memiliki pembisik yang mengatakan
bahwa database DJP belum terkelola dengan baik maka lebih aman bagi mereka
untuk tidak melaporkan SPT-nya karena dengan begitu tidak akan diperiksa! DJP
tidak punya alasan untuk melakukan pemeriksaan. Sehingga teman saya pernah
mengatakan, "Untuk mendapatkan bukti ketidakpatuhan Wajib Pajak maka harus
dilakukan pemeriksaan. Sebaliknya untuk dilakukan pemeriksaan, harus ada bukti
ketidakpatuhan. Jadi mana dulu?"

Mazhab yang kedua mengatakan bahwa alasan pemeriksaan pajak adalah analisis
risiko. Ini yang digunakan sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor
199/PMK.03/2007. Kata-kata pertama analisis risiko sebenarnya ada di Pasal 29A
Undang-Undang KUP, yaitu terkait dengan pemeriksaan pajak atas Wajib Pajak
yang terdaftar di bursa efek (listed company). Berikut petikannya:
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah
dinyatakan efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17B; atau
b. terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko
dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.
Sementara di Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 dibunyikan
di Pasal 4 ayat (3) huruf e yang petikannya seperti ini:
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak dapat dilakukan dalam hal Wajib Pajak: ..... menyampaikan Surat
Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis
risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan Wajib
Pajak yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Istilah analisis risiko tetap digunakan sampai Peraturan Menteri Keuangan nomor
17/PMK.03/2013 seperti yang petikannya sudah diatas. Bukti ketidakpatuhan tentu
berbeda dengan analisis risiko. Namanya analisis tentu bisa saja hanya berupa
indikasi. Analisis juga bisa berbentuk kuantitatif yaitu angk-angka dan bisa juga
kualitatif yang berupa deskripsi yang menggambarkan indikasi ketidakpatuhan.
Perkembangan selanjutnya, ditingkat kebijakan yang dituangkan dalam surat
edaran, analisis risiko ini dibagi dua:

1. analisis manual, dan


2. analisis komputerisasi.

Analisis manual dilakukan dengan manual. Satu Wajib Pajak atau satu grup
dilakukan analisis secara manual. Analisi ini dituangkan dalam lembar analisis yang
disebut "Analisis Risko Wajib Pajak". Di SE-28/PJ/2013 dicontohkan di lampiran I.39
seperti ini:
Perincian lebih detil tentang analisis manual terdapat dalam SE-15/PJ/2014 yaitu:
[a.] Wajib Pajak yang bertransaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa di dalam negeri (Wajib Pajak Grup).
[b.] Wajib Pajak sektor minyak dan gas bumi yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan antara SKK Migas, BPKP, dan tentu saja DJP.
[c.] Wajib Pajak yang bertransaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa (pemeriksaan transfer pricing).
[d.] Pemeriksaan yang dilakukan secara bersama-sama antara DJP dengan pihak
eksternal (biasa disebut joint audit, TOPN, atau Tim Gab).
[e.] Pemeriksaan berdasarkan hasil pengembangan dan analisis IDLP.
[f.] Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko yang dibuat oleh Direktorat P2 dan
Kanwil DJP.
[g.] Pemeriksaan bottom-up yang berasal dari usulan kantor pelayanan pajak.

Sementara analisis risiko secara komputerisasi dilakukan secara masal,


gelondongan. Analisis risiko sampai dengan 2014 ini baru dilakukan oleh KPDJP.
Hasil analisis risikonya kemudian diterbitkan intruksi pemeriksaan yang ditanda-
tangani Direktur Pemeriksaan DJP. Walaupun metode analisis risiko secara
komputerisasi berubah-ubah, tetapi karena keperluan "target" dan keperluan
penugasa pemeriksaan, maka Direktorat P2 memutuskan tetap untuk menerbitkan
intruksi pemeriksaan.
Pada awalnya, analisis risiko secara komputerisasi disebut "Kriteria Seleksi".
Ketentuan Pemeriksaan Kriteria Seleksi pertama kali diatur di Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak No. SE-01/PJ.7/2003 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak (Seri
Pemeriksaan 01 – 03). Berdasarkan Surat Edaran ini, Pemeriksaan Kriteria Seleksi
difokuskan terhadap Wajib Pajak yang dikategorikan sebagai Wajib Pajak Besar dan
Menengah baik skala nasional, regional maupun lokal. Penetapan Wajib Pajak
Besar dan Menengah dilaksanakan oleh Kantor Pusat DJP berdasarkan jumlah
peredaran usaha dan jumlah pajak yang dibayarkan serta elemen-elemen
pertimbangan lainnya.

Ketentuan diatas kemudian diganti oleh Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
No. SE-02/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Berdasar Kriteria Seleksi.
Surat Edaran ini mengatur Kriteria Seleksi Risiko dan Kriteria Seleksi Lainnya.
Analisis risiko diarahkan pada Wajib Pajak dengan risiko tinggi (high risk) yang
dihitung dari tax revenue at riskberdasarkan analisa tertentu baik secara kuantitatif
maupun kualitatif, sehingga terdapat potensi penerimaan sebagai akibat
ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya misalnya
dengan menyampaikan SPT secara tidak lengkap dan tidak benar. Analisis risiko
akan memanfaatkan perekaman SPT pada Pusat Data (Data Processing Centre)
dan secara sistem akan melakukan cek silang (cross check) dengan data atau
informasi perpajakan menurut basis data atau sumber lainnya, data industri (sektor
usaha) rata-rata sesuai KLU, pola pemenuhan kewajiban perpajakan pada setiap
industri (sektor usaha), serta mempertimbangkan pengetahuan setempat (local
knowledge) yang dimiliki oleh masing-masing UP3.

Pemeriksaan berdasarkan kriteria seleksi lainnya dilaksanakan apabila SPT


Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan terpilih untuk diperiksa
berdasarkan sistem skoring secara komputerisasi yang proses seleksinya dilakukan
oleh Tim Alokasi Pemeriksaan kriteria seleksi Kantor Pusat DJP. Sistem ini
memberikan nilai terhadap elemen-elemen SPT tertentu yang direkam sehingga
membentuk suatu skor yang secara keseluruhan dapat mengindikasikan tingkat
kepatuhan Wajib Pajak. Sistem ini juga memberikan nilai atas perbandingan ratio
masing-masing sektor usaha dengan keseluruhan data industri (sektor usaha) rata-
rata sesuai KLU baik secara regional maupun nasional.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-02/PJ.7/2005 kemudian dicabut oleh
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-10/PJ.04/2008 tentang Kebijakan
Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Surat
Edaran ini mengatur bahwa Kriteria Seleksi merupakan bagian dari Pemeriksaan
Khusus yang bersifat topdown. Tidak disebutkan kriteria yang dipilih tetapi hanya
menyebut “..berupa skor risiko ketidakpatuhan dengan memperhatikan variabel-
variabel tertentu serta adanya data dan nformasi…”

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-10/PJ.04/2008 selanjutnya dicabut


oleh Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-85/PJ/2011. Istilah Kriteria
Seleksi atau Kritsel kemudian tidak ada lagi. Tetapi semakna dengan Kriteria Seleksi
bahwa Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dapat menerbitkan instruksi karena
“terdapat hasil analisis risiko secara komputerisasi yang berupa skor risiko
ketidakpatuhan dengan memperhatikan variabel-variabel tertentu serta adanya data
dan informasi.”

Menurut informasi yang saya dapatkan, dengan SE-10/PJ.04/2008 "mesin" Kriteria


Seleksi yang sudah dibangun sejak 2003 "dibunuh". Tidak digunakan lagi. Mungkin
karena dianggap tidak berhasil. Tetapi menurut pengalaman saya, mesin yang
dimaksud akan tergantung pada sistem perekaman data DJP secara keseluruhan.
Artinya, jika database DJP masih belum terkelola dengan baik, maka tetap saja akan
ditemukan banyak kelemahan (untuk tidak menyebut kesalahan). Seperti "adagium"
di dunia informatika bahwa jika datanya sampah maka hasilnya pun tentu sampah
(GIGO). Jadi bukan pada pemilihan kriteria atau pada mesinnya walaupun keduanya
tentu berperan juga.

Selanjutnya, tahun 2011 menghidupkan kembali intruksi


pemeriksaan topdown dengan Kriteria Seleksi. Pertimbangan utama menghidupkan
kembali ini karena kebutuhan pemeriksaan di Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2).
Usulan pemeriksaan bottom-up yang berasal dari AR dianggap tidak efektif. Statistik
membuktikan bahwa usulan bottoum-up yang berasal dari AR sangat
sedikit. Penyebab tidak efektifnya usulan bottom-up antara lain:
a) AR secara psikologis tidak nyaman mengusulkan pemeriksaan karena untuk
menjaga kelangsungan hubungan antara AR dengan Wajib Pajak maka AR
cenderung tidak tegas menindaklanjuti data-data yang ada. Alasan seperti ini sering
dikemukakan oleh sebagian Fungsional Pemeriksa.
b) Format analisis risiko yang ada di lampiran SE-10/PJ/2008 terlalu kompleks
sehingga sedikit AR yang mampu membuat analisis risiko sesuai dengan format
surat edaran. Alasan ini dikemukakan oleh kepala seksi yang melihat kemampuan
para AR.
c) Banyak Fungsional Pemeriksa yang menolak untuk melakukan pemeriksaan
karena menganggap usulan dari AR tidak signifikan. Sebaliknya, AR berpikir bahwa
Fungsional Pemeriksa cenderung mengharapkan data dan analisis yang lengkap,
akurat, dan berpotensi penerimaan besar. Padahal, jika analisis AR sudah lengkap
dan akurat maka umumnya konseling dengan Wajib Pajak pun tidak sulit.

Sedangkan intruksi yang bersifat topdown tidak banyak. Banyak pemeriksa pajak di
UP2 kekurangan pekerjaan. Atau ada pekerjaan tetapi hanya mengerjakan restitusi
SPT LB yang tidak potensial. Fungsional Pemeriksa digaji dengan grade tinggi.
Dengan sedikit beban kerja, tetapi mendapatkan grade tertinggi bagi sebagian
pegawai KPP lain timbul kecemburuan. Berdasarkan pertimbangan
“mengoptimalkan” tenaga fungsional pemeriksa pajak di UP2, maka perlu diadakan
intruksi pemeriksaan yang bersifat massal. Supaya setiap UP2 tidak kekurangan
pekerjaan. Fungsional Pemeriksa didorong supaya tetap memiliki beban tinggi
sesuai dengan grade yang diberikan. Satu-satunya jalan adalah intruksi
pemeriksaan dengan Kriteria Seleksi. Maka pada tahun pertama "menghidupkan
kembali" yaitu tahun 2012, intruksi topdown yang berasal dari Kriteria Seleksi sudah
diteken sebanyak 4502 intruksi. Ditahun kedua, yaitu tahun 2013 intruksi
pemeriksaan topdown yang berasal dari Kriteria Seleksi lebih banyak lagi karena
pada tahun tersebut ada permintaan khusus dari Dirjen Pajak berupa pemeriksaan
PPh Pasal 21 dan pemeriksaan sektor properti.

Selanjutnya, DJP mengembangkan apa yang disebut compliance risk


management disingkat CRM. Rintisan CRM sudah dimulai sejak 2013 dan tahun
2014 direncanakan piloting di beberapa unit kerja. CRM adalah kerja sama semua
direktorat yang dipelopori Direktorat PKP dan Direktorat TIP. Justru apa yang di
Direktorat P2 dulu biasa disebut Kritsel, maka akan melebur ke CRM.
Bahkan piloting CRM ini sudah dimasukkan di SE-15/PJ/2014 tentang Rencana dan
Strategi Pemeriksaan Tahun 2014. Inilah kutipan dari SE-15/PJ/2014 terkait CRM:
Penerapan Risk Based Audit Berdasarkan Compliance Risk Management (CRM)
1) Dalam rangka pengelolaan risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak, Direktorat Jenderal
Pajak akan menerapkan CRM
2) CRM merupakan suatu aplikasi untuk menilai dan memetakan risiko kepatuhan
Wajib Pajak.
3) Terhadap Wajib Pajak yang masuk dalam kelompok ‘perlu dilakukan
pemeriksaan’ berdasarkan hasil analisis CRM, akan diinstruksikan pemeriksaan
khusus.
4) Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus di beberapa UP2 akan dilakukan berdasarkan
hasil analisis CRM.
5) Pemilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa berdasarkan analisis CRM dilakukan
oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
6) Instruksi untuk melakukan Pemeriksaan Khusus berdasarkan hasil analisis CRM
diterbitkan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.

Balik lagi kepada mazhab alasan dilakukan pemeriksaan pajak. Mazhab ketiga
alasan pemeriksaan pajak adalah karena kewenangan yang diberikan oleh Undang-
Undang KUP yaitu Pasal 29 seperti yang sudah dikutip diatas. Saya kutip ulang
supaya lebih jelas:
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pemikiran lain dari mazhab ketiga ini bahwa tidak ada satupun ketentuan di Undang-
Undang KUP yang melarang atau membatasi Direktur Jenderal Pajak untuk
melakukan pemeriksaan. Artinya, dengan kewenangan yang diberikan Pasal 29
sudah jelas bahwa Dirjen Pajak bisa saja melakukan pemeriksaan pajak dengan
"suka-suka". Setelah dilakukan pemeriksaan, baru diketahui apakah Wajib Pajak
melaporkan SPT dengan benar atau salah. Ini merupakan kebalikan dari mazhab
pertama diatas.

Pada tingkat kebijakan, kriteria pemeriksaan dibagi dua:

1. pemeriksaan rutin, dan


2. pemeriksaan khusus

SE-28/PJ/2013 menjelaskan keduanya seperti ini:


Pemeriksaan Rutin, merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan
pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Pemeriksaan Khusus atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based
audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang
berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau secara komputerisasi
menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Pada tingkat praktek, pemeriksaan rutin itu adalah pemeriksaan yang tidak
memerlukan analisis risiko. UP2 cukup mengusulkan pemeriksaan rutin ke Kanwil
DJP, kemudian Kanwil DJP menyetujui atau menolak usulan pemeriksaan rutin.
Tetapi ternyata sejak SE-28/PJ/2013 pemeriksaan pun ada skala prioritas. Apa itu
skala prioritas? Kepala UP2 diberikan kewenangan untuk melakukan prioritas
berdasarkan beban kerja dan potensi pajak. Sedangkan untuk melihat potensi pajak
harus ada hitung-hitungan. Artinya, untuk mengusulkan pemeriksaan rutin yang
menggunakan skala prioritas, maka kepala UP2 juga harus melakukan analisis risiko
juga dengan analisis risiko versinya masing-masing kepala UP2.

Pada awalnya pemeriksaan rutin adalah pemeriksaan yang harus dilakukan oleh
DJP. Ini memang kebijakan awal terutama sebelum modernisasi DJP. Pada waktu
itu tenaga pemeriksa sangat banyak karena semua pegawai DJP boleh melakukan
pemeriksaan. Bahkan pada prakteknya, yang benar-benar melakukan pemeriksa
bisa jadi orang yang tidak tercantum dalam SP2. Sebagian kecil pemeriksa pajak
bahkan ada yang memiliki "bawahan sendiri" dengan menyuruh orang lain
melakukan rekapitulasi. Tetapi setelah modernisasi, maka yang namanya
pemeriksa itu pejabat fungsional pemeriksa pajak. Orang yang bekerja melakukan
pekerjaan pemeriksaan benar-benar seorang pejabat fungsional pemeriksa pajak.
Sehingga benar-benar ada penurunan tenaga pemeriksa. Bahkan sampai dengan
tahun 2014 ini DJP tetap merasa kekurangan tenaga pemeriksa walaupun diantara
pekerjaan pemeriksaan sudah "dialihkan". DJP tetap masih mengejar tax audit
coverage ratio (ACR) yang ideal. SE-15/PJ/2014 tentang rencana dan strategi
pemeriksaan tahun 2014, DJP membuat target ACR sebesar 5% untuk Wajib
Pajak badan, sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi hanya 0,1% saja.
Itupun dengan rumusan ACR yang "modifikasi". Sebagai perbandingan, pada sekitar
tahun 2011 saya pernah membuat perhitungan ACR seperti berikut:

Sampai dengan SE-85/PJ/2011 kompensasi lebih bayar masih harus dilakukan


pemeriksaan. Akibatnya pemeriksaan rutin mendominasi. Tentu saja unit pelaksana
pemeriksaan akan mendahulukan apa yang wajib dilakukan daripada yang
"sunnah". Ditambah lagi pada waktu itu, belum ada istilah verifikasi. Sehingga
kegiatan pencabutan NPWP dan PKP lebih besar dibanding pemeriksaan rutin.
Berikut perbandingan persentase rata-rata penugasan pemeriksaan rutin,
pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan tujuan lain untuk periode tahun 2009 sampai
dengan tahun 2012:

Kemudian, SE-85/PJ/2011 dikoreksi dengan SE-28/PJ/2013 dan kebijakan


pemeriksaan dikembalikan sesuai peraturan menteri keuangan seperti yang sudah
dijelaskan diatas. Pada dasarnya, pemeriksaan yang harus dilakukan oleh DJP
adalah pemeriksaan yang berdasarkan Pasal 17B Undang-Undang KUP. Selain
Pasal 17B, maka masuk domain kewenangan Dirjen Pajak, boleh diperiksa tetapi
boleh juga tidak diperiksa. SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar tetapi
dikompensasi: boleh diperiksa, boleh juga tidak. SPT Tahunan PPh yang
Menyatakan Rugi: boleh diperiksa, boleh juga tidak diperiksa. Tujuannya adalah
mengurangi beban pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan rutin dan sekaligus
memperbanyak ruang pemeriksaan dengan kriteria pemeriksaan khusus.

Sebagian pegawai berpendapat bahwa SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi
harus diperiksa karena memiliki risiko tinggi. Kerugian tersebut seperti cek untuk
mengurangi pajak terutang di tahun pajak berikutnya. Terkait dengan ini, sebenarnya
untuk SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak benar-benar tidak diperiksa.
Dalam hal tahun pajak yang diperiksa terdapat kompensasi kerugian dari tahun lalu,
maka dalam kebijakan pemeriksaan tetap mengharuskan kepada pemeriksa pajak
untuk melakukan perluasan pemeriksaan sampai dengan tahun pajak yang belum
daluwarsa. Tetapi jika memang sudah daluwarsa atau segera akan daluwarsa tidak
harus diperiksa. Salah satu pertimbangannya, dilihat dari manajemen risiko bahwa
SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi tidak otomatis memiliki risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT atau bahkan SPT
Tahunan Nihil. Bisa jadi justru risiko sangat tinggi ada pada SPT Nihil. Sejak 2014,
risiko Wajib Pajak harusnya berdasarkan CRM bukan status SPT.
Menurut SE-28/PJ/2013 Wajib Pajak akan dilakukan pemeriksaan dengan kriteria
pemeriksaan rutin jika:

1. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar
restitusi.
2. Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar
restitusi.
3. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang
menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP.
4. Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi.
5. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D
Undang-Undang KUP.
6. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi.
7. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau
pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi akan meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya.
8. Wajib Pajak melakukan: perubahan tahun buku, perubahan metode
pembukuan; dan/atau penilaian kembali aktiva tetap.

JENIS PEMERIKSAAN PAJAK

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013


Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dengan jenis Pemeriksaan
Lapangan atau Pemeriksaan Kantor.
Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013
Terhadap Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan
dengan Pemeriksaan Kantor, dalam hal permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:
a. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh
akuntan publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun
Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan publik,
dengan pendapat wajar tanpa pengecualian; dan
b. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan,
atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima)
tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013
Terhadap Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) huruf a sampai dengan huruf e, penentuan jenis pemeriksaannya diatur oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013
Terhadap Pemeriksaan dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) huruf f dan huruf g dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
Pasal 5 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013
Dalam hal Pemeriksaan Kantor ditemukan indikasi transaksi yang terkait
dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya
rekayasa transaksi keuangan, pelaksanaan Pemeriksaan Kantor diubah menjadi
Pemeriksaan Lapangan.
Jenis pemeriksaan pajak membagi pemeriksaan menjadi dua, yaitu

1. pemeriksaan kantor, dan


2. pemeriksaan lapangan

Per definisi, Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor


Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan
yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang
dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak. Pada prakteknya (mungkin sebagian besar)
tidak ada perbedaan antara pemeriksaan kantor dan lapangan, kecuali terkait
dokumen awal yaitu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dan Surat
Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor. Setidaknya praktek ini terjadi sampai
dengan tahun 2014. Seharusnya antara Pemeriksaan Kantor dan Pemeriksaan
Lapangan ada perbedaan yang signifikan. Terutama karena Pemeriksaan Kantor
sebenarnya untuk pemeriksaan yang secara risiko lebih rendah. Sedangkan
Pemeriksaan Lapangan untuk pemeriksaan yang cakupannya luas, kompleks, dan
memiliki risiko tinggi. Inilah salah satu alasan kenapa pemeriksaan transfer
pricing harus Pemeriksaan Lapangan karena dianggap memiliki risiko tinggi. Pada
saat Pemeriksaan Kantor pemeriksa melakukan pengujian pengujian transfer
pricing maka jenis pemeriksaan diubah menjadi jenis Pemeriksaan Lapangan (SE-
28/PJ/2013).

Hal yang perlu dirubah adalah praktek pemeriksaan serta metode dan teknik yang
digunakan oleh pemeriksa pajak. Akan lebih efektif jika Pemeriksaan Lapangan
benar-benar dilakukan oleh pemeriksaan pajak ditempat Wajib Pajak. Pemeriksa
dibekali laptop yang sudah tersedia data-data terkait Wajib Pajak yang diperiksa.
Baik data-data laporan SPT, pembayaran pajak, data internal DJP yang dilaporkan
oleh lawan transaksi Wajib Pajak, sampai data-data eksternal DJP yang biasa
disebut data PP31. Data-data tersebut kemudian "dicocokkan" dengan kenyataan
sebenarnya. Kenyataan yang ditemukan pada saat pemeriksaan lapangan. Diuji
silang dan dibandingkan dengan dokumen-dokumen yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
Melakukan pengujian-pengujian yang diperlukan berdasarkan data
lapangan. Setelah kembali ke kantor, pemeriksa pajak tinggal menerbitkan SPHP
dan closing conference. Praktek pemeriksaan lapangan yang benar-benar dilakukan
di lapangan sudah dilakukan oleh auditor BPK saat memeriksa obrik (objek
pemeriksaan). Begitu juga pemeriksaan terhadap perusahaan Migas yang biasa
dilakukan bersama-sama dengan BPKP dan SKK Migas. Sedangkan dari sisi
metode dan teknik pemeriksaan perlu ada pembeda antara Pemeriksaan Kantor dan
Pemeriksaan Lapangan. Teknik pemeriksaan untuk Pemeriksaan Kantor harus lebih
longgar dan lebih sederhana karena memiliki risiko lebih kecil. Hal ini juga akan
memberikan guide bagi pemeriksa pajak yang melakukan pemeriksaan. Semoga
pasca perubahaan KUP 2009 bisa terlaksana :-)

Pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi adalah Wajib Pajak tertentu
yang berulang-ulang atau sering atau setidaknya lebih dari sekali meminta restitusi.
Terutama resitusi PPN yang bisa dilakan setiap bulan, setiap masa pajak oleh Wajib
Pajak tertentu. Diantara yang sering restitusi tersebut adalah Wajib Pajak rekanan
pemerintah yang pajaknya sudah dipotong dan/atau dipungut oleh bendahara.
Diantara yang sering restitusi, Wajib Pajak sudah menyiapkan dokumen-dokumen
yang diperlukan untuk pemeriksaan pajak. Sehingga begitu datang pemeriksa pajak
atau bahkan cukup ditelpon dari kantor, maka Wajib Pajak langsung meminjamkan
dokumen yang sudah disiapkan tersebut. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan
bahwa pada umumnya, Wajib Pajak yang meminta restitusi memiliki risiko relatif
kecil.

Inilah dasar pemikiran kenapa pemeriksaan yang berdasarkan Pasal 17B Undang-
Undang KUP dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor. Pasal 5 ayat (2)
Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 secara tegas menyebutkan
bahwa terhadap pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, dalam hal permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan:

1. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh
akuntan publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua)
Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan
publik, dengan pendapat wajar tanpa pengecualian
2. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan,
penyidikan, atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak
dalam 5 (lima)

Tarkait dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor
17/PMK.03/2013 saya sudah "membocorkan" latar belakang pada Juli 2013.
Silakan diklik. Tetapi yang ingin saya tekankan disini bahwa Pemeriksaan Kantor
adalah untuk pemeriksaan yang memiliki risiko rendah. Dengan berprasangka
baik kepada anggota IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) bahwa Wajib Pajak
yang telah dilakukan audit dan hasil audit tersebut menyatakan wajar tanpa
pengecualian maka pembukuan Wajib Pajak sudah benar-benar wajar dan sesuai
standar akuntansi yang berlaku. Karena Laporan Keuangan yang dilaporkan ke
kantor pajak sudah sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku ditambah lagi
atas Wajib Pajak tersebut tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan,
penyidikan, atau penuntutan tindak pidana perpajakan dalam jangka waktu 5 tahun
maka DJP kemudian berpendapat bahwa atas Wajib Pajak seperti itu cukup
dilakukan Pemeriksaan Kantor saja.

Karena jenis Pemeriksaan Kantor untuk pemeriksaan Wajib Pajak yang memiliki
risiko rendah dan bermaksud mendorong pemeriksaan restitusi dilakukan dengan
jenis Pemeriksaan Kantor maka SE-28/PJ2013 kemudian "memperluas" persyaratan
Pemeriksaan Kantor yaitu:
[a.] Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas, atau melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tetapi memilih
menghitung pajak terutang dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
neto;
[b.] Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas, atau Wajib Pajak badan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kembali pos (kempos);
ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi;
iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan petugas Account Representative di
Kantor Pelayanan Pajak;
iv. hasil kunjungan petugas Account Representative dapat menggambarkan dengan
jelas kegiatan usaha dan proses bisnis Wajib Pajak;
v. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan yang restitusi tepat waktu; dan
vi. hasil Pemeriksaan Pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau
mendapatkan koreksi atas pos peredaran usaha dan/atau pembelian tetapi tidak
bernilai material (koreksi di bawah 5% dari peredaran usaha dan/atau pembelian)

Dengan kebijakan tersebut DJP menganggap bahwa Wajib Pajak yang sering
berkomunikasi dengan petugas Account Representative (AR) memiliki risiko rendah
sampai Wajib Pajak tersebut diperiksa dan hasil pemeriksaan terbukti ada koreksi
peredaran usaha dan/atau pembelian diatas 5%. Wajib Pajak yang tidak bisa
dihubungi AR, tidak jelas alamatnya, dilakukan visit tetapi Wajib Pajak justru
menolak maka Wajib Pajak seperti ini dianggp memiliki risiko menengah sampai
tinggi. Apalagi jika Wajib Pajak memiliki alamat berpindah-pindah ditambah tidak ada
pegawai Wajib Pajak atau Wajib Pajak itu sendiri yang dapat dihubungi maka DJP
harus menggap Wajib Pajak seperti ini memiliki risiko tinggi.
STANDAR PEMERIKSAAN PAJAK

Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013


Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus
dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan

Standara pemeriksaan adalah capaian minimum yang harus dicapai dalam


melaksanakan pemeriksaan. Boleh dibilang, standar pemeriksaan merupakan syarat
minimal. Pelaksanaan pemeriksaan pajak boleh lebih bagus atau diatas standar
pemeriksaan yang sudah ditetapkan. Dalam hal dibawah standar, sebenarnya tidak
ada sanksi bagi pemeriksa pajak tetapi akan menjadi ukuran pembinaan
pelaksanaan pemeriksaan oleh Direktorat Pemeriksaan. Standar pemeriksaan lebih
lanjut diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-23/PJ/2013
tentang Standar Pemeriksaan.

Standara pemeriksaan dibagi tiga:

1. standar umum
2. standar pelaksanaan
3. standar pelaporan hasil pemeriksaan

Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan


berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak. Peraturan menteri keuangan dan
peraturan direktur jenderal pajak memberikan syarat minimal pemeriksa pajak
sebagai berikut:

[a.] telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki
keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.
Persyaratan ini merupakan syarat kompetensi untuk dapat menjadi seorang
Pemeriksa Pajak, baik sebagai individu maupun sebagai tim Pemeriksa Pajak
(kompetensi kolektif). Pemeriksa Pajak harus memiliki pengetahuan dan keahlian
yang memadai dibidang perpajakan, akuntansi, dan Pemeriksaan. Pemeriksa Pajak
diharuskan memiliki pengetahuan umum tentang lingkungan dan proses bisnis Wajib
Pajak, termasuk di antaranya adalah kemampuan menerapkan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku. Pemeriksa Pajak harus memiliki keterampilan
berkomunikasi secara jelas dan efektif, baik secara lisan maupun tulisan. Pemeriksa
Pajak harus memelihara dan meningkatkan keahlian dan kompetensinya melalui
pendidikan berkelanjutan. Pendidikan dimaksud dapat berupa diklat-diklat, kursus
singkat, maupun seminar, baik yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak,
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, maupun oleh instansi lainnya, di dalam
negeri maupun di luar negeri.

[b.] menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama.


Dalam pelaksanaan Pemeriksaan dan penyusunan LHP, Pemeriksa Pajak harus
menggunakan keterampilannya secara profesional, cermat dan seksama, objektif,
dan independen, serta selalu menjaga integritas. Pemeriksa Pajak dianggap telah
menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama apabila dalam
melaksanakan Pemeriksaan didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

[c.] jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan
kepentingan negara. Pemeriksa Pajak dituntut untuk selalu jujur dan bersih dari
tindakan tercela serta mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi ataupun golongan. Pemeriksa Pajak harus tunduk pada kode etik yang telah
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam semua hal yang berkaitan dengan
Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak harus bersikap independen, yaitu tidak mudah
dipengaruhi oleh keadaan, kondisi, perbuatan dan/atau Wajib Pajak yang
diperiksanya. Gangguan independensi yang dapat dialami oleh Pemeriksa Pajak
selama Penieriksaan meliputi hal-hal berikut:
[c.1.] memiliki hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan Wajib Pajak.
[c.2.] memiliki kepentingan keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan Wajib Pajak.
[c.3.] pernah bekerja atau memberikan jasa di bidang yang berhubungan dengan
masalah perpajakan, akuntansi, atau pun keuangan kepada Wajib Pajak dalam
kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir.
[c.4.] memiliki teman dekat atau keluarga yang dapat berposisi sebagai wakil Wajib
Pajak yang diperiksa.
[c.5.] keadaan, kondisi dan perbuatan tertentu lainnya yang menurut pertimbangan
Pemeriksa Pajak dapat mengganggu independensi tersebut..

[d.] taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang


perpajakan.

Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban


perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan.
Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik sesuai
dengan tujuan Pemeriksaan, yang paling sedikit meliputi kegiatan mengumpulkan
dan mempelajari data Wajib Pajak, menyusun rencana Pemeriksaan (audit plan),
dan menyusun program Pemeriksaan (audit program), serta mendapat pengawasan
yang seksama. Pemeriksaan dilaksanakan dengan melakukan pengujian
berdasarkan metode dan teknik Pemeriksaan sesuai dengan program Pemeriksaan
(audit program) yang telah disusun. Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan
pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang
terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota
tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap sebagai anggota tim.
Apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari
instansi lain.

Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan


harus didokumentasikan dalam bentuk KKP (Kertas Kerja Pemeriksaan). KKP wajib
disusun oleh Pemeriksa Pajak dan berfungsi sebagai:

 bukti bahwa Pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai standar pelaksanaan


Pemeriksaan;
 bahan dalam melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan
Wajib Pajak mengenai temuan hasil Pemeriksaan;
 dasar pembuatan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan);
 sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang
diajukan oleh Wajib Pajak; dan
 referensi untuk Pemeriksaan berikutnya.

Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan


harus dilaporkan dalam bentuk LHP yang disusun sesuai standar pelaporan hasil
Pemeriksaan. LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau
pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan
Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya
penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat
pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan. LHP untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sekurang-kurangnya memuat:

 penugasan Pemeriksaan;
 identitas Wajib Pajak;
 pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
 pemenuhan kewajiban perpajakan;
 data/informasi yang tersedia;
 buku dan dokumen yang dipinjam;
 materi yang diperiksa;
 uraian hasil Pemeriksaan;
 ikhtisar hasil Pemeriksaan;
 penghitungan pajak terutang; dan
 simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.

Kewajiban pemeriksa versus hak Wajib Pajak. Keduanya sebenarnya berhadap-


hadapan. Harusnya kewajiban disisi pemeriksa maka hak disisi Wajib Pajak. Tetapi
ternyata tidak semuanya seperti itu. Karena itu saya sandingkan antara kewajiban
Pemeriksa dan hak Wajib Pajak supaya terlihat mana yang berhadapan dan mana
yang tidak.

KEWAJIBAN PEMERIKSA HAK WAJIB PAJAK


menyampaikan Surat Pemberitahuan meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk
Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak memberikan Surat Pemberitahuan
dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan Pemeriksaan Lapangan dalam hal
jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Pemeriksaan dilakukan dengan jenis
Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Pemeriksaan Lapangan;
Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan
dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
memperlihatkan Tanda Pengenal meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk
Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib memperlihatkan Tanda Pengenal
Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan; Pemeriksa Pajak dan SP2;
memperlihatkan surat yang berisi meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk
perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada memperlihatkan surat yang berisi
Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila
tim Pemeriksa Pajak mengalami susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak
perubahan; mengalami perubahan;
melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk
dalam rangka memberikan penjelasan tentang alasan dan
memberikan penjelasanmengenai: tujuan Pemeriksaan
1. alasan dan tujuan Pemeriksaan;
2. hak dan kewajiban Wajib Pajak selama
dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
3. hak Wajib Pajak mengajukan
permohonan untuk dilakukan pembahasan
dengan Tim Quality
Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat
hasil Pemeriksaan yang belum disepakati
antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib
Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan; dan
4. kewajiban dari Wajib Pajak untuk
memenuhi permintaan buku, catatan,
dan/atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen
lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;
menuangkan hasil pertemuan dalam berita
acara pertemuan dengan Wajib Pajak;
menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak; menerima SPHP;
memberikan hak untuk hadir kepada menghadiri Pembahasan Akhir Hasil
Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Pemeriksaan pada waktu yang telah
Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang ditentukan;
telah ditentukan;
mengajukan permohonan untuk dilakukan
pembahasan dengan Tim Quality
Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih
terdapat hasil Pemeriksaan yang belum
disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan
Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir
Hasil Pemeriksaan; dan
menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan memberikan pendapat atau penilaian atas
kepada Wajib Pajak; pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa
Pajak melalui pengisian Kuesioner
Pemeriksaan.
melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dengan
menyampaikan saran secara tertulis;
mengembalikan buku, catatan, dan/atau
dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang
dipinjam dari Wajib Pajak;
merahasiakan kepada pihak lain yang tidak
berhak atas segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib
Pajak dalam rangka Pemeriksaan.

Kewenangan pemeriksa pajak bisa disandingkan dengan kewajiban Wajib Pajak.


Tetapi ada beberapa kewenangan pemeriksa pajak yang bukan kewajiban Wajib
Pajak. Sebaliknya ada kewajiban Wajib Pajak yang sebenarnya "tidak wajib" karena
pada pasal berikutnya seolah-solah hak. Kewajiban yang saya maksud adalah
menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP. Tidak ada sanksi bagi Wajib
Pajak yang tidak menyampaikan tanggapan. Ada atau tidak ada tanggapan dari
Wajib Pajak, pemeriksa wajib memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak
dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan berupa "undangan".

KEWENANGAN PEMERIKSA KEWAJIBAN WAJIB PAJAK


melihat dan/atau meminjam buku, catatan, memperlihatkan dan/atau meminjamkan
dan/atau dokumen yang menjadi dasar buku, catatan, dan/atau dokumen yang
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen menjadi dasar pembukuan atau pencatatan,
lain yang berhubungan dengan penghasilan dan dokumen lain yang berhubungan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan dengan penghasilan yang diperoleh,
bebas Wajib Pajak, atau objek yang kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
terutang pajak; Pajak, atau objek yang terutang pajak;
mengakses dan/atau mengunduh data yang memberikan kesempatan untuk mengakses
dikelola secara elektronik; dan/atau mengunduh data yang dikelola
secara elektronik;
memasuki dan memeriksa tempat atau memberikan kesempatan untuk memasuki
ruang, barang bergerak dan/atau tidak dan memeriksa tempat atau ruang, barang
bergerak yang diduga atau patut diduga bergerak dan/atau tidak bergerak yang
digunakan untuk menyimpan buku atau diduga atau patut diduga digunakan untuk
catatan, dokumen yang menjadi dasar menyimpan buku atau catatan, dokumen
pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, yang menjadi dasar pembukuan atau
uang dan/atau barang yang dapat memberi pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau
petunjuk tentang penghasilan yang barang yang dapat memberi petunjuk
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas tentang penghasilan yang diperoleh,
Wajib Pajak, atau objek yang terutang kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
pajak; Pajak, atau objek yang terutang pajak serta
meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;
meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran
memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, yang dapat berupa:
Pemeriksaan, antara lain berupa: 1. menyediakan tenaga dan/atau peralatan
1. menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam
atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara
mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau
elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
keahlian khusus; 2. memberikan bantuan kepada Pemeriksa
2. memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak
Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
dan/atau tidak bergerak; dan/atau 3. menyediakan ruangan khusus tempat
3. menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan
dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat
dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak;
Wajib Pajak;

melakukan Penyegelan tempat atau ruang


tertentu serta barang bergerak dan/atau
tidak bergerak;
meminta keterangan lisan dan/atau tertulis memberikan keterangan lisan dan/atau
dari Wajib Pajak; tertulis yang diperlukan
meminta keterangan dan/atau bukti yang
diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak
yang diperiksa melalui kepala unit
pelaksana Pemeriksaan.
menyampaikan tanggapan secara tertulis
atas SPHP;

Kewenangan versus kewajiban diatas adalah untuk versi jenis Pemeriksaan


Lapangan. Ada beberapa kewenangan pemeriksa pajak yang tidak dimiliki manakala
jenis Pemeriksaan Kantor. Kewenangan pemeriksa pajak yang tidak dimiliki
pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Kantor adalah kehadiran pemeriksa pajak di
domisili, tempat usaha atau kegiatan Wajib Pajak. Dengan kehadiran pemeriksa
pajak di domisili, tempat usaha atau kegiatan Wajib Pajak maka timbul kewenangan
pemeriksaan pajak untuk meminjam dokumen yang ditemukan saat itu juga,
memasuki ruangan atau bangunan atau tempat tertentu dan yang paling penting
pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Lapangan berwenang melakukan penyegelan.
Sebaliknya ada kewenangan pemeriksa pajak jenis Pemeriksaan Kantor yang tidak
ada di Pemeriksaan Lapangan, yaitu meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan
publik melalui Wajib Pajak. Apakah pemeriksaan lapangan benar-benar tidak
memiliki kewenangan meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik? Sebenarnya
tidak juga. Pemeriksaan lapangan tetap memiliki kewenangan untuk meminjam KKP
yang dibuat oleh akuntan publik baik melalui Wajib Pajak maupun tidak. Justru
pemeriksaan lapangan lebih luas. Karena tidak harus melalui Wajib Pajak. Pasal 28
ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 secara tegas tertulis,
"buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik
serta keterangan lain yang diperlukan". Artinya, apapun yang diperlukan untuk
pemeriksaan, pemeriksa pajak dapat meminjam saat itu juga jika ditemukan di
tempat Wajib Pajak atau dibuatkan surat peminjaman.

JANGKA WAKTU PEMERIKSAAN


Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP:
Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur
tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan
surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak
untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.

Pasal 31 Undang-Undang KUP ini merupakan dasar hukum atau amanat yang
diberikan oleh Undang-Undang KUP bahwa jangka waktu pemeriksaan pajak "harus
dibatasi". Ada sebagian yang tidak setuju dengan adanya jangka waktu
pemeriksaan. Hal ini karena proses pengumpulan data untuk diuji seringkali
tergantung pada pihak eksternal. Contoh adalah ijin membuka rahasia perbankan
yang seringkali bisa berbulan-bulan baru dijawab. Atau konfirmasi pihak ketiga yang
berasal dari negara lain yang jawabannya seringkali baru bisa diterima sekian tahun
kemudian. Tetapi karena Undang-Undang KUP mengharuskan adanya jangka waktu
pemeriksaan maka dalam peraturan menteri keuangan selalu diatur batas waktu
pemeriksaan.
Pada awalnya, jangka waktu pemeriksaan memang tidak diatur. Undang-Undang
No. 16 Tahun 2000 tidak mengatur masalah jangka waktu. Baru muncul jangka
waktu pemeriksaan di Keputusan Menteri Keuangan nomor 545/KMK.04/2000
tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Padahal keputusan menteri keuangan ini
masih berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000. Jangka waktu
pemeriksaan masuk Undang-Undang KUP baru pada Undang-Undang No. 28
Tahun 2007, yaitu di Pasal 31 ayat (2) seperti yang saya kutip diatas.

Keputusan Menteri Keuangan nomor 545/KMK.04/2000 membatasi pemeriksaan


lengkap 2 bulan dan dapat diperpanjang sampai dengan 8 bulan. Kemudian di
Peraturan Menteri Keuangan nomor 199/PMK.03/2007 jangka waktu pemeriksaan
lapangan dibagi dua yaitu 4 bulan dan diperpanjang 4 bulan lagi sehingga total
jangka waktu pemeriksaan tetap 8 bulan. Jangka waktu ini tetap dipakai di Peraturan
Menteri Keuangan nomor 82/PMK.03/2011. Baru kemudian pada Peraturan Menteri
Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 jangka waktu pemeriksaan lapangan ditambah 2
bulan dengan membagijangka waktu pengujian dan jangka waktu Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan.

Kenapa jangka waktu pemeriksaan menjadi dua? Karena pada awalnya jangka
waktu pemeriksaan yang 8 bulan tidak tegas. Dalam Peraturan Menteri Keuangan
nomor 82/PMK.03/2011 dikatakan bahwa setelah 8 bulan pemeriksaan belum
selesai, maka dalam jangka waktu 7 hari harus diterbitkan SPHP. Padahal setelah
SPHP masih ada waktu 1 bulan lagi. Artinya, total jangka waktu pemeriksaan bukan
8 bulan tetapi 9 bulan. Pasal 5A ayat (4) mengatur bahwa SPHP harus diselesaikan
dan disampaikan terlebih dahulu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak
berakhirnya perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor atau perpanjangan
jangka waktu Pemeriksaan Lapangan. Pasal 23 ayat (11) mengatur bahwa SPHP
sampai LHP harus diselesaikan paling lama 1 (satu bulan). Dengan demikian, total
jangka waktu pemeriksaan lapangan menjadi 4 bulan + 4 bulan perpanjangan + 7
hari + 1 bulan pembahasan, total 9 bulan lebih. Sedangkan di Pasal 5 mengatur
bahwa jangka waktu pemeriksa paling lama 8 bulan.

Karena itu, koreksi di Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 jangka


waktu pemeriksaan dibagi dua, yaitu jangka waktu pengujian dan jangka waktu
pembahasan. Rumusannya menjadi lebih mudah, yaitu dalam hal 8 jangka waktu
pengujian telah selesai maka harus terbit SPHP. Dengan dipecahnya menjadi dua
jangka waktu, maka jangka waktu pengujian menjadi konsisten. Pasal 19 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur bahwa SPHP harus
disampaikan kepada Wajib Pajak apabila:
a. pemeriksaan kantor --- akhir bulan ke 4 atau ke 6 jika ada perpanjangan
b. pemeriksaan lapangan --- akhir bulan ke 6 atau 8 jika ada perpanjangan

Kenapa jangka waktu pengujian pertama 6 bulan? Jangka waktu yang 8 bulan
berasal dari 4 bulan jangka waktu pemeriksaan, ditambah 4 perpanjangan. Jangka
waktu 8 bulan ini dipertahankan tetapi hanya jangka waktu pengujian. Supaya ada
efek psikologis, maka jangka waktu pengujian bukan 4 bulan tetapi 6 bulan.
Sedangkan sisanya yang 2 bulan adalah perpanjangan jangka waktu pemeriksaan.
Konon kabarnya, perubahan jangka waktu pemeriksaan dari 2+2+2+2 menjadi 4+4
ditentukan oleh Dirjen Pajak sendiri. Tetapi perubahan dari 4+4 menjadi 6+2+2
cukup ditentukan oleh pejabat setingkat Kasubdit :-)

Apakah jangka waktu pemeriksaan harus benar-benar 6 bulan atau 8 bulan?


Sebenarnya jangka waktu itu adalah jangka waktu maksimal atau selama-lamanya.
Jadi boleh kurang dari itu. Begitu juga dengan jangka waktu pembahasan. Tidak
harus 2 bulan tetapi boleh juga hanya sehari!

Tetapi jangka waktu perpanjangan diatas ada pengecualian. Untuk Wajib Pajak
berikut total jangka waktu pengujian dapat 24 bulan ditambah jangka waktu
pembahasan sehingga total jangka waktu pemeriksaan menjadi 26 bulan, yaitu
berlaku untuk pemeriksaan atas:
[a.] Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi
[b.] Wajib Pajak dalam satu grup
[c.] Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau
transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.

JANGKA WAKTU PEMERIKSAAN RESTITUSI


Restitusi pajak adalah pengembalian pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan,
pengembalian pajak ada yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan.
Pengembalian pajak yang dimohonkan diatur di Pasal 17B Undang-Undang KUP,
sehingga kadang disebut pemeriksaan Pasal 17B. Sedangkan kelebihan pajak yang
tidak dimohonkan mengacu ke Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP.

Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas


berbeda. Pasal 17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Ini kadang disebut jatuh
tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja jangka waktu restitusi.
Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan. Tetapi berlaku
prinsip mana yang lebih dulu!
a. berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama.
b. berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.

Contoh jangka waktu restitusi lebih dulu:


SPT LB dengan permohonan restitusi diterima DJP tanggal 4 Juni 2012.
Berdasarkan peraturan Pasal 17B UU KUP, DJP harus menerbitkan surat ketetapan
pajak paling lama 3 Juni 2013. Jika pemeriksaan pajak baru dimulai 7 Januari 2013
maka pemeriksa harus mengatur waktu sebelum 3 Juni 2013. Artinya harus ada 2
bulan jangka waktu pembahasan. Awal April 2013 pemeriksa pajak harus
menerbitkan SPHP karena pemeriksa harus mengalokasikan jangka waktu
pembahasan 2 bulan. Padahal dari 7 Januari 2013 sampai akhir Maret 2013 jangka
waktu pemeriksaan baru 3 bulan saja. Kecuali jika pemeriksa yakin bahwa
pembahasan (closing conference) hanya dilakukan satu atau dua hari dan Wajib
Pajak setuju! Pada kasus ini, jangka waktu pembahasan tidak berlaku.

PEMINJAMAN DOKUMEN

Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang KUP:


Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang
pajak
2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
3. memberikan keterangan lain yang diperlukan.
Pasal 29 ayat (3a) Undang-Undang KUP:
Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1
(satu) bulan sejak permintaan disampaikan.
Pasal 29 ayat (3b) Undang-Undang KUP:
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena
pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, maka buku, catatan, dan/atau
dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang
diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di
tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga dan Pemeriksa Pajak membuat
bukti peminjaman dan pengembalian buku, catatan, dan dokumen. Ini adalah
contekan dari Pasal 28 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor
17/PMK.03/2013. Saya mengingatkan saja bahwa pada saat datang ke tempat
Wajib Pajak, pemeriksa pajak tidak perlu membuat surat peminjaman dokumen.
Kebiasaan sebagian pemeriksa, sebelum datang ke tempat Wajib Pajak, maka
pemeriksa menyiapkan dulu surat peminjaman dokumen. Sebenarnya, surat
permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen itu dilakukan dalam hal:
[a.] buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik
serta keterangan lain yang diperlukan belum ditemukan;
[b.] buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik
serta keterangan lain yang diperlukan belum diberikan oleh Wajib Pajak pada saat
pelaksanaan Pemeriksaan (dengan segala alasannya, misalnya gudang arsipnya di
luar kota).

Pada kesempatan pertama datang ke Wajib Pajak, pemeriksa pajak berwenang


memasuki semua ruangan dan tidak ada ruangan rahasia karena semua rahasia
demi kepentingan Negara (pajak merepresentasikan negara) menjadi tidak ada.
Semua harus terbuka bagi pemeriksa pajak. Pada saat menjalankan tugas sesuai
SP2, pemeriksa pajak adalah perwakilan NKRI untuk tugas perpajakan. Untuk
mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik, pemeriksa
pajak memiliki kewenangan meminta Wajib Pajak untuk menyediakan tenaga
dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak. Sebaliknya dari sisi Wajib
Pajak, pada Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang KUP memerintahkan bahwa Wajib
Pajak yang diperiksa wajib memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau
ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.

Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban


perpajakan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak wajib
memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan
Lapangan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dapat disampaikan secara
langsung kepada Wajib Pajak pada saat dimulainya Pemeriksaan Lapangan atau
disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa
pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman. Ketentuan inilah yang membuat
sebagian pemeriksa tidak melakukan pemeriksaan di lapangan karena Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dapat disampaikan melalui faksimili. Setelah
Pemeriksa Pajak mengirim Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dan Surat
Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen melalui faksimili maka
Pemeriksa Pajak berharap dokumen yang diminta datang tepat waktu.
Pada sebagian Wajib Pajak, jangka waktu dan nama-nama dokumen di lampiran
Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen sangat penting.
Kenapa? Wasting time! Dokumen yang diminta akan disampaikan sesuai ketentuan
di Undang-Undang KUP, yaitu satu bulan. Kemudian, jika ada perbedaan nama atau
jenis dokumen antara yang digunakan oleh Wajib Pajak dengan yang tertulis di
lampiran Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen maka Wajib
Pajak dapat mengatakan, "Bapak/ibu, dokumen nomor sekian tidak ada di
perusahaan kami." Padahal bisa jadi dokumen yang sejenis atau berfungsi sama
tetapi namanya berbeda ada. Kalaupun ada, kemudian Wajib Pajak mengatakan
tidak ada, sebenarnya Pemeriksa Pajak tidak bisa membuktikan kebohongan Wajib
Pajak. Bandingkan jika Pemeriksa Pajak ketempat usaha Wajib Pajak dan
menemukan dokumen yang diperlukan! Alasan apa yang bisa digunakan Wajib
Pajak?

Masalah dokumen adalah masalah penting. Pemeriksa Pajak tidak boleh melakukan
koreksi berdasarkan analisis. Bukan berarti Pemeriksa Pajak tidak melakukan
analisis tetapi analisis yang digunakan untuk mendeteksi ketidakpatuhan Wajib
Pajak. Dasar koreksi tetap dokumen dan dasar hukum. Temuan hasil Pemeriksaan
harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 4 PER-
23/PJ/2013).

Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan dengan tetap
mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi Wajib
Pajak yang memiliki hubungan istimewa. Valid berarti bukti dapat diandalkan untuk
menyimpulkan suatu fakta. Relevan berarti bahwa bukti harus berkaitan dengan
pos-pos yang akan diperiksa. Bukti yang cukup adalah bukti yang memadai untuk
mendukung temuan hasil Pemeriksaan. Kecukupan terkait dengan pertimbangan
profesional (professional judgement) Pemeriksa Pajak. Lebih lanjut, silakan cek
Pasal 4 PER-23/PJ/2013.

Pada kenyataannya, Pemeriksa Pajak yang duduk manis di kantor menunggu


kedatangan dokumen sering kali kecewa ketika dokumen yang diminta dengan Surat
Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen datang mendekati jangka
waktu pengujian habis atau bahkan setelah SPHP diterima oleh Wajib Pajak.
Sebenarnya, Pemeriksa Pajak bisa menggunakan kewenangannya untuk
menghitung pajak terutang secara jabatan. Tetapi sangat jarang digunakan karena
beberapa kasus kalah di pengadilan pajak. Itu yang jadi acuan. Padahal putusan
Pengadilan Pajak tidak pernah jadi dasar hukum.

Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen bisa sampaikan


beberapa kali sepanjang Pemeriksa Pajak memandang perlu. Tetapi ketentuan satu
bulan sebagaimana diatur Pasal 29 ayat (3a) Undang-Undang KUP tetap berlaku.
Sehingga, jika Pemeriksa Pajak setelah 7 bulan pemeriksaan masih
mengeluarkan Surat Permintaan Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen maka
bisa jadi atas dokumen tersebut tidak diuji karena jangka waktu pengujian mungkin
sudah lewat.

Apakah buku, catatan, dan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak setelah
SPHP diterbitkan boleh diterima oleh Pemeriksa Pajak. Ini adalah perdebatan yang
belum selesai sampai sekarang. Ada yang bilang boleh, ada yang bilang tidak boleh.
Permasalahannya, setelah SPHP adalah waktu untuk pembahasan hasil
pemeriksaan. Bukan waktunya lagi menguji dokumen Wajib Pajak. Pengujian tetap
disarankan sebelum SPHP. Tetapi disatu sisi ada ketentuan Pasal 26A ayat (4)
Undang-Undang KUP:
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat
pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum
diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau
keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
Secara tidak langsung Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP mengatakan bahwa
selama jangka waktu pemeriksaan belum selesai maka dokumen dapat diterima
oleh Pemeriksa Pajak. Sedangkan pemeriksaan selesai setelah ditanda-tanganinya
LHP. Bagaimana jika Wajib Pajak sebelum SPHP tidak pernah menyampaikan
dokumen, tetapi setelah SPHP menyampaikan dokumen seabreg-abreg?
Bagaimana nasib SPHP? Apakah boleh menyampaikan SPHP dua/tiga/empat/lima
kali? Kalo boleh, sampai berapakali? Atau dibuatkan SPHP sementara dan SPHP
final? Kebijakan pemeriksaan sampai dengan SE-28/PJ/2013 (cek halaman 8)
menggariskan bahwa SPHP hanya satu kali untuk setiap SP2 dan tidak ada ralat
SPHP! Sebenarnya obat mujarab atas Wajib Pajak yang wasting time seperti ini
adalah Pemeriksa Pajak mengambil langsung dokumen yang diperlukan ditempat
usaha atau gudang Wajib Pajak dan/atau melakukan penyegelan.

PENYEGELAN
Pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan. Kewenangan
penyegelan ini berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang KUP:
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan
tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b
Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan pajak? Menurut Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan,
dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda
lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Wajib Pajak. Artinya semua benda yang menurut pemeriksa pajak akan memberikan
petunjuk tentang kegiatan usaha Wajib Pajak.

Penyegelan dilakukan manakala:


[a.] Wajib Pajak tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk
memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang yang diduga atau patut
diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dan/atau dokumen,
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik;
[b.] Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
[c.] Wajib Pajak tidak berada di tempat

Penyegelan hanya ada dalam jenis Pemeriksaan Lapangan. Sehingga jika


Pemeriksa Pajak datang ke tempat usaha/domisili Wajib Pajak dengan membawa
Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal yang pertama kali dilakukan
adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian membuat berita
acara. Selanjutnya, Pemeriksa Pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa
pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan
penyegelan. Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib Pajak, maka buku,
catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta
keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan
Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga . Kemudian
dibuatkan bukti peminjaman dokumen. Inilah yang diatur di Pasal 28 ayat (1) huruf a
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.

Penyegelan dilakukan denga menempelkan tanda segel. Peraturan menteri


keuangan menyebut "tanda segel" bukan "kertas segel". Tanda segel bisa dibuat
dari apa saja. Tanda segel harus ditempel. Penyegelan dilakukan oleh Pemeriksa
Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa
selain anggota tim Pemeriksa Pajak. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal Penyegelan atau jangka waktu lain dengan mempertimbangkan
tujuan Penyegelan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak
memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau
ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau tidak
memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Wajib
Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan. Jika Pemeriksa Pajak merasa
belum cukup waktu melakukan penyegelan, tidak ada larangan dilakukan
penyegelan kedua dan seterusnya.

Pembukaan segel dilakukan apabila:


a. Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b telah memberi izin kepada
Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang
bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau telah memberi bantuan guna
kelancaran Pemeriksaan;
b. berdasarkan pertimbangan Pemeriksa Pajak, Penyegelan tidak diperlukan lagi;
dan/atau
c. terdapat permintaan dari penyidik yang sedang melakukan penyidikan tindak
pidana.

PENYELESAIAN PEMERIKSAAN
Pasal 20 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:
Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan diselesaikan dengan cara:
a. menghentikan Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir; atau
b. membuat LHP, sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat
Tagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP atau LHP Sumir. Kecuali jika
atas SP2 tersebut dibatalkan. Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah
pemeriksa pajak menyampaikan SPHP. Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan
jangka waktu pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian
pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa Wajib Pajak
harus diberitahu jika penyelesaian pemeriksan dengan membuat LHP Sumir.
Kenapa? Karena awalnya LHP Sumir itu hanya untuk WP tidak ditemukan!
Pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak tidak
ditemukan atau tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dapat dilakukan
Pemeriksaan kembali apabila dikemudian hari Wajib Pajak ditemukan.

Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir dilakukan dalam hal:


[a.] Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa
dari Wajib Pajak yang diperiksa:

 tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
 tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan
sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor
diterbitkan.

[b.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena


ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dan
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka tersebut:
 tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
Undang-Undang KUP;
 tidak dilanjutkan dengan penyidikan tetapi diselesaikan dengan menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13A Undang-Undang KUP; atau
 dilanjutkan dengan penyidikan tetapi penyidikannya dihentikan karena tidak
dilakukan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-
Undang KUP.

[c.] Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang ditangguhkan karena


ditindaklanjuti dengan penyidikan sebagai tindak lanjut Pemeriksaan Bukti
Permulaan secara tertutup dan penyidikan tersebut dihentikan karena memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.
[d.] Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
[e.] Terdapat keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.

SPHP dan CLOSING CONFERECEN


Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) merupakan batas awal
penghitungan jangka waktu pembahasan. Jangka waktu pengujian telah berakhir.
SPHP wajib disampaikan oleh pemeriksa pajak. SPHP diberikan hanya sekali saja.
Konsep pemeriksaan pajak: satu SP2 satu SPHP satu LHP.

SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri
Keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang KUP
yang berbunyi:
Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur
tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan
surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak
untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan
Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 31 (2) Undang-Undang KUP
terdiri dari:
[a.] pemeriksaan ulang,
[b.] jangka waktu pemeriksaan,
[c.] kewajiban menyampaikan SPHP, dan
[d.] hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference)

Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah
santri) pemeriksaan yang harus ditunaikan. Jika SPHP tidak ada maka hasil
pemeriksaan menjadi batal, dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan
Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri. Ketentuan "rukun" pemeriksaan ini diatur di
Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
...
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:

1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau


2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

Karena Undang-Undang KUP mengamanatkan hak Wajib Pajak untuk hadi


dalam closing conference maka di Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 diatur lebih detil masalah penyampaian SPHP, undangan
pembahasan, dan pembahasan (closing conference). Setidaknya ada 16 pasal di
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang mengatur SPHP
dan closing conference, yaitu mulai Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.

Setelah pemeriksa dapat menghitung pajak-pajak terutang, atau karena jangka


waktu pengujian telah terlampaui, maka pemeriksa pajak wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP). Surat ini ditandatangani oleh
kepala kantor, dan dalam lampirannya mencantumkan daftar pos-pos yang dikoreksi
atau objek pajak tertentu yang dikoreksi. Daftar pos-pos ini sering juga disebut daftar
temuan. SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak, baik secara langsung
melalui kurir maupun dikirim melalui faksimili. Tidak diatur pengiriman
melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di Undang-Undang KUP. Padahal
sekarang era email (surel).

Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Jika setuju, sudah disediakan


formulir persetujuan. Jika tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus
dijelaskan apa dan kenapa tidak setuju. Poin ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang
menjadi pokok pembahasan di closing conference. Sehingga jika Wajib Pajak
menuangkan ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan membantu pemeriksa pajak
untuk membuat risalah pembahasan.

Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum
Undang-Undang KUP 2007 ada pendapat seperti itu. Tetapi karena ada rukun
pemeriksaan diatas, dan Undang-Undang KUP mengamanatkan pengaturan
pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada tanggapan SPHP,
tetap wajib dibuat undangan pembahasan!

Undangan pembahasan 10 hari kerja setelah SPHP diterima atau dikirim. Kira-kira
dua minggu kalender. Tetapi bisa kurang dari 10 hari kerja jika Wajib Pajak sudah
memberikan tanggapan SPHP. Misal pada hari kerja ke 2 tanggapan SPHP sudah
diterima pemeriksa pajak maka pada hari kerja ke 3 dapat dikirim undangan closing
conference. Pasal 43 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
mengatakan bahwa hak hadir diberikan melalui penyampaian undangan secara
tertulis kepada Wajib Pajak dengan mencantumkan hari dan tanggal
dilaksanakannya Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah


pembahasan dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil
Pemeriksaan dan membuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang
dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim
Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak. Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika tidak hadir maka
dibuatkan berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak. Pembahasan tidak harus
dilakukan sehari sesuai tanggal undangan. Jika memang belum selesai, maka
pembahasan bisa dilakukan hari berikutnya sesuai yang disepakati oleh Wajib Pajak
dan Pemeriksa Pajak asalkan dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan.

Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality
Assurance Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan
Wajib Pajak. Diskusi atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa
dilakukan pada periode jangka waktu pengujian. Sehingga ada waktu 6 bulan atau 8
bulan diskusi masalah pemeriksaan antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak.
Lebih baik memberi ruang waktu pembahasan lebih banyak kepada Tim QA supaya
lebih independen. Perlu dipertimbangkan "jeda" waktu permohonan pembahasan
dengan Tim QA, yaitu 3 hari, kemudian "jeda" waktu pembuatan undangan
pembahasan oleh Tim QA. Dan pembahasan dengan Tim QA tetap harus dalam
periode jangka waktu pembahasan dua bulan sejak SPHP diterima oleh Wajib
Pajak.

Menurut Pasal 49 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tim Quality


Assurance Pemeriksaan memiliki tugas:
[a.] membahas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak
pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
[b.] memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib
Pajak dengan Pemeriksa Pajak; dan
[c.] membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan
keputusan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat
mengikat.

Kemudian ditegaskan lagi oleh Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-
28/PJ/2013 yang menyebutkan, "Tim Quality Assurance Pemeriksaan tidak
melakukan pengujian pemeriksaan tetapi memberikan simpulan atas perbedaan
pendapat antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak mengenai dasar hukum
koreksi dan/atau penerapan ketentuanperaturan perundang-undangan perpajakan."

Setelah menerima surat permohonan pembahasan dengan Tim Quality


Assurance Pemeriksaan, 3 hari kemudian Tim Quality Assurance Pemeriksaan
mengundang pemeriksa pajak dan Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan
pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Tim Quality Assurance Pemeriksaan
hanya menilai dan memutuskan pendapat yang mana yang benar. Tim Quality
Assurance hanya memeriksa bagian formal atau dasar hukum koreksi serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, keputusan Tim Quality AssurancePemeriksaan dapat:
*** membenarkan pendapat Wajib Pajak;
*** membenarkan pendapat pemeriksa pajak; atau
*** memiliki pendapat lain diluar pendapat Wajib Pajak dan pemeriksa pajak.

Walaupun Tim Quality Assurance Pemeriksaan (Tim QA) boleh memiliki kesimpulan
yang berbeda dengan Wajib Pajak dan pemeriksa, tetapi Tim QA tidak boleh
membuat koreksi fiskal baru diluar yang disengketakan pada saat pembahasan.
Sesuai dengan tugasnya, Tim QA hanya memberikan kesimpulan dan keputusan
atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak. Jika Tim QA
boleh membuat koreksi baru, berarti Tim QA sudah bertindak sebagai pemeriksa
pajak. Tim QA juga tidak melakukan pengujian dokumen. Metode Pemeriksaan dan
Teknik Pemeriksan diperuntukkan bagi pemeriksa pajak, bukan Tim QA. Pengujian-
pengujian dilakukan oleh pemeriksa pajak saja. Pembahasan masalah ini memang
cukup panjang tetapi pembatasannya tidak secara detil tercantum. Alasannya,
aturan yang terlalu detil sering membelenggu. Tetapi inti pembatasan yang saya
sarikan adalah jangka waktu pembahasan bukan saatnya pengujian dokumen.

Bagaimana jika pendapat Tim QA memerlukan pengujian? Karena pengujian


dokumen merupakan domain pemeriksa pajak, maka setelah selesai pembahasan
dengan Tim QA pelaksanaan pengujian tetap dilakukan oleh pemeriksaan pajak.
Tim QA hanya memberikan "batasan-batasan" koreksi mana yang boleh dan koreksi
mana yang tidak boleh. Sangat mungkin jika Tim QA memutuskan suatu kesimpulan
tetapi mengenai jumlah atau nominal rupiah yang dikoreksi ditentukan sendiri oleh
pemeriksa pajak setelah dilakukan "penghitungan ulang".

Pendapat Tim QA harus berdasarkan masing-masing masalah. Sebagai contoh,


hasil pemeriksaan PPh Badan yang dituangkan dalam SPHP dan Risalah
Pembahasan, pemeriksa telah melakukan koreksi fiskal atas 7 pos baik penghasilan
maupun biaya. Bisa jadi Tim QA setuju dengan pendapat Wajib Pajak dalam 4 pos,
tetapi 3 pos lain Tim QA sependapat dengan pemeriksa pajak.
Hasil pembahasan di Tim QA harus diformalkan dalam Risalah Tim Quality
Assurance Pemeriksaan. Risalah ini ditandatangani oleh tiga pihak, yaitu Tim QA,
Wajib Pajak, dan pemeriksa pajak. Dokumen Risalah Tim QA berfungsi seperti
notula atau laporan hasil rapat. Pendapat masing-masing pihak: Wajib Pajak,
pemeriksa pajak, dan pendapat Tim QA harus ditulis secara jelas di Risalah Tim QA.
Dan pendapat Tim QA adalah pendapat terakhir sampai diterbitkan surat ketetapan
pajak.

Apakah Tim QA bertanggung jawab atas pendapatnya? Tentu saja, Tim QA harus
bertanggung jawab atas keputusannya dan pemeriksa pajak harus bertanggung
jawab atas pendapatnya. Jika pendapat pemeriksa "dipatahkan" oleh Tim QA maka
pemeriksa pajak sebenarnya seperti tidak berpendapat untuk masalah tersebut.

Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing


conference baru berakhir jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan yang dilampiri dengan ihtisar hasil pembahasan akhir. Artinya, Setelah
pembahasan dengan Tim QA, Wajib Pajak harus menandatangani risalah
pembahasan Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Tetapi jika Wajib Pajak tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka saat
pembahasan dengan pemeriksa pajak, langsung saja dibuatkan berita acara
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri ihtisar hasil pembahasan akhir.
Pastikan bahwa angka yang masuk ke ihtisar hasil pembahasan akhir adalah angka
terakhir yang dibahas atau angka sesuai keputusan Tim QA yang dituangkan dalam
risalah Tim QA.

PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN PENGISIAN SPT SELAMA


PEMERIKSAAN
Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis
mengenai ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP
dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, sepanjang Pemeriksa
Pajak belum menyampaikan SPHP. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT
disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Laporan tersendiri secara
tertulis harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
[a.] penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya dalam format SPT;
[b.] SSP atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
[c.] SSP atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50%.

Kalau melihat sanksi administrasi Pasal 8 ayat (5) UU KUP diatas (yaitu 50%) maka
sanksi ini akan lebih tinggi 2% dibandingkan sanksi bunga di surat ketetapan pajak.
Sanksi bunga di surat ketetapan pajak paling banyak (maksimal) 48% saja. Tetapi
beberapa Wajib Pajak ternyata tidak peduli dengan besarnya sanksi ini. Mereka
bersedia bayar lebih besar. Salah satu motif melakukan pengungkapan ini adalah
menghindari koreksi pajak yang besar. Jadi lebih kepada pencitraan. Karena kalo
pengungkapannya benar, maka nanti di surat ketetapan pajak tidak ada lagi koreksi
fiskal. Produk pemeriksaan pun SKPN. Karena hasil pemeriksaan menjadi nihil,
maka citra manajemen Wajib Pajak dianggap lebih baik. Padahal, sebelum
pemeriksaan selesai mereka telah bayar lebih dulu!

USULAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN


Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di
bidang perpajakan. Pemeriksaan Bukti Permulaan setara dengan penyelidikan
menurut istilah di KUHAP. Dalam hal pemeriksa pajak menemukan indikasi tindak
pidana pajak pada saat pemeriksaan, maka pemeriksa harus mengusulkan
Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan
Pemeriksaan Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat
pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan. Jika
pemeriksaan pajak kemudian menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib
Pajak akan menerima:
1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti
Permulaan, dan
2. Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.

Ya, semua pemeriksaan yang "ditingkatkan" menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan


maka pemeriksaan pajaknya tertangguh. Tergangguh jangka waktunya, dan
penyelesaiannya. Setelah dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, "nasib"
pemeriksaan kemungkinannya disumir atau dilanjutkan. Proses pemeriksaan akan
dilanjutkan jika:
[a.] Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara
terbuka meninggal dunia;
[b.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak
ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
[c.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan
namun penyidikan dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP, atau
[d.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan
dan penuntutan serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di
bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan
putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.

Coba perhatikan keempat syarat diatas! Pada intinya, pemeriksa Bukti Permulaan
atau penyidik tidak mendapatkan cukup bukti tindak pidana. Pertama, pemeriksaan
Bukti Permulaan tidak dapat dilanjutkan karena calon tersangka meninggal. Kedua,
secara jelas menyebutkan tidak ada bukti pidana. Ketiga, penyidikan dihentikan oleh
penyidik karena bukan tindak pidana perpajakan. Sebenarnya Pasal 44 A UU KUP
mengatur empat alasan dihentikannya penyidikan, yaitu tidak cukup bukti, bukan
merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena
peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia. Hanya saja jika
penyidikan saja sudah daluwarsa maka penetapan pajak pun sudah pasti daluwarsa
karena daluwarsa penetapan hanya 5 tahun saja. Keempat, terbukti di pengadilan
bahwa Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana perpajakan. Alasan keempat ini
cukup rasional, artinya Wajib Pajak terbukti berbuat salah. Hanya saja setiap sanksi
pidana ada denda 2 kali pajak terutang sampai dengan 4 kali denda pajak terutang.
Ini bukan denda administrasi. Sedangkan pemeriksaan akan menimbulkan pajak
terutang yang secara administrasi ditagih oleh negara dan dicatat sebagai
penerimaan pajak. Surat ketetapan pajak akan disetor oleh Wajib Pajak melalui
MPN ke kas negara. Sedangkan sanksi denda pidana akan dieksekusi oleh
Kejaksaan.

Oh ya, pemeriksaan yang dilakukan setelah empat kondisi diatas dilakukan dalam
jangka waktu paling lama empat bulan. Ketentuan 4 bulan ini diatur di Pasal 67 ayat
(1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Empat bulan ini adalah
jangka waktu pengujian. Ditambah jangka waktu pembahasan maka dalam enam
bulan, pemeriksaan harus selesai dan diterbitkan surat ketetapan pajak. Ketentuan 4
bulan ditambah 2 bulan ini berlaku baik untuk pemeriksaan lebih bayar maupun
bukan pemeriksaan lebih bayar. Pembatasannya hanya daluwarsa penetapan.
Selama belum sampai batas jatuh tempo daluwarsa penetapan, maka DJP tetap
dapat menerbitkan surat ketetapan.

PEMERIKSAAN ULANG
Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 Undang-Undang KUP. Berikut kutipan
Pasal 15:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih
rendah dari yang seharusnya. Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa
lewat keberatan, atau pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU
KUP. Masing-masing memiliki "jalur" atau alasan. Misalnya, keberatan terkait
dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, pembetulan karena ada
salah tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat ketetapan tidak
benar. Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.
Karena itu perlu dipahami apa dan bagaimana data baru. Nah, untuk lebih jelas
masalah data baru sebagaimana dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste
bagian penjelasan Pasal 15 UU KUP:
Yang dimaksud dengan “data baru” adalah data atau keterangan mengenai segala
sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang
yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik
dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan
perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.

Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum
terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta
lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau

b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak


mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap,
dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah
pajak yang terutang.

Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau
mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya
atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus
tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar
sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal
tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.

Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya
iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas
Rp5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah
sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian
tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa
sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara
benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut
tergolong data yang semula belum terungkap.

2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan


pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta
pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk
penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga
fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta
yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan
kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan
pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang
tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang
menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut
termasuk data yang semula belum terungkap.

3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha


Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual
diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan
yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti
pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan
sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak
tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.

Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan
rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi
atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah
itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak
Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum
terungkap.
Ada aturan yang baru di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
terkait pemeriksaan ulang, yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir.
Sebelumnya tidak diatur. Karena tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka
sebelumnya pemeriksaan ulang selalu ditekankan harus berujung SKPKBT. Harus
jelas dulu novum-nya apa? Jika novum masing samar-samar maka tidak boleh
dilakukan pemeriksaan ulang. Sejak 1 Februari 2013, novum yang sama-sama pun
boleh menjadi pemeriksaan ulang. Nanti pemeriksa pemeriksaan ulang yang menilai
apakah benar-benar sudah ada novum atau tidak.

PEMERIKSAAN UNTUK TUJUAN LAIN


Ada perbedaan mendasar antara pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan
pemeriksaan untuk tujuan lain, yaitu pemeriksaan untuk tujuan lain tidak
menerbitkan surat ketetapan. Jika pemeriksa pemeriksaan untuk tujuan lain
menemukan potensi pajak yang belum disetor pada saat pemeriksaan untuk tujuan
lain maka pemeriksa pajak tersebut harus mengusulkan pemeriksaan khusus.
Sesuai dengan Pasal 69 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
bahwa ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan,
pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.

Contoh pemeriksaan untuk tujuan lain:


[a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan
berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang
mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
[b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan
Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai tata cara Verifikasi;
[c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang
dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
[d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan;
[e.] pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
[f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan;
[g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
[h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
[i.] Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
[j.] penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi
kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
[k.] memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda.

Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya
pemeriksaan lapangan. Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan
jenis pemeriksaan kantor maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya
14 hari saja. Di pemeriksaan untuk tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan
karena memang tidak ada yang dibahas. Juga tidak ada jangka waktu pengujian
karena memang bukan menguji SPT. Intinya, pemeriksaan untuk tujuan lain bersifat
pelayanan atau pendapat kedua ( second opinion).

Jakarta, April 2014


salaam hormat,
raden agus suparman

Ada beberapa istilah yang digunakan secara resmi digunakan untuk Pemeriksaan
Pajak. Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.03/2013 telah mendefinisikan
istilah-istilah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya
disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

2. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,


keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.

3. Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal


atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.

4. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat


Jenderal Pajak.

5. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif


dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan
Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau
diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak,
menerbitkan/ menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

6. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal


Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang
diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan.

7. Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak adalah tanda pengenal yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak yang merupakan bukti bahwa orang yang namanya
tercantum pada kartu tanda pengenal tersebut sebagai Pemeriksa Pajak.
8. Surat Perintah Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat SP2 adalah surat perintah
untuk melakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

9. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan adalah surat pemberitahuan


mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam rangka menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

10. Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor adalah surat panggilan
mengenai dilakukannya Pemeriksaan Kantor dalam rangka menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

11. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan
laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

12. Data yang dikelola secara elektronik adalah data yang bentuknya elektronik,
yang dihasilkan oleh komputer dan/atau pengolah data elektronik lainnya dan
disimpan dalam disket, compact disk, tape backup, hard disk, atau media
penyimpanan elektronik lainnya.

13. Tempat Penyimpanan Buku, Catatan, Dan Dokumen adalah tempat yang
diselenggarakan oleh Wajib Pajak, perusahaan penyimpan arsip atau dokumen
dan/atau yang diselenggarakan oleh pihak lain.

14. Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat atau
ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang digunakan
atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan buku atau
catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda
lain.

15. Kertas Kerja Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat KKP adalah catatan
secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur
Pemeriksaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan,
pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan
pelaksanaan Pemeriksaan.

16. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya


disingkat SPHP adalah surat yang berisi tentang temuan Pemeriksaan yang meliputi
pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari
jumlah pokok pajak terutang dan perhitungan sementara dari sanksi administrasi.

17. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak
dan Pemeriksa Pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam
berita acara pembahasan akhir hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang baik yang disetujui maupun yang
tidak disetujui dan perhitungan sanksi administrasi.

18. Tim Quality Assurance Pemeriksaan adalah tim yang dibentuk oleh Direktur
Jenderal Pajak dalam rangka membahas hasil Pemeriksaan yang belum disepakati
antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan guna menghasilkan Pemeriksaan yang berkualitas.

19. Laporan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat LHP adalah laporan yang
berisi tentang pelaksanaan dan hasil Pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa
Pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan
Pemeriksaan.

20. Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir yang selanjutnya disebut LHP Sumir adalah
laporan tentang penghentian Pemeriksaan tanpa adanya usulan penerbitan surat
ketetapan pajak.
21. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di
bidang perpajakan.

22. Pemeriksaan Ulang adalah Pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak
yang telah diterbitkan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan sebelumnya
untuk jenis pajak dan masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang sama.

23. Kuesioner Pemeriksaan adalah formulir yang berisikan sejumlah pertanyaan dan
penilaian oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pelaksanaan Pemeriksaan.

Selain itu, ada juga beberapa istilah yang terkait dengan standar pemeriksaan.
Berikut ini adalah istilah-istilah yang ada di Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-23/PJ/2013 tentang Standar Pemeriksaan dan PER-4/PJ/2012 tentang
Pedoman dan Teknik Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan :
24. Standar Pemeriksaan adalah capaian minimum yang harus dicapai dalam
melaksanakan Pemeriksaan.

25. Unit Pelaksana Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat UP2 adalah unit yang
berada di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan
Pemeriksaan.

26. Rencana Pemeriksaan (Audit Plan) adalah rencana kerja Pemeriksaan yang
disusun oleh Supervisor dan harus ditelaah serta mendapat persetujuan dari Kepala
UP2 yang berisi identitas Wajib Pajak, identitas tim Pemeriksa Pajak, dan uraian
rencana.

27. Program Pemeriksaan (Audit Program) adalah pernyataan pilihan Metode


Pemeriksaan, Teknik Pemeriksaan, dan Prosedur Pemeriksaan yang
akan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak dalam melakukan Pemeriksaan sesuai
dengan Rencana Pemeriksaan.

28. Metode Pemeriksaan adalah Teknik Pemeriksaan dan Prosedur Pemeriksaan


yang dilakukan terhadap buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi, dan
keterangan lain.

29. Metode Langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan
pengujian atas kebenaran pos-pos Surat Pemberitahuan (SPT) termasuk
lampirannya, yang dilakukan secara langsung terhadap buku, catatan, dan dokumen
terkait.

30. Metode Tidak Langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan
melakukan pengujian atas kebenaran pos-pos Surat Pemberitahuan (SPT) termasuk
lampirannya, yang dilakukan secara tidak langsung melalui suatu pendekatan
penghitungan tertentu.

31. Teknik Pemeriksaan adalah cara-cara pengumpulan bukti, pengujian, dan/atau


pembuktian yang dikembangkan oleh Pemeriksa Pajak untuk meyakini kebenaran
pos-pos yang diperiksa.

32. Prosedur Pemeriksaan adalah serangkaian langkah dalam suatu Teknik


Pemeriksaaan, berupa petunjuk ririci yang biasanya tertulis dalam bentuk perintah,
untuk dilakukan oleh Pemeriksa Pajak.

33. Kertas Kerja Pemeriksaan yang selarijutnya disingkat KKP adalah catatan
secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur
Pemeriksaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan,
pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan
pelaksanaan Pemeriksaan.

34. Supervisor adalah Pemeriksa Pajak yang bertugas membuat Rencana


Pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan, membuat
Program Pemeriksaan, melakukan pengendalian dan pengawasan atas
pelaksanaan Pemeriksaan, melakukan telaah atas KKP serta memberikan
bimbingan kepada Pemeriksa Pajak yang berada dalam suatu kelompok Pemeriksa
Pajak.
35. Ketua Tim adalah Pemeriksa Pajak yang bertugas membantu Supervisor dalam
menyusun Program Pemeriksaan, mengarahkan dan mengoordinasikan
pelaksanaan Pemeriksaan serta sekaligus melaksanakan Pemeriksaan bersama-
sama dengan Anggota Tim yang berada dalam suatu tim Pemeriksa Pajak.

36. Anggota Tim adalah Pemeriksa Pajak yang bertugas melaksanakan


Pemeriksaan dalam suatu tim Pemeriksa Pajak.

http://pajaktaxes.blogspot.com/p/blog-page_5.html

Anda mungkin juga menyukai