Anda di halaman 1dari 5

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Data dan Praktik Outsourcing pada Perusahaan BUMN di Indonesia

Outsourcing adalah pengalihan daya (melalui kontrak) pelaksanaan suatu proses bisnis internal ke
organisasi pihak ketiga, sebagai penyedia jasa outsourcing (Riandy, 2014). Di Indonesia, peraturan
mengenai outsourcing diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang ini
tidak secara tegas menyebutkan arti dari outsourcing. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 64
tentang Ketenagakerjaan mengenai perjanjian kerja yang dibuat dan disepakati oleh perusahaan dan tenaga
kerja, menyatakan bahwa perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

Beberapa peraturan telah dibuat pemerintah untuk mengatur mengenai outsourcing pada
perusahaan, antara lain yang tercantum pada Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 mengenai syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksana pekerjaan
kepada perusahaan lain dan juga tercantum pada Pasal 1605 dan 1606 KUH Perdata yang mengatur apa
yang harus disediakan dan dipersiapkan oleh perusahaan outsourcing. Dalam pembuatan perjanjian
outsourcing, syarat yang perlu diperhatikan adalah berbadan hukum, syarat perizinan, serta perlindungan
kerja terhadap tenaga kerja yang sesuai dengan Kepmenakertrans RI No KEP-101/MEN/VI/2004 mengenai
Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja / Buruh. Dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pada pasal 65 ayat (2) menyebutkan syarat yang harus dipenuhi mengenai pekerjaan
yang dapat diserahkan ke perusahaan lain, yaitu dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan
dengan perintah langsung, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, serta tiddak
mengahambat proses produksi secara langsung (Rieuwpassa, 2018).

Pada praktiknya di Indonesia, outsourcing tidak hanya di lima jenis pekerjaan yang dibolehkan
berdasarkan UU Ketenagakerjaan, yaitu tenaga kebersihan, keamanan, transportasi, catering, serta
penunjang di pertambangan dan perminyakan. Namun juga merambah ke berbagai sektor jasa seperti
perhotelan dan keuangan, perdagangan, ritel dan supermarket, industri manufaktur otomotif, serta
perkebunan (Ariyanti, 2013). Hal ini cukup membuat pekerja merasakan adanya ancaman nyata yang bisa
saja mengganggu kehidupannya. Terdapat dua hal yang menyebabkan keruwetan dalam praktik outsourcing
di Indonesia menurut Hadi Subhan, pengamat kebijakan publik dari Fakultas Humum Universitas Airlangga,
yaitu adanya oknum yang melanggar undang-undang mengenai outsourcing, dan minimnya pengawasan
(Aditiasari, 2016). Kedua hal ini kemudian juga terkadang meningkatkan ketidakjelasan dan terjadi saling
menyalahkan bila terjadi pelanggaran terkait pemberlakuan outsourcing.

Pada perusahaan BUMN, masih banyak praktik outsourcing yang menyalahi aturan yang ditetapkan
sebelumnya. Bahkan, perusahaan BUMN menciptakan kontrak kerja baru bagi pegawai outsource-nya
dengan menjadikan permanen 5 tahun, sesuai usia ataupun kelangsungan proyek yang didapat (LBH
Jakarta, 2018). Beberapa praktik pelanggaran mengenai outsourcing yang dilakukan oleh BUMN di
Indonesia, antara lain:

No Nama Perusahaan Jumlah Keterangan


1 Perum PPD ± 60
2 Pertamina ± 1.115
3 Pelindo 2 Jakarta ± 400 PHK dan Pelanggaran
4 Pelindo 3 Surabaya ± 23 Hukum
5 Krakatau Steel ± 400 Ketenagakerjaan
6 PLN ± 150
7 Jasa Marga ± 15
Tabel 4.1 Data Jumlah Tenaga Kerja yang Dilanggar Haknya oleh BUMN (LBH Jakarta, 2018).

Berdasarkan data yang ada, pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai BUMN di Indonesia sangat
beragam, contohnya adalah PHK massal dan sepihak dan juga menghetikan dan menolak hak normative
yang dimiliki oleh masing-masing karyawan terkait. Hal ini pun membuat minimnya perlindungan
keselamatan kerja serta jaminan sosial dari masing-masing pekerja (LBH Jakarta, 2018). Bagi para pekerja,
outsourcing membuat posisi tawar yang dimiliki menjadi lemah, tidak memiliki kepastian kerjasama akan
berlanjut dan membuat pekerja menjadi tidak tenang. Outsourcing juga membuat pekerja tidak mendapatkan
hak yang sama dengan karyawan perusahan pada umumnya terkat standar dan kenaikan gaji, remunerasi,
jaminan sosial, cuti, fasilitas kerja, pelayanan, serta karir. Banyak juga karyawan dengan status outsource
yang dibayar dibawah upah minimum maupun yang dibayar berdasarkan upah harian (Riandy, 2014).

Maraknya penggunaan outsourcing di perusahaan, salah satunya perusahaan BUMN, dikarenakan


oleh banyak manfaat yang ditawarkan. Perusahaan penyedia jasa outsourcing dirasa mampu melaksanakan
pekerjaan dalam bidangnya secara lebih efektif, dengan layanan yang semakin cepat dan tepat, juga
meningkatkan nilai perusahaan mitra. Perusahaan menjadi dapat berfokus kepada bisnis inti untuk bisa
menciptakan keunggulan bersaing dan tidak memikirkan tentang biaya pekerja yang sarat regulasi (Riady,
2017). Hal ini pun dirasa menjadi pemicu perusahaan semakin meningkatkan penggunaan outsource pada
proses bisnis internalnya.

Pada 2013, sebanyak 2.947 buruh outsourcing bekerja di PT Krakatau Steel, Cilegon. Sebanyak
200 buruh diangkat pada tahun 2015 namun 600 buruh lainnya di-PHK. Menurut Safrudin (dalam
sinarkeadilan.id), Ketua Federasi Serikat Pekerja Baja Cilegon, kesejahteraan yang dimiliki oleh para buruh
tetap sama seperti ketika mereka masih menjadi buruh outsourcing, bahkan ada hak yang dikurani seperti
insentif kinerja, bonus tahunan, tunjangan berbasi waktu, dan perubahan komposisi upah tanpa persetujuan
serikat pekerja. Hal serupa juga terjadi pada 60 sopir bus Transjakarta dan Transjabotabek yang di-PHK
karena menuntut hak-haknya dan mendirikan serikat pekerja. Selama bekerja juga upah dan ha katas
program jaminan sosial sering tidak dipenuhi, dan bahkan PKWT baru dibuat pada Januari 2018 dan
sebelumnya direkrut secara lisan (Sinar Keadilan, 2018). Hal ini merupakan sebuah contoh yang buruk
diberikan oleh perusahaan BUMN yang seharusnya memberikan contoh baik untuk perusahaan-perusahaan
lainnya yang ada di Indonesia. Rieke Diah Pitaloka (dalam tirto.id) menyatakan bahwa umumnya perusahaan
swasta lebih patuh terhadap peraturan dibandingkan BUMN. Namun, terkait keputusan Pelindo yang
menjadikan 224 tenaga outsiource nya menjadi pegawai tetap, pihak Pelindo merasa bahwa hal tersebut
merupakan hal yang biasa saja dan justru para pekerja menjadi lebih mendapat kepastian status dan
kejelasan siapa pemberi kerjanya (Aziz, 2016).

4.2 Perspektif Utilitarian

Melihat keputusan outsourcing oleh perusahaan BUMN dari perspektif utilitarian sebenarnya masih
tergolong tindakan yang etis setelah dipertimbangkan cost dan benefit nya. Keputusan tersebut memberikan
benefit kepada perusahaan dalam hal efisiensi biaya operasi karena mengeliminasi biaya pelatihan dan
pengembangan dari karyawan. Keputusan outsourcing juga membantu perusahaan untuk beradaptasi
dengan fluktuasi pasar. Melihat angka pengangguran yang mencapai angka 7 juta penduduk (5,5%) dari
usia produktif, keputusan outsourcing menjadi benefit bagi masyarakat karena terbukanya lapangan
pekerjaan (Badan Pusat Statistik, 2017). Walaupun yang dikorbankan adalah kesejahteraan mereka karena
upah yang didapat sekitar 14-17% lebih rendah dari karyawan tetap dan lama kerja maksimal 2-3 tahun
(Herawati, 2010).
Pada praktiknya, beberapa Perusahaan BUMN melanggar UU No.13 dimana sebuah perusahaan
hanya diperbolehkan untuk melakukan outsourcing di lima pekerjaan. Ini menjadi dilema karena disatu sisi
perusahaan membuka peluang kerja yang lebih luas namun disisi lain menyalahi undang-undang yang
berlaku. Tindakan ini sebenarnya masih bisa dikatakan sebagai tindakan yang etis karena benefit yang
diberikan lebih besar dibandingkan cost nya.

Data dari LBH di tahun 2018 juga memberikan fakta bahwa masih banyak praktik outsourcing
perusahaan BUMN yang melanggar hukum ketenagakerjaan hingga keputusan PHK sepihak. Alih-alih
memberikan benefit berupa kesejahteraan, justru yang dirasakan masyarakat adalah ketidakadilan karena
tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ini membuat praktik outsourcing yang dilakukan pada
perusahaan BUMN keluar dari koridor etis.

4.3 Perspektif Deontologi

Dari perspektif deontologi, keputusan outsourcing memberikan impresi bahwa perusahaan hanya
memanfaatkan manusia sebagai ‘alat’, bukan sumber daya (resources) maupun modal (capital). Jika ditinjau
kembali, buruh atau karyawan outsourcing hanya memiliki hubungan kerja sebagai karyawan dengan
perusahaan penyalurnya. Namun hubungan dengan perusahaan tempat dia bekerja hanya sebatas
pekerjaan yang harus diselesaikan. Sehingga timbul kesan bahwa outsourcing mengarah ke perbudakan
bahkan human trafficking. Berdasarkan hal tersebut, tindakan outsourcing bisa dikatakan tidak etis dalam
perspektif deontologi.

Pada praktiknya, pelanggaran yang juga kerap dilakukan oleh perusahaan BUMN. Misalnya tentang
kasus karyawan outsource yang melebihi batas waktu kerja hingga lebih dari lima tahun dan perpanjangan
kontrak berkali-kali. Hal ini mencerminkan secara deontologi, perusahaan BUMN melihat pekerja outsource
sebagai tenaga kerja yang dapat dieksploitasi dan juga mempunyai nilai ekonomis.
Ditambah lagi dengan kasus yang terjadi misalnya pada Krakatau Steel. Masing-masing manusia
memiliki hak dan kewajiban dalam segala perannya di masyarakat. Sebagai seorang karyawan perusahaan,
para pekerja memiliki hak untuk bisa terjamin kesejahteraannya dan memiliki kewajiban untuk
menyelesaikan pekerjaannya, seperti yang tercantum pada UU No 13 Tahun 2003. Para pekerja outsource
di perusahaan-perusahaan BUMN seperti pada contoh diatas, misalnya pada perusahaan Krakatau Steel,
telah melakukan kewajibannya terhadap karyawan perusahaan. Namun tidak mendapatkan haknya secara
penuh yang berupa insentif dari hasil pekerjaannya dan jaminan sosial serta kesehatannya. Hal ini bila dilihat
dengan pandangan deontologi merupakan suatu hal yang tidak etis karena perusahaan tidak memenuhi
kewajibannya sebagai pemberi pekerjaan terhadap para pekerja outsourcing dan mengabaikan hak yang
dimiliki oleh para pekerjanya. Perusahaan tidak secara penuh menaati peraturan yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh pemerintah, yang membuat para pekerjanya tidak mendapatkan haknya secara penuh
juga.

4.4 Perspektif Virtue Ethics

Keputusan untuk melakukan outsourcing memang berdasar pada efisiensi biaya operasional yang
dikeluarkan sehingga tujuan utama bisnis, yaitu untuk meraih profit dapat tercapai. Dari persepektif virtue
ethics, keputusan tersebut dikatakan etis ketika dilakukan sesuai golden mean, timbal balik yang diberikan
oleh perusahaan setimpal dengan usaha yang dilakukan oleh karyawan.

Salah satu tujuan dari pembentukan BUMN menurut UU Republik Indonesia no. 19 tahun 2013
memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan
negara. Salah satu bentuk nyata dilakukan dengan membuka lapangan kerja. Sebagai perusahaan milik
negara, setiap perusahaan selalu menyinggung mengenai nilai integritas dan bertanggung jawab dalam
menjalankan proses bisnisnya. Ini seharusnya menjadi dasar dari setiap keputusan yang diambil oleh
perusahaan tersebut.

Jika mengacu pada nilai tersebut, beberapa kasus yang dihasilkan akibat dari keputusan outsourcing
yang dilakukan oleh BUMN tidak selalu etis. Fakta mengenai perusahaan BUMN yang melakukan
outsourcing diluar lima sektor yang telah dicantumkan di undang-undang melanggar nilai integritas yang
dianutnya. Data yang dipaparkan oleh BLH di Tabel 4.1 mengenai 2163 karyawan outsourcing BUMN yang
dilanggar haknya juga menjadi bukti bahwa cara perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dengan
melakukan outsourcing menjadi tidak etis dari pandangan virtue ethics.

Anda mungkin juga menyukai