Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 rumah tangga.
Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian diurutkan berdasarkan jumlah pendapatan
per tahun dari yang terendah (0,8 unit), hingga yang tertinggi (15 unit). Adapun
pendapatan total atau pendapatan nasional yang merupakan penjumlahan dari pendapatan
semua individu adalah 100 unit, seperti tampak pada kolom 2 tabel tersebut. Dalam
kolom 3, segenap rumah tangga digolong-golongkan menjadi 5 kelompok yang masing-
masing terdiri dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20%
populasi terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5% (dalam hal
ini 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8) menerima
9% dari pendapatan total. Dengan kata lain, 40% populasi terendah (kuintil 1dan 2)
hanya menerima 14% dari pendapatan total, sementara 20% teratas (kuintil ke-5) dari
populasi menerima 51% dari pendapatan total.
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran,
yakni: (1) Rasio Kutnezs, (2) Kurva Lorenz, dan (3) Koefisien Gini.
1) Rasio Kuznet
Menurut Kuznet dalam Todaro (2003:99) pertumbuhan ekonomi adalah
kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara bersangkutan untuk
menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Ketimpangan tersebut
disajikan dalam bentuk rasio yang disebut Rasio Kuznet. Rasio ini sering dipakai
sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok
yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di suatu Negara. Ukuran umum
yang memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dapat ditemukan dalam kolom
ke3, yaitu perbandingan Antara pendapatan yang diterima oleh 20% anggota
kelompok teratas dan 40% anggota kelompok terbawah. Rasio ketimpangan dalam
contoh ini adalah 14 dibagi dengan 51 hasilnya sekitar 0,28.
2) Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menunjukan hubungan kuantitatif aktual antara presentase
penerima pendapatan dengan presentase pendapatan total yang benar-benar mereka
terima selama , misalnya setahun.
Pada peraga 1, memakai data tabel desil yakni sumbu vertical dan
horizontalnya dibagi menjadi sepuluh bagian yang sama, sesuai dengan sepuluh
kelompok desil. Pada titik a, 40% penduduk termisikin menerima hanya 14% dari
jumlah pendapatan, pada titik b, 50% penduduk menerima 19,1% dari jumlah
pendapatan pada titik c, 80% menerima pendapatan hanya menerima 49% dari total
pendapatan. Menghubungkan titik a,b,c, dan titik lainnya akan membentuk kurva
Lorenz seperti peraga 1 :
Pada peraga 2, rasio ini adalah rasio daerah A yang diberi warna agak gelap
dengan luas segitiga BCD. Koefisien gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang
angkanya berkisar antar 0 ( pemerataan sempurnal) hingga satu ( ketimpangan
sempurna) . pada prakteknya, koefisien gini untuk Negara-negara yang detrajat
ketimpangannya tinggi berkisar antar 0,50 hingga 0,70, sedangkan sedangkan untuk
Negara-negara yang distribusi pendapatannya relative merata, angkanya berkisar antar
0,20 hingga 0,35. Koefisien Gini untuk distribusi pendapatan hipotesis kita pada tabel
10.1 diatas mendekati 0,61 ( menunjukan distribusi pendapatannya yang sangat
timpang ).
Ukuran ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh
masing-masing factor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi
pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan presentase pendapatan tenaga
kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit usaha atau factor produksi yang terpisah
secara individual, dan membandingkannya dengan presentasi pendapatan total yang
dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan
dari tanah, modal uang, dan modal fisik). Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan
sebagai sesuatu yang menentukan harga per satuan unit dari masing-masing factor
produksi. Apabila harga-harga unit factor produksi tersebut dikalikan dengan kuantitas
factor produksi yang digunakan yang bersumber dari asumsi utilitas factor produksi
secara efisien. Maka, kita bisa menghitung total pembayaran atau pendapatan yang
diterima oleh setiap factor produksi tersebut. Sebagai contoh, penawaran dan permintaan
terhadap tenaga kerja diasumsikan akan menentukan tingkat upah. Lalu, bila upah ini
dikalikan dengan seluruh tenaga kerja yang tersedia di pasar, maka akan didapat jumlah
keseluruhan pembayaran upah, yang terkadang disebut dengan istilah tersendiri, yakni
total pengeluaran upah (total wage bill).
Perkotaan
Jawa 0,313 0,323 0,386 0,386
Luar Jawa 0,403 t.a 0,332 0,329
Indonesia 0,356 t.a 0,341 0,377
Pedesaan
Jawa 0,336 0,294 0,312 0,302
Luar Jawa 0,349 t.a 0,313 0,313
Indonesia 0,358 t.a 0,318 0,354
Sumber : Ketut Nehen, Perekonomian Indonesia (2016)
Jika bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an maka dapat dikatakan bahwa
tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi pendapatan di
Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang sedang baik
ditunjukkan dalam rasio Kuznet maupun koefisien Gini. Pada awal periode (2002-2004)
bagian pendapatan yang diterima oleh 40% termiskin relatif tetap sekitar 20% dari
bagian yang diterima oleh 20% terkaya juga tetap (sekitar 42%), sehingga koefisien
Kuznet juga relatif konstan (bedanya 0.01 karena pembulatan), dan koefisien Gini juga
menunjukkan hal yang sama dari 0.33 (pada tahun 2002) menjadi 0,32 pada dua tahun
setelah itu. Dari tahun 2004 le 2005 distribusi pendapatan menjadi sedikit lebih buruk,
bagian yang diterima oleh 40% termiskin menurun dan bagian yang diterima oleh 20%
terkaya meningkat sehingga koefisien Kuznet mengalami penurunan. Hal ini juga
ditunjukkan oleh koefusien Gini yang menunjukkan distribusi pendapatan menjadi lebih
timpang.
Pada periode setelah tahun 2007 hingga 2017, rasio Gini terus berfluktuasi hingga
mengalami kenaikan pada tahun 2011 hingga 0,41 namun berhasil turun pada semester
berikutnya menjadi 0,833. Pada periode 2012 hingga 2015 rasio Gini kembali meningkat
hingga puncaknya pada periode 2014 semester 2 dimana rasio gini mencapai 0,414.
Pada tahun 2017 hingga tahun 2018 semester pertama, rasio Gini Indonesia
merupakan yang terendah selama 7 tahun terakhir. Seperti yang diberitakan CNBC
Indonesia pada 16 Juli 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data rasio gini
Indonesia selama periode September 2017 hingga Maret 2018. BPS mencatat rasio gini
sebesar 0,389. Jumlah tersebut menurun dari capaian Maret 2017 yang sebesar 0,393%
dan lebih kecil dari September 2017 yang sebesar 0,391. Berdasarkan daerah tempat
tinggal, rasio gini di daerah perkotaan pada Maret 2018 adalah sebesar 0,401, mengalami
penurunan sebesar 0,003 poin dibanding September 2017 yang sebesar 0,404, dan
menurun sebesar 0,006 poin dari Maret 2017 yang sebesar 0,407. Untuk daerah
perdesaan, rasio gini pada Maret 2018 tercatat sebesar 0,324, naik 0,004 poin
dibandingkan dengan kondisi September dan Maret 2017 yang sama-sama sebesar 0,320.
Mulai bulan Maret 2015 hingga Maret 2018, nila rasio Gini secara konsisten mulai
menurun. Bahkan rasio gini bulan Maret 2018 menjadi yang terendah sejak 7 tahun
terakhir, atau sejak September 2011. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama periode
Maret 2015-Maret 2018, di era pemerintahan Jokowi-JK, terjadi perbaikan pemerataan
pengeluaran di Indonesia.
Menurut Ketut Nehen dalam bukunya yang berjudul Perekonomian Indonesia tahun
2016, terdapat beberapa piliham kebijaksanaan yang berlaku untuk memperbaiki distribusi
pendapatan dan juga untuk memerangi kemiskinan, yaitu:
Pada tahun 2018, pemerintah telah berhasil mengurangi rasio Gini hingga mencapai
0,389 yang berarti bahwa rencana pemerintah pada tahun 2016 telah tercapai.
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka atau hitungan per-kepala (headcount).
H untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di bawah garis
kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap sebagai bagian
dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala, H/N. Garis kemiskinan
ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita dapat menelusuri
kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang
waktu. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah standar hidup minimum di
mana seseorang hidup dalam kesengsaraan absolut manusia, yaitu ketika kesehatan
seseorang sangat buruk.
Kekurangan pendapatan total atau jurang kemiskinan total (total poverty gap=TPG)
dari kaum miskin didefinisikan sebagai :
𝐻
TPG adalah jumlah uang per hari yang diperlukan untuk mengangkat perekonomian
untuk mengangkat perekonomian setiap orang miskin di negara itu sampai pada standar
pendapatan minimum yang telah ditentukan. Jika dihitung atas dasar per kapita,
kekurangan pendapatan rata-rata, atau jurang kemiskinan rata-ratanya, (average poverty
gap) adalah :
APG=TPG/H
Indeks kemiskinan yang terkenal yang memenuhi ke empat kriteria di atas adalah
indeks Sen dan bentuk tertentu dari Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) yang sering
disebut sebagai kelas Pα dari ukuran kemiskinan. Pα dapat ditulis sbb :
𝐻
1 (𝑌𝑝 − 𝑌𝑖)𝛼
𝑃𝛼 = ∑
𝑁 𝑌𝑝
𝑖=1
Dimana NPG = APG/Yp, CVp = koefisien variasi pendapatan antar kaum miskin.
Rumus P2 ini berisi ukuran CVp dan memenuhi empat kriteria kemiskinan diatas.
GK = GKM + GKNM
Dimana:
𝑁𝐹𝑝 = ∑ 𝑟𝑖 𝑥 𝑉𝑖
𝑖=1
Dimana:
𝑁𝐹𝑝 = Pengeluaran Minimum nonmakanan atau garis kemiskinan makanan daerah p
(𝐺𝐾𝑁𝑀𝑝 ).
𝑉𝑖 = Nilai pengeluaran per komoditi / sub-kelomok non-makanan daerah p (dari Susenas
modul konsumsi)
𝑟𝑖 = Rasio pengeluaran komoditi / sub kelompok non-makanan menurut daerah
berdasarkan hasil survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPPKD) 2004
𝑖 = Jenis komoditi non makanan terpilih di daerah p.
𝑝 = Daerah (perkotaan atau pedesaan)
Persentase Penduduk Miskin adalah persentase penduduk yang berada di bawah Garis
Kemiskinan (GK). Inilah yang disebut Head Count Index (HCI-P0). Rumus menghitung
persentase penduduk miskin adalah:
𝑞
1 𝑧 − 𝑦𝑖 𝑎
𝑃𝑎 = ∑ [ ]
𝑛 𝑧
𝑖=1
Dimana:
𝑎=0
z = Garis kemiskinan
𝑦𝑖 = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan (i=1,2,3,...,q), 𝑦𝑖 < z
𝑞 = Banyaknya penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan
𝑛 = Jumlah penduduk.
2.3. Indeks Keparahan dan Kedalaman Kemiskinan
Selain merilis tingkat kemiskinan Indonesia tiap tahunnya, BPS (2014a) menghitung
indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), atau
Property Gap Index, merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-
masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks P1,
semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2), atau Poverty Severity Index, memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Makin tinggi
nilai indeks P2, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Perhitungan P1 dan P2 menggunakan yang sama dengan HCI-P0, yaitu:
𝑞
1 𝑧 − 𝑦𝑖 𝑎
𝑃𝑎 = ∑ [ ]
𝑛 𝑧
𝑖=1
Berikut disajikan jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis
Kemiskinan pada tahun 1970 hingga 2017.
Sumber : Badan Pusat Staistik (www.bps.go.id)
Sumber
Kuncoro, M.; 2014; Otonomi Daerah Menuju Era Baru Pembangunan Daerah Edisi 3;
Penerbit Erlangga; Yogyakarta