Anda di halaman 1dari 19

1.

Perkembangan dan Kebijaksanaan Distribusi Pendapatan


Istilah distribusi pendapatan terdiri dari dua kata yaitu distribusi yang dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai pembagian, penyaluran dan
pengiriman. Juga kata pendapatan yang berarti hasil usaha sehingga distribusi
pendapatan dapat disimpulkan sebagai suatu usaha penyaluran dan pembagian hasil kerja
usaha, niaga, ataupun jasa dengan berupa harta atau uang kepada setiap anggota
masyarakat.
Distribusi pendapatan, dibagi menjadi 2 ukuran pokok yaitu, distribusi ukuran dan
distribusi fungsional. Distribusi ukuran merupakan besar kecilnya pendapatan yang
diterima masing-masing orang, sementara distribusi fungsional merupakan distribusi
kepemilikan faktor-faktor produksi (Todaro, 2000). Berdasarkan kedua distribusi
tersebut akan dihitung indikator untuk menunjukkan distribusi pendapatan masyarakat.
1.1. Distribusi Pendapatan Ukuran
Menurut Ketut Nehen (2016) dalam bukunya yang berjudul Perekonomian Indonesia
menyebutkan bahwa, distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income)
secara langsung menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau
rumah tangga. Yang digunakan sebagai tolak ukur adalah banyaknya pendapatan tanpa
memperhitungkan asal pendapatan tersebut. Selain itu faktor lokasi sumber pendapatan
(desa atau kota) maupun sektor atau bidang kegiatan yang menjadi sumber pendapatan
(pertanian, manufaktur, perdagangan, jasa) juga diabaikan. Apabila individu A dan B
memiliki pendapatan yang sama maka akan diklasifikasikan dalam kelompok yang sama.
Misalkan, seorang karyawan X memiliki pendapatan sebesar 10 juta dari gajinya yang
merupakan pendapatan aktif dan 10 juta dari hasil mengontrakkan rumahnya di desa
yang merupakan pendapatan pasif, sementara dokter Y memiliki penghasilan yang hanya
berasal dari gajinya senilai 20 juta maka karyawan X dan dokter Y diklasifikasikan
dalam kelompok yang sama.
Oleh karena itu, para ekonom dan ahli statistika cenderung mengurutkan semua
individu tersebut semata-mata berdasarkan pendapatan yang diterimanya, lantas
membagi total populasi menjadi sejumlah kelompok ukuran. Biasanya, populasi dibagi
menjadi lima kelompok atau kuintil (quintiles) atau sepuluh kelompok atau desil (decile)
sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan beberapa proporsi yang
diterima oleh masing-masing kelompok dari pendapatan nasional.
Berikut adalah tabel yang memperlihatkan distribusi pendapatan dimana datanya
merupakan hipotesis dari Ketut Nehen, namun biasa ditemui di suatu negara
berkembang.
pendapatan / orang
Individu Pangsa (%) kuintil Pangsa (%) Desil
(unit uang)
1 0,8
2 1,0 1,8
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9
6 2,0 3,9
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3,0 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9,0
15 5,9
16 7,1 22 13,0
17 10,5
18 12,0 22,5
19 13,5
20 15,0 51 28,5
Total pendapatan nasional 100 100 100
Catatan: Ukuran ketimpangan = jumlah pendapatan dari 40 persen rumah tangga
termiskin dibagi dengan jumlah pendapatan dari 20 persen rumah tangga terkaya =
14/51 = 0,28.
Sumber : Ketut Nehen, Perekonomian Indonesia (2016)

Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 rumah tangga.
Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian diurutkan berdasarkan jumlah pendapatan
per tahun dari yang terendah (0,8 unit), hingga yang tertinggi (15 unit). Adapun
pendapatan total atau pendapatan nasional yang merupakan penjumlahan dari pendapatan
semua individu adalah 100 unit, seperti tampak pada kolom 2 tabel tersebut. Dalam
kolom 3, segenap rumah tangga digolong-golongkan menjadi 5 kelompok yang masing-
masing terdiri dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukkan 20%
populasi terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5% (dalam hal
ini 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu 5-8) menerima
9% dari pendapatan total. Dengan kata lain, 40% populasi terendah (kuintil 1dan 2)
hanya menerima 14% dari pendapatan total, sementara 20% teratas (kuintil ke-5) dari
populasi menerima 51% dari pendapatan total.
Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran,
yakni: (1) Rasio Kutnezs, (2) Kurva Lorenz, dan (3) Koefisien Gini.
1) Rasio Kuznet
Menurut Kuznet dalam Todaro (2003:99) pertumbuhan ekonomi adalah
kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara bersangkutan untuk
menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Ketimpangan tersebut
disajikan dalam bentuk rasio yang disebut Rasio Kuznet. Rasio ini sering dipakai
sebagai ukuran tingkat ketimpangan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok
yang sangat miskin dan kelompok yang sangat kaya di suatu Negara. Ukuran umum
yang memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dapat ditemukan dalam kolom
ke3, yaitu perbandingan Antara pendapatan yang diterima oleh 20% anggota
kelompok teratas dan 40% anggota kelompok terbawah. Rasio ketimpangan dalam
contoh ini adalah 14 dibagi dengan 51 hasilnya sekitar 0,28.
2) Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menunjukan hubungan kuantitatif aktual antara presentase
penerima pendapatan dengan presentase pendapatan total yang benar-benar mereka
terima selama , misalnya setahun.

Pada peraga 1 , garis horizontal menunjukan presentasi kumulatif penerimaan


pendapatan, sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari pendapatan total yang
diterima oleh masing-masing presentase kelompok penduduk. Masing-masing sumbu
berakhir pada titik 100%, sehingga dia membentuk bujur sangkar. Satu garis diagonal
ditarik dari titik nol pada sudut kiri bawah menuju ke sudut kanan atas. Pada setiap
titik yang terdapat pada garis diagonal itu, presentase pendapatan yang diterima persis
sama dengan presentase jumlah penerimanya.

Pada peraga 1, memakai data tabel desil yakni sumbu vertical dan
horizontalnya dibagi menjadi sepuluh bagian yang sama, sesuai dengan sepuluh
kelompok desil. Pada titik a, 40% penduduk termisikin menerima hanya 14% dari
jumlah pendapatan, pada titik b, 50% penduduk menerima 19,1% dari jumlah
pendapatan pada titik c, 80% menerima pendapatan hanya menerima 49% dari total
pendapatan. Menghubungkan titik a,b,c, dan titik lainnya akan membentuk kurva
Lorenz seperti peraga 1 :

Sumber : Ketut Nehen, Perekonomian Indonesia (2016)


Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (garis pemerataan
sempurna), maka makin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya
semakin parah ketidak merataannya atau ketimpangan
distribusi pendapatan di satu negara, maka bentuk kurva Lorennya pun akan semakin
melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah.

3) Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat


Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar
antara 0 (pemerataan sempurna) hingga 1 (ketimpangan sempurna).

Pada peraga 2, rasio ini adalah rasio daerah A yang diberi warna agak gelap
dengan luas segitiga BCD. Koefisien gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang
angkanya berkisar antar 0 ( pemerataan sempurnal) hingga satu ( ketimpangan
sempurna) . pada prakteknya, koefisien gini untuk Negara-negara yang detrajat
ketimpangannya tinggi berkisar antar 0,50 hingga 0,70, sedangkan sedangkan untuk
Negara-negara yang distribusi pendapatannya relative merata, angkanya berkisar antar
0,20 hingga 0,35. Koefisien Gini untuk distribusi pendapatan hipotesis kita pada tabel
10.1 diatas mendekati 0,61 ( menunjukan distribusi pendapatannya yang sangat
timpang ).

Sumber : Ketut Nehen, Perekonomian Indonesia (2016)

1.2. Distribusi Fungsional

Ukuran ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh
masing-masing factor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi
pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan presentase pendapatan tenaga
kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit usaha atau factor produksi yang terpisah
secara individual, dan membandingkannya dengan presentasi pendapatan total yang
dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan
dari tanah, modal uang, dan modal fisik). Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan
sebagai sesuatu yang menentukan harga per satuan unit dari masing-masing factor
produksi. Apabila harga-harga unit factor produksi tersebut dikalikan dengan kuantitas
factor produksi yang digunakan yang bersumber dari asumsi utilitas factor produksi
secara efisien. Maka, kita bisa menghitung total pembayaran atau pendapatan yang
diterima oleh setiap factor produksi tersebut. Sebagai contoh, penawaran dan permintaan
terhadap tenaga kerja diasumsikan akan menentukan tingkat upah. Lalu, bila upah ini
dikalikan dengan seluruh tenaga kerja yang tersedia di pasar, maka akan didapat jumlah
keseluruhan pembayaran upah, yang terkadang disebut dengan istilah tersendiri, yakni
total pengeluaran upah (total wage bill).

Peraga 3 memberikan ilustrasi sederhana tentang teori distribusi tradisional mengenai


pendapatan fungsional. Dalam peraga tersebut, diasumsikan bahwa terdapat dua factor
produksi, yaitu modal yang persediaannya dianggap tetap, da tenaga kerja yang
merupakan datu-satunya factor produksi variable. Berdasarkan asumsi pasar yang
kompetitif, permintaan terhadap tenaga kerja akan ditentukan oleh produksi marjinal
terhadap tenaga kerja yang bersangkutan (yang artinya tambahan tenaga kerja akan terus
direkrut sampai ke satu titik dimana nilai produksi marjinalnya sama dengan upah riil
mereka). Artinya, semakin lama jumlah tenaga kerja yang diminta akan semakin sedikit.
Kurva permintaan terhadap tenaga kerja dengan kemiringan yang negative itu
diperlihatkan oleh garis DL pada peraga 3. Kemudian jika dipadukan dengan kurva
penawaran tenaga kerja tradisional noeklasik yang mempunyai kemiringan positif, yakni
SL , maka akan dioeroleh tingkat upah ekuilibrium sebesar WE dan tingkat ekuilibrium
tenaga kerja sebesar LE. output nasional total diwakili oleh luas bidang ORELE.
Pendapatan nasional tersebut dibagi menjadi dua yaitu OWE ELE untuk tenaga kerja
dalam bentuk upah, dan sisanya WERE, yang merupakan laba si pemilik (imbalan yang
diperoleh oleh pemilik modal). Karena itu dalam perekonomian pasar kompetitif yang
memiliki fungsi produksi dengan skala pengembalian ayng tetap (constant return to
scale), dimana jika semua input digandakan, maka outputpun akan berlipat dua, harga
masing-masing factor produksi akan ditentukan oleh kurva penawaran dan permintaan
terhadap factor yang bersangkutan, dan himpunan segenap factor produksi itulah yang
akan membentuk total produksi nasional. Pendapatan didistribusikan menurut
‘Fungsinya’, sehingga tenaga kerja menerima upah, pemilik tanah menerima sewa, dan
pemilik modal menerima laba. Ini merupakan sebuah teori yang rapi dan logis, karena
setiap factor menerima pembayaran atau pendapatan sesuai dengan kontribusi mereka
pada output nasional, tidak lebih dan tidak kurang.

Relevansi teori fungsional menjadi kurang tajam karena tidak memperhitungkan


pentingnya peranan dan pengaruh kekuatan-kekuatan diluar pasar yang menentukan
harga factor-faktor produksi.
Sumber : Ketut Nehen, Perekonomian Indonesia (2016)

Perkembangan Indeks Ketimpangan

Distribusi pendapatan merupakan masalah perbedaan pendapatan antara individu yang


paling kaya dengan individu yang paling miskin. Semakin besar jurang pendapatan maka
semakin besar pula variasi dalam distribusi pendapatan.

Berikut merupakan data mengenai koefisien Gini untuk periode 1964-65


sampai1976 dan untuk periode 2002-2007, dan persentase pendapatan yang diterima oleh
berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dari tahun 2002 sampai 2007 untuk
menghitung koefisien Kuznet.

Koefisien Gini Pengeluaran Indonesia, 1964/65-1976

Pengeluaran Konsumsi Per Kapita


Keterangan Data Susenas
1964-65 1967 1970 1976

Perkotaan
Jawa 0,313 0,323 0,386 0,386
Luar Jawa 0,403 t.a 0,332 0,329
Indonesia 0,356 t.a 0,341 0,377

Pedesaan
Jawa 0,336 0,294 0,312 0,302
Luar Jawa 0,349 t.a 0,313 0,313
Indonesia 0,358 t.a 0,318 0,354
Sumber : Ketut Nehen, Perekonomian Indonesia (2016)

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pembagan pendapatan secara


keseluruhan pada tahun 1964/65 hampir sama untuk perkotaan dan pedesaan termasuk
pada ketimpangan yang sedang. Sedangkan pembagian pendapatan perkotaan di Jawa
lebih merata dibandingkan di pedesaan jawa, namun sebaliknya terjadi di Luar Jawa,
yakni di pedesaan lebih merata. Kalau kita bergerak dari tahun 1964/65 maka distribusi
pendapatan di perkotaan Jawa selalu menjadi lebih timpang, sedangkan di daerah
pedesaan Jawa selalu menjadi lebih merata.

Persentase Pendapatan yang Diterima Oleh Berbagai Kelompok Penduduk di


Indonesia, Rasio Kuznet dan Gini Ratio 2002-2007

Kelompok Penduduk 2002 2003 2004 2005 2006 2007


40% Terendah 20,92 20,57 20,80 18,81 19,75 19,10
40% Menengah 38,89 37,10 37,13 36,40 38,10 36,11
20% Terkaya 42,19 42,33 42,07 44,78 42,15 44,79
Rasio Kutnezs 0,50 0,49 0,49 0,42 0,47 0,43
Gini Rasio 0,33 0,32 0,32 0,36 0,33 0,37
Sumber : Ketut Nehen, Perekonomian Indonesia (2016)

Jika bergerak dari periode 1970an ke periode 2000an maka dapat dikatakan bahwa
tidak terjadi perubahan yang berarti mengenai ketimpangan distribusi pendapatan di
Indonesia, masih tetap secara umum berada pada ketimpangan yang sedang baik
ditunjukkan dalam rasio Kuznet maupun koefisien Gini. Pada awal periode (2002-2004)
bagian pendapatan yang diterima oleh 40% termiskin relatif tetap sekitar 20% dari
bagian yang diterima oleh 20% terkaya juga tetap (sekitar 42%), sehingga koefisien
Kuznet juga relatif konstan (bedanya 0.01 karena pembulatan), dan koefisien Gini juga
menunjukkan hal yang sama dari 0.33 (pada tahun 2002) menjadi 0,32 pada dua tahun
setelah itu. Dari tahun 2004 le 2005 distribusi pendapatan menjadi sedikit lebih buruk,
bagian yang diterima oleh 40% termiskin menurun dan bagian yang diterima oleh 20%
terkaya meningkat sehingga koefisien Kuznet mengalami penurunan. Hal ini juga
ditunjukkan oleh koefusien Gini yang menunjukkan distribusi pendapatan menjadi lebih
timpang.

Rasio Gini Indonesia pada Periode 2007 hingga 2017

Rasio Gini Indonesia Periode 2007/2017


Tahun Rasio
2007 Tahunan 0,376
2008 Tahunan 0,368
2009 Semester 1 (Maret) 0,367
2010 Semester 1 (Maret) 0,378
Semester 1 (Maret) 0,41
2011
Semester 2 (September) 0,388
Semester 1 (Maret) 0,41
2012
Semester 2 (September) 0,413
2013 Semester 1 (Maret) 0,413
Semester 2 (September) 0,406
Semester 1 (Maret) 0,406
2014
Semester 2 (September) 0,414
Semester 1 (Maret) 0,408
2015
Semester 2 (September) 0,402
Semester 1 (Maret) 0,397
2016
Semester 2 (September) 0,394
Semester 1 (Maret) 0,393
2017
Semester 2 (September) 0,391
2018 Semester 1 (Maret) 0,389
Sumber : Badan Pusat Staistik (www.bps.go.id)

Pada periode setelah tahun 2007 hingga 2017, rasio Gini terus berfluktuasi hingga
mengalami kenaikan pada tahun 2011 hingga 0,41 namun berhasil turun pada semester
berikutnya menjadi 0,833. Pada periode 2012 hingga 2015 rasio Gini kembali meningkat
hingga puncaknya pada periode 2014 semester 2 dimana rasio gini mencapai 0,414.

Pada tahun 2017 hingga tahun 2018 semester pertama, rasio Gini Indonesia
merupakan yang terendah selama 7 tahun terakhir. Seperti yang diberitakan CNBC
Indonesia pada 16 Juli 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data rasio gini
Indonesia selama periode September 2017 hingga Maret 2018. BPS mencatat rasio gini
sebesar 0,389. Jumlah tersebut menurun dari capaian Maret 2017 yang sebesar 0,393%
dan lebih kecil dari September 2017 yang sebesar 0,391. Berdasarkan daerah tempat
tinggal, rasio gini di daerah perkotaan pada Maret 2018 adalah sebesar 0,401, mengalami
penurunan sebesar 0,003 poin dibanding September 2017 yang sebesar 0,404, dan
menurun sebesar 0,006 poin dari Maret 2017 yang sebesar 0,407. Untuk daerah
perdesaan, rasio gini pada Maret 2018 tercatat sebesar 0,324, naik 0,004 poin
dibandingkan dengan kondisi September dan Maret 2017 yang sama-sama sebesar 0,320.
Mulai bulan Maret 2015 hingga Maret 2018, nila rasio Gini secara konsisten mulai
menurun. Bahkan rasio gini bulan Maret 2018 menjadi yang terendah sejak 7 tahun
terakhir, atau sejak September 2011. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama periode
Maret 2015-Maret 2018, di era pemerintahan Jokowi-JK, terjadi perbaikan pemerataan
pengeluaran di Indonesia.

Kebijakan Distribusi Pendapatan

Menurut Ketut Nehen dalam bukunya yang berjudul Perekonomian Indonesia tahun
2016, terdapat beberapa piliham kebijaksanaan yang berlaku untuk memperbaiki distribusi
pendapatan dan juga untuk memerangi kemiskinan, yaitu:

1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan khusus


dirancang untuk mengubah harga-harga relative faktor produksi. Kebijakaan ini dapat
berupa:
a. Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional
dan regional.
b. Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah
dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan
penawaran. Misalnya, pemberian kemudahan prosedur investasi, keringanan pajak
bagi pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga yang lebih rendah untuk
investasi), penetapan kurs valuta asing yang terlalu tinggi, dan penurunan bea
masuk bagi impor barang-barang modal. Semua kebijaksanaan ini mengakibatkan
harga modal terlalu murah, yang akibat akhirnya para pengusaha akan memilih
teknologi produksi yang padat modal, sehingga distribusi pendapatan menjadi
lebih buruk dan jumlah orang miskin akan bbertambah. Penghapusan distorsi
harga faktor produksi sangat bermanfaat dan penyesuaian harga memungkinkan
satu Negara meraih pemerataan pendapatan sekaligus memperbaiki taraf hidup
kaum miskin.
2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini
akan sangat tergantung pada distribusi kepemilikan asset (sumber daya atau faktor
produksi) di antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah,
modal financial seperti saham dan juga obligasi, serta sumber daya manusia dalam
bentuk pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Hal ini dilaksanakan melalui
UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) 1960, yang membatasi jumlah kepemilikan
tanah pertanian. Pajak deviden obligasi dan pajak terhadap hasil (bagian laba) saham,
berbagai jenis bea siswa dan bantuan sekolah samapai perguruan tinggi, wajib belajar,
dan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin. Akan tetapi kebijakan-kebijakan
pemerataan dan pengentasan kemiskinan ini sering memerlukan kebijaksanaan
pelengkap, tanpa kebijaksanaan pelengkap tersebut kebijaksanaan pemerataan dan
pengentasan dan kemiskinan tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan.
3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Salah satu
contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan badan
yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan merupakan pajak property
perorangan dan perusahaan yang bersifat progresif, dan biasanya dikenakan kepada
mereka yang kaya raya. Banyaknya kebijaksanaan progresif berubah secara ajaib
menjadi pajak yang regresif dalam pelaksanaannya.
4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa publik.
Transfer langsung dilakukan melalui BLT (bantuan langsung tunai) kepada orang
miskin yang berhak untuk menerima.

Meskipun pemerintah Indonesia telah berusaha untuk melaksanakan berbagai


program pemerataan distribusi dan program pengentasan kemiskinan yang telah
dijelaskan diatas, ternyata masih banyak ketimpangan distribusi yang masih berada di
Indonesia dan masih belum memuaskan dan masih banyak jumlah orang miskin yang
luput dari program, di samping dalam jumlah yang tidak sedikit, sangat sulit untuk
menyaring orang-orang yang benar-benar tidak mampu dengan orang-orang yang
sebenarnya tidak berhak atas bantuan yang disediakan.

Dalam usahanya melakukan pemerataan distribusi pendapatan, pada tahun 2016


pemerintah sepakat akan mengurangi Rasio Gini hingga mencapai angka 0,39 seperti
yang telah diberitakan di Lineindonesia.com pada 9 Februari 2016. Menurut Direktur
Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance, Enny Sri Hartati target
penurunan level indikator sebanyak 0,39 itu tercapai jika pemerintah mengambil
kebijakan untuk mendorong distribusi pendapatan seperti dengan meningkatkan efektif
pajak progresif dimana hal ini merupakan cara paling efektif, misalnya kepemilikan
properti melalui pajak, hal ini dapat meningkatkan distribusi pendapatan. Menurut
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis
pemerintah perlu menerapkan kebijakan fiskal yang mendukung pemerataan juga
mengatur sistem redistribusi pajak agar dapat terdistribusikan secara tepat. Yustinus
menyarankan agar pemungutan pajak harus sesuai prinsip ability to pay, yang berarti
bahwa pemungutan pajak harus berdasarkan kemampuan wajib pajak untuk membayar
pajaknya sehingga orang yang berpenghasilan tinggi harus membayar pajak yang tinggi
sebaliknya orang berpenghasilan rendah harus membayar pajak yang rendah pula sesuai
kemapuan masing-masing kemudian pajak tersebut harus dialokasikan kedalam APBD
dan APBN secara tepat untuk belanja publik.

Pada tahun 2018, pemerintah telah berhasil mengurangi rasio Gini hingga mencapai
0,389 yang berarti bahwa rencana pemerintah pada tahun 2016 telah tercapai.

2. Kemiskinan : Data dan Kebijaksanaan


Kemiskinan adalah penduduk miskin yang tidak mampu mendapatkan sumber daya
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (Ketut Nehen, 2016:193). Mereka hidup di
bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah garis kemiskinan
internasional. Batas garis kemiskinan yang digunakan tiap negara berbeda-beda, ini
disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup (Mudjarat
Kuncoro, 2014: 236). Kemiskinan absolut dapat dan memang terjadi dimana-mana, di
Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan walaupun kadarnya berbeda-beda dari satu
tempat ke tempat lainnya.

2.1. Mengukur Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka atau hitungan per-kepala (headcount).
H untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di bawah garis
kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut dianggap sebagai bagian
dari populasi total, N, kita memperoleh indeks per kepala, H/N. Garis kemiskinan
ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga kita dapat menelusuri
kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang
waktu. Gagasan yang mendasari penetapan level ini adalah standar hidup minimum di
mana seseorang hidup dalam kesengsaraan absolut manusia, yaitu ketika kesehatan
seseorang sangat buruk.

Beberapa ekonom mencoba mengalkulasikan indikator jurang kemiskinan (proverty


gap) yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang
masih di bawah. Pada peraga di bawah ini, meskipun negara A dan B, 50% penduduknya
sama-sama berada di bawah garis kemiskinan, namun jurang kemiskinan di A ternyata
lebih lebar daripada yang ada di negara B. Dengan demikian negara A harus berusaha
lebih keras guna memerangi kemiskinan absolut penduduknya.

Kekurangan pendapatan total atau jurang kemiskinan total (total poverty gap=TPG)
dari kaum miskin didefinisikan sebagai :
𝐻

𝑇𝑃𝐺 = ∑(𝑌𝑝 − 𝑌𝑖)


𝑖=1

Sumber : Ketut Nehen, Perekonomian Indonesia (2016)

TPG adalah jumlah uang per hari yang diperlukan untuk mengangkat perekonomian
untuk mengangkat perekonomian setiap orang miskin di negara itu sampai pada standar
pendapatan minimum yang telah ditentukan. Jika dihitung atas dasar per kapita,
kekurangan pendapatan rata-rata, atau jurang kemiskinan rata-ratanya, (average poverty
gap) adalah :

APG=TPG/H

Ukuran kekurangan pendapatan dalam hubungannya dengan garis kemiskinan dapat


diukur menggunakan jurang kemiskinan yang dinormalisasi (normalized poverty gap =
NPG) = APG/Yp sebagai ukuran kekurangan pendapatan, ukuran ini berkisar antara nol
dan satu, sehingga ukuran ini bermanfaat jika kita menginginkan ukuran jurang tanpa
unit, agar perbandingan antar negara atau antar waktu lebih baik.

Ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yaitu :

1. Anonimitas dan indepedensi : ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung


pada siapa yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk
yang banyak atau sedikit
2. Monotonisitas : jika anda memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada di
bawah garis kemiskinan, jika semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan
yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Jika ukuran kemiskinan
selalu lebih rendah setelah pemberian transfer tersebut, sifat ini disebut monotonitas
yang kuat (strong monotonicity).
3. Sensitivitas distribusional : jika anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke
orang kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.

Indeks kemiskinan yang terkenal yang memenuhi ke empat kriteria di atas adalah
indeks Sen dan bentuk tertentu dari Indeks Poster-Greer-Thornbeck (FGT) yang sering
disebut sebagai kelas Pα dari ukuran kemiskinan. Pα dapat ditulis sbb :
𝐻
1 (𝑌𝑝 − 𝑌𝑖)𝛼
𝑃𝛼 = ∑
𝑁 𝑌𝑝
𝑖=1

Dimana Yi adalah pendapatan dari orang miskin yang ke i, Yp adalah garis


kemiskinan dan N adalah jumlah penduduk. Indeks Pα mempunyai bentuk yang berbeda-
beda tergantung pada nilai α. Jika α=0, maka pembilangnya sama dengan H dan ia
menjadi sama rasio headcount H/N. Jika α = 1 maka akan diperoleh jurang kemiskinan
yang dinormalisasi. Jika α = 2 ukuran yang dihasilkan adalah

P2 = (H/N) {NPG2 + (1 – NPG)2 (CVp)2}

Dimana NPG = APG/Yp, CVp = koefisien variasi pendapatan antar kaum miskin.
Rumus P2 ini berisi ukuran CVp dan memenuhi empat kriteria kemiskinan diatas.

2.2. Garis Kemiskinan BPS


BPS menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita
sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan
(BPS,1994). Dengan kata lain, BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index.
Dalam metode BPS, kemiskinana dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk
memenuhi dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran kemiskinan absolut.
Menurut Mudjarad Kuncoro dalam bukunya yang berjudul Otonomi Daerah (2014),
penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita
perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan hasil
penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non
Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan
dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Formula
menghitung garis kemiskinan adalah

GK = GKM + GKNM

GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan


dengan 2.100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan
diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu,
sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Formula dasar
menghitung GKM adalah
52 52

𝐺𝐾𝑀𝑗 = ∑ 𝑃𝑗𝑘 . 𝑄𝑗𝑘 = ∑ 𝑉𝑗𝑘


𝑘−1 𝑘−1

Dimana:

𝐺𝐾𝑀𝑗 = Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2.100


kilokalori)
𝑃𝑗𝑘 = Harga komoditi k di daerah j
𝑄𝑗𝑘 = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j
𝑉𝑗𝑘 = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j
𝑗 = Daerah (perkotaan atau pedesaan)

GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan


kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi
di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Nilai kebutuhan minimum non makanan
secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut
𝑛

𝑁𝐹𝑝 = ∑ 𝑟𝑖 𝑥 𝑉𝑖
𝑖=1
Dimana:
𝑁𝐹𝑝 = Pengeluaran Minimum nonmakanan atau garis kemiskinan makanan daerah p
(𝐺𝐾𝑁𝑀𝑝 ).
𝑉𝑖 = Nilai pengeluaran per komoditi / sub-kelomok non-makanan daerah p (dari Susenas
modul konsumsi)
𝑟𝑖 = Rasio pengeluaran komoditi / sub kelompok non-makanan menurut daerah
berdasarkan hasil survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPPKD) 2004
𝑖 = Jenis komoditi non makanan terpilih di daerah p.
𝑝 = Daerah (perkotaan atau pedesaan)
Persentase Penduduk Miskin adalah persentase penduduk yang berada di bawah Garis
Kemiskinan (GK). Inilah yang disebut Head Count Index (HCI-P0). Rumus menghitung
persentase penduduk miskin adalah:
𝑞
1 𝑧 − 𝑦𝑖 𝑎
𝑃𝑎 = ∑ [ ]
𝑛 𝑧
𝑖=1

Dimana:
𝑎=0
z = Garis kemiskinan
𝑦𝑖 = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan (i=1,2,3,...,q), 𝑦𝑖 < z
𝑞 = Banyaknya penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan
𝑛 = Jumlah penduduk.
2.3. Indeks Keparahan dan Kedalaman Kemiskinan
Selain merilis tingkat kemiskinan Indonesia tiap tahunnya, BPS (2014a) menghitung
indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), atau
Property Gap Index, merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-
masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks P1,
semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2), atau Poverty Severity Index, memberikan
gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Makin tinggi
nilai indeks P2, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Perhitungan P1 dan P2 menggunakan yang sama dengan HCI-P0, yaitu:
𝑞
1 𝑧 − 𝑦𝑖 𝑎
𝑃𝑎 = ∑ [ ]
𝑛 𝑧
𝑖=1

Hanya saja dalam perhitungan P1 nilai 𝑎 = 1, sedangkan pada perhitungan P2 digunakan


nilai 𝑎 = 2.
2.4. Cakupan Kemiskinan Absolut

Berikut disajikan jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin dan Garis
Kemiskinan pada tahun 1970 hingga 2017.
Sumber : Badan Pusat Staistik (www.bps.go.id)

Berdasarkan tabel tersebut maka dapat dikatakan bahwa pembangunan ekonomi di


Indonesia telah mengalami peningkatan sehingga berhasil mengurangi kemiskinan. Hal
ini dapat dilihat dari tingkat kemiskinan yang cenderung menurun setiap tahunnya meski
pada tahun 2015 kemiskinan sempat meningkat dari 10.96 pada tahun 2014 semester ke-
2 menjadi 11,22 pada tahun 2015 semester pertama yang kemudian kembali menurun
pada semester ke-2 menjadi 11,13. Kemiskinan cenderung menurun hingga tahun 2017
semester ke-2 dimana kemiskinan telah mencapai 10,12 dimana hal ini berarti terjadi
penurunan kemiskinan sebesar 0.58 sejak tahun 2016 semester ke-2. Baik pada kota
maupun desa terjadi penurunan angka kemiskinan yang berarti pemerintah telah berhasil
mengurangi jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Pada Maret 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami titik
terendah dalam hal persentase kemiskinan sejak tahun 1999 yakni sebesar 9,82%. Seperti
yang diberitakan oleh Kompas.com pada tanggal 16 Juli 2078, Indonesia berada pada
titik kemiskinan terendah dimana jumlah penduduk miskin atau yang pengeluaran per
kapita tiap bulan di bawah garis kemiskinan mencapai 25,95 juta orang. Jika
dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu September 2017, persentase kemiskinan
tercatat sebesar 10,12 persen atau setara dengan 26,58 juta orang penduduk miskin di
Indonesia.

2.5. Faktor Penyebab Kemiskinan


Tidak sulit mencari faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-faktor tersebut
sangat sulit memastikan mana yang penyebab utamanya atau mana yang langsung dan
tidak langsung (Ketut Nehen, 2016:201). Sejatinya terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi kemiskinan, faktor-faktor tersebut juga berkaitan satu sama lain.
Misalnya, apabila dikatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang
rendah. Seseorang dengan tingkat pendidikan rendah akan sulit mendapatkan pekerjaan,
namun apabila ditelusuri kebelakang sebagian besar orang yang berpendidikan rendah
merupakan anak-anak yang tidak mampu membayar biaya pendidikan sehingga dapat
dikatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah masalah biaya. Kemudian apabila ditarik
kebelakang lagi alasan mereka tidak mampu membayar biaya sekolah adalah karena
orang tua mereka miskin, dan alasan orang tua mereka miskin kembali lagi pada
pendidikan. Hal ini menjadi semacam vicious circle dalam masalah timbulnya
kemiskinan.
Sharp et al. (1996) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari
sisi ekonomi, pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan
pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia.
Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
2.6.Kebijakan Pemerintah Terkait Kemiskinan
Berikut merupakan cara-cara pemerintah menanggulangi kemiskinan yang terjadi di
Indonesia, antara lain:
1) Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Program Bantuan Langsung Tunai yang merupakan kompensasi yang diberikan usai
penghapusan subsidi minyak tanah dan program konversi bahan bakar gas. Namun
kedua hal tersebut tidak memiliki dampak signifikan terhadap pengurangan angka
kemiskinan. Bahkan beberapa pakar kebijakan negara menganggap, bahwa hal
tersebut sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Baik ada atau tidak ada masalah
kemiskinan di Indonesia. Negara wajib menyediakan jaminan
kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar
1945.
2) Menjaga Stabilitas Harga Bahan Kebutuhan Pokok
Fokus program ini bertujuan menjamin daya beli masyarakat miskin/keluarga miskin
untuk memenuhi kebutuhan pokok terutama beras dan kebutuhan pokok utama selain
beras. Program yang berkaitan dengan fokus ini seperti :
 Penyediaan cadangan beras pemerintah 1 juta ton
 Stabilisasi harga komoditas primer
3) Mendorong Pertumbuhan yaang Berpihak pada Rakyat Miskin
Fokus program ini bertujuan mendorong terciptanya dan terfasilitasinya kesempatan
berusaha yang lebih luas dan berkualitas bagi masyarakat/keluarga miskin. Beberapa
program yang berkenaan dengan fokus ini antara lain:
 Penyediaan dana bergulir untuk kegiatan produktif skala usaha mikro dengan
pola bagi hasil/syariah dan konvensional.
 Bimbingan teknis/pendampingan dan pelatihan pengelola Lembaga Keuangan
Mikro (LKM)/Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
 Pelatihan budaya, motivasi usaha dan teknis manajeman usaha mikro
 Pembinaan sentra-sentra produksi di daerah terisolir dan tertinggal
 Fasilitasi sarana dan prasarana usaha mikro
 Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir
 Pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil
 Peningkatan akses informasi dan pelayanan pendampingan pemberdayaan dan
ketahanan keluarga
 Percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah
 Peningkatan koordinasi penanggulangan kemiskinan berbasis kesempatan
berusaha bagi masyarakat miskin
4) Menyempurnakan dan Memperluas Cakupan Program Pembangunan Berbasis
Masyarakat
Program ini bertujuan untuk meningkatkan sinergi dan optimalisasi pemberdayaan
masyarakat di kawasan perdesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan
dukungan pengembangan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin. Program yang
berkaitan dengan fokus ketiga ini antara lain:
 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di daerah perdesaan
dan perkotaan
 Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah
 Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus
 Penyempurnaan dan pemantapan program pembangunan berbasis masyarakat.
5) Meningkatkan Akses Masyarakat Miskin Kepada Pelayanan Dasar
Fokus program ini bertujuan untuk meningkatkan akses penduduk miskin memenuhi
kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan prasarana dasar. Beberapa program yang
berkaitan dengan fokus ini antara lain:
 Penyediaan beasiswa bagi siswa miskin pada jenjang pendidikan dasar di
Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Menengah
Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs);
 Beasiswa siswa miskin jenjang Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah
Kejuruan/Madrasah Aliyah (SMA/SMK/MA);
 Beasiswa untuk mahasiswa miskin dan beasiswa berprestasi;
 Pelayanan kesehatan rujukan bagi keluarga miskin secara cuma-cuma di kelas
III rumah sakit.
6) Membangun dan Menyempurnakan Sistem Perlindungan Sosial Bagi Masyarakat
Miskin
Fokus ini bertujuan melindungi penduduk miskin dari kemungkinan ketidakmampuan
menghadapi guncangan sosial dan ekonomi. Program teknis yang di buat oleh
pemerintah seperti:
 Peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan anak
(PUA)
 Pemberdayaan sosial keluarga, fakir miskin, komunitas adat terpencil, dan
penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya.
 Bantuan sosial untuk masyarakat rentan, korban bencana alam, dan korban
bencana sosial.
 Penyediaan bantuan tunai bagi rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang
memenuhi persyaratan (pemeriksaan kehamilan ibu, imunisasi dan
pemeriksaan rutin BALITA, menjamin keberadaan anak usia sekolah di
SD/MI dan SMP/MTs; dan penyempurnaan pelaksanaan pemberian bantuan
sosial kepada keluarga miskin/RTSM) melalui perluasan Program Keluarga
Harapan (PKH).
 Pendataan pelaksanaan PKH (bantuan tunai bagi RTSM yang memenuhi
persyaratan
7) Membangun Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM)
KUR merupakan kredit program yang diluncurkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada November 2007. KUR ditujukan bagi pengusaha mikro dan kecil
yang tidak memiliki agunan tambahan dengan plafon maksimal Rp 500 juta. Bank
bersedia menyalurkan KUR karena kreditnya dijamin oleh pemerintah.
Dari program ini (KUR), diharapkan sector UMKM dapat tumbuh dan
berkembang dalam menyokong perekonomian bangsa. Selain itu, melalui program ini
juga, pemerintah menargetkan sector UMKM dapat tumbuh sebesar 650.000 unit
UMKM.
Selain program KUR, pemerintah juga menyiapkan program dalam pengentasan
kemiskinan di Indonesia. Tentu saja program ini juga akan bersinergi dengan program
pemberdayaan sector UMKM. Program ini dinamakan dengan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat atau yang lebih di kenal dengan singkatan PNPM.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang diresmikan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada Februari 2007 ini diharapkan dapat menjangkau
31,92 juta penduduk miskin di Indonesia atau sekitar 7,96 juta keluarga miskin. Pada
tahun 2007 program PNPM ini ditujukan bagi 2.891 kecamatan yang terdiri dari 2.057
kecamatan dalam PNPM Pedesaan dan 834 kecamatan dalam PNPM Perkotaan yang
tersebar di 33 Provinsi. Setiap kecamatan akan mendapatkan dana Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM) antara Rp 500 juta dan Rp 1,5 miliar per tahun yang disesuaikan
dengan jumlah penduduk miskin di tiap kecamatan.
Melalui program ini, sebanyak 31,92 juta penduduk miskin diharapkan dapat
tertanggulangi. PNPM Pedesaan akan menjangkau 21,92 penduduk miskin, sedangkan
PNPM Perkotaan mencakup sekitar 10 juta penduduk miskin. Adapun lapangan kerja
baru yang tercipta adalah 12,5-14,4 juta per tahun dengan asumsi di setiap kecamatan
pada Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) ada 8-20 desa yang berpartisipasi dengan asumsi
setiap desa rata-rata menciptakan sekitar 250 lapangan kerja baru per tahun.
Jumlah dana PNPM untuk tahun 2007 diperkirakan Rp 4,43 triliun yang terbagi
atas PNPM Pedesaan Rp 2,48 triliun dan PNPM Perkotaan Rp 1,95 triliun. Dari dana
Rp 4,43 triliun, sebesar 3,62 triliun dari APBN 2007 dan sekitar Rp 813 miliar
merupakan kontribusi APBD pemerintah daerah melalui mekanisme cost sharing.
(A.A. Istri Syania Vihira Nanda / 1607532006)

Sumber

Nehen,K.; 2016; Perekonomian Indonesia; Udayana University Pers; Denpasar

Hill,H.; 2001 ; Ekonomi Indonesia Edisi Kedua ; PT RajaGrafindo Persada; Jakarta

Kuncoro, M.; 2014; Otonomi Daerah Menuju Era Baru Pembangunan Daerah Edisi 3;
Penerbit Erlangga; Yogyakarta

Badan Pusat Statistik; www.bps.go.id ; 28 Agustus 2018

Sari,N, dkk ; 2015; Distribusi Pendapatan ;


https://www.academia.edu/31143782/DISTRIBUSI_PENDAPATAN?auto=download
; 28 Agustus 2018
Maharanilabaikh ; 2016; https://maharanilabaikha.wordpress.com/2016/05/01/distribusi-
pendapatan/; 28 Agustus 2018
Badan Pusat Statistik; https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1116; 28 Agustus
2018
Kompas.com ; 2018; https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/16/130732026/bps-maret-
2018- persentase-kemiskinan-indonesia-terendah-sejak-1999; 28 Agustus 2018
CNBC Indonesia ; 2018; https://www.cnbcindonesia.com/news/20180716141723-4-
23748/tingkat-ketimpangan-di-indonesia-terendah-dalam-7-tahun; 28 Agustus 2018
CITAX; 2016; https://cita.or.id/news/citax/menanti-kebijakan-pemerintah-terhadap-
pemerataan-distribusi-pendapatan/; 28 Agustus 2018
Duwirahayu; 2016; http://duwirahayu1.blogspot.com/2016/11/pertumbuhan-ekonomi-dan-
distribusi.html; 28 Agustus 2018
Julyana, E; 2014; http://esterjulyana.blogspot.com/2014/05/kebijakan-pemerintah-dalam-
mengatasi.html; 28 Agustus 2018
OkezoneFinance; 2016;https://economy.okezone.com/read/2016/08/16/20/1465268/program-
program-jokowi-untuk-tekan-angka-kemiskinan-di-2017; 28 Agustus 2018
The World Bank; 2015; http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/08/indonesia-
rising-divide; 28 Agustus 2018

Anda mungkin juga menyukai