Anda di halaman 1dari 59

REFERAT

1
BAB I

PENDAHULUAN

Keluhan nyeri perut merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek
praktis sehari-hari. Diperkirakan hampir 60% kasus pada praktek umum dan 30% praktek
gastroenterologis merupakan kasus nyeri perut. Keluhan lain selain nyeri perut adalah rasa tidak
nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh di perut, sendawa,
regurgitasi dan dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan
atau didasari oleh berbagai penyakit tentunya termasuk pula penyakit lambung, yang
diasumsikan oleh orang awam seperti penyakit maag/lambung, Penyakit hepatitis, pancreatitis
kronik, kolesistitis kronik) merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan
gangguan patologis pada tukak peptic dan gastritis. Beberapa penyakit di luar system
gastrointestinal seperti gangguan infark miokard, penyakit tiroid, obat-obat dan sebagainya.1

Pada refrat ini akan dibahas penyakit saluran cerna atas sebagai ilmu tambahan yang akan
membahas penyakit yang berhubungan saluran cerna atas seperti disfagia, GERD, sindrom
dispepsia dan penyakit lainnya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. ANATOMI
Faring
Faring atau pharynx berasal dari bahasa yunani yang berarti tenggorok. Faring digunakan
sebagai saluran alat pernafasan.Pada manusia faring juga digunakan sebagai alat artikulasi
bunyi.Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi Nasofaring, Orofaring dan
Laringofaring.Fungsi faring yang utama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan artikulasi.Dan yang bagian faring yang digunakan saat menelan adalah orofaring dan
laringofaring.

b. Esophagus
Esofagus atau kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui
sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
esofagus dengan menggunakan proses peristaltik.

3
Esofagus bertemu dengan faring – yang menghubungkan esofagus dengan rongga mulut
pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian: bagian
superior (sebagian besar adalah otot rangka), bagian tengah (campuran otot rangka dan otot
halus), serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

Esofagus merupakan suatu organ berongga dengan panajang sekitar 25 cm dan


diameter 2 cm. Terbentang dari hipofaring atao laringofaring hingga bagian kardia dari
lambung. Esofagus terletak posterior dari trakea dan jantung, anterior terhadap vertebrae.
Esofagus terutama befungsi menghantarkan bahan makanan dari faring ke lambung.

Pada Esofagus terdapat beberapa tempat penyempitan yang dapat dilihat pada saat
dilakukan esofagoskopi. Penyempitan di bagian proksimal disebabkan oleh otot
krikofaring dan kartilago krikoid. Diameter transversal 23 milimeter dan antero-posterior
17 milimeter.3

4
Penyempitan kedua adalah pada sebelah kiri setinggi arkus aorta yang mentilang
esofagus. Didaerah ini dapat terlihat pulsasi aorta saat di lakukan esofagoskopi.
Penyempitan ketiga adalah pada dinding anterior kiri yang disebabkan oleh penekanan
bronkus kiri. Dan penyempitan keempat adalah pada saat esofagus menembus
diafragma.3
Pada kedua ujung esofagus terdapat sfingter. Dalam keadaan normal berada
dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada saat menelan. SEB (Sfingter esofagus
bawah) berfungsi sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke esofagus. Dalam
keadaan normal SEB menutup kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau
waktu bersendawa atau muntah.
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, mukosa, submukosa, muskularis dan
lapisan luar. Mukosa esofagus terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang
berlanjut ke faring, epitel ini mengalami perubahan pada perbatasan esofagus dan
lambung dan menjadi epitel selapis toraks. Mukosa esofagus dalam keadaan normal
bersifat alkalis dan tidak tahan terhadap isi lambung yang asam. Lapisan submukosa
mengandung sel sekretorius yang mengandung mukus. Mukus ini mempermudah
jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera kimia.
Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot
pada 5 % bagian atas esofagus merupakan otot rangka sedangkan pada separuh bagian
bawahnya merupakan otot polos. Dan diantaranya campuran otot polos dan otot rangka.
Bagian luar esofagus tidak memiliki lapisan serosa, melainkan terdiri dari lapisan
jaringan ikat jarang yang menghubungkan esofagus dengan struktur yang berdekatan.
Tidak adanya serosa menyebabkan penyebaran sel tumor lebih cepat.
Persyarafan esofagus dilakukan oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Serabut
simpatis dibawa oleh n.vagus yang merupakan saraf motorik esofagus. Fungsi serabut
simpatis kurang diketahui. Selain persarafn ekstrinsik tersebut, terdapat serabut saraf
intramural intrinsik diantara lapisan otot sirkular dan otot longitudinal (pleksus auerbach)
yang berfungsi sebagai mengatur peristaltik normal esofagus.
Bagian atas esofagus diperdarahi oleh cabang A. tiroidea inferior dan A.
subklavia. Bagian tengah dipendarahai oleh cabang segmental aorta dan A. Bronchiale,
sedangkan bagian subdiafragma disuplai oleh A. Gastrica sinistra. Vena esofagus daerah

5
leher mengalirkan darah ke v. azygos dan hemiazygos dan dibawah diafragma V.
esofagika ke dalam V. gastrika sinistra.
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di bawah
diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai bentuk J, dan bila penuh, berbentuk
seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai 2 liter. Secara anatomi
lambung terdiri dari :
a. Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri osteum kardium
dan biasanya penuh terisi gas.
b. Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardium, suatu lekukan pada bagian bawah kurvatura
minor.
c. Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot tebal membentuk
spinter pilorus.
d. Kurvatura minor, terdapat disebelah kanan lambung terbentang dari osteum kardiak
sampai pilorus.
e. Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi kiri osteum
kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju kanan sampai ke pilorus inferior.
Ligamentum gastro lienalis terbentang dari bagian atas kurvatura mayor sampai ke limpa.
f. Osteum kardiakum, merupakan tempat dimana eosofagus bagian abdomen masuk ke
lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik.
Lambung tersusun juga atas 4 lapisan , yakni :
a. Tunika Serosa (Lapisan luar)
Merupakan bagian dari peritonium viseralis. Dua lapisan peritonium viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke
hati membentuk omentum minus.omentum minus adalah tempat yang sering terjadi
penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat penyakit pankreatitis akut.
Lipatan peritonium yang keluar dari satu organ menuju organ lain disebut
ligamentum. Pada kurvatura mayor, peritonium terus ke bagian bawah membentuk
omentum majus yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron besar.
b. Muskularis
Terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan longitudinal (bagian luar), lapisan sirkular
(bagian tengah), dan lapisan oblik (bagian dalam). Susunan serabut otot yang unik ini

6
memungkinkan berbagai macam kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan
menjadi partikel – partikel yang kecil, mengaduk, dan mencampur makanan tersebut
dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke arah duodenum.
c. Submukosa
Tersusun atas areolar longgar yang menghubungkan lapisan mukosa dengan
lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak peristaltik. Lapisan ini
juga mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe.
d. Mukosa
Tersusun atas lipatan – lipatan longitudinal disebut rugae, yang memungkinkan
terjadinya distensi lambung sewaktu diisi makanan. Terdapat beberapa kelenjar pada
lapisan ini, yakni :
a. Kelenjar kardia, berada di dekat orifisium kardia dan menyekresiakn mucus.
b. Kelenjar fundus atau gastric,terletak di fundus dan pada hamper seluruh korpus
lambung. kelenjar gastri memiliki tiga tipe utama sel. Sel-sel parietal
menyekresikan HCl dan factor intrinsik. Factor intrinsik diperlukan untuk
absorbsi vitamin B12 di dalam usus halus. Kekurangan factor intrinsic akan
mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa. Sel-sel mukus (leher) ditemukan
di leher kelenjar fundus dan menyekresikan mukus.

1. FisiologiLambung
 Fungsi motorik lambung terdiri atas :
a. Menampung, menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedikit demi sedikit dicerna
dan bergerak pada saluran cerna. Menyesuaikan peningkatan volume tanpa menambah
tekanan dengan relaksasi reseptif otot polos, diperantarai oleh nervus vagus dan
dirangsang oleh gastrin.
b. Mencampur, memecahkan makanan menjadi partikel – partikel kecil dan mencampurnya
dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi lambung. Kontraksi
peristaltik diatur oleh suatu irama listrik intrinsik dasar.
c. Pengosongan lambung, diatur oleh pembukaan spinter pilorus yang dipengaruhi oleh
viskositas, volume, keasaman, aktivitas osmotik, keadaan fisik, serta oleh emosi, obat –
obatan, dan olah raga.

7
 Fungsi pencernaan dan sekresi
a. Pencernaan protein oleh pepsin dan HCl dimulai di sini; pencernaan karbohidrat dan
lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil peranannya.
b. Sintetis dari pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan, peregangan
antrum, alkalinisasi, dan rangsangan vagus.
c. Sekresi faktor intrinsik
d. Sekresi mukus, membentuk selubung yang melindungi lambung serta berfungsi
sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut.
e. Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi gel mukus, tampaknya berperan sebagai
barier dan asam lumen dan pepsin.

Getah Cerna Lambung


 HCl : untuk mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin, sebagai disinfektan,
serta merangsang pengeluaran sekretin dan kolesistokinin pada usus halus.
 Lipase : memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol.
 Renin : mengendapkan protein pada susu (kasein) dari air susu (ASI)
 Pepsin : memecah putih telur menjadi asam amino ( albumin dan pepton).
 Mukus : untuk melindungi dinding lambung dari kerusakan akibat asam HCl.

Pengaturan Sekresi Lambung


Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi fase sefalik, gastric, dan intestinal.
a. Fase sefalik, sudah dimulai bahkan sebelum makanan masuk ke lambung, yaitu akibat
melihat, mencium, dan memikirkan, atau mengecap makanan. Fase ini diperantarai
seluruhnya oleh saraf vagus dan dihilangkan dengan vagotomi. Sinyal neurogenik yang
menyebabkan fase sefalik berasal dari korteks serebsi atau pusat nafsu makan. Impuls
eferen kemudian dihantarkan melalui saraf vagus ke lambung. Hal ini mengakibatkan
kelenjar gastric terangsang untuk menyekresikan HCl, pepsinogen, dan menambah
mucus. Fase sefalik menghasilkan sekitar 10% dari sekresi lambung normal yang
berhubungan dengan makanan.
b. Fase gastric, dimulai saat makanan mencapai antrum pylorus. Distensi antrum juga dapat
menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari reseptor-resptor pada dinding lambung.

8
Impuls tersebut berjalan menuju medulla melalui aferen vagus dan kembali ke lambung
melalui eferen vagus; impuls ini merangsang pengeluaran hormone gastrin dan secara
langsung juga merangsang kelenjar-kelenjar lambung. Gastrin dilepas di antrum dan
kemudian dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar lambung, untuk merangsang sekresi.
Pelepasan gastrin juga dirangsang oleh pH alkali, garam empedu di antrum, dan terutama
oleh protein makanan dan alcohol. Membrane sel parietal di fundus dan korpus lambung
mengandung reseptor untuk gastrin, histamine, dan asetilkolin, yang merangsang sekresi
asam. Setelah makan, gastrin dapat beraksi dan juga dapat merangsang pelepasan
histamine dari sel enterokromafin dari mukosa untuk sekresi asam.
Fase sekresi gastric menghasilkan lebih dari duapertiga sekresi total lambung setelah
makan, sehingga merupakan bagian terbesar dari total sekresi lambung harian yang
berjumlah sekitar 2.000ml. fase gastric dapat terpengaruh oleh reseksi bedah pada antrum
pylorus, sebab disinilah pembentukan gastrin.

c. Fase intestinal, dimuali oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum. Fase sekresi
lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya protein yang tercerna sebagian
dalam duodenum merangsang pelepasan gastrin di usus, suatu hormone yang
menyebabkan lambung terus-menerus menyekresikan sejumlah kecil cairan lambung.
Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik, diperantarai oleh pleksus
mienterikus, saraf simpatis, dan vagus, yang menghambat sekresi dan pengosongan lambung.
Adanya asam (pH kurang dari 2,5), lemak, dan hasil-hasil pemecahan protein menyebabkan
lepasnya beberapa hormone di usus. Sekretin, koleksitokinin, dan peptida pengahambat
gastric, semuanya memiliki efek inhibisi terhadap sekresi lambung.

Tabel Kerja Gastrin


Kerja MaknaFisiologis

9
 Merangsangsekresiasamdan pepsin  Mempermudahpencernaan
 Merangsangsekresi factor intrinsic  Mempermudah absorbs vitamin B12
dalamusushalus
 Merangsangsekresienzim pancreas  Mempermudahpencernaan
 Merangsangpeningkatkanaliranempeduhati  Mempermudahpencernaan
 Merangsangpengeluaran insulin  Mempermudah metabolism glukosa
 Merangsangmotilitaslambungdanusus  Mempermudah pencampuran dan
pendorongan makanan yang telah ditelan
 Mempermudahrelaksasiresepitiflambung  Lambung dapat menambah volumenya
tanpa tanpa meningkatkan tekanan
 Meningkatkan tonus istirahat sfingter  Meningkatkan refluks lambung waktu
esophagus bagian bawah pencampuran dan pengadukan
 Menghambatpengosonganlambung  Memungkinkan pencampuran seluruh isi
lambung sebelum diteruskan ke usus

10
I. DISFAGIA

DEFINISI2,5

Keluhan kesulitan menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan atau penyakit
di orofaring dan esophagus. Keluhan ini timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-otot
menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung.

KLASIFIKASI DAN PATOFISIOLOGI5

Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas:

 Disfagia mekanik
Disfagia mekanis dapat disebakan oleh bolus makanan yang sangat besar, penyempitan
instrinsik atau kompresi ekstrinsik lumen lintasan untuk gerakan menelan. Pada orang
dewasa, lumen esophagus dapat mengembang hingga mencapai diameter 4 cm karena
elastisitas dinding esophagus tersebut. Jika esophagus tidak mampu berdilatasi hingga
melebihi diameter 2,5 cm, gejala disfagia dapat terjadi tetapi keadaan ini selalu terdapat
kalau diameter esophagus tidak dapat berdilatasi melebihi diameter 1,3 cm. lesi yang
melingkar lebih sering menimbulkan gejala disfagia daripada lesi yang mengenai
sebagian dari lingkaran dinding esophagus saja, mengingat segmen yang tidak terkena
tetap mempertahankan kemampuannya untuk mengadakan distensi.

Penyebab disfagia mekanik antara lain :5

1. Luminal
- Bolus makanan yang besar
- Benda asing
2. Penyempitan Intrinsik
- Keadaan inflamasi yang menyebabkan edema :
a. Faringitis
b. Epiglotitis
c. Esofagitis
 Virus
 Bakteri

11
 Fungus (kandida)
 Penyakit bulosa mukokutaneus
 Cedera termal dan kimia
- Selaput dan cincin
a. Faring : sindroma Plummer- Vinson
b. Esofagus : congenital, inflamasi
c. Cincin mukosa esophagus distal : cincin Schatzki
- Striktur benigna
a. Peptic
b. Inflamasi : penyakit Chron, Candidiasis, Lesi mukokutaneus
c. Iskemia
d. Pascaoperasi
e. Kongenital
- Tumor Maligna
a. Karsinoma primer
 Karsinoma sel skuamosa
 Adenokarsinoma
 Karsinosarkoma
 Pseudosarkoma
 Limfoma
 Sarcoma Kaposi
b. Karsinoma metastatic
- Tumor Benigna
a. Leiomioma
b. Lipoma
c. Angioma
d. Polip fibroid inflamatorik
e. Papiloma epithelial
3. Kompresi Ekstrinsik
- Spondilitis servikalis
- Abses dan Massa retrofaring

12
- Pembesaran kelenjar tiroid
- Divertikulum Zenker
- Kompresi Vaskuler
a. A. Subklavia Aberan kanan
b. Aorta sisi kanan
c. Aneurisma aorta
- Massa mediastinm posterior
- Hematoma dan fibrosis pascavagotomi

 Disfagia motorik5
Disfagia motorik dapat terjadi akibat kesulitan dalam memulai gerakan menelan atau
abnormalitas pada gerakan peristaltic dan akibat inhibisi deglutisi yang disebabkan oleh
penyakit pada otot lurik atau otot polos esophagus. Penyakit pada otot lurik meliputi
faring, sfingter esophagus bagian atas dan esophagus pars proksimal. Otot lurik
dipersarafi oleh komponen somatic nervus vagus dengan badan-badan sel lower motor
neuron yang terletak dalam nucleus ambigus. Neuron- neuron ini bekerja kolinergik serta
eksitatorik dan merupakan satu-satunya factor penentu aktivitas otot tersebut. Gerakan
peristaltic pada segmen otot lurik disebabkan oleh aktivasi sentral sekuensial neuron-
neuron yang menginervasi otot-otot pada tingkat yang berbeda-beda di sepanjang
esophagus.
Disfagia motorik faring terjadi akibat kelainan neuromuskuler yang menyebabkan
paralisisotot, kontraksi nonperistaltik simultan atau tertutupnya lubang pada sfingter
esophagus bagian atas. Hilangnya proses membuka sfingter atas disebabkan oleh paralisis
geniohioid dan otot suprahioid atau hilangnya inhibisi deglutif otot krikofaringeus.
Karena setiap sisi faring diinervasi oleh saraf ipsilateral, lesi motor neuron yang terjadi
hanya pada satu sisi menyebabkan paralisis faring unilateral. Meskipun lesi otot lurik
juga mengenai bagian servikal esophagus , manifestasi klinis gangguan fungsi faring
mengalihkan manifestasi akibat terkenanya esophagus.
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang berperan
dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan saraf otak n. V, n.
VII, n. IX, n. X dan n. XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta gangguan peristaltic

13
esophagus dapat menyebabkan disfagia. Penyebab utama dari disfagia motorik adalah
akalasia, spasme difus esophagus, kelumpuhan otot faring dan skleroderma esophagus.

Macam- macam penyebab disfagia motorik antara lain :5

1. Kesulitan dalam memulai reflex menelan :


- Lesi oral dan paralisis lidah
- Anesthesia orofaring
- Penurunan produksi saliva : sindroma Sjogren
- Lesi pada komponen sensorik nervus vagus dan glossofaringeus
- Lesi pada pusat menelan
2. Kelainan otot lurik faring dan esophagus
- Kelemahan otot
a. Lesi lower motor neuron (paralisis bulbar)
 Cerebrovascular accident
 Poliomyelitis, sindroma postpolio
 Amiotrofik lateral sklerosis
b. Neuromuskuler
 Miasthenia Gravis
c. Kelainan otot
 Poliomiositis
 Miopati : distrofi miotonik, miopati okulofaringeus
d. Paralisis Muskulus suprahioideus
e. Akalasia krikofaringeus
3. Kelainan pada otot polos esophagus
- Paralisis korpus esophagus yang menyebabkan kontraksi lemah
- Spasme esophagus yang difus
- Akalasia

 Disfagia oleh gangguan emosi

Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau tekanan
jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.

14
Berdasarkan lokasinya, disfagia dibagi atas:

 Disfagia orofaringeal
Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan bahan dari orofaringke dalam
kerongkongan, hal ini diakibatkan oleh fungsi abnormal dari proksimal ke kerongkongan. Pasien
mengeluh kesulitan memulai menelan, regurgita sinasal, dan aspirasi trakea diikuti oleh batuk.

Disfagia orofaringeal (Oropharyngeal dysphagia/OPD) terjadi ketika mekanisme


orofaringeal dalam proses menelan yang, dalam keadaan normal menjamin perjalanan lengkap
bolus dari mulut ke kerongkongan dan secara bersamaan melindungi jalan napas, menjadi
terganggu. Aspirasi pneumonia, malnutrisi, dan kualitas hidup berkurang dapat terjadi akibat
OPD. Walaupun terdapat banyak penyebab OPD, kecelakaan serebrovaskular merupakan
penyebab kasus terbanyak, dan pneumonia aspirasi merupakan penyebab umum kematian pada
pasien ini. Kondisi neurologis lain seperti penyakit Parkinson bertanggung jawab atas sejumlah
kasus OPD, dengan gangguan miopati dan lesi struktural yang menjadi sebagian besar penyebab
lainnya. Meskipun segudang penyebab OPD, hasil akhir patofisiologis jatuh ke salah satu dari
dua kategori yang saling terkait: 1) kelainan transfer bolus, dan 2) kelainan perlindungan jalan
napas. Kelainan transfer bolus dapat dikelompokkan lagi ke dalam yang disebabkan oleh:
1)Kegagalanpompaorofaringeal,2)gangguan koordinasi oral/faring, dan 3)obstruksialiran
keluarfaring.

Gangguan menelan dapat terjadi pada ketidaknormalan setiap organ yang berperan dalam
proses menelan. Dampak yang timbul akibat ketidaknormalan fase oral antara lain: 5,6,7

1. Keluar air liur (drooling = sialorrhea) yang disebabkan gangguan sensori dan motorik
pada lidah, bibir dan wajah.

2. Ketidaksanggupan membersihkan residu makanan di mulut dapat disebabkan oleh


defisiensi sensori pada rongga mulut dan/atau gangguan motorik lidah.

3. Karies gigi yang mengakibatkan gangguan distribusi saliva dan meningkatkan sensitivitas
gigi terhadap panas, dingin dan rasa manis.

4. Hilangnya rasa pengecapan dan penciuman akibat keterlibatan langsung dari saraf
kranial.

15
5. Gangguan proses mengunyah dan ketidaksanggupan memanipulasi bolus.

6. Gangguan mendorong bolus ke faring.

7. Aspirasi cairan sebelum proses menelan dimulai yang terjadi karena gangguan motorik
dari fungsi lidah sehingga cairan akan masuk ke faring sebelum refleks menelan muncul.

8. Rasa tersedak oleh batuk pada saat fase faring.

Sedangkan dampak ketidaknormalan pada fase faringeal adalah chocking, coughing dan
aspirasi.

Gejala disfagia orofaringeal adalah ketidakmampuan untuk menjaga bolus dalam rongga
mulut, kesulitan mengumpulkan bolus dibelakang lidah, ragu-ragu atau ketidakmampuan untuk
memulai menelan, makanan menempel di tenggorokan, regurgitasi nasal, ketidakmampuan untuk
mendorong bolus makanan ke dalam faring, kesulitan menelan makanan padat, sering menelan
berulang-ulang, sering membersihkan tenggorokan, suara berkumur (gargly voice) setelah
makan, suara serak, suara bindeng (nasal speech) dan disartria, batuk saat menelan: sebelum,
selama, atau setelah menelan, menghindari makan bersama orang lain, berat badan menurun dan
pneumonia berulang.8,9

 Disfagia esophageal
Disfagia esophagus adalah kesulitan transportasi makanan kekerongkongan. Hal ini
diakibatkan oleh gangguan motilitas baik atau obstruksi mekanis. Disfagia esofagus mengacu
pada sensasi makanan menempel atau mendapatkan digantung di pangkal tenggorokan atau dada.
Penyebab umum dari disfagia esofagus meliputi :

 Akalasia. Hal ini terjadi ketika otot esophagus bawah (sfingter) tidak benar-benar rileks
untuk membiarkan makanan masuk ke lambung. Otot-otot di dinding esofagus sering
lemah juga. Hal ini dapat menyebabkan regurgitasi makanan belum tercampur dengan isi
perut, kadang-kadang menyebabkan untuk membawa makanan kembali ke dalam
tenggorokan.

 Proses penuaan. Dengan usia, kerongkongan cenderung kehilangan beberapa kekuatan


otot dan koordinasi yang diperlukan untuk mendorong makanan ke dalam perut.

16
 Spasme difus. Kondisi ini menghasilkan beberapa, tekanan tinggi, kontraksi kurang
terkoordinasi kerongkongan biasanya setelah menelan. Spasme difus pada esofagus
adalah gangguan langka yang mempengaruhi otot polos di dinding esofagus bawah
secara involunter. Kontraksi sering terjadi sesekali, dan mungkin menjadi lebih parah
selama periode tahun.

 Striktur esofagus. Penyempitan kerongkongan (striktur) menyebabkan potongan besar


makanan tidak dapat lewat. Persempitan lumen ini mungkin akibat dari pembentukan
jaringan parut, sering disebabkan oleh penyakit gastroesophageal reflux (GERD), atau
dari tumor.

 Tumor. Kesulitan menelan cenderung untuk mendapatkan semakin buruk ketika terdapat
tumor esofagus.

 Benda asing. Terkadang, makanan, seperti sepotong besar daging, atau objek lain dapat
menjadi tersangkut di tenggorokan atau kerongkongan. Orang dewasa dengan gigi palsu
dan orang-orang yang mengalami kesulitan mengunyah makanan mereka dengan baik
mungkin lebih cenderung memiliki gangguan pada tenggorokan atau kerongkongan.
Anak-anak mungkin akan menelan benda-benda kecil, seperti peniti, koin atau potongan
mainan, yang dapat menjadi terjebak.

 Cincin esofagus. Pada daerah ini terdapat penyempitan di esofagus bagian bawah yang
dapat menyebabkan kesulitan menelan makanan padat.

 Gastroesophageal reflux disease (GERD). Kerusakan jaringan esofagus dari asam


lambung yang naik (refluks) ke dalam kerongkongan dapat menyebabkan spasme atau
jaringan parut dan penyempitan kerongkongan bawah membuat sulit menelan.

 Eosinofilik esofagitis. Kondisi ini, disebabkan oleh kelebihan populasi sel yang disebut
eosinofil di kerongkongan, dapat menyebabkan kesulitan menelan. Ini mungkin terkait
dengan alergi makanan, tetapi sering tidak ada penyebab yang ditemukan.

 Scleroderma. Penyakit ini ditandai oleh perkembangan bekas luka-seperti jaringan,


menyebabkan kekakuan dan pengerasan jaringan. Hal ini dapat melemahkan lower

17
esophageal sphincter, sehingga asam lambung dapat refluks ke kerongkongan dan
menyebabkan gejala dan komplikasi mirip dengan GERD.

 Terapi radiasi. Hal ini pengobatan kanker dapat menyebabkan peradangan dan jaringan
parut pada kerongkongan, yang dapat menyebabkan kesulitan menelan.

Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang berperan dalam
proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Keberhasilan
mekanisme menelan ini tergantung dari beberapa faktor, yaitu:8

1. Ukuran bolus makanan

2. Diameter lumen esophagus yang dilalui bolus

3. Kontraksi peristaltik esophagus

4. Fungsi sfingter esophagus bagian atas dan bagian bawah

5. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah

Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuromuskular mulai dari
susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring dan uvula, persarafan
ekstrinsik esophagus serta persarafan intrinsic otot-otot esophagus bekerja dengan baik, sehingga
aktivitas motorik berjalan lancar. Kerusakan pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan
aktivitas komponen orofaring, otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas. Oleh
karna otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti
motor N. Vagus, maka aktivitas peristaltik esophagus masih tampak pada kelainan di otak.
Relaksasi sfingter esophagus bagian bawah terjadi akibat perenggangan langsung dinding
esophagus.9,10

DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis yang cermat untuk menentukan


diagnosis kelainan atau penyakit yang menyembabkan timbulnya disfagia. Jenis makanan yang
menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi kelainan yang terjadi. Pada disfagia mekanik

18
mula-mula kesulitan menelan hanya terjadi pada waktu menelan makanan padat. Bolus makanan
tersebut kadang-kadang perlu didorong dengan air dan pada sumbatan yang lebih lanjut, cairan
pun akan sulit ditelan. Bila sumbatan ini terjadi secara progresif dalam beberapa bulan, maka
harus dicurigai kemungkinan adanya proses keganasan di esophagus. Sebaliknya pada disfagia
motorik, yaitu pasien akalasia dan spasme difus esophagus, keluan sulit menelan makanan padat
dan cairan terjadi dalam waktu yang bersamaan.

Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan gambaran yang lebih jelas
untuk diagnostik. Disfagia yang hilang dalam beberapa hari dapat disebabkan oleh peradangan.
Disfagia yang terjadi dalam beberapa bulan dengan penurunan berat badan yang cepat dicurigai
adanya keganasan di esophagus. Bila disfagia ini berlangsung bertahun-tahun untuk makanan
padat perlu dipikirkan adanya kelainan yang bersifat jinak atau di esophagus bagian distal (lower
esophageal muscular ring).

Lokasi rasa sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan kelainan esophagus bagian
torakal, tetapi bila sumbatan terasa di leher, maka kelainannya dapat di faring atau esophagus
bagian servikal.

Gejala lain yang menyertai disfagia, seperti masuknya cairan ke dalam hidung waktu
minum menandakan adanya kelumpuhan otot-otot faring.8

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan daerah leher dilakukan untuk melihat dan meraba adanya massa tumor atau
pembesaran kelenjar limfe yang dapat menekan esophagus. Daerah rongga mulut perlu diteliti,
apakah ada tanda-tanda peradangan orofaring dan tonsil selain adanya massa tumor yang dapat
mengganggu proses menelan. Selain itu diteliti adanya kelumpuhan otot lidah dan arkus faring
yang disebabkan oleh gangguan pusat menelan maupun pada saraf otak n. V, n.VII, n.IX, n.X
dan n.XII. pembesaran jantung sebelah kiri, elongasi aorta, tumor bronkus kiri dan pembesaran
kelenjar limfe mediastinum juga dapat menyebabkan keluhan disfagia.8

PEMERIKSAAN PENUNJANG 8,11

1. RADIOLOGI

19
Pemeriksaan penunjang foto polos esophagus dan yang memakai zat kontras,
dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan esophagus. Pemeriksaan ini tidak
invasif. Dengan pemeriksaan fluoroskopi, dapat dilihat kelenturan dinding esophagus,
adanya gangguan peristaltic, penekanan lumen esophagus dari luar, isi lumen esophagus
dan kadang-kadang kelainan mukosa esophagus.
Pemeriksaan kontras ganda dapat memperlihatkan karsinoma stadium dini. Untuk
memperlihatkan adanya gangguan motilitas esophagus dibuat cine-film atau video
tapenya. Tomogram dan CT scan dapat mngevaluasi bentuk esophagus dan jaringan di
sekitarnya.
MRI dapat membantu melihat kelainan di otak yang menyebabkan disfagia motorik
2. ESOFAGOSKOPI
Tujuan tindakan esofagoskopi adalah untuk melihat langsung isi lumen esophagus
dan keadaan mukosanya. Diperlukan alat esofagoskop yang kaku (rigid esophagoscope)
dam esofagoskop yang lentur (flexible fiberoptic esophagoscope). Karena pemeriksaan
ini bersifat invasif maka perlu persiapan yang baik. Dapat dilakukan anestesi local atau
umum.
3. PEMERIKSAAN MANOMETRIK
Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motorik esophagus.
Dengan mengukur tekanan dalam lumen esophagus dan tekanan sfingter esophagus dapat
dinilai gerakan peristaltik secara kualitatif dan kuantitatif.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan disfagia tergantung pada masing-masing diagnosis penyakit penyebab


keluhan disfagia tersebut, karena disfagia hanya suatu gejala yang dikeluhkan dari sala satu
manifestasi klinis dari suatu penyakit (underlying disease). Pada gangguan menelan akibat
adanya massa, striktur, akalasia dll biasanya dilakukan terapi operatif. Namun pada gangguan
menelan akibat peradangan dapat diberikan penatalaksanaan medikamentosa, seperti obat
analgesic antipiretik dan anti inflamasi.11

20
II. DISPEPSIA

DEFINISI

Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut
rasa penuh atau begah.27

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-), berarti sulit, dan (Pepse),berarti pencernaan
(N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari
rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam
lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia.28

Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh suatu
kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang terdiri dari keluhan - keluhan yang
disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang dapat berupa mual atau
muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium atau nyeri retrosternal dan ruktus,
yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia merupakan suatu sindrom
klinik yang bersifat kronik.29

Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan gastritis. Hal ini
sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa patologik, dan tidak semua dispepsia
disebabkan oleh gastritis dan tidak semua kasus gastritis yang terbukti secara patologi anatomik
disertai gejala dispepsia. Karena dispepsia dapat disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam
menghadapi sindrom klinik ini penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.30

Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :

1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai


penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh
misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, dan lain-
lain.31,32,33

2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila tidak jelas
penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ

21
berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi setelah 3 bulan dengan
gejala dispepsia.27

Manifestasi Klinis

Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi

dispepsia menjadi tiga tipe :

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:

a. Nyeri epigastrium terlokalisasi


b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan gejala:

a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. e.Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).20

ETIOLOGI

Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.

Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotic,
digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis,
pancreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit
jantung koroner.

22
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya
kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu dispepsia fungsional atau
dispepsia non ulkus.30

Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi

A. Organik

1. Obat-obatan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides,


metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid,
Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine, Theophiline.33

2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)


a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk kedelai
dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi

 Produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein.

 Bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat.

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit dasarnya,


misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa mentoleransi makanan
berlemak, jeruk dengan pH yang relatif rendah sering memprovokasi gejala pada pasien
ulkus peptikum atau esophagitis.20

3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus

 Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia

 Akhalasia

 Obstruksi esophagus

b. Penyakit gaster dan duodenum

23
 Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit keras
(stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock

 Ulkus gaster dan duodenum

 Karsinoma gaster

c. Penyakit saluran empedu

 Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis

 Kholesistitis

d. Penyakit pankreas

 Pankreatitis

 Karsinoma pankreas

e. Penyakit usus

 Malabsorbsi

 Obstruksi intestinal intermiten

 Sindrom kolon iritatif

 Angina abdominal

 Karsinoma kolon

4. Penyakit metabolik / sistemik

a. Tuberculosis

b. Gagal ginjal

c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar

d. Diabetes melitius

24
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid

f. Ketidakseimbangan elektrolit

g. Penyakit jantung kongestif

5. Lain-lain

a. Penyakit jantung iskemik

b. Penyakit kolagen 25-11

B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus

Dispepsia fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau organik atau
metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.Termasuk ini adalah
dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan motilitas diantaranya; waktu pengosongan
lambung yang lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks
gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam
lambung yaitu kenaikan asam lambung.
Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia
fungsional.29
Kelainan non organik saluran cerna:
o Gastralgia
o Dispepsia karena asam lambung
o Dispepsia flatulen
o Dispepsia alergik
o Dispepsia essensial
o Pseudoobstruksi intestinal kronik
o Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
o Psikogen : Histeria, psikosomatik

25
PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut mungkin
berperan penting (multifaktorial):

 Abnormalitas Motorik Gaster

Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia non
ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula
pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi
hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas.Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung jawab terhadap
sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna
makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari
corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga
pengisian bagian antrum terlalu cepat.29

 Perubahan sensifitas gaster

Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap distensi gaster
atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit mengiritasi seperti
makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini
bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.29

 Stres dan faktor psikososial

Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas psikiatri


lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus daripada subyek kontrol
yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia.
Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal,
berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus
menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan
tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan
non-gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih.

26
Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan
mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula
bila dibandingkan orang normal. Gambaran psikologik dispepsia non ulkus ditemukan
lebih banyak ansietas, depresi dan neurotik.29

 Gastritis Helicobacter pylori

Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis non-erosif


non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran histologik yang ada
tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosa
endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori sangat sulit karena sering kali
gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi
gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran
endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah:

a. Erosi kronik di daerah antrum.

b. Nodularitas pada mukosa antrum.

c. Bercak-bercak eritema di antrum.

d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.29

Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase, oksidase,
alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease, dan musinase. Enzim protease
dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein dan fosfolipid yang menutup mukosa lambung. H.
Pylori juga mengeluarkan toksin yang beperan dalam peradangan dan reaksi imun local.

Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa mekanisme.


Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai pembentuk prostaglandin
dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor defensif mukosa lambung yang sangat
penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi
karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel
mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung,
sehingga kemampuan faktor defensif terganggu.32

27
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus, lambung
ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak
meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus.
Ulkus kronik berbeda dengan ulkus akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar ulkus.
Menurut definisi, ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena
getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga
jejunum.33

Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan duodenum. Obat anti
inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan perubahan kualitatif mucus lambung yang
dapat mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin. Prostaglandin yang terdapat dalam
jumlah berlebihan dalam mucus gastric dan tampaknya berperan penting dalam pertahanan
mukosa lambung.33

Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat lain yang merosak mukosa lambung
mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida yang
mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan,
merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler
terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang.
Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan perdarahan.
Sawar mukosa tidak dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik
dihambat oleh gastrin.33

Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam patogenesis
ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena mukosa antrum lebih rentan
terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain itu, kadar asam yang rendah dalam analisis
lambung pada penderita ulkus peptikum diduga disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan
bukan disebabkan oleh produksi yang berkurang. 33

Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat fungsi kelenjar
Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus) yang memproduksi sekret mukoid
yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk menetralkan kimus asam. Penderita ulkus peptikum
sering mengalami sekresi asam berlebihan. Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat
dalam ulkus peptikum. Daya tahan jaringan juga bergantung pada banyaknya suplai darah dan

28
cepatnya regenerasi sel epitel (dalam keadaan normal diganti setiap 3 hari). kegagalan
mekanisme ini juga berperan dalam patogenesis ulkus peptikum. 33

29
30
GEJALA KLINIK

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis
sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atasjangka waktu
tiga bulan.

Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengansendawa
dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapatmemperburuk
nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya.Gejala lain meliputi nafsu
makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi(perut kembung).26

Dispepsia Organik

a. Dispepsia Ulkus

Dispepsia ulkus merupakan bagian penting dari dispepsia organik. Di negara negara
barat prevalensi ulkus lambung lebih rendah dibandingkan dengan ulkus duodeni. Sedang di
negara berkembang termasuk Indonesia frekuensi ulkus lambung lebih tinggi. Ulkus
lambung biasanya diderita pada usia yang lebih tinggi dibandingkan ulkus duodeni.14

Gejala utama dari ulkus peptikum adalah hunger pain food relief. Untuk ulkus
duodeni nyeri umumnya terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan, dan penderita sering
terbangun di tengah malam karena nyeri. Tetapi banyak juga kasus kasus yang gejalanya
tidak jelas dan bahkan tanpa gejala. Pada ulkus lambung seringkali gejala hunger pain food
relief tidak jelas, bahkan kadang kadang penderita justru merasa nyeri setelah makan.15

Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama ulkus duodenum adalah infeksi H.


pylori, dan ternyata sedikitnya 95% kasus ulkus duodeni adalah H. pylori positif, sedang
hanya 70% kasus ulkus lambung yang H. pylori positif.13

ANAMNESIS

Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, dimulakan pertanyaan atau anamnesis dengan
lengkap. Berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan terjadi keluhan, adakah berkaitan
dengan konsumsi makanan? Adakah pengambilan obat tertentu dan aktivitas tertentu dapat
menghilangkan keluhan atau memperberat keluhan? Adakah pasien mengalami nafsu makan
menghilang, muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau nyeri dada?11
31
Pasien juga ditanya, adakah ada konsumsi obat – obat tertentu? Atau adakah dalam masa
terdekat pernah operasi? Adakah ada riwayat penyakit ginjal, jantung atau paru? Adakah pasien
menyadari akan kelainan jumlah dan warna urin 13
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan jamu yang dijual
bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan
jenis makanan tertentu perlu diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia,
berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang
sangat sering, hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan besar adalah merupakan
penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau "USG" atau "CT
Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus,
pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.13

Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya: masalah
anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua, mertua,
tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar,
cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, pindah jabatan, tidak naik
pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.25

Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus peptikum
biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna makanan
tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan
pada ulkus duodenum. Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk
setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik
(bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut.
Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus,
gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan
sering terjadi pada ulkus duodenum. Pasien dispepsia non ulkus lebih sering mengeluhkan gejala
di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik. 22,
26-21

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:

32
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi (leukositosis),
pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 19-9, AFP).Biasanya
meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine.
Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti
kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa
petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma
pankreas perlu diperiksa CA 19-9. 12

2.Barium enema untuk memeriksa esophagus, Lambung atau usus halus dapatdilakukan pada
orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunanberat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderitamakan. Pemeriksaan ini dapat
mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya
tukak atau gambaran ke arah tumor.11,13,25

3.Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus


halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung
terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain
sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.12,13,17 Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk
dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms, yaitu
adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi,
muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama, dan terjadi pada usia lebih dari
45tahun.12

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:

a. CLO (rapid urea test)

b. Patologi anatomi (PA)

c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan

d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian15

33
4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan
kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersediadi
Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan
sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang
meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke
intestin.Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut
niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang
jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di lambung secara
radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker,
bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan
terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari
intestin terutama di jejunum yang disebut sentina loops.32

5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi esofagus atau respon
esofagus terhadap asam.

34
.10

Management of dyspepsia based on age and alarm features. EGD, esophagogastroduodenoscopy.

2.9 DIAGNOSIS

Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak dapat membedakan antara dispepsia


fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis yang telah
ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus disingkirkan
melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan
35
endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung
dan duodenum. Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada
saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan anatomis.
Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan penyebab dispepsia seperti
diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu
diperiksa pertanda tumor.32,33

Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III yaitu:

1. berasa terganggu setelah makan

2. cepat kenyang

3. nyeri epigastrik

4. panas/ rasa terbakar di epigastrik

Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang dapat
menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut.

Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala klinis sekurang-
kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.31

PENATALAKSANAAN

Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996, ditetapkan


skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli
(gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi denganpenatalaksanaan dispepsia
di masyarakat. Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:

1. Antasid

2. Antikolinergik

3. Antagonis reseptor H2

4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).

36
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi
asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan
pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2 dan 5 hari supaya
sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal,
digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol.30

5. Sitoprotektif

6. Golongan prokinetik

7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori

III. GASTRITIS
Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat akut, kronik difus, atau
lokal dengan karakteristik anoreksia, rasa penuh, tidak enak pada epigastrium, mual dan muntah.
Gastritis merupakan sutau keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat
bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama
pada lapisan mukosa gaster. Gastritis adalah peradangan lokal atau penyebaran pada mukosa
lambung dan berkembang dipenuhi bakteri.

Klasifikasi
1. Gastritis Akut
Definisi
 Proses peradangan mukosa akut, biasanya bersifat transien.
 Peradangan superficial akibatterpaparolehzatiritantseperti alcohol, aspirin, steroid,
asamempeduatauterinfeksioleh Helicobacter Pylori.
 Peradangan pada mukosa lambung yang menyebabkan erosi dan perdarahan mukosa
lambung dan setelah terpapar pada zat iritan. Erositidakmengenailapisanototlambung.
Klasifikasi
a. Gastritis stress akut
yaitu disebabkan akibat pembedahan besar, luka, trauma, luka bakar atau infeksi berat
yang menyebabkan gastritis serta perdarahan pada lambung.
b. Gastritis erosife hemoragik difus
37
Biasanya terjadi pada peminum berat dan pengguna aspirin, dan dapat menyebabkan
perlunya reseksi lambung. Penyakit yang serius ini akan dianggap sebagai ulkus akibat
stress, karena keduanya memiliki banyak persamaan.
Etiologi
- Kesembronoan diit, misalnya: makan terlalu banyak, terlalu cepat, makan makanan yang
terlalu banyak bumbu, atau makanan yang terinfeksi
- Alkohol
- Aspirin
- Refluksempedu
- Terapiradiasi
Manifestasi Klinis
1. Dapat terjadi ulserasi superficial dan mengarah pada hemoragi
2. Rasa tidak nyaman pada abdomen dengan sakit kepala, kelesuan, mual, dan anoreksia.
Mungkinterjadimuntahdancegukan
3. Beberapapasienmenunjukkanasimptomatik
4. Dapat terjadi kolik dan diare jika makanan yang mengiritasi tidak dimuntahkan, tetapi
malah mencapai usus
5. Pasien biasanya pulih kembali sekitar sehari, meskipun napsu makan mungkin akan
hilang selama 2 sampai 3 hari

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah. Tes ini digunakan untuk memeriksa adanya antibodi H. pylori dalam
darah. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa pasien pernah kontak dengan bakteri pada
suatu waktu dalam hidupnya, tapi itu tidak menunjukkan bahwa pasien tersebut terkena infeksi.
Tes darah dapat juga dilakukan untuk memeriksa anemia, yang terjadi akibat pendarahan
lambung akibat gastritis.
Pemeriksaan pernapasan. Tes ini dapat menentukan apakah pasien terinfeksi oleh bakteri H.
pylori atau tidak.
Pemeriksaan feces. Tes ini memeriksa apakah terdapat H. pylori dalam feses atau tidak. Hasil
yang positif dapat mengindikasikan terjadinya infeksi. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap
adanya darah dalam feces. Hal inimenunjukkanadanyapendarahanpadalambung.

38
Endoskopi saluran cerna bagian atas. Dengan tes ini dapat terlihat adanya ketidak normalan
pada saluran cerna bagian atas yang mungkin tidak terlihat dari sinar-X. Tes ini dilakukan
dengan cara memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan
masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih
dahulu dimati-rasakan (anestesi) sebelum endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien
merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat
mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan tersebut. Sampel itu
kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini memakan waktu kurang lebih 20
sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi
harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam. Hampir
tidak ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi adalah rasa tidak nyaman pada
tenggorokan akibat menelan endoskop.
Ronsen saluran cerna bagian atas. Tes ini akan melihat adanya tanda-tanda gastritis atau
penyakit pencernaan lainnya. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih dahulu
sebelum dilakukan ronsen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas
ketika di ronsen.

PENATALAKSANAAN
Gastritis Akut
1. Pemberianantasida
 Mengatasi perasaan bengah (penuh) dan tidak enak di abdomen dan menetralisir
asam lambung dengan meningkatkan pH lambung sekitar 4-6.
2. Gastrektomi
 Pembedahan gaster dengan indikasi yang absolut.
Untuk klien dengan keluhan mual dan muntah dianjurkan untuk bedrest dengan status
NPO (nothing per oral), pemberian antimietik, dan pemasangan infus untuk
mempertahankan cairan tubuh.
o Bila muntah berlanjut, maka dipertimbangkan pemasangan NGT (Nasogastric
Tube)
o Klien yang mengalami anemia pernisiosa, maka diberikan injeksi intravena
cobalamin.

39
o Klien yang merupakan pengguna aspirin atau antiinflamasi nonsteroid dapat
dicegah dengan misoprostol, suatu derivat prostaglandin mukosa.

IV. GERD (Gastroesofageal refluks disease )


Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD ) adalah suatu
keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.Refluks gastroesofageal adalah
fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi
pada posisi tegak sewaktu habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi
peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini
tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila
refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. 34

Epidemiologi

Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat, namun dilaporkan relatif
rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di amerika di laporkan satu dari lima orang dewasa mengalami
gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali
dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara negara non-western prevalensinya
lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya
mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien
yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.35

GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya
GERD adalah 2:1 sampai 3:1(4). GERD pada negara berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia
dewasa antara 60-70 tahun merupakan usia yang seringkali mengalami GERD.

Etiologi36
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan anatomi yang
berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi

40
relaksasi transien dan tonus Lower Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance
esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum, baik asam
lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta faktor-faktor
pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks
esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan
mukosa pada pasien GERD. Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD :

1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)

Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan penting untuk
mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir selalu disertai GERD yang cukup
berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan
inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar
proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi kuman
Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat memperberat keadaan.Faktor
hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES.

2. Mekanisme pembersihan esofagus


Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme, yaitu gaya
gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses
membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung
dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan
cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5
mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam yang
masih tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh
karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur paling
merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses
menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi
untuk proses pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu
proses pembersihan tersebut.

Patofisiologi37
Penyakit GERD bersifat multifactorial.3,4 GERD dapat merupakan gangguan fungsional (90%)
dan gangguan struktural (10%).Gangguan fungsional lebih pada disfungsi SEB dan gangguan struktural
pada kerusakan mukosa esophagus.Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi

41
kontak yang cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat dari
resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak terlalu
lama. Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan,
kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.

Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi
Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan, kecuali pada saat
terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau sendawa).Aliran balik gaster ke
esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter esofagus bawah. Beberapa keadaan seperti
obesitas dan pengosongan lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus
bawah. Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg.Sedangkan pada orang normal 25-35
mmHg.

Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya
dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau
melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara
esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung
mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut
tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter
esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring,
laring, mulut atau nasofaring.

Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.

1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,


2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.4 Yang
termasuk faktor defensif dari refluks adalah:

Manifestasi Klinik38

Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan oleh penderita
Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas membakar atau mengiris dan umumnya
timbul dibelakang bawah ujung sternum. Penjalarannya umunya keatas hingga kerahang bawah dan ke

42
epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan kiri yang menyerupai pada angina pektoris.Timbulnya
keluhan ini akibat ransangan kemoreseptor pada mukosa.Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa,
mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat kenyang.Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi
membungkuk kedepan berbaring terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat
ditanggulangi terutama dengan pemberian antasida.

Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang terkandung
dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit
dimulut merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi
sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-
menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni. Peningkatan tekanan
intraabdomal yang timbul karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi
terjadinya regurgitasi. Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan
tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak nafas, karies gigi dan
aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang
kuat tapi jarang menghasilkan sputum

Diagnosis

Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan penunjang
lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :

Endoskopi saluran cerna bagian atas

a. Klasifikasi Los Angeles4


Derajat kerusakan Endoskopi

A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5


mm

43
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter
>5mm tanpa saling berhubungan

C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau


mengelilingi seuruh lumen

D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/


mengelilingi seluruh lumen esofagus.

b. Klasifikasi Savary-Miller12

GRADE Deskripsi endoskopi

I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus

II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.


Erosi dapat bergabung

III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal

IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus

V Barrett’s ephitelium

Esofagografi dengan Barium

Pemantauan pH 24 jam

Tes Bernstein

Pemeriksaan manometri

Scintigrafi Gastroesofageal

Tes supresi asam

44
Komplikasi

Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada GERD.
Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura esofagus dan esofagus
Barret7,9.

 Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50% pasien
GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan esophagus.9
 Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks.9 Hal ini
ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction.Striktur timbul pada
10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan
padat.Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barier
refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm. Komplikasi ini dapat
diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat dilakukan operasi.
 Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi epitel kolumnar
metaplastik.9 Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma esophagus.11 Esofagus Barrett
ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus
Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan regurgutasi.Pada 1/3
kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini diduga karena sensitivitas epitel Barrett
terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya segmen yang
panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke proksimal melampaui
“gastroesophageal junction” dan tampak kontras sekali dengan epitel skuamosa yang pucat dan
mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan medikamentosa.

Tatalaksana
Terapi Medikamentosa

Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step
up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis
reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi
asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan

45
step down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat
dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau
prokinetik atau bahkan antasid.

Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis dibandingkan
dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus asia pasifik tahun 2003 tentang
tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai terapi lini pertama dan digunakan
pendekatan step down.3,4,5

Antasid

Antagonis Reseptor H2

Obat prokinetik

Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)

Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.

Gejala khas GERD

Umur <40 tahun


Umur >40 tahun

PPI tes/ terapi empiris

Gejala Respon baik


menetap/berulang

Endoskopi Terapi minimal 4minggu

kekambuhan Terapi on demand


Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki fasilitas diagnostik
memadai.

Terduga kasus
GERD
46

Tidak Diselidik
V. Hematemesis Melena 38,39,40,41,42
Penyakit Peptic Ulcer
Di Amerika Serikat, PUD (Peptic Ulcer Disease) dijumpai pada sekitar 4,5 juta orang
pada tahun 2011. Kira-kira 10 % dari populasi di Amerika Serikat memiliki PUD. Dari
sebahagian besar yang terinfeksi H pylori, prevalensinya pada orang usia tua 20%. Hanya sekitar
10% dari orang muda memiliki infeksi H pylori; proporsi orang-orang yang terinfeksi meningkat
secara konstan dengan bertambahnya usia. (Anand, B.S., 2011). Secara keseluruhan, insidensi
dari duodenal ulcers telah menurun pada 3-4 dekade terkahir. Walaupun jumlah daripada simple
gastric ulcer mengalami penurunan, insidensi daripada complicated gastric ulcer dan opname
tetap stabil, sebagian dikarenakan penggunaan aspirin pada populasi usia tua. Jumlah pasien
opname karena PUD berkisar 30 pasien per 100,000 kasus.
Prevalensi kemunculan PUD berpindah dari yang predominant pada pria ke frekuensi
yang sama pada kedua jenis kelamin. Prevalensi berkisar 11-14 % pada pria dan 8-11 % pada

47
wanita. Sedangkan kaitan dengan usia, jumlah kemunculan ulcer mengalami penurunan pada
pria usia muda, khususnya untuk duodenal ulcer, dan jumlah meningkat pada wanita usia tua.

Stress Ulcer
Dari buku “Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology” dikatakan bahwa
hingga saat ini masih belum dipahami bagaimana terjadinya stress ulcer, tetapi banyak dikaitkan
dengan hipersekresi daripada asam pada beberapa pasien, mucosal ischemia, dan alterasi pada
mucus gastric.
Medication-Induced Ulcer
Berbagai macam pengobatan berperan penting dalam perkembangan daripada penyakit
peptic ulcer dan perdarahan saluran cerna bahagian atas akut. Paling sering, aspirin dan NSAIDs
dapat menyebabkan erosi gastroduodenal atau ulcers, khususnya pada pasien lanjut usia.
Mallory-Weiss Tear
Mallory- Weiss Tear muncul pada bagian distal esophagus di bagian gastroesophageal
junction. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah melibatkan esophageal venous atau
arterial plexus. Pasien dengan hipertensi portal dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan
oleh Mallory-Weiss Tear dibandingkan dengan pasien hipertensi non-portal. Sekitar 1000 pasien
di University of California Los Angeles datang ke ICU dengan perdarahan saluran cerna
bahagian atas yang berat, Mallory-Weiss Tear adalah diagnosis keempat yang menyebabkan
perdarahan saluran cerna bahagian atas, terhitung sekitar 5 % dari seluruh kasus.
Gastroesophageal Varices
Esophageal varices dan gastric varices adalah vena collateral yang berkembang sebagai
hasil dari hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental portal. Beberapa penyebab dari
hipertensi portal termasuk prehepatic thrombosis, penyakit hati, dan penyakit postsinusoidal.
Hepatitis B dan C serta penyakit alkoholic liver adalah penyakit yang paling sering menimbulkan
penyakit hipertensi portal intrahepatic di Amerika Serikat.
Pengaruh Obat NSAIDs
Penggunaan NSAIDs merupakan penyebab umum terjadi tukak gaster. Penggunaan obat
ini dapat mengganggu proses peresapan mukosa, proses penghancuran mukosa, dan dapat
menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang dewasa yang menggunakan NSAIDs mempunyai GI
yang kurang baik. Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari penggunaan

48
NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang tinggi atau kombinasi dari NSAIDs,
penggunaan NSAIDs dalam jangka waktu yang lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan
severe comorbid illness. Sebuah studi prospektif jangka panjang didapatkan pasien dengan
arthritis dengan usia diatas 65 tahun, yang secara teratur menggunakan aspirin pada dosis rendah
beresiko menderita dyspepsia apabila berhenti menggunakan NSAIDs. Hal ini menunjukkan
bahwa penggunaan NSAIDs harus dikurangi. Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada
anak tidak diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada anak dengan
arthritis kronik yang dirawat dengan NSAIDs. Laporan menunjukkan terjadinya ulserasi pada
penggunaan ibuprofen dosis rendah, walau hanya 1 atau 2 dosis. Penggunaan kortikosteroid saja
tidak meningkatkan terjadinya tukak gaster, tetapi penggunaan bersama NSAIDs mempunyai
potensi untuk menimbulkan tukak gaster.. Resiko perdarahan saluran cerna bahagian atas dapat
terjadi dengan penggunaan spironolactone diuretic atau serotonin reuptake inhibitor.
Gejala Klinis
Gejala klinis perdarahan saluran cerna:
Ada 3 gejala khas, yaitu:
1. Hematemesis
Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna atas, yang berwarna coklat
merah atau “coffee ground”.
2. Hematochezia
Keluarnya darah dari rectum yang diakibatkan perdarahan saluran cerna bahagian bawah, tetapi
dapat juga dikarenakan perdarahan saluran cerna bahagian atas yang sudah berat.
3. Melena
Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur asam lambung;
biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna bahagian atas, atau perdarahan daripada
usus-usus ataupun colon bahagian kanan dapat juga menjadi sumber lainnya.
Disertai gejala anemia, yaitu: pusing, syncope, angina atau dyspnea.
Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien atau pemasangan selang
nasogastric (NGT, nasogastric tube) dan deteksi darah yang jelas terlihat; cairan bercampur
darah, atau “ampas kopi”’ Namun, aspirat perdarahan telah berhenti, intermiten, atau tidak dapat
dideteksi akibat spasme pilorik. Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal

49
(GIT) perlu dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini
terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah:
1. Menentukan tempat perdarahan.
2. Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti.
Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana perdarahan berat,
khususnya ketika penyebab perdarahan tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi
atas maupun bawah. Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu dibutuhkan pada
pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi adakalanya dapat memberikan beberapa informasi
penting. Misalnya pada CT scan; CT Scan dapat mengidentifikasi adanya lesi massa, seperti
tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang mungkin dapat menjadi sumber
perdarahan.Mempertahankan saluran nafas paten dan restorasi volume intravascular adalah
tujuan tata laksana awal. Infus kristaloid awal, sampai 30 mL/ kg, dapat diikuti transfusi darah
O-negatif atau yang crossmatched jika diperlukan. Pasien dengan perdarahan aktif memerlukan
konsultasi emergensi untuk esofagogastroduodenoskopi (EGD). Pasien tanpa perdarahan aktif
dapat dipantau, diobservasi, dan mungkin dijadwalkan untuk EGD. Intervensi selama EGD
meliputi injeksi epinefrin submukosa, skleroterapi, dan ligase pita. Jika tindakan ini gagal
menghentikan perdarahan, angiografi dengan embolisasi atau pembedahan mungkin diperlukan.
Untuk pasien yang diduga mengalami perdarahan varises, tata laksana medis dapat diberikan
sambil menunggu tindakan definitif. Oktreotid dapat digunakan untuk menurunkan tekanan vena
porta, dan pipa Sengstaken-Blakmore dapat dipasang sebagai tindakan sementara untuk bertahan.
Endoskopi. Endoskopi adalah suatu alat untuk melihat ke bagian dalam tubuh dengan
menggunakan suatu selang fiberoptik yang disesuaikan dengan sistem kerja lapangan pandang
manusia sehingga memungkinkan kita untuk melakukan pemeriksaan pada organ-organ bagian
dalam tubuh manusia.
Gambaran Endoskopi
a. Peptic Ulcer

50
Gambar 2.1. Gambaran endoskopi pada pasien gastric ulcer akibat penggunaan
NSAIDs dan test H.Pylori negatif (Vakil, N., 2010)

Gambar 2.2. Gambaran endoskopi pada pasien duodenal ulcer dengan test H.Pylori
positif tetapi tidak ada riwayat penggunaan NSAIDs (Vakil, N., 2010).

Mallory-Weiss Tear

51
Gambar 2.3. Gambaran endoskopi pada pasien Mallory-Weiss Tear (Savides, T.J., et
al., 2010).

Gastroesophageal varices

Gambar 2.4. Gambaran endoskopi dari esophageal varices. (Shah, V.H., et al., 2010)

52
Gambar 2.5. Gambaran endoskopi dari gastric varices dan esophageal variceal
ligation-related ulcers (Shah, V.H., et al., 2010).

53
BAB III

KESIMPULAN

 Keluhan kesulitan menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan atau penyakit
di orofaring dan esophagus. Keluhan ini timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-otot
menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung. Berdasarkan
penyebabnya, disfagia dibagi atas: disfagia mekanik, disfagia motorik dan disfagia oleh
gangguan emosi. Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esophagus.
Disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang berperan dalam proses
menelan. Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau tekanan
jiwa yang berat yang dikenal sebagai globus histerikus. Berdasarkan lokasinya, disfagia
dibagi atas: disfagiaorofaringeal dan disfagia esophageal. Untuk diagnosis selain
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
diagnosis kelainan disfagia fase oral dan fase faring adalah Videofluoroskopi Swallow
Assesment (VFSS) dan Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing ( FEES).

 Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari seperempat
populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke dokter. Terdapat
banyak penyebab dispepsia, antaranya adalah gangguan atau penyakit dalam lumen
saluran cerna; tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotik,
digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit pada hati, pankreas, sistem bilier, hepatitis,
pankreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid,
penyakit jantung koroner. Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus
yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan organik atau struktural biokimia, yaitu
dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.

 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang dikenal dengan Penyakit Refluks
Gastroesofageal (PRGE) merupakan suatu keadaan dimana terjadi gerakan retrogard atau
naiknya isi lambung sampai pada esofagus secara patologis.Keadaan berakibat kandungan
lambung yang asam dapat mengiritasi mukosa esofagus.Manifestasi klinis dari PRGE adalah rasa

54
nyeri dada retrosternal atau rasa panas (heartburn) di dada, regurgutasi, disfagia, mual bahkan
sampai suara serak karena mengiritasi laring, menyebabkan laringitis. Penatalaksanaan pada
kasus PRGE ini terdapat beberapa jenis yang dilakukan bertahap yaitu modifikasi gaya hidup,
medikamentosa dan terapi bedah. Pada sebagian besar kasus PRGE pasien sembuh dengan
terapi medikamentosa.

 Hematemesis adalah muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan saluran


cerna atas, yang berwarna coklat merah atau “coffee ground”. Melena adalah kotoran
(feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran bercampur asam lambung;
biasanya mengindikasikan perdarahan saluran cerna bahagian atas, atau perdarahan
daripada usus-usus ataupun colon bahagian kanan dapat juga menjadi sumber lainnya.
Gold standart untuk penegakkan diagnosis menggunakan endoskopi dan indikasi
endoskopi, yaitu: perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA), dyspepsia, disfagia, odinofagia,
nyeri epigastrium kronis, kecurigaan obsruksi outlet, survey endoskopi, curiga keganasan, dan
nyeri dada tidak khas Komplikasi utama dari Hematemesis melena ini adalah anemia dan
dapat menyebabkan syok hipovolemik.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Dysphagia. National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. Available


at http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/dysph.asp. Accessed December. 29, 2013.

2. Throat anatomy. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1899345-


overview#showall. Accessed December 29, 2013

3. Swallowing trouble. American Academy of Otolaryngology — Head and Neck Surgery.


Available at http://www.entnet.org/HealthInformation/swallowingTrouble.cfm. Accessed
December. 29, 2013.

4. Dysphagia. The Merck Manuals: The Merck Manual for Healthcare Professionals.
Available athttp://www.merck.com/mmpe/print/sec02/ch012/ch012b.html. Accessed
December. 29, 2013.

5. Anthony S. Fauci. Harrison Internal Medicine, 17th edition. USA, McGraw-Hill. 2008.
p.239-42.

6. Feeding and swallowing disorders in children. American Speech-Language-Hearing


Association. Available at
http://www.asha.org/public/speech/swallowing/FeedSwallowChildren.htm. Accessed
December. 29, 2013.

7. McQuaid KR. Gastrointestinal disorders. In: McPhee SJ, et al., eds. Current Medical
Diagnosis & Treatment 2011. New York, N.Y.: The McGraw-Hill Medical Companies;
2011. Available at http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6395. Accessed
December. 29, 2013

8. Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI.
2007. p. 276-302.
9. Hirano I, et al. Dysphagia. In: Longo DL, et al., eds. Harrison's Principles of Internal
Medicine. 18th ed. New York, N.Y.: The McGraw-Hill Medical Companies; 2012.
Available at http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=9112744. Accessed
December. 29, 2013

56
10. Langmore SE. Endoscopic evaluation and treatment of swallowing disorders.
[Book preview]. Thieme. 2005. Available at
http://books.google.co.id/books?id=tWy7yYpzRZoC&printsec=frontcover&hl=en#v=one
page&q=&f=false. Accessed December 30, 2013.

11. Mendelson MH. Esophageal emergencies, gastroesophageal reflux disease, and swallowed
foreign bodies. In: Tintinall JE, et al., eds. Tintinalli's Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York, N.Y.: The McGraw-Hill Medical
Companies; 2011. Available athttp://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6360571.
Accessed December 30, 2013.

12. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Ed. IV, 2007.
Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285

13. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia.Post Graduate Medical Journal.
2003;79:25-29.

14. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional


Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.

15. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan Tahun 2007.
Edisi 2010. Diunduh dari,
http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&id.

16. Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional. Bagian Psikiatri
FK USU 2003.

17. Dyspepsia. Edition 2010. Available from: http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.

18. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association technical


review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology. 2005;129:1754

19. Indigestion (Dyspepsia, Upset Stomach). Edition 2010. Available from:


http://www.medicinenet.com/dyspepsia/article.htm, 5 Juni 2010.

20. Dyspepsia, What It Is and What to Do About It? Edition 2009. Available from:
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/disorders/474.html.

57
21. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical Library. 2008 March.
Available from: http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html.

22. Delaney BC. 10 Minutes consultation dyspepsia. BMJ. 2001. Available from:
http://www.bmj.com/cgi/content/full/322/7289/776.

23. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and Hepatology.


2005;1:1-3.

24. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6. EGC;
2006.h.417-19.

25. Riza TC, Bushra S. Dyspepsia. Prim Care Clinical Office Pract 34 2007;1:99–108.

26. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al. Peptic ulcer
disease in Harrison’s Principle of Internal Medicine, 17th ed, Vol.II.2008. USA: Mc Graw
Hill Medical, p.287

27. David JB. Test and Treat or PPI Therapy for Dyspepsia? Journal Watch Gastroenterology.
2008 april;

28. Dyspepsia. Edition 2001. Available from:


http://mercyweb.org/MICROMEDEX/health_information.

29. Perry Potter. 2005. Fundamental of Nursing.


30. Mansjoer, Arif. 1999. KapitaSelektaKedokteran, edisi 3, Jilid I. Jakarta: FKUI.
31. Sistem Gastrointestinal. Jakarta: TIM
32. Sylvia Price. 2005. Edisi 6 Vol 1 Patofisiologi: KonsepKlinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC
33. Diane C. Baughman & Joann C. Hackley. 2000. KeperawatanMedikalBedah. Jakarta: EGC
34. LM, Wilson, Dkk.1995. PatofisiologiKonsepKlinis Proses – proses Penyakit. Jakarta : EGC
35. Setiadi. 2007. AnatomiFisiologiManusia. Yogyakarta : GrahaIlmu
36. Price, and Wilson. 2006. PatofisiologiKonsepKlinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
37. Hirlan. 2001. Buku Ajar IlmuPenyakitDalamJilid II edisiKetiga. Jakarta: EGC.

58
38. Siti Nurdjanah. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata MK,
Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed. Jakarta; Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. 2009. Page 668-673.

39. Raymon T.Chung, Daniel K.Podolsky. Cirrhosis and its complications. In :


Kasper DL et.al, eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 th
Edition. USA : Mc-Graw Hill; 2005. p. 1858-62.
40. Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in the setting of
chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis. 2009. 18(3):299-302.

41. Sutadi SM. Sirosis hati. Usu repository. 2003. [cited on 2011 February
rd
23 ]. Available from : URL : http://repository.usu.ac.id/ bitstream/
123456789 /3386/1/ penydalam-srimaryani5.pdf
42. Hirlan. Ascites. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata MK, Setiati S (eds).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed. Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Indonesia. 2009. Page 668-673.

59

Anda mungkin juga menyukai