Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Fungsi utama sistem respirasi adalah menjamin pertukaran O2 dan CO2. Bila
terjadi kegagalan pernapasan maka oksigen yang sampai ke jaringan akan
mengalami defisiensi akibatnya sel akan terganggu proses metabolismenya.
Gagal nafas adalah suatu sindrom dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan pertukaran gas yaitu oksigenasi dan pengeluaran karbondioksida.
primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan pembuangan
karbondioksida. Ada beberapa tingkatan dari gagal pernafasan, dan dapat terjadi
secara akut atau secara kronik. Kegagalan pernafasan kronik menyatakan gangguan
fungsional jangka panjang yang menetap selama beberapa hari atau bulan dan
mencerminkan adanya proses patologis yang mengarah kepada kegagalan dan
proses komplikasi untuk menstabilkan keadaan. Gas-gas dalam darah dapat sedikit
abnormal atau dalam batas normal pada saat istirahat, tetapi dalam keadaan di mana
kebutuhan meningkat seperti pada sewaktu latihan maka gas-gas darah dapat jauh
dari batas normal. Peningkatan kerja pernafasan mengurangi cadangan pernafasan
dan pengurangan aktivitas fisik adalah dua mekanisme utama untuk mengatasi
insufisiensi pernafasan kronik.
Kegagalan pernafasan akut secara numerik didefinisikan bila PaO2 ≤ 50
sampai 60 mmHg atau dengan kadar CO2 ≥ 50 mmHg dalam keadaan istirahat pada
ketinggian permukaan laut. Alasan pemakaian definisi numerik berdasarkan gas-
gas darah ini karena batas antara insufisiensi pernafasan kronik dan kegagalan
pernafasan tidak jelas dan tidak bisa berdasarkan observasi klinis saja. Sebaliknya,
harus diingat bahwa definisi berdasarkan gas-gas darah ini tidak bersifat absolut.
Makna dari angka-angka ini tergantung dari riwayat penyakit terdahulu. Orang
yang sebelumnya dalam keadaan sehat yang kemudian mengalami kelainan gas-gas
darah setelah mengalami kecelakaan hampir tenggelam dapat diperkirakan akan
jatuh ke dalam keadaan koma, sedangkan penderita PPOM dapat melakukan
kegiatan fisik dalam batas tertentu seperti dalam keadaaan gas darah yang sama.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gagal Nafas

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk


mempertahankan suatu keadaan pertukaran antara atmosfer dan sel-sel tubuh yang
sesuai dengan kebutuhan tubuh normal. Pada gagal nafas, terjadi kegegalan sistem
pulmoner untuk memenuhi kebutuhan eliminasi CO2 dan oksigenasi darah.
Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2
arterial (PaCO2) > 45 mmHg , kecuali apabila peningkatan PCO2 disebabkan oleh
kompensasi dari alkalosis metabolik. Secara umum gagal nafas dibedakan menjadi
gagal nafas tipe hiperkapnia dan gagal nafas tipe hipoksemia.
Pasien dengan gagal nafas hiperkapnia mempunyai kadar PCO2 arterial
(PaCO2) yang abnormal tinggi. (PaCO2 > 45 mmHg). Sedangkan pada gagal nafas
hipoksemia didapatkan PO2 arterial (PaO2) yang rendah (PaO2 < 60 mmHg) dengan
PaCO2 yang normal atau rendah.

2.2 Anatomi Dan Fisiologi Sistem Pernafasan


Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea,
karina, bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus
terminalis, bronchiolus respiratoryus, saccus alveolus, ductus alveolus dan alveoli.
Terdapat Lobus, dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan lobus
inferior. Sinistra ada 2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior. Pulmo dextra
terdapat fissura horizontal yang membagi lobus superior dan lobus media,
sedangkan fissura oblique membagi lobus media dengan lobus inferior. Pulmo
sinistra terdapat fissura oblique yang membagi lobus superior dan lobus inferior.
Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2 yaitu parietalis (luar) dan Visceralis
(dalam), diantara 2 lapisan tersebut terdapat rongga pleura (cavum pleura). Kantong
berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya pertukaran
oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup. Jumlahnya 200 -

2
500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh serat
kolagen, dan elastis halus.
Sel epitel alveolus terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel
alveolar besar ( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya
10% , menempati 95 % alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II) jumlahnya 12 %,
menempati 5 % alveolar. Sel alveolar gepeng terletak di dekat septa alveolar,
bentuknya lebih tebal, apikal bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin,
memilki badan berlamel. Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar.
Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli pada akhir ekspirasi.
Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial. Mengandung serat, sel septa
(fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn.
Sel fagosit utama dari alveolar disebut makrofag alveolar.

1. Fisiologi ventilasi paru


Masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru.
Pergerakan udara ke dalam dan keluar paru disebabkan oleh:
a) Tekanan pleura : tekanan cairan dalam ruang sempit antara pleura paru
dan pleura dinding dada. Tekanan pleura normal sekitar -5 cm H2O,
yang merupakan nilai isap yang dibutuhkan untuk mempertahankan
paru agar tetap terbuka sampai nilai istirahatnya. Kemudian selama
inspirasi normal, pengembangan rangka dada akan menarik paru ke arah
luar dengan kekuatan yang lebih besar dan menyebabkan tekanan
menjadi lebih negatif (sekitar -7,5 cm H2O).
b) Tekanan alveolus : tekanan udara di bagian dalam alveoli paru. Ketika
glotis terbuka dan tidak ada udara yang mengalir ke dalam atau keluar
paru, maka tekanan pada semua jalan nafas sampai alveoli, semuanya
sama dengan tekanan atmosfer (tekanan acuan 0 dalam jalan nafas) yaitu
tekanan 0 cm H2O. Agar udara masuk, tekanan alveoli harus sedikit di
bawah tekanan atmosfer. Tekanan sedikit ini (-1 cm H2O) dapat menarik
sekitar 0,5 liter udara ke dalam paru selama 2 detik. Selama ekspirasi,
terjadi tekanan yang berlawanan.

3
c) Tekanan transpulmonal : perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan
pada permukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru
yang cenderung mengempiskan paru pada setiap pernafasan, yang
disebut tekanan daya lenting paru.
2. Fisiologi kendali persarafan pada pernafasan
Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernafasan.
a) Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat
volunter terletak di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron
motorik otot pernafasan melalui jaras kortikospinal.
b) Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat pernafasan
otomatis terletak di pons dan medulla oblongata, dan keluaran eferen
dari sistem ini terletak di rami alba medulla spinalis di antara bagian
lateral dan ventral jaras kortikospinal.
3. Pengaturan aktivitas pernafasan
Baik peningkatan PCO2 atau konsentrasi H+ darah arteri maupun
penurunan PO2 akan memperbesar derajat aktivitas neuron pernafasan di
medulla oblongata, sedangkan perubahan ke arah yang berlawanan
mengakibatkan efek inhibisi ringan. Pengaruh perubahan kimia darah
terhadap pernafasan berlangsung melalui kemoreseptor pernafasan di
glomus karotikum dan aortikum serta sekumpulan sel di medulla oblongata
maupun di lokasi lain yang peka terhadap perubahan kimiawi dalam darah.
Reseptor tersebut membangkitkan impuls yang merangsang pusat
pernafasan. Bersamaan dengan dasar pengendalian pernafasan kimiawi,
berbagai aferen lain menimbulkan pengaturan non-kimiawi yang
memengaruhi pernafasan pada keadaan tertentu. Untuk berbagai rangsang
yang memengaruhi pusat pernafasan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

4
Berbagai rangsang yang memengaruhi pusat pernafasan11

Pengendalian kimia
CO2 (melalui konsentrasi H+ di LCS dan cairan interstitiel otak)
O2
(melalui glomus karotikum dan aortikum)
H+

Pengendalian non-kimia
Aferen nervus vagus dari reseptor di saluran pernafasan dan paru
Aferen dari pons, hipothalamus dan sistem limbik
Aferen dari proprioseptor
Aferen dari baroreseptor: arteri, atrium, ventrikel, pulmonal

4. Pengendalian kimiawi pernafasan


Mekanisme pengaturan kimiawi akan menyesuaikan ventilasi
sedemikian rupa sehingga PCO2 alveoli pada keadaan normal dipertahankan
tetap. Dampak kelebihan H+ di dalam darah akan dilawan, dan PO2 akan
ditingkatkan apabila terjadi penurunan mencapai tingkat yang
membayakan. Volume pernafasan semenit berbanding lurus dengan laju
metabolisme, tetapi penghubung antara metabolisme dan ventilasi adalah
CO2, bukan O2. Reseptor di glomus karotikum dan aortikum terangsang
oleh peningkatan PCO2 ataupun konsentrasi H+ darah arteri atau oleh
penurunan PO2. Setelah denervasi kemoreseptor karotikum, respons
terhadap penurunan PO2 akan hilang, efek utama hipoksia setelah denervasi
glomus karotikum adalah penekanan langsung pada pusat pernafasan.
Respon terhadap perubahan konsentrasi H+ darah arteri pada pH 7,3-7,5
juga dihilangkan, meskipun perubahan yang lebih besar masih dapat
menimbulkan efek. Sebaliknya, respons terhadap perubahan PCO2 darah
arteri hanya sedikit dipengaruhi,; dengan penurunan tidak lebih dari 30-
35%.

5
a) Kemoreseptor dalam batang otak
Kemoreseptor yang menjadi perantara terjadinya hiperventilasi pada
peningkatan PCO2 darah arteri setelah glomus karotikum dan aortikum
didenervasi terletak di medulla oblongata dan disebut kemoreseptor
medulla oblongata. Reseptor ini terpisah dari neuron respirasi baik
dorsal maupun ventral, dan terletak pada permukaan ventral medulla
oblongata.
Reseptor kimia tersebut memantau konsentrasi H+ dalam LCS, dan
juga cairan interstisiel otak. CO2 dengan mudah dapat menembus
membran, termasuk sawar darah otak, sedangkan H+ dan HCO3- lebih
lambat menembusnya. CO2 yang memasuki otak dan LCS segera
dihidrasi. H2CO3 berdisosiasi, sehingga konsentrasi H+ lokal meningkat.
Konsentrasi H+ pada cairan interstitiel otak setara dengan PCO2 darah
arteri.
b) Respons pernafasan terhadap kekurangan oksigen
Penurunan kandungan O2 udara inspirasi akan meningkatkan
volume pernafasan semenit. Selama PO2 masih diatas 60 mmHg,
perangsangan pada pernafasan hanya ringan saja,dan perangsangan
ventilasi yang kuat hanya terjadi bila PO2 turun lebih rendah. Nsmun
setiap penurunan PO2 arteri dibawah 100 mmHg menghasilkan
peningkatan lepas muatan dari kemoreseptor karotikum dan aortikum.
Pada individu normal, peningkatan pelepasan impuls tersebut tidak
menimbulkan kenaikan ventilasi sebelum PO2 turun lebih rendah dari 60
mmHg karena Hb adalah asam yang lebih lemah bila dibandingkan
dengan HbO2, sehingga PO2 darah arteri berkurang dan hemoglobin
kurang tersaturasi dengan O2, terjadi sedikit penurunan konsentrasi H+
dalam darah arteri. Penurunan konsentrasi H+ cenderung menghambat
pernafasan. Di samping itu, setiap peningkatan ventilasi yang terjadi,
akan menurunkan PCO2 alveoli, dan hal inipun cenderung menghambat
pernafasan. Dengan demikian, manifestasi efek perangsangan hipoksia
pada pernafasan tidaklah nyata sebelum rangsang hipoksia cukup kuat

6
untuk melawan efek inhibisi yang disebabkan penurunan konsentrasi H+
dan PCO2 darah arteri.
c) Pengaruh H+ pada respons CO2
Pengaruh perangsangan H+ dan CO2 pada pernafasan tampaknya
bersifat aditif dan saling berkaitan dengan kompleks, serta berceda
halnya dari CO2 dan O2. Sekitar 40% respons ventilasi terhadap CO2
dihilangkan apabila peningkatan H+ darah arteri yang dihasilkan oleh
CO2 dicegah. 60% sisa respons kemungkinan terjadi oleh pengaruh CO2
pada konsentrasi H+ cairan spinal atau cairan interstitial otak.
5. Pengangkutan oksigen ke jaringan
Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru dan sistem
kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen menuju jaringan tertentu bergantung
pada: jumlah oksigen yang masuk ke dalam paru, adanya pertukaran gas
dalam paru yang adekuat, aliran darah menuju jaringan dan kapasitas darah
untuk mengangkut oksigen. Aliran darah bergantung pada derajat konstriksi
jalinan vaskular di dalam jaringan serta curah jantung. Jumlah oksigen di
dalam darah ditentukan oleh jumlah oksigen yang larut, jumlah hemoglobin
dalam darah dan afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
Hemoglobin adalah protein yang dibentuk dari empat sub unit, masing-
masing mengandung gugus heme yang melekat pada sebuah rantai
polipeptida. Heme adalah kompleks yang dibentuk dari suatu porfirin dan
satu atom besi fero. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat
satu molekul O2 secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk
fero, sehingga reaksi pengikatan O2 merupakan suatu reaksi oksigenasi,
bukan reaksi oksidasi. Reaksi ini berlangsung cepat, membutuhkan waktu
kurang dari 0,01 detik. Deoksigenasi (reduksi) Hb4O8 juga berlangsung
sangat cepat.
Hb4 + O2 ↔ Hb4O2
Hb4O2 + O2 ↔ Hb4O4
Hb4O4 + O2 ↔ Hb4O6
Hb4O6 + O2 ↔ Hb4O8

7
2.3 Etiologi Gagal Nafas
Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan
komponen sistem pernapasan. Gagal nafas dapat diakibatkan kelainan pada paru,
jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme pengendalian sentral
ventilasi di medula oblongata.
Pasien dengan gagal nafas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh kelainan
yang mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan nafas, ruang alveolar, intersisiel,
dan sirkulasi pulmoner. Perubahan hubungan anatomis dan fisiologis antara udara
di alveolus dan darah di kapiler paru dapat menyebabkan gagal nafas tipe
hipoksemia. Contoh penyakitnya antara lain : Penumonia bakterial, pneumonia
viral, aspirasi isi lambung, ARDS, emboli paru, asma, dan penyakit paru intersisial.
Sedangkan pada gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan yaitu
dinding dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain
kelemahan otot pernafasan, penyakit SSP yang menganggu sistem ventilasi, atau
kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada seperti kifoskloiosis.

2.4 Patofisologi Gagal Nafas


Gagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmoner maupun
ekstrapulmoner. Kelainan intrapulmoner meliputi kelainan pada saluran nafas
bawah, sirkulasi pulmoner, jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar.
Sedangkan ekstrapulmoner berupa kelainan pada pusat nafas, neuromuskular,
pleura maupun saluran nafas atas.
Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang sangat
penting di dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat 4 dasar
mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu :
1. Hipoventilasi
2. Right to left shunting of blood
3. Gangguan difusi
4. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch.

8
Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner menyebabkan
hipoventilasi sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi seluruh mekanisme
tersebut.

2.4.1 Gagal Nafas tipe hipoksemia

Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah arteri


(PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler
paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah
atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin.
Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia berarti
penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau efek dari penurunan
penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan
penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik atau
keracunan karbon monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal.

2.4.1.1 Patofisologi Gagal Nafas Hipoksemia.

Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama, yaitu


berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena
(venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan
tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah
yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen
yang sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2)
menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah
melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar,
maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri.
Semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.

a. Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan
PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan
pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi
alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan
penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di

9
ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan
menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R

FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan


barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan,
menunjukkan rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan
ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai
perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2
meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia
(berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan
terjadi jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian,
atau bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas
dimana sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini juga akibat
penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan
PaO2. Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah normal pada hipoksemia
karena hipoventilasi.

b. Pencampuran Vena (Venous Admixture)


Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang
mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar.
Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia
karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara
ruangan, perbedaan PO2 alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20
mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi
tegak.
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya
pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-
left-shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus,
bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah
percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru

10
dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi
karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus
sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung congenital
dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang
berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau
kanan ke kiri yang berat.
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat
dalam pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2
jika diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk
mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat
O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka
dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.

c. Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (ventilation-perfusion


mismatching = V/Q mismatching)
Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian
ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah
vena tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang
terjadi pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru
mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah
yang menuju ke area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang
lain mendapat ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional
yang relative sedikit.
Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif, akan
kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut
menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q
terhadap pertukaran gas antara kapiler-alveolus seringkali kompleks.
Contoh dari penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran
darah sehingga terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah: Asma dan penyakit
paru obstruktif kronik lain, dimana variasi pada resistensi jalan napas
cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit
vascular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi

11
berubah. Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat
dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan
pemberian oksigen tambahan.

d. Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)


Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang.
Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal,
terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi
kedua paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus.
Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat
sehingga tidak cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami
kesetimbangan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan
menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga difusi
oksigen melalui membrane alveolar-kapiler melambat atau jika waktu
transit darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa keadaan dimana
keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai penyebab
utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru; pulmonary alveolar
proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan mengandung
protein dan lipid.

2.4.1.2 Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hipoksemia


Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran
hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial meningkatkan
ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea,
takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi.
Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia
dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi
glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap
hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal, tetapi
juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan bibir. Derajat
sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien.

12
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke
jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran
metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan
kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini
yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan
kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan
perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan
kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat.
Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi
sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan
bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard,
infark, aritmia dan gagal jantung.

Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan
hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung
yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi akan mengalami hipoksia jaringan
global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok
hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia
arterial ringan.

2.4.2 Gagal Nafas Tipe Hiperkapnia


2.4.2.1 Patofisiologi Gagal Nafas Hiperkapnia

Gagal nafas tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan


CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan
retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH
yang abnormal. Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena
kelainan ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner
dapat disebabkan karena penekanan dorongan pernapasan sentral atau gangguan
pada respon ventilasi.

Gagal nafas hiperkapnia terutama disebabkan oleh hipoventilasi elveolar.


Kegagalan ventilasi dapat terjadi bila PaCO2 meninggi dan pH kurang dari 7,35.
Kegagalan ventilasi terjadi bila “minut ventilation” berkurang secara tidak wajar

13
atau bila tidak dapat meningkat dalam usaha memberikan kompensasi bagi
peningkatan produksi CO2 atau pembentukan rongga tidak berfungsi pada
pertukaran gas (dead space)

2.4.2.2 Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hiperkapnia

Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.


Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya
terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan
akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan
serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga
bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap
asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan
perubahan status mental . Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala
hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan
hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau menurun,
tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea,
takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal
napas hiperkapnea.

2.5 Diagnosis Klinis Gagal Nafas


Diagnosis gagal napas dimulai jika ada gejala klinik yang muncul. Gejala
klinis pada gagal napas terdiri dari tanda kompensasi pernapasan yaitu takipneu,
penggunaan otot pernapasan tambahan, restriksi intrakostal, suprasternal dan
supraklavikular. Gejala peningkatan tonus simpatis seperti takikardi, hipertensi dan
berkeringat. Gejala hipoksia yaitu perubahan status mental misalnya bingung atau
koma, bradikardi dan hipotensi. Gejala desaturasi hemoglobin yaitu sianosis.
Kriteria gejala klinis dan tanda-tanda gawat nafas ditandai dengan
perubahan pola pernafasan dari normal antara lain sebagai berikut
a. Penurunan frekuensi pernafasan (Bradipneu) atau meningkat (Takipneu).
b. Adanya retraksi dinding dada
c. Sesak nafas / dyspneu

14
d. Sianosis (kebiruan), diakibatkan rendahnya kadar oksigen dalam darah.
e. Penggunaan otot bantu pernafasan
f. Gerakan dinding asimetris
g. Pernafsan paradoksal
h. Retraksi dinding dada
i. Suara nafas menurun atau hilang atau didapatkan suara tambahan seperti
stridor, rhonki, atau wheezing.
Untuk membedakan penyebab dari gagal nafas dapat diketahui dari gejala
gagal nafas antara lain :
Hipoksemia Hiperkapnia
Somnolen
Ansietas Letargi
Takikardia Koma
Takipneu Sakit kepala
Diaforesis Edema papil
Aritmia Asteriks
Perubahan Status Mental Agitasi
Bingung Tremor
Sianosis Bicara kacau
Kejang
Asidosis Laktat

Tabel 1. Manifestasi Klinis Hiperkapnia dan Hipoksemia


Dalam mementukan kondisi gagal nafas, indikator penting yang perlu
diketahui antara lain Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan , N 16-
20x/mnt. Jika frekuensi pernafasan > 35 kali/ mnt maka akan menimbulkan
kelelahan otot pernafasan yang pada akhirnya mengantarkan pada gagal nafas,
sehingga membutuhkan bantuan ventilator. Indikator yang kedua adalah Kapasitas
Vital menggunakan spirometer, Jika hasilnya kurang dari 10-20 ml/kg maka hal
tersebut merupakan tanda gagal nafas.
Untuk menunjang diagnosis pada kasus gagal nafas dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang antara lain dengan pengukuran gas darah pada arteri,
pengukuran saturasi oksigen menggunakan pulse oxymeter, dan pengukuran PaO2
dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk
mengetahui apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan.

15
Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease
(penyakit yang mendasarinya).

2.6 Penatalaksanaan Gagal Nafas


Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care
area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana
segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia.
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat
oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas
tersebut.
Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari
etiologinya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien, yaitu
menangani sebab gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada ventilasi
yang memadai dan jalan nafas yang bebas
a. Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi
kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila
masih belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke
depan (triple airway maneuver) atau dengan menggunakan manuver head
tilt-chin lift), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas
bagian atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik,
maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring
atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu
seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.

b. Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen
yang diberikan tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat pemberi

16
oksigen tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan, potensi efek
samping oksigen, dan ventilasi semenit pasien.
Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus rendah dan
sistem arus tinggi.
Alat Kateter Nasal 1-6 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 24-44%
Arus Kanula Nasal 1-6 L/menit
Rendah Konsentrasi : 24-44%
Simple Mask 6-8 L/menit
Konsentrasi : 40-60%
Mask + Rebreathing 6-8 L/menit
Konsetrasi : 60-80%
Alat AMBU BAG 10 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 100%
Arus Tinggi Bag Mask + Jackson 10 L/menit
Rees Konsentrasi : 100%

Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada yaitu


tepat indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu pemberian, dan
wasapada terhadap efek samping.

c. Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to
nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan
ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi
IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas
spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan
ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative
yang ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan
napas sebanyak sesuai yang diatur.
d. Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya
diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar

17
pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama
ventilator.
e. Terapi farmakologi
- Bronkodilator.
Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus.
Merupakan terapi utama untuk pnyakit paru obstruktif atau pada
penyakit dengan peningkatan resistensi jalan napas seperti edema paru,
ARDS, atau pneumonia.
- Agonis B adrenergik / simpatomimetik
Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot polos
bronkus sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. golongan ini
memiliki efek samping antara lain tremor, takikardia, palpitasi, aritmia,
dan hipokalemia. Lebih efektif digunakan dalam bentuk inhalasi
sehinga dosis yang lebih besar dan efek kerjanya lebih lama.
- Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada
derajat tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang berperan
pada asma, dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan inflamasi,
dibandingkan dengan bronkitis kronik dimana tonus parasimpatis lebih
berperan.
Pada gagal nafas, antikolinergik harus diberikan bersamaan dengan
agonis beta adrenergik. Contoh dari antikolinergik adalah Ipatropium
Bromida, tersedia dalam bentuk MDI (metered dose-inhaler) atau
solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia,
palpitasi, dan retensi urine.
- Teofilin
Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP siklik,
translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi reseptor beta-
adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping meliputi
takikardia, mual, dan muntah. Komplikasi terparah antara lain aritmia
jantung, hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang.
- Kortikosteroid

18
f. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
Tindakan terapi untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:
- Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat
saluran napas.
- Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.
- Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik

2.7 Komplikasi
Gagal nafas merupakan suatu kondisi kegawatan yang dapat mengancam
jiwa. Komplikasi gagal nafas dapat mempengaruhi organ-organ vital terutama otak
dan jaringan karena tidak adekuatnya oksigenasi. Oleh karena itu penanganan yang
cepat dan tepat pada kegawatan nafas sangat diperlukan.

2.8 Prognosis
Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab gagal
nafas, penyakit primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan penanganan, serta
komplikasi yang terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat tergantung dari
etiologi/penyakit yang mendasarinya, serta penanganan yang cepat dan adekuat.
Jika penyakit tersebut diterapi dengan benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal
napas berkembang dengan perlahan maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini
akan lebih memperberat keadaan hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi
paru akan memperburuk prognosis. Terkadang transplantasi paru diperlukan.

19
BAB III
KESIMPULAN

Gagal nafas merupakan ketidakmampuan sistem respirasi dalam memenuhi


kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah
secara normal tanpa bantuan. Keadaan ini ditandai dengan abnormalitas nilai
PaCO2 lebih dari 50 mmHg dan PaO2 kurang dari 50 mmHg saat bernafas dalam
udara ruang. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru yang melibatkan
jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas juga
dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan
neuromuskular dan gangguan sistem saraf pusat.
Penatalaksanaan non respiratorik dengan monitoring temperatur, minimal
handling dan menghindari enteral feeding. Penatalaksanaan respiratorik awal
adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan dari lendir atau
sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta memastikan
pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal
nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan
komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan menangani dan
mengatasi etiologi gagal nafas.

20
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulfikli, dan Johanes Purwato. 2009. Gagal Nafas Akut. Dalam : Aru W.
Sudoyo (ed.) . Buku Ajar Ilmu Penyakit anak. Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing. pp. 219-226.

Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2005. Gagal Nafas pada Anak. Dalam Pedoman
Diagnosis dan Terapi edisi 3. Bagian Ilmu Kedehatan Anak FK Unpad
RSHS.

Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Insufiensi Pernapasan-Patofisiologi,


Diagnosis, Terapi Oksigen. Dalam : Arthur C. Guyton dan John E. Hall
(ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC. Pp. 556-
559

Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Ventilasi Paru.. Dalam : Arthur C. Guyton
dan John E. Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta : EGC. Pp

Ulaynah, Ana. 2009. Terapi Oksigen. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) . Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. pp. 161-
165

21

Anda mungkin juga menyukai