PENDAHULUAN
Fungsi utama sistem respirasi adalah menjamin pertukaran O2 dan CO2. Bila
terjadi kegagalan pernapasan maka oksigen yang sampai ke jaringan akan
mengalami defisiensi akibatnya sel akan terganggu proses metabolismenya.
Gagal nafas adalah suatu sindrom dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan pertukaran gas yaitu oksigenasi dan pengeluaran karbondioksida.
primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan pembuangan
karbondioksida. Ada beberapa tingkatan dari gagal pernafasan, dan dapat terjadi
secara akut atau secara kronik. Kegagalan pernafasan kronik menyatakan gangguan
fungsional jangka panjang yang menetap selama beberapa hari atau bulan dan
mencerminkan adanya proses patologis yang mengarah kepada kegagalan dan
proses komplikasi untuk menstabilkan keadaan. Gas-gas dalam darah dapat sedikit
abnormal atau dalam batas normal pada saat istirahat, tetapi dalam keadaan di mana
kebutuhan meningkat seperti pada sewaktu latihan maka gas-gas darah dapat jauh
dari batas normal. Peningkatan kerja pernafasan mengurangi cadangan pernafasan
dan pengurangan aktivitas fisik adalah dua mekanisme utama untuk mengatasi
insufisiensi pernafasan kronik.
Kegagalan pernafasan akut secara numerik didefinisikan bila PaO2 ≤ 50
sampai 60 mmHg atau dengan kadar CO2 ≥ 50 mmHg dalam keadaan istirahat pada
ketinggian permukaan laut. Alasan pemakaian definisi numerik berdasarkan gas-
gas darah ini karena batas antara insufisiensi pernafasan kronik dan kegagalan
pernafasan tidak jelas dan tidak bisa berdasarkan observasi klinis saja. Sebaliknya,
harus diingat bahwa definisi berdasarkan gas-gas darah ini tidak bersifat absolut.
Makna dari angka-angka ini tergantung dari riwayat penyakit terdahulu. Orang
yang sebelumnya dalam keadaan sehat yang kemudian mengalami kelainan gas-gas
darah setelah mengalami kecelakaan hampir tenggelam dapat diperkirakan akan
jatuh ke dalam keadaan koma, sedangkan penderita PPOM dapat melakukan
kegiatan fisik dalam batas tertentu seperti dalam keadaaan gas darah yang sama.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh serat
kolagen, dan elastis halus.
Sel epitel alveolus terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel
alveolar besar ( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya
10% , menempati 95 % alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II) jumlahnya 12 %,
menempati 5 % alveolar. Sel alveolar gepeng terletak di dekat septa alveolar,
bentuknya lebih tebal, apikal bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin,
memilki badan berlamel. Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar.
Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli pada akhir ekspirasi.
Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial. Mengandung serat, sel septa
(fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn.
Sel fagosit utama dari alveolar disebut makrofag alveolar.
3
c) Tekanan transpulmonal : perbedaan antara tekanan alveoli dan tekanan
pada permukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru
yang cenderung mengempiskan paru pada setiap pernafasan, yang
disebut tekanan daya lenting paru.
2. Fisiologi kendali persarafan pada pernafasan
Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernafasan.
a) Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter. Pusat
volunter terletak di cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke neuron
motorik otot pernafasan melalui jaras kortikospinal.
b) Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat pernafasan
otomatis terletak di pons dan medulla oblongata, dan keluaran eferen
dari sistem ini terletak di rami alba medulla spinalis di antara bagian
lateral dan ventral jaras kortikospinal.
3. Pengaturan aktivitas pernafasan
Baik peningkatan PCO2 atau konsentrasi H+ darah arteri maupun
penurunan PO2 akan memperbesar derajat aktivitas neuron pernafasan di
medulla oblongata, sedangkan perubahan ke arah yang berlawanan
mengakibatkan efek inhibisi ringan. Pengaruh perubahan kimia darah
terhadap pernafasan berlangsung melalui kemoreseptor pernafasan di
glomus karotikum dan aortikum serta sekumpulan sel di medulla oblongata
maupun di lokasi lain yang peka terhadap perubahan kimiawi dalam darah.
Reseptor tersebut membangkitkan impuls yang merangsang pusat
pernafasan. Bersamaan dengan dasar pengendalian pernafasan kimiawi,
berbagai aferen lain menimbulkan pengaturan non-kimiawi yang
memengaruhi pernafasan pada keadaan tertentu. Untuk berbagai rangsang
yang memengaruhi pusat pernafasan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
4
Berbagai rangsang yang memengaruhi pusat pernafasan11
Pengendalian kimia
CO2 (melalui konsentrasi H+ di LCS dan cairan interstitiel otak)
O2
(melalui glomus karotikum dan aortikum)
H+
Pengendalian non-kimia
Aferen nervus vagus dari reseptor di saluran pernafasan dan paru
Aferen dari pons, hipothalamus dan sistem limbik
Aferen dari proprioseptor
Aferen dari baroreseptor: arteri, atrium, ventrikel, pulmonal
5
a) Kemoreseptor dalam batang otak
Kemoreseptor yang menjadi perantara terjadinya hiperventilasi pada
peningkatan PCO2 darah arteri setelah glomus karotikum dan aortikum
didenervasi terletak di medulla oblongata dan disebut kemoreseptor
medulla oblongata. Reseptor ini terpisah dari neuron respirasi baik
dorsal maupun ventral, dan terletak pada permukaan ventral medulla
oblongata.
Reseptor kimia tersebut memantau konsentrasi H+ dalam LCS, dan
juga cairan interstisiel otak. CO2 dengan mudah dapat menembus
membran, termasuk sawar darah otak, sedangkan H+ dan HCO3- lebih
lambat menembusnya. CO2 yang memasuki otak dan LCS segera
dihidrasi. H2CO3 berdisosiasi, sehingga konsentrasi H+ lokal meningkat.
Konsentrasi H+ pada cairan interstitiel otak setara dengan PCO2 darah
arteri.
b) Respons pernafasan terhadap kekurangan oksigen
Penurunan kandungan O2 udara inspirasi akan meningkatkan
volume pernafasan semenit. Selama PO2 masih diatas 60 mmHg,
perangsangan pada pernafasan hanya ringan saja,dan perangsangan
ventilasi yang kuat hanya terjadi bila PO2 turun lebih rendah. Nsmun
setiap penurunan PO2 arteri dibawah 100 mmHg menghasilkan
peningkatan lepas muatan dari kemoreseptor karotikum dan aortikum.
Pada individu normal, peningkatan pelepasan impuls tersebut tidak
menimbulkan kenaikan ventilasi sebelum PO2 turun lebih rendah dari 60
mmHg karena Hb adalah asam yang lebih lemah bila dibandingkan
dengan HbO2, sehingga PO2 darah arteri berkurang dan hemoglobin
kurang tersaturasi dengan O2, terjadi sedikit penurunan konsentrasi H+
dalam darah arteri. Penurunan konsentrasi H+ cenderung menghambat
pernafasan. Di samping itu, setiap peningkatan ventilasi yang terjadi,
akan menurunkan PCO2 alveoli, dan hal inipun cenderung menghambat
pernafasan. Dengan demikian, manifestasi efek perangsangan hipoksia
pada pernafasan tidaklah nyata sebelum rangsang hipoksia cukup kuat
6
untuk melawan efek inhibisi yang disebabkan penurunan konsentrasi H+
dan PCO2 darah arteri.
c) Pengaruh H+ pada respons CO2
Pengaruh perangsangan H+ dan CO2 pada pernafasan tampaknya
bersifat aditif dan saling berkaitan dengan kompleks, serta berceda
halnya dari CO2 dan O2. Sekitar 40% respons ventilasi terhadap CO2
dihilangkan apabila peningkatan H+ darah arteri yang dihasilkan oleh
CO2 dicegah. 60% sisa respons kemungkinan terjadi oleh pengaruh CO2
pada konsentrasi H+ cairan spinal atau cairan interstitial otak.
5. Pengangkutan oksigen ke jaringan
Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru dan sistem
kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen menuju jaringan tertentu bergantung
pada: jumlah oksigen yang masuk ke dalam paru, adanya pertukaran gas
dalam paru yang adekuat, aliran darah menuju jaringan dan kapasitas darah
untuk mengangkut oksigen. Aliran darah bergantung pada derajat konstriksi
jalinan vaskular di dalam jaringan serta curah jantung. Jumlah oksigen di
dalam darah ditentukan oleh jumlah oksigen yang larut, jumlah hemoglobin
dalam darah dan afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
Hemoglobin adalah protein yang dibentuk dari empat sub unit, masing-
masing mengandung gugus heme yang melekat pada sebuah rantai
polipeptida. Heme adalah kompleks yang dibentuk dari suatu porfirin dan
satu atom besi fero. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat
satu molekul O2 secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk
fero, sehingga reaksi pengikatan O2 merupakan suatu reaksi oksigenasi,
bukan reaksi oksidasi. Reaksi ini berlangsung cepat, membutuhkan waktu
kurang dari 0,01 detik. Deoksigenasi (reduksi) Hb4O8 juga berlangsung
sangat cepat.
Hb4 + O2 ↔ Hb4O2
Hb4O2 + O2 ↔ Hb4O4
Hb4O4 + O2 ↔ Hb4O6
Hb4O6 + O2 ↔ Hb4O8
7
2.3 Etiologi Gagal Nafas
Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan
komponen sistem pernapasan. Gagal nafas dapat diakibatkan kelainan pada paru,
jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme pengendalian sentral
ventilasi di medula oblongata.
Pasien dengan gagal nafas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh kelainan
yang mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan nafas, ruang alveolar, intersisiel,
dan sirkulasi pulmoner. Perubahan hubungan anatomis dan fisiologis antara udara
di alveolus dan darah di kapiler paru dapat menyebabkan gagal nafas tipe
hipoksemia. Contoh penyakitnya antara lain : Penumonia bakterial, pneumonia
viral, aspirasi isi lambung, ARDS, emboli paru, asma, dan penyakit paru intersisial.
Sedangkan pada gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan yaitu
dinding dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain
kelemahan otot pernafasan, penyakit SSP yang menganggu sistem ventilasi, atau
kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada seperti kifoskloiosis.
8
Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner menyebabkan
hipoventilasi sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi seluruh mekanisme
tersebut.
a. Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan
PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan
pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi
alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan
penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di
9
ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan
menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
10
dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi
karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus
sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung congenital
dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang
berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau
kanan ke kiri yang berat.
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat
dalam pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2
jika diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk
mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat
O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka
dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.
11
berubah. Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat
dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan
pemberian oksigen tambahan.
12
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke
jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran
metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan
kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini
yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan
kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan
perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan
kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat.
Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi
sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan
bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard,
infark, aritmia dan gagal jantung.
Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan
hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung
yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi akan mengalami hipoksia jaringan
global dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok
hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia
arterial ringan.
13
atau bila tidak dapat meningkat dalam usaha memberikan kompensasi bagi
peningkatan produksi CO2 atau pembentukan rongga tidak berfungsi pada
pertukaran gas (dead space)
14
d. Sianosis (kebiruan), diakibatkan rendahnya kadar oksigen dalam darah.
e. Penggunaan otot bantu pernafasan
f. Gerakan dinding asimetris
g. Pernafsan paradoksal
h. Retraksi dinding dada
i. Suara nafas menurun atau hilang atau didapatkan suara tambahan seperti
stridor, rhonki, atau wheezing.
Untuk membedakan penyebab dari gagal nafas dapat diketahui dari gejala
gagal nafas antara lain :
Hipoksemia Hiperkapnia
Somnolen
Ansietas Letargi
Takikardia Koma
Takipneu Sakit kepala
Diaforesis Edema papil
Aritmia Asteriks
Perubahan Status Mental Agitasi
Bingung Tremor
Sianosis Bicara kacau
Kejang
Asidosis Laktat
15
Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease
(penyakit yang mendasarinya).
b. Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen
yang diberikan tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat pemberi
16
oksigen tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan, potensi efek
samping oksigen, dan ventilasi semenit pasien.
Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus rendah dan
sistem arus tinggi.
Alat Kateter Nasal 1-6 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 24-44%
Arus Kanula Nasal 1-6 L/menit
Rendah Konsentrasi : 24-44%
Simple Mask 6-8 L/menit
Konsentrasi : 40-60%
Mask + Rebreathing 6-8 L/menit
Konsetrasi : 60-80%
Alat AMBU BAG 10 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 100%
Arus Tinggi Bag Mask + Jackson 10 L/menit
Rees Konsentrasi : 100%
c. Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to
nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan
ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi
IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas
spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan
ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative
yang ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan
napas sebanyak sesuai yang diatur.
d. Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya
diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar
17
pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama
ventilator.
e. Terapi farmakologi
- Bronkodilator.
Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus.
Merupakan terapi utama untuk pnyakit paru obstruktif atau pada
penyakit dengan peningkatan resistensi jalan napas seperti edema paru,
ARDS, atau pneumonia.
- Agonis B adrenergik / simpatomimetik
Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot polos
bronkus sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. golongan ini
memiliki efek samping antara lain tremor, takikardia, palpitasi, aritmia,
dan hipokalemia. Lebih efektif digunakan dalam bentuk inhalasi
sehinga dosis yang lebih besar dan efek kerjanya lebih lama.
- Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada
derajat tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang berperan
pada asma, dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan inflamasi,
dibandingkan dengan bronkitis kronik dimana tonus parasimpatis lebih
berperan.
Pada gagal nafas, antikolinergik harus diberikan bersamaan dengan
agonis beta adrenergik. Contoh dari antikolinergik adalah Ipatropium
Bromida, tersedia dalam bentuk MDI (metered dose-inhaler) atau
solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia,
palpitasi, dan retensi urine.
- Teofilin
Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP siklik,
translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi reseptor beta-
adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping meliputi
takikardia, mual, dan muntah. Komplikasi terparah antara lain aritmia
jantung, hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang.
- Kortikosteroid
18
f. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
Tindakan terapi untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:
- Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat
saluran napas.
- Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.
- Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik
2.7 Komplikasi
Gagal nafas merupakan suatu kondisi kegawatan yang dapat mengancam
jiwa. Komplikasi gagal nafas dapat mempengaruhi organ-organ vital terutama otak
dan jaringan karena tidak adekuatnya oksigenasi. Oleh karena itu penanganan yang
cepat dan tepat pada kegawatan nafas sangat diperlukan.
2.8 Prognosis
Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab gagal
nafas, penyakit primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan penanganan, serta
komplikasi yang terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat tergantung dari
etiologi/penyakit yang mendasarinya, serta penanganan yang cepat dan adekuat.
Jika penyakit tersebut diterapi dengan benar maka hasilnya akan baik. Jika gagal
napas berkembang dengan perlahan maka dapat timbul hipertensi pulmoner, hal ini
akan lebih memperberat keadaan hipoksemi. Adanya penyakit ginjal dan infeksi
paru akan memperburuk prognosis. Terkadang transplantasi paru diperlukan.
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Zulfikli, dan Johanes Purwato. 2009. Gagal Nafas Akut. Dalam : Aru W.
Sudoyo (ed.) . Buku Ajar Ilmu Penyakit anak. Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing. pp. 219-226.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2005. Gagal Nafas pada Anak. Dalam Pedoman
Diagnosis dan Terapi edisi 3. Bagian Ilmu Kedehatan Anak FK Unpad
RSHS.
Guyton,A.C. , dan John E. Hall. 2008. Ventilasi Paru.. Dalam : Arthur C. Guyton
dan John E. Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta : EGC. Pp
Ulaynah, Ana. 2009. Terapi Oksigen. Dalam : Aru W. Sudoyo (ed.) . Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. pp. 161-
165
21