Anda di halaman 1dari 2

Kehidupan Nabi Ibrahim dengan istrinya, Siti Sarah selama seratus tahun tidak juga empunyai

keturunan. Akhirnya beliau menikah lagi dengan seorang budak, Siti Hajar dan mempunyai putra,
Ismail. Namun, saat Ismail baru lahir, Ibrahim harus meninggalkan Ismail dan ibunya karena
kecemburuan Siti Sarah. Akhirnya Ibrahim pun membawa Ismail dan Hajar ke suatu tempat.

“Setelah berminggu-minggu berada dalam perjalanan jauh yang memenatkan, tibalah pada akhirnya
Nabi Ibrahim bersama Ismail dan ibunya di Makkah kota suci dimana Kaabah didirikan dan menjadi
kiblat manusia dari seluruh dunia. Di tempat di mana Masjidil Haram sekarang berada, berhentilah
unta Nabi Ibrahim mengakhiri perjalanannya dan di situlah ia meninggalkan Hajar bersama puteranya
dengan hanya dibekali dengan serantang bekal makanan dan minuman sedangkan keadaan
sekitarnya tiada tumbuh-tumbuhan, tiada air mengalir, yang terlihat hanyalah batu dan pasir kering.
Alangkah sedih dan cemasnya Hajar ketika akan ditinggalkan oleh Ibrahim seorang diri bersama
dengan anaknya yang masih kecil di tempat yang sunyi senyap dari segala-galanya kecuali batu
gunung dan pasir. Ia seraya merintih dan menangis, memegang kuat-kuat baju Nabi Ibrahim
memohon belas kasihnya, janganlah ia ditinggalkan seorang diri di tempat yang kosong itu, tiada
seorang manusia, tiada seekor binatang, tiada pohon dan tidak terlihat pula air mengalir, sedangkan
ia masih menanggung beban mengasuh anak yang kecil yang masih menyusu. Nabi Ibrahim
mendengar keluh kesah Hajar merasa tidak tergamak meninggalkannya seorang diri di tempat itu
bersama puteranya yang sangat disayangi akan tetapi ia sedar bahwa apa yang dilakukan nya itu
adalah kehendak Allah s.w.t. yang tentu mengandungi hikmat yang masih terselubung baginya dan ia
sedar pula bahawa Allah akan melindungi Ismail dan ibunya dalam tempat pengasingan itu dan
segala kesukaran dan penderitaan. Ia berkata kepada Hajar”:

“Bertawakkallah kepada Allah yang telah menentukan kehendak-Nya, percayalah kepadakekuasaan-


Nya dan rahmat-Nya. Dialah yang memerintah aku membawa kamu ke sini dan Dialah yang akan
melindungi mu dan menyertaimu di tempat yang sunyi ini. Sesungguh kalau bukan perintah dan
wahyunya, tidak sesekali aku tergamak meninggalkan kamu di sini seorang diri bersama puteraku
yang sangat ku cintai ini. Percayalah wahai Hajar bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak akan
melantarkan kamu berdua tanpa perlindungan-Nya. Rahmat dan barakah-Nya akan tetap turun di
atas kamu untuk selamanya, insya-Allah.” Mendengar kata-kata Ibrahim itu segeralah Hajar
melepaskan genggamannya pada baju Ibrahim dan dilepaskannyalah beliau menunggang untanya
kembali ke Palestin dengan iringan air mata yang bercurahan membasahi tubuh Ismail yang sedang
menetak. Sedang Nabi Ibrahim pun tidak dapat menahan air matanya keetika ia turun dari dataran
tinggi meninggalkan Makkah menuju kembali ke Palestin di mana isterinya Sarah dengan puteranya
yang kedua Ishak sedang menanti. Ia tidak henti-henti selama dalam perjalanan kembali memohon
kepada Allah perlindungan, rahmat dan barakah serta kurniaan rezeki bagi putera dan ibunya yang
ditinggalkan di tempat terasing itu. Ia berkata dalam doanya:” Wahai Tuhanku! Aku telah tempatkan
puteraku dan anak-anak keturunannya di dekat rumah-Mu (Baitullahil Haram) di lembah yang sunyi
dari tanaman dan manusia agar mereka mendirikan solat dan beribadat kepada-Mu. Jadikanlah hati
sebahagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan yang
lazat, mudah-mudahan mereka bersyukur kepada-Mu.” (kutipan)
Saat itu Nabi Ibrahim sangat berat untuk meninggalkan putra dan istrinya. Namun, karena tawakkal
kepada Rabb-Nya, Ibrahim serahkan semua yang terjadi kepada Rabb-Nya. Hajar pun menerima atas
keputusan Ibrahim. Peristiwa itu menjadikan Hajar lebih kuat. Berlari-lari di padang gurun yang
sangat luas untuk mencarikan makanan dan minuman untuk putranya. Yang akhirnya Hajar
menemukan sumber air zam-zam, yang sampai saat ini menjadi oleh-oleh utama bagi jama’ah yang
berhaji atau berumrah.

Begitu pula dengan kita, dalam kehidupan kita mempunyai banyak teman, sahabat, dan mungkin
sudah seperti keluarga. Seseorang yang dulu sangat dekat, selalu ada buat kita, suatu saat nanti
mungkin akan menjauh. Mungkin saat itu ia enggan untuk melepas kita, tapi ia ingin mengajarkan
kepada kita untuk tidak tergantung padanya. Ia ingin mengajarkan kita hanya bergantung kepada
Allah SWT. Ia pun ingin melihat kita menjadi lebih kuat dalam menjalani kehidupan. Meskipun saling
jauh, do’a-do’a terbaik menembus langit, berharap Allah selalu berikan yang terbaik untuk
kehidupan masing-masing. Dan jika Allah takdirkan untuk bertemu lagi, akan terlihat pribadi-pribadi
yang lebih kuat dan bertawakal kepada-Nya. Pertemuan dan perpisahan itu pasti. Bagaiman bersikap
setelah pertemuan atau perpisahan itu yang perlu dijalani.

Anda mungkin juga menyukai