Anda di halaman 1dari 11

LASKAR untuk PELANGI

Memikirkanmu aku takut


Ketakutanku semakin menjadi ketika aku berusaha memandangmu dengan jelas
Seperti sebuah pelangi yang hanya bisa dipandang sesaat
Lalu ia akan memudar dan menghilang
Aku tidak ingin hal buruk itu juga terjadi padamu
Aku akan memilih untuk tidak melihatmu, daripada aku harus kehilangan dirimu
Egois memang. Tapi menurutku itu adalah sebuah pilihan yang terbaik? benar kan

“Apa semua sudah siap?” Seorang pria paruh baya dengan kemeja putih yang
kebesaran terlihat sibuk dengan berbagai kardus-kardus yang kini memenuhi mobil sedan
hitam miliknya. Jhontana Braswara-namanya-tengah mengelap keringat yang berada
dikedua pelipisnya.
“...1...2...3...4. Mamah rasa sudah semua pah. Sisanya biar diantar sama jasa pindahan
rumah saja.” Ujar suara lembut dari Mustika Ratna Braswara. Istri Jhon itu tengah sibuk
menghitung kardus-kardus yang sudah tersusun rapi didalam mobil mereka. Takut jika
kardus yang berisi barang berharga tertinggal lalu tercampur dengan barang pecah belah
yang sudah dipisahkan sebelumnya.
“Ayo berangkat, ntar keburu macet.”
“Tunggu pah, Askar mana?.”
“Kan tadi dimobil.”
“Nggak ada tuh.” Ratna mengintip dari luar kaca mobil namun tidak menemukan
tanda-tanda keberadaan seseorang yang tengah mereka cari. Laskar Marwin Braswara.
Anak tunggal dari pasangan suami istri tersebut.
“ASKAR...!” Teriak Ratna dari luar.
“IYA. SEBENTAR MAH...” Sahut seseorang dari dalam rumah mewah yang akan
segera ditinggalkan oleh pemiliknya. Akhirnya Ratna dan Jhon memutuskan untuk
menunggu didalam mobil.
Setelah Ratna dan Jhon menunggu sebentar didalam mobil, laki-laki muda dengan
menggenakan kaos denim berlengan pendek dan celana jeans hitam sebatas lutut masuk
kedalam mobil sedan milik Jhon. Jhon dan Ratna langsung menoleh ke kursi penumpang
dan menemukan anak mereka tengah duduk santai sambil terkekeh.
“Kok lama?.”
“Tadi niatnya cuma mau ngambil bola. Ehh, gak taunya Askar sakit perut mah, jadi ya
gitu deh.” Jawab Askar dengan sedikit tertawa geli. Ratna dan Jhon menggelengkan
kepala melihat tingkah anak sematawayang mereka. Kemudian Jhon mengencangkan
sabuk pengaman miliknya lalu menyalakan mesin mobil dan mobil sedan itu mulai
melaju menembus paginya kota Jakarta.

“Pah, Mah... Langi nanti ada bimbingan belajar sampai jam 5 sore. Trus abis itu Langi
sama Nadya mau mampir ketoko buku dulu sebentar, gak papa kan?” Suara imut dari
remaja putri bernama Pelangi Anesta Wiyatma menjadi pembicaraan pagi ditengah
keluarga Wiyatma yang tengah sibuk menyantap sarapan mereka.
“Gimana Pah?.” Shopia Pangaribuan-Mamah Pelangi-bertanya sembari menoleh
kearah suaminya yang berada tepat disebelahnya.
“Asal jangan lewat dari jam malammu ya.” Suara serak dan berat menjawab
pertanyaan Langi. Ayahnya, Surnaryo Wiyatma kembali melanjutkan makannya yang
sempat terhenti. Tentu saja Langi senang dengan ucapan ayahnya. Pasalnya Langi jarang
sekali mendapatkan ijin untuk keluar rumah. Paling-paling ia hanya boleh keluar jika itu
berurusan dengan belajar. Seperti les dan sejenisnya yang bersangkutpaut dengan mata
pelajaran. “Kamu tidak lupa dengan jam malammu, kan?” Tiba-tiba Aryo bertanya disela-
sela makannya.
“Jam 9 malam kan. Tidak boleh lebih...” Ucap Langi sedikit malas.
“Kak Langi, Abelle boleh nitip sesuatu gak?.” Ucap suara manja seorang gadis kecil
berumur 7 tahun. Langi senang melihat adik perempuannya setiap kali gadis kecil itu
bersikap manja padanya. Karena menurut Langi, tingkah adik kecilnya itu sangat
menggemaskan.
“Tentu. Abelle mau apa?.” Langi menatap bola mata kecokelatan milik Abelle. Ananda
Abellya Wiyatma, tersenyum senang sambil menggoyang-goyangkan badan mungilnya.
“Abelle ingin buku cerita Marmaid.” Ucap Abelle riang.
“Baiklah. Nanti kakak belikan.” Langi mengelus puncak kepala Abelle dengan sayang.
Semua kembali melanjutkan sarapan mereka dalam diam. Lalu mulai menjalankan
aktifitas harian mereka masing-masing.

SMA Negeri 44 Bandung tengah bersiap untuk melakukan kegiatan rutin mingguan
mereka. Upacara. Jam baru menunjukan pukul 7 pagi, tapi sayangnya matahari sudah
sangat tinggi dan terik. Langi yang baru tiba, segera menuju lapangan utama dan
mencari-cari keberadaan sahabatnya-Nadya Hutagalung-anak seorang pengacara ternama
di Bandung. Tidak sulit bagi Langi untuk menemukan sahabatnya itu ditengah banyaknya
siswa yang berhamburan untuk menyusun barisan mereka.
Dengan langkah cepat Langi langsung menuju barisan kelas 11 lalu berjalan santai
ketika matanya menangkap sesuatu. Langi berjalan ke arah cewek yang memakai pita
rambut berwarna sama dengan aksesoris yang ia kenakan.
“Hey...” Langi menepuk pelan punggung sahabatnya itu.
“Hey Ngi.” Balas Nadya senang melihat sahabatnya sudah berada disebelahnya.
“Selalu aja telat.” Sambung Nadya sambil melipat kedua tangannya didada.
“Nggak kok. Masih ada waktu 3 menit, sebelum lek nardi-Satpam Sekolah-nutup tu
gerbang. Kekeke.”
“Huh, dasar.”
Langi segera masuk kedalam barisan dan pemimpin upacara segera memimpin
jalannya upacara pagi itu. Baru 15 menit upacara dimulai, Langi sudah berulang kali
mengelap wajahnya dengan saputangan yang telah ia siapkan sebelumnya. Bahkan Langi
sudah menyaksikan beberapa temannya yang tumbang dan harus dibawa ke ruang UKS.
Langi bersyukur kini hanya tinggal berdoa lalu upacara akan segera berakhir. Ia sudah
tidak kuat berhadapan terlalu lama dengan sang matahari. Selepas upacara selesai, Langi
dan Nadya langsung menuju kelas 11 IPA 2. Langi duduk didekat jendela barisan kedua.
Sementara Nadya duduk didepannya. Kelas mereka memang menerapkan duduk secara
terpisah, katanya sih biar para siswa bisa lebih fokus disaat guru sedang menjelaskan
mapel.
Penantian panjang bagi para siswa-siswi akhirnya terjawab sudah. Baru saja bel
istirahat berbunyi diikuti kepergian guru bahasa indonesia mereka. Anak-anak yang sudah
tidak bisa menahan diri, langsung ngacir kekantin dengan kecepatan cahaya. Sementara
Langi dan Nadya memilih duduk di sebuah bangku yang ada tepat dipinggir lapangan
sambil memakan es krim yang tadi mereka beli.
“Nad, ntar jadi yah. Gue dibolehin, hehehe.”
“Wah, bagus deh. Untung gue udah nyiapin baju ganti.” Balas Nadya, lalu menyeruput
es krim vanillanya yang mencair.
“Tapi cuma sampek jam 9 aja ya. Biasa...” Untungnya Nadya sangat paham dengan
kondisi Langi. Jadi dia tidak pernah mempermasalahkan waktu main mereka yang
sebentar.
“Iyaa...iyaa. Gue tau.” Balas Nadya sambil mengedipkan sebelah matanya pada Langi.
“Lo bawa mobil kan?.”
“Yaiyalah. Masa ntar kita naik ojek.” Ucap Nadya yang disambut tawa renyah Langi.
“Ya kirain aja lo minta kang Usup-supir pribadi Nadya-buat nganterin.”
“Nggak ahh. Kang Usup kalo bawa mobil lambat banget. Keburu ngantuk gue ntar.”
“Hahaha...iya lo bener. Terakhir kali waktu kita mau nonton trus kang Usup yang
nyetir, gue ketiduran. Bangun-bangun rambut gue berantakan, kan sebel jadinya harus
nata ulang rambut.”
“Tuh kan bener. Mending gue yang nyetir.” Keduanya tertawa lepas, hingga tanpa
sadar Langi menghentikan tawanya. Nadya yang heran lalu memandang Langi dengan
dahi berkerut. Kini Langi sedang melihat sesuatu. Nadya yang penasaran lalu menoleh
mencari tahu apa yang sedang sahabatnya itu perhatikan. Nadya terkekeh geli saat
mengetahui jika Langi tengah memperhatikan Alex. Nama lengkapnya Alex Pandu
Setiawan. Anak kelas 11 IPS 3. Ketua klub sepak bola yang sudah lama menarik
perhatian Langi.
Mata hitam Langi tidak bisa berhenti menatap Alex yang tengah berkumpul dengan
teman-temannya sambil bermain gitar.
Sudah lumayan lama Langi memiliki perasaan pada Alex. Tepatnya ketika ospek tahun
lalu. Tahun pertama dirinya bertemu dengan cowok itu. Dan entah apa yang menarik dari
diri Alex yang bisa membuat Langi langsung menyukainya sejak pertama kali ia melihat
Alex.
Langi masih belum berhenti memandangi Alex yang tengah bernyayi bersama teman-
temannya dengan diiringi petikan gitar yang dimainkan cowok itu. Lama kelamaan Langi
makin dibuat gila, tanpa cewek itu sadari kini ia senyum-senyum sendiri. Nadya yang
melihat itu merasa ngeri. Nadya langsung menyikut lengan Langi sampai cewek itu
tersadar dari khayalannya.
“Nad, apaan sih. Ganggu aja.” Ucap Langi agak sensi karna ulah Nadya.
“Abis muka lu udah jelek tuh. Ngeliatin cowok aja sampek segitunya.”
“Yee, biarin. Emangnya lo, yang masih suka ngeliatin mantan.”
“Ihh, rese lo ya. Es krim lo tuh sampek cair. Cehh, cehh...” Ucap Nadya sambil
tertawa. Pasalnya Nadya sudah melahap habis es krimnya. Sementara Langi yang sedari
tadi merhatiin Alex, sampek ngak sadar kalo es krimnya sudah mencair dan mengotori
tangan putihnya.
“Yah, kok lo baru bilang sih. Kan tangan gue jadi lengket.” Langi protes lalu
memutuskan untuk membuang es krimnya yang tinggal sedikit itu ketempat sampah
terdekat, kemudian mengelap tangannya yang terkena lelehan es krim.
“Hahaha, kok jadi nyalahin gue sih. sapa suruh lo merhatiin cowok sampe segitunya.
Genit sih lo.” Ledek Nadya.
“Huh, udah ahh. Balik yuk.” Ajak Langi untuk kembali ke kelas mereka karna bel akan
segera berbunyi. Langi segera berdiri disusul oleh Nadya. Nadya kemudian berjalan
sambil bergelayut manja dilengan Langi hingga sesampainya mereka dikelas.

Sebuah mobil sport putih tengah berhenti tepat disebuah pekarangan rumah dengan
tiang-tiang tinggi yang menyangga rumah berlantai dua itu. Langi keluar dari dalam
mobil yang ternyata adalah mobil Nadya. Lalu Langi membuka pintu penumpang dan
menarik keluar beberapa bungkusan berisi belanjaan yang baru ia beli.
“Thank’s ya Nad udah nganterin. Yakin gak mau mampir dulu?.” Ucap Langi pada
Nadya yang sudah bersiap-siap memutar mobilnya. Langi dan Nadya baru pulang dari
sebuah pusat perbelanjaan. Dan Nadya menepati janjinya untuk mengantar Langi pulang
sebelum jam 9 malam.
“Gak usah deh Ngi, besok-besok aja. Gue belum belajar buat ulangan besok.” Jawab
Nadya dengan wajah menyesal.
“Ya udah. Lo hati-hati ya.”
“Oke. Dah...” Ucap Nadya sambil tersenyum yang dibalas Langi dengan anggukan
kecil.
Setelah melihat mobil Nadya menghilang dari pekarangan rumahnya, Langi segera
masuk kedalam rumah dengan menenteng bungkusan ditangannya.
Langi melihat mamahnya yang tengah berada didapur. Seperti sedang sibuk membuat
sesuatu, tapi Langi tidak ambil pusing dan memilih langsung menuju kamarnya yang
berada dilantai dua.
Namun ia teringat dengan pesanan adik kecilnya. Langi memutuskan untuk menuju
kamar Adelle terlebih dahulu yang berada didepan kamarnya. Langi berdiri didepan pintu
bercat putih yang dipenuhi oleh gambar Disney. Ketukan dipintu didengar oleh Adelle.
Adelle lalu membuka pintu kamarnya. Melihat adik kecilnya kini berada didepannya,
Langi kemudian berjongkok didepan Adelle. Menyeimbangkan tingginya dengan tinggi
badan Adelle.
“Hai, little princess.” Ucap Langi saat melihat Adelle dengan wajahnya yang
mengantuk.
“Kakak, sudah pulang?.”
“Iyaa, Baru aja. Nih, buku Marmaidnya.” Langi mengamil dua buah buku cerita
bergambar dengan cerita yang berbeda dari dalam bungkusan besar miliknya.
“Makasih kak Langi.” Adelle memeluk kedua bukunya. Wajahnya terlihat sangat
senang yang membuat wajahnya semakin terlihat menggemaskan.
“Tidur gih. Sudah waktunya jam tidurmu, kan .” Langi mengelus kepala Adelle.
“Selamat malam kak.” Ucap Adelle seraya mencium pipi kiri Langi. Langi protes saat
Adelle tidak mencium pipi kanannya yang kemudian membuat Adelle tertawa. Adelle
segera mencium pipi kanan Langi lama semebul menarik wajahnya menjauh. Adelle
memberikan kedipan kecil sebelum masuk kembali kedalam kamarnya. Langi berbalik
lalu menuju kamarnya untuk segera mandi dan beristirahat.
Jam sudah menunjukan pukul 11 malam, dan Langi baru saja menutup buku paket
kimianya. Ia baru selesai belajar untuk persiapan ulangan besok. Langi beranjak menuju
kasur empuknya, namun ia mendengar suara gaduh yang berasal dari luar. Langi yang
penasaran langsung mengintip dari kaca jendela kamarnya.
Langi melihat ke sebuah rumah bercat putih yang tepat berada disamping rumahnya.
Rumah kosong yang sudah dijual oleh pemiliknya. tetapi, Langi melihat sepertinya rumah
itu kembali memilik tanda-tanda kehidupan. Seperti lampu ruangan yang menyala semua.
Langi heran, lalu matanya melihat ke bawah dan menangkap sebuah mobil sedan hitam
tengah terparkir di perkarangan rumah itu disertai dengan mobil jasa pindahan rumah.
Seketika Langi langsung mengerti. Rumah kosong disebelah rumahnya itu kini bukan
lagi sebuah rumah kosong. Sekarang rumah itu resmi memiliki penghuni baru
didalamnya. Dan berarti sekarang Langi akan memiliki tetangga baru. Langi tersenyum
dan berharap tetangga barunya adalah sebuah keluarga yang menyenangkan.
Rasa penasaran yang awalnya muncul dalam diri Langi, akhirnya menghilang. Langi
ingin beranjak, namun ketika cewek itu mengangkat wajahnya pandangannya langsung
tertuju kepada seorang cowok yang tengah menatapnya tajam dari balik jendela, sama
seperti yang Langi lakukan. Mereka saling memandang, sampai akhirnya Langi tersadar
dan wajahnya seketika merona.
Langi langsung cepat-cepat menutup tirai dan berbalik. Berusaha bersembunyi dari
tatapan tajam cowok asing tadi. Entah mengapa Langi merasa malu. Ia seperti tengah
tertangkap basah sedang mengintip. Padahal ia memang sedang mengintip.
“Duh, sialan. Siapa sih tuh cowok. Bikin gue malu aja.” Celetuk Langi dengan wajah
merona.
“Apa dia tetangga baru gue?” Pikir Langi bingung. “Ganteng juga, sih. Tapi dia
ngapain ngeliatin gue? Emang sih kata Nadya gue itu cantik.” Ucap Langi asal. “Masa
bodo deh, mending sekarang gue tidur.” Sambungnya.
Selesainya Langi menenangkan dirinya, ia langsung berbaring diatas kasurnya dan
memilih untuk melupakan kejadian tadi. Tanpa ia sadari, Langi akhirnya terlelap.

Jakarta-Bandung sebenarnya tidak harus menempuh waktu lama. Tapi Askar dan kedua
orang tuanya baru sampai di rumah baru mereka hampir jam 11 malam. Padahal mereka
berangkat pagi-pagi sekali. Ini dikarnakan nenek Askar yang meminta untuk dikunjungi
karna rumah nenek Askar yang juga berada di daerah Bandung.
Awalnya mereka memutuskan untuk berkunjung selama 1-2 jam saja. Tapi nenek
Askar menahan mereka untuk cepat-cepat pergi dengan alasan jika Askar dan kedua
orang tuanya sudah jarang mengunjugi nenek.
Kini Askar, Ratna, dan Jhon tengah sibuk mengurus barang-barang mereka. Walau
mereka sudah memanggil jasa pindahan rumah tetap saja mereka terlihat sibuk mengurus
perabotan yang harus dipindahkan.
“...biarkan saja itu berada disana. Yang dibelakang saja yang dipindah.” Jhon berbicara
dengan lembut kepada salah satu kurir jasa pindahan rumah.
“Hati-hati. Jangan sampai pecah.” Suara Ratna terdengar sedikit begetar ketika melihat
salah satu patung batu kesukaannya digotong oleh dua orang kurir. Ratna cemas jika
terjadi hal yang buruk pada salah satu koleksinya.
Askar yang merasa lelah memutuskan untuk pergi kekamarnya yang sudah ia pilih.
Kamar di lantai dua. Askar membawa koper berisi baju-bajunya lalu membawanya
menaiki tangga. Tak berapa lama Askar sampai didepan pintu kamar yang ia yakini
adalah pintu kamarnya.
Askar membuka pintu kamarnya dan meletakan kopernya sembarangan. Ia terlalu
lelah untuk memikirkan barang-barang pribadinya yang masih berantakan.
20 menit dihabiskan Askar untuk berbaring. Sampai akhirnya ia merasa bosan. Namun
ia tidak berniat untuk mebereskan barang-barangnya. Askar malah menuju ke jendela
kamarnya yang cukup besar. Askar ingin melihat pemandangan seperti apa yang bisa ia
lihat dari jendela kamarnya.
Askar membuka sebagian tirai yang menutupi jendelanya. Bukannya melihat
pemandangan yang Askar bayangkan, ia justru melihat seorang cewek yang juga melihat
dari balik jendela seperti yang dirinya lakukan. Namun cewek itu belum sadar dengan
seseorang yang tengah mengamatinya. Askar masih memandang cewek itu dengan diam.
Ini pertama kalinya bagi Askar melihat cewek dewasa memakai piama bergambar bebek.
Tapi Askar kemudian memuji kecantikan wajah yang cewek itu miliki. Ditambah dengan
senyuman yang cewek itu baru perlihatkan, yang menurut Askar sangat...Indah.
Entah mengapa, Askar tidak ingin meninggalkan tempat ia berdiri sekarang. Ia memilih
untuk mengikuti kata hatinya untuk bertahan sedikit lebih lama. Namun, Askar terkejut
karena titik fokusnya menatap tepat kearahnya. Ya, cewek itu menoleh dan kini mata
mereka bertemu. Askar membiarkan mata mereka saling menatap. Tapi tidak dengan
cewek itu. Ia justru langsung berbalik dan menutup tirai jendelanya. Membuat Askar
sedikit kecewa. Padahal ia telah membayangkan akan mendapat sebuah senyuman dari si
cewek.
Askar menarik napas putus asa, lalu menutup tirai jendela dengan lesu. Kemudian ia
berjalan pelan menuju kasur besarnya dan langsung beristirahat.

Esoknya, di rumah kediaman Braswara. Askar dan kedua orang tuanya tengah
bersantai sambil menyaksikan acara televisi yang disetel Ratna. Sementara Jhon sibuk
dengan koran yang sedang ia baca. Saat itu, Ratna tengah serius menonton acara
memasak yang dibawakan oleh salah satu chef terkenal di Indonesia. Chef dengan wajah
tampan yang masih sangat muda. Ratna terlihat sangat tertarik menyaksikan bagaimana
sang chef menunjukan cara memotong ikan segar yang benar, sekaligus mempromosikan
pisau yang ia pakai untuk memotong.
“Haruskan mamah membeli satu set pisau dapur itu, pah?”. Ucah Ratna dengan
senyum yang susah diartikan.
“Kita kan sudah punya yang sama seperti itu, untuk apa lagi membeli barang yang
sama.” Balas Jhon masih sibuk dengan koran yang ia baca.
“Iss, tapi kan beda pah. Tuh lihat, ikannya aja jadi kelihatan tampan kan?.” Ucapan
Ratna kali ini sontak membuat Askar yang tengah bermain dengan Gadget-nya tertawa.
“Yang mamah maksud tampan itu ikannya apa chefnya? Ada-ada aja mamah. Masa
ikan dibilang tampan.” Kata Askar yang membuat Ratna mencibir kesal. Jhon melilik
kearah istrinya, lalu menahan senyum melihat wajah istrinya yang cantik terlihat sedang
kesal.
“Gimana dengan sakolahmu, kar?. Kapan kamu mau masuk sekolah yang sudah papah
pilihkan.” Kata Jhon. Mengganti topik pembicaraan diantara mereka.
“Jangan sekarang deh pah, Askar masih mau istirahat dulu. Seminggu lagi, boleh?.”
Askar langsung menaruh Gedgetnya dan menatap Jhon dengan wajah memohon yang
lucu.
“Itu terlalu lama. Jangan mencari-cari alasan untuk bermain, Askar. Sebentar lagi kan
kamu mau kelas 3.” Ratna tidak setuju dengan ucapan Anaknya barusan.
“Betul yang mamah mu bilang. Besok lusa kamu sudah harus masuk sekolah. Papah
sudah mengurus semua atministrasi sekolahmu.” Askar menarik napas panjang. Buyar
sudah jadwal yang sudah ia susun untuk bersantai.
“Tapi Askar tetep boleh bawa mobil kan?.” Tanyanya.
“Boleh.” Balasan singkat dari Jhon membuat Askar girang. “Makasih pah.” Sambung
Askar sambil bersandar dan mengelus-elus bahu Jhon persis seperti anak kucing.
Langi baru saja pulang sekolah. Belum sempat Langi berganti pakaian sekolahnya,
Mamahnya sudah menyuruh dia untuk mengantarkan kue bolu ke tetangga baru sebelah
rumah yang tiba semalam. Langi terkejut dan berusaha menolaknya dengan alasan ia baru
pulang sekolah dan belum istirahat. Tapi, Langi gagal. Dan disinilah ia berada. Langi
berdiri kaku didepan pintu dengan ukiran-ukiran rumit dipermukaannya. Langi bingung,
ia memiliki perasaan untuk berbalik dan berlari kembali menuju rumahnya.
Tapi niat Langi hilang saat bayangan mamahnya akan memarahinya jika tidak
memberika kue buatan mamahnya itu kepada si tetangga baru. Tangan Langi gemetar saat
menekan bel rumah. Pikiran Langi dihantui rasa takut jika cowok semalam yang akan
membuka pintu. Langi menunduk sambil terus menunggu.
Pintu terbuka. Langi menatap sandal didepannya lalu mata Langi perlahan naik dan
terus naik sampai matanya menatap laki-laki muda dengan mulut makanan. Tidak salah
lagi, laki-laki itu adalah laki-laki yang semalam Langi liat. Bukannya memberi salam dan
segera memberikan kue bolu dari mamahnya, Langi justru terdiam mengangumi laki-laki
didepannya.
Sementara Askar yang berada didepan Langi mulai memasang ekspresi bertanya-tanya
mau apa Langi berada didepan rumahnya. Dengan hanya memakai kaos tanpa lengan dan
celana pendek, Askar tampak cuek. Askar masih tampak kesal karena acara main PS nya
diganggu. Namun saat tau jika cewek didepannya adalah cewek piama bebek yang
semalam, Askar buru-buru menghabiskan cemilan yang ada didalam mulutnya.

Anda mungkin juga menyukai