Anda di halaman 1dari 21

II.

Tinjauan Pustaka

2.1 Isoniazid

2.1.1 Monografi Zat Aktif

Gambar 2: Rumus bangun isoniazid (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,

2014)

Isoniazid merupakan antituberkulosis mengandung tidak kurang dari 98,0%

dan tidak lebih dari 102,0%, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Nama

kimia isoniazid yaitu Asam 4–piridin–karboksilat hidrazin dengan rumus kimia

C6H7N3O dapat dilihat pada Gambar 2 dan dengan bobot molekul yaitu 137,14.

Pemerian isoniazid yaitu hablur atau serbuk hablur, putih atau tidak berwarna,

tidak berbau, perlahan-lahan dipengaruhi oleh udara dan cahaya. Kelarutan dari

isoniazid yaitu mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, sukar larut

dalam kloroform dan eter. Jarak lebur isoniazid antara 1700 C dan 1730 C.

Isoniazid memiliki pH antara 6,0 dan 7,5. Isoniazid disimpan dalam wadah

tertutup, tidak tembus cahaya (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Identifikasi :

a. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan dan didispersikan

dalam kalium bromide P menunjukkan maksimum hanya pada bilangan

gelombang yang sama seperti pada isoniazid BPFI.

4
b. Masukkan lebih kurang 50 mg zat kedalam labu terukur 500 mL,

tambahakan air sampai tanda. Masukkan 10 ml larutan ini kedalam labu

terukur 100 mL tambahkan 2 mL asam klorida 0,1 N, encerkan dengan air

sampai tanda, spektrum serapan ultraviolet larutan menunjukkan maksimum

dan minimum hanya pada panjang gelombang yang sama seperti pada

isoniazid BPFI (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

2.1.2 Farmakologi Zat Aktif

Isoniazid merupakan obat pilihan untuk tuberkulosis, bersifat bakterisidal.

Isoniazid dimetabolisme terutama melalui asetilisasi dan dehidrazinasi. Kecepatan

asetalisasi setiap orang berbeda secara genetik dan sebagian besar orang eskimo

dan asia merupakan asetilator cepat (Hardjasa, et al., 2002).

Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar

puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Waktu paruh pada

keseluruhan populasi adalah 1 sampai 4 jam. Waktu paruh pada asetilator cepat

rata-rata 70 menit, sedangkan nilai 2-5 jam merupakan khas asetilator lambat

(Ganiswarna, et al., 1995).

Isoniazid digunakan untuk terapi tuberkulosis baik untuk pencegahan

maupun pengobatan. Neuropati perifer merupakan efek toksik yang paling sering

timbul. Efek ini tergantung pada dosis dan paling sering terjadi pada pasien

malnutrisi dan mempunyai predisposisi neuritis (misal: peminum alkohol,

diabetes) dan biasanya didahului dengan parestesia kaki dan tangan (Hardjasa, et

al., 2002). Isoniazid dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami reaksi

hipersensitivitas berat, termasuk hepatitis akibat obat. Pasien yang telah

5
mengalami kerusakan hati, akan mengalami efek samping berat dengan pemberian

isoniazid (demam, menggigil, dan artritis) (Hardjasa, et al., 2002).

2.2 Natrium carboxymethyl cellulose (NaCMC)

Gambar 2: Rumus bangun Natrium carboxymethyl cellulose (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1995)

Natrium carboxymethyl cellulose (NaCMC) adalah garam natrium dari

polikarboksimetil eter selulosa seperti yang terlihat pada Gambar 2. Berbentuk

serbuk atau granul, berwarna putih sampai krem bersifat higroskopik. Mudah

terdispersi dalam air membentuk larutan koloidal tidak larut dalam etanol, dalam

eter dan pelarut organik lain. NaCMC memiliki pH antara 6,0 – 8,0 (Rowe, et al.,

2006).

Natrium carboxymethyl cellulose (NaCMC), merupakan suatu polimer yang

mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloidal dan sistem ini mampu

mengembang diikuti oleh erosi dari bentuk gel sehingga dapat terdisolusi dalam

media cair. Jika kontak dengan air, maka akan terbentuk lapisan matriks

terhidrasi. Lapisan ini bagian besarnya akan mengalami erosi sehingga terlepas

perlahan-lahan (Voight, 1994).

6
2.3 Mikroenkapsulasi

2.3.1 Tinjauan Umum

Mikroenkapsulasi adalah suatu proses penyalutan secara langsung terhadap

zat aktif dalam bentuk partikel halus dari zat padat, tetesan cairan, dan bentuk

terdispersi. Dalam bidang farmasi mikroenkapsulasi bertujuan untuk mengubah

bentuk zat aktif, perlindungan, penutupan rasa, dan pelepasan zat secara

terkendali. Mikrokapsul sebagai hasil dari proses mikroenkapsulasi mempunyai

ukuran antara 1-5000 μm (Lachman, et al., 1994).

Tabel I. Proses mikroenkapsulasi dan penerapannya (Lachman, et al., 1994).

Bahan inti yang Ukuran


Proses mikroenkapsulasi
dapat diterapkan partikel (μm)
Suspensi udara Padat 35-5000
Pemisahan fase koaservasi Padat dan cair 2-5000
Lubang ganda sentrifungal Padat dan cair 1-5000
Penguapan pelarut Padat 600-5000
Pengeringan dan pembekuan Padat dan cair 5-5000
Semprot Padat dan cair 600-5000

2.3.2 Prinsip Dasar Mikroenkapsulasi

Dalam proses mikroenkapsulasi pada dasarnya ada 2 bahan yang terlibat

didalamnya:

1. Bahan inti

Inti merupakan bagian yang disalut, dapat berbentuk padatan atau cairan.

Komposisi bahan inti dapat bervariasi, seperti inti cairan dapat meliputi

bahan terdispersi atau bahan terlarut. Ukuran bahan ini berbeda-beda

tergantung dari teknik mikroenkapsulasi yang digunakan.

7
2. Bahan penyalut

Pemilihan bahan penyalut yang tepat sangat menentukan sifat fisika dan

kimia dari mikrokapsul, sehingga pemilihan ini harus mendapat

pertimbangan semestinya. Bahan penyalut yang digunakan harus mampu

memberikan suatu lapisan tipis yang kohesif dengan bahan inti, dapat

bercampur secara kimia dan tidak bereaksi dengan bahan inti dan dapat

memberikan sifat penyalut yang diinginkan seperti kekuatan, fleksibilitas,

impermeabilitas, dan stabilitas (Deasy, 1984; Lachman, et al., 1994).

2.3.3 Tujuan Mikroenkapsulasi

Ada beberapa alasan suatu zat dimikroenkapsulasi, antara lain sebagai

berikut:

1. Mendapatkan sediaan lepas lambat atau obat dengan kerja diperpanjang.

2. Pengamanan terhadap zat yang beracun atau zat yang mempunyai bau

dan rasa tidak enak.

3. Perlindungan selama penyimpanan terhadap kemungkinan tejadinya

oksidasi oleh cahaya, penguapan dan kelembapan. Mencegah terjadinya

reaksi antara zat-zat yang saling tidak tercampurkan, misalnya pada

pembuatan tablet atau serbuk campur.

4. Mengurangi efek iritasi lambung dan intestinal (sediaan lepas tunda).

5. Penutupan rasa pada tablet kunyah (Deasy, 1984; Benita, 1991; Lachman,

et al., 1994).

8
2.3.4 Metoda Mikroenkapsulasi

Secara umum metoda pembuatan mikrokapsul dapat dibagi menjadi dua

bagian besar, yaitu tipe A (proses kimia) dan tipe B (proses mekanik). Tipe A

terdiri dari metoda penguapan pelarut, koaservasi, dan polimerisasi, sedangkan

tipe B terdiri dari metoda suspensi udara, pengeringan semprot, dan pembekuan

semprot, penyalutan dalam panci, lubang ganda sentrifungal, dan “fluidized bed”

(Benita, 1991; Lachman, et al., 1994).

1. Proses Kimia

a. Penguapan pelarut

Teknik ini didasari oleh penguapan fasa dalam dari suatu emulsi

melalui proses pengadukan dan telah digunakan oleh perusahaan-

perusahaan termasuk The NCR Company, Gavart Photo Production NV

dan Fuji Photo Film Co.Ltd, untuk memproduksi mikrokapsul.

Prosesnya dilakukan dengan suatu alat pembuat cairan dimana penyalut

dilarutkan dengan suatu pelarut yang mudah menguap, yang tidak

bercampur dengan fase cairan pembawa, diikuti dengan penambahan

bahan berkhasiat. Dengan pengadukan, campuran bahan penyalut dan inti

terdispersi dalam fase cairan pembawa untuk mendapatkan ukuran

mikrokapsul yang sesuai. Pada tahap terakhir dilakukan penguapan

pelarut dari penyalut (Benita, 1991; Lachman, et al., 1994).

b. Koaservasi

Metoda ini pertama kali diperkenalkan oleh BK. Green. Koaservasi ini

merupakan pemisahan fase dalam sistim koloid yaitu pemisahan lapisan

9
fase yang kaya koloid dan yang miskin koloid. Koaservasi berarti

agregasi dan awalan "ko" untuk menjelaskan adanya kesatuan partikel

koloid. Secara ini dilakukan dalam tiga pengerjaan dibawah kondisi

umum proses secara berkesinambungan, yaitu pembentukan fase yang

saling tidak bercampur, penempelan materi penyalut inti, dan pengerasan

dari penyalut (Deasy, 1984; Lachman, et al., 1994; Ansel, 1989).

c. Polimerisasi

Pada metoda ini terjadi reaksi monomer yang diletakkan pada

interfase unit diantara zat aktif. Fase pembantu ini biasanya berbentuk

cairan dan gas, karena itu reaksi polimerisasi terjadi pada fase gas-cair,

padat-cair, cair-cair, dan padat-padat.

2. Proses Mekanik

a. Suspensi udara

Metoda ini pertama kali dikenalkan oleh Prof. Dale. E. Woster dari

Universitas Winconsin. Pada prinsipnya metoda ini adalah dispersi fase

padat dari inti dalam udara yang mengalir melalui fase pendukung

kemudian disemprotkan dengan penyalur. Partikel ini berupa zat padat

yang akan disalut diresirkulasikan melalui penyalut yang berupa polimer

yang disemprotkan. Proses ini terjadi berulang-ulang sampai ketebalan

yang diinginkan. Aliran udara selain untuk sirkulasi juga berfungsi

mengeringkan hasil yang didapat (Deasy, 1984; Lachman, et al., 1994).

10
b. Pengeringan semprot

Pada metoda ini inti didispersikan dalam larutan penyalut, kemudian

campuran diatomisasikan ke dalam ruangan yang berisi aliran udara

panas secara berkesinambungan untuk menghilangkan larutan penyalut

dan menghasilkan mikrokapsul seperti yang terlihat pada Gambar 3

(Deasy, 1984; Lachman, et al., 1994).

Gambar 3 : Skema Alat Pengeringan semprot (Ravinesh, et al., 2012)

Penyemprotan larutan yang akan dikeringkan dapat searah atau

berlawanan dengan aliran udara panas seperti yang terlihat pada Gambar

4. Penyemprotan dilakukan melalui penyemprot yang berputar dengan

kecepatan putar 4000-5000 rpm atau bisa secara hidronamik dengan

penyemprotan melalui tekanan cairan atau tekanan udara (Halim, 2012).

11
Gambar 4 : Prinsip Kerja Pengeringan semprot (Halim, 2012)

Mikrokapsul juga dapat dibuat dengan cara fisika. Salah satunya

adalah dengan metode semprot kering. Metode semprot kering memiliki

prinsip bahan inti dapat didispersikan atau dilarutkan dalam larutan

penyalut kemudian diatomisasi. Atomisasi terjadi pada saat larutan

tersebut terkena paparan udara panas. Ukuran mikrokapsul yang

dihasilkan dari metode ini berdasarkan ukuran penyemprot, laju

penyemprotan, viskositas dan tegangan permukaan (Gharsallaoui, et al.,

2007).

Suhu inlet dan outlet juga menjadi faktor penentu dalam pembuatan

mikrokapsul. Suhu inlet berkaitan langsung dengan laju pengeringan

mikrokapsul dan kandungan air. Saat suhu inlet rendah, laju penguapan

yang rendah dapat menyebabkan terbentuknya mikrokapsul dengan

densitas membran yang tinggi, kandungan air yang tinggi, fluiditas yang

rendah, dan kecenderungan untuk membentuk aglomerat (Gharsallaoui,

et al., 2007).

Bagaimanapun juga, suhu inlet yang terlampau tinggi dapat

menyebabkan penguapan yang berlebihan, sehingga terjadi cracking pada

12
membran penyalut, induksi pelepasan bahan inti, dan degradasi atau

penguapan bahan inti. Proses semprot kering umumnya dilakukan pada

formulasi fase air, sehingga bahan penyalut harus terlarut dalam air. Hal

inilah yang menyebabkan terbatasnya bahan-bahan yang dapat digunakan

sebagai bahan.

c. Penyemprotan beku

Metoda ini hampir sama dengan metoda pengerigan semprot, bedanya

hanya pada pengerasan mikrokapsul yaitu melalui pembekuan materi

penyalut yang meleleh dengan mencampurkan terlebih dahulu campuran

penyalut inti dengan yang bukan melarutkan campuran. Kemudian

pelarut dihilangkan dengan teknik evaporasi (Deasy, 1984; Lachman, et

al., 1994).

d. Penyalutan dalam panci

Biasanya dilakukan untuk mikrokapsul dengan ukuran partikel besar

dari 600 μm. Zat padat disemprot dengan penyalut pada panci penyalut.

Untuk mengeringkan penyalut digunakan aliran udara panas pada zat

yang telah disalut atau dikeringkan dalam oven (Deasy, 1984).

e. Lubang ganda sentrifungal

Southwest Research Institute (SWRI) telah mengembangkan suatu

proses mekanik untuk memproduksi mikrokapsul yang menggunakan

gaya sentrifungal untuk melingkari suatu bahan inti melalui envelope

membrane mikrokapsulasi, sehingga mempengaruhi mekanika

mikrokapsulasi. Proses ini mampu membuat mikroenkapsulasi cairan dan

13
padatan dari berbagai kisaran ukuran, dengan berbagai bahan penyalut

(Lachman, et al., 1994).

f. Fluidized Bed

Teknik ini dapat dipakai untuk menyalut zat padat atau zat cair. Cairan

penyalut disemprotkan pada inti yang berupa zat padat yang tersuspensi

diudara, sedangkan inti berupa zat cair dapat disalut dengan metoda ini.

karena penyalut yang dilumerkan dapat menyalut tetesan cairan yang

jatuh padanya. Metoda ini digunakan untuk pembuatan mikrokapsul yang

mempunyai ukuran 20 - 1500 μm (Sri, et al., 2012).

2.3.5 Mekanisme Pelepasan Obat dari Mikrokapsul

Pelepasan obat dari bentuk mikrokapsul dapat melalui berbagai cara,

sebagai berikut (Ravinesh, et al., 2012):

1. Sistem degradasi monolitik terkendali

Obat ini dilarutkan dalam matrik dan terdistribusi secara merata. Obat

melekat kuat pada matrik dan dilepaskan pada degradasi matrik. Difusi

obat lebih lambat dibanding degradasi matrik.

2. Sistem difusi monolitik terkendali

Bahan aktif dilepaskan saat sebelum atau bersamaan dengan degradasi

matriks polimer. Laju pelepasannya tergantung dimana polimer

terdegradasi oleh mekanisme homogen atau heterogen.

3. Sistem difusi waduk terkendali

Bahan aktif yang dikapsulasi dengan melewati tingkat pengendalian

membran yang mana bahan obat berdifusi dan membran mengikis

14
hanya pada saat penghantaran selesai. Dalam hal ini, pelepasan obat

tidak dipengaruhi oleh degradasi matrik.

4. Erosi

Bahan matriks mengalami erosi oleh pH dan hidrolisis secara enzimatik

disebabkan obat dilepaskan dengan bahan matrik tertentu.

2.4 Disolusi

2.4.1 Defenisi dan tujuan umum disolusi

Disolusi adalah suatu proses dimana bahan padat melarut ke dalam medium

pelarutnya. Proses ini dikontrol oleh afinitas antara zat padat dengan medium

(Abdou, 1989). Disolusi dari suatu obat akan mempengaruhi bioavailabilitas dan

penyampaian obat pada reseptornya (Lachman, et al., 1994).

Pada saat partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat pada

permukaan mula-mula akan masuk ke dalam larutan dan menciptakan suatu

lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat yang

disebut dengan lapisan difusi. Dari lapisan ini molekul obat akan keluar melewati

cairan yang melarut dan berhubungan dengan membran biologis dan absorbsi pun

terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan lapisan difusi, molekul-

molekul obat tersebut akan diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan

partikel obat dan absorbsi obat akan terus berlanjut (Ansel, 1989).

Laju disolusi didefinisikan sebagai kecepatan melarutnya suatu obat dalam

sediaan padat yang diberikan secara oral dalam satuan waktu tertentu. Untuk

meramalkan laju disolusi digunakan persamaan yang telah dikembangkan oleh

15
Noyes dan Whitney yang didasarkan pada hukum difusi Fick dengan persamaan

(Abdou, 1985):

Persamaan Noyes dan Whitney:

𝑑𝐶
= KS (Cs − C)
𝑑𝑡

dimana :

dC/dt = Laju disolusi (gram/detik)

K = Konstanta laju disolusi (cm3/detik)

S = Luas permukaan (cm2)

Cs = Konsentrasi obat dalam lapisan difusi (gram/cm3)

C = Konsentrasi obat dalam waktu t (gram/cm3)

Dimana K diperoleh dari persamaan:


𝐷
𝐾= ᵟ

D = Konstanta disolusi (m2/detik)

ᵟ = Ketebalan lapisan difusi (m)

2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Disolusi (Abdou, 1989)

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laju disolusi adalah sebagai

berikut:

1. Lingkungan

a. Pengadukan

Kecepatan pengadukan media dipengaruhi ketebalan lapisan difusi,

makin besar intensitas pengadukan, makin tipis lapisan difusi dan makin

16
cepat proses disolusi. Pengadukan bertujuan untuk mempercepat cairan

berkontak dengan permukaan zat aktif dan menyeragamkan suhu.

b. Suhu medium

Kelarutan zat aktif dipengaruhi oleh suhu medium, jika suhu tinggi

maka viskositas akan turun, sehingga koefisien difusi akan menaikkan

laju disolusi.

c. pH Medium

Laju disolusi dari senyawa yang bersifat asam lemah akan naik

dengan naiknya pH, pemilihan kondisi pH akan berbeda di sepanjang

saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi.

d. Metode uji yang digunakan

Metode penentuan laju disolusi yang berbeda mempengaruhi laju

disolusi yang berbeda pula.

2. Sifat fisikokimia zat aktif

a. Ukuran zat aktif

Semakin kecil ukuran partikel maka luas permukaan semakin besar

sehingga laju disolusi semakin meningkat.

b. Kelarutan zat aktif

Menurut persamaan Noyes Whitney kelarutan zat aktif berbanding

lurus dengan laju disolusinya.

17
3. Faktor formulasi

a. Bentuk sediaan

Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung pada

kecepatan pelepasan obat terkandung di dalamnya. Secara umum laju

disolusi akan menurun menurut urutan berikut: larutan, suspensi, kapsul,

tablet.

b. Bahan pembantu

Penggunaan bahan pembantu dalam proses formulasi dapat

meningkatkan atau memperlambat laju disolusi tergantung dari bahan

pembantu yang digunakan.

c. Proses pengolahan

Metode pengolahan dalam pembuatan tablet sangat mempengaruhi

laju disolusi, contohnya pada metode granulasi, kelembaban granul,

tekanan saat mengempa sangat mempengaruhi karakteristik laju disolusi

dari akhir produk.

Bahan tambahan yang digunakan dalam memformulasi suatu sediaan

akan mempengaruhi laju disolusi zat aktif. Secara umum bila bahan

tambahan yang digunakan bersifat hidrofil maka kecepatan disolusi akan

bertambah, sebaliknya bila bahan tambahan bersifat hidrofob maka

kecepatan disolusi akan berkurang (Abdou, 1989).

2.4.3 Metode Penentuan Disolusi

Metode penentuan disolusi yang digunakan adalah metode dayung. Metode

ini menggunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk.

18
Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm

pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa

goyangan yang berarti alat pengaduk bentuk dayung. Daun melewati diameter

batang sehingga dasar daun dan batang rata seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5 : Pengaduk bentuk dayung ( Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 1995).

Dayung memenuhi spesifikasi pada jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan

bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun

dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu

penyalut inert yang sesuai seperti yang terlihat pada Gambar 5. Sediaan dibiarkan

tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan

yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan

untuk mencegah mengapungnya sediaan. (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 1995)

19
2.5 Spektofotometer Ultraviolet-Visible (UV-Vis)

Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar

ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan

elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrum ini sangat

berguna untuk pengukuran secara kuantitatif konsentrasi dari analit di dalam

larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang

tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004).

Kebanyakan molekul obat menyerap radiasi dalam daerah ultraviolet

spektrum tersebut, meskipun sebagian diwarnai sehingga menyerap radiasi dalam

daerah tampak, misalnya suatu zat berwama biru menyenap radiasi pada daerah

merah spectrum tersebut. Serapan radiasi UV-Vis terjadi melalui eksitasi elektron-

elektron di dalam struktur molekular menjadi keadaan energi yang lebih tinggi.

Transisi dari suatu energi keadaan dasar ke salah satu dari sejumlah keadaan

tereksitasi memberikan lebar pada spektrum UV (Watson, 2010).

Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan,

sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm. Spektrofotometer UV-

Vis pada umumnya digunakan untuk:

1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjungasi dari

suatu senyawa organik.

2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang

maksimum suatu senyawa.

20
3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan

menggunakan hukum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004).

2.6 Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)

Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya

tengah yaitu pada panjang gelombang 2,5-50 µm atau bilangan gelombang 4000-

400 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau

getaran pada molekul. Pita absorbsi inframerah sangat khas dan spesifik untuk

setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi. Metode ini sangat berguna untuk

mengidentifikasi senyawa organik dan organometalik (Dachriyanus, 2004).

Uji terhadap sampel dilakukan dengan menggerus sampel menjadi serbuk

dengan serbuk KBr, lalu dipindahkan kecetakan die dan sampel tersebut

kemudian dikempa ke dalam suatu cakram pada kondisi hampa udara, dan

spektrum serapan direkam pada bilangan gelombang 4000-400 cm-1 (Watson,

2009).

2.7 Scanning Electron Microscopis (SEM)

SEM (Scanning Electron Microscopis) merupakan jenis mikroskop elektron

yang menghasilkan gambar sampel dengan memindai menggunakan sinar terfokus

elektron. Elektron yang berinteraksi dengan elektron dalam sampel, menghasilkan

berbagai sinyal yang dapat dideteksi dan yang mengandung informasi tentang

permukaan sampel, topografi, dan komposisi. Berkas elektron umumnya dipindai

dalam pemindahan raster pola dan posisi balok yang dikombinasikan dengan

sinyal yang terdeteksi untuk menghasilkan gambar. Dalam SEM, berkas elektron

21
yang dipancarkan dilengkapi dengan tungsten filament katoda berkas elektron,

yang biasanya memiliki energi berkisar antara 0,2 keV sampai 40 keV,

difokuskan oleh satu atau dua lensa kondensor ke tempat sekitar 0,4 nm sampai 5

nm diameter. Ketika berkas elektron primer berinteraksi dengan sampel, elektron

kehilangan energi dengan hamburan.

Jika seberkas elektron ditembakkan pada permukaan sampel, maka sebagian

dari elektron tersebut akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi akan

diteruskan. Apabila permukaan sampel tidak rata, banyak lekukan atau berlubang,

maka tiap bagian dari permukaan sampel tersebut akan memantulkan elektron

dengan jumlah dan arah yang berbeda, sehingga diperoleh gambaran yang jelas

dari permukaan sampel tersebut dalam bentuk tiga dimensi. Sampel yang

dianalisis harus mempunyai permukaan dengan konduktivitas yang tinggi. Sampel

yang mempunyai konduktivitas rendah harus dilapisi dengan bahan konduktor

yang tipis. Bahan konduktor yang biasa digunakan adalah emas atau campuran

emas dan paladium (Gennaro, 1985).

2.8 Differential Scanning Calorimetry (DSC)

Differential Scanning Calorimeter (DSC) bekerja dengan cara mengukur

panas yang hilang atau peningkatan panas sebagai akibat perubahan fisika dan

kimia dalam suatu sampel, sebagai fungsi temperatur. Contoh-contoh proses

endotermis (mengabsorbsi panas) adalah peleburan, pendidihan, sublimasi,

penguapan, desolvasi, transisi padat-padat, dan peruraian kimia. Pengukuran

kuantitatif dari proses ini banyak digunakan dalam pengkajian praformulasi

termasuk kemurniaan, polimorfisme, solvasi, degradasi, dan tercampurkannya

22
bahan-bahan tambahan. Variabel yang bermakna dalam metode ini termasuk

homogenitas sampel, ukuran sampel dan ukuran partikel, laju pemanasan,

atmosfer sampel, dan penyiapan sampel (Lachman, et al., 1989).

2.9 Difraksi sinar X (X-Ray Diffraction / XRD)

Sinar-X merupakan salah satu bentuk radiasi elektromagnetik yang

mempunyai energi antara 200 eV-1 MeV dengan panjang gelombang antara 0,5-2

A. Panjang gelombang hampir sama dengan jarak antara atom dalam kristal.

Apabila suatu bahan dikenai sinar-X, maka intensitas sinar-X yang ditransmisikan

lebih kecil dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh

bahan dan juga penghamburan oleh atom-atom material tersebut. Berkas sinar

yang dihantarkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasenya berbeda

dan ada juga yang menguatkan karena fasenya sama. Berkas sinar-X yang saling

menguatkan disebut sebagai berkas difraksi (Gennaro, 1985).

2.10 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi merupakan salah satu cara pemisahan komponen-komponen

dari campurannya, yang didasarkan oleh adanya perbedaan sifat kepolaran dari

komponen-komponen tersebut terhadap fase diam dan fase gerak yang ada dalam

sistem kromatografi. Perbedaan kecepatan migrasi didasarkan pada berbagai

macam mekanisme, antara lain adsorbsi, partisi, penukaran ion, fase terikat, dan

eksklusi (Khopkar, 2003).

Teknik pemisahan yang dilakukan oleh KCKT yaitu berdasarkan proses

distribusi dua fase. Prinsip kerja dari KCKT adalah pelarut dari reservoir dipompa

23
dengan tekanan yang cukup tinggi ke dalam injektor. Bila contoh dimasukkan ke

dalam injektor maka contoh tersebut akan terbawa oleh pelarut dan masuk ke

dalam kolom. Komponen yang telah dipisahkan dalam kolom terus mengalir ke

detektor, kemudian sinyal yang dihasilkan diteruskan ke recorder/integrator,

kemudian keluar dalam bentuk kromatogram atau peak sebagai print out

(Harmita, 2007).

24

Anda mungkin juga menyukai