Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas izinnya

penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Chronic Kidney

Disease”.Lapkas ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegiatan

kepaniteraan klinik dibagian Ilmu Anastesia yang dilaksanakan di RSUD Langsa.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada dokter

pembimbing dr. Reza F. Prasetyo Sp.An yang telah bersedia meluangkan waktu

untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis sehingga laporan kasus

ini dapat terselesaikan.

Besar harapan penulis agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca serta dapat memberikan suatu pengetahuam baru bagi mahasiswa untuk

meningkatkan keilmuannya.

Langsa, Agustus 2018

Penulis
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. G
Jenis kelamin :Perempuan
Usia : 61 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat :Blang Pase
Agama : Islam
Status perkawinan : Sudah menikah
No Rekam medic : 55-02-97
Tanggal masuk Rumah Sakit : 10/08/2018
Tanggal pemeriksaan : 14/08/2018
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 155 cm

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 14 Agustus 2018

 KELUHAN UTAMA
Sesak nafas

 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Os datang ke IGD RSUD Langsa dibawa oleh keluarga dengan keluhan sesak
nafas sejak 1 hari SMRS.Keluhan muncul secara mendadak saat pasien bagun tidur,
bertahan sepanjang hari. Keluhan akan semakin memberat dalam posisi tidur, dan
sedikit membaik bila pasien duduk bersandar. Pasien mengaku keluhan bertambah
berat saat melakukan aktivitas dan terasa ringan saat beristirahat.Pasien juga
mengeluhkan BAK yang sedikit dalam beberapa hari terakhir, BAB dalam batas
normal dan tidak ada keluhan yang berhubungan dengan BAB.Keluarga mengatakan
sebelum dibawa ke rumah sakit pasien sempat mengalami penurunan kesadaran
selama 2 jam.

 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


 Riwayat gagal ginjal (+)
 Riwayat Hemodinalisa Reguler (+)
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat DM disangkal
 Riwayat jantung disangkal
 Riwayat stroke disangkal

 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


 Gagal ginjal (-)
 Hipertensi (-)
 DM (-)
 Stroke (-)
 Jantung (-)

 RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT


Tidak ada
III. PEMERIKSAAN FISIK
 Primary survey
 A : Sumbatan jalan nafas (-)
 B : Gargling (-), Snoring (-), RR : 28 x/i
 C : Arteri carotis (+/+) , TD : 166/73, HR : 88x/i
 D : E4 V5 M6 GCS = 15 (compos mentis)
ROM : Aktif, pasif, baik

 Pemeriksaan Umum
 Mata :konjungtiva Anemis +/+, sklera ikterus -/-, refleks pupil
+/+isokor, edema palpebra -/-.
 THT :
Telinga : sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung : sekret (-), hiperemis (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : mukosa bibir kering (-), sianosis (-)
Lidah : papil atrofi (-)
Tenggorokan : tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
 Leher :JVP PR + 2 cmH2O, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,
pembesaran kelenjar getah bening (-).
 Thoraks :
Cor
Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis
Palpasi : tidak teraba iktus kordis
Perkusi : batas atas jantung : ICS II kiri batas kanan jantung : PSL
kanan batas kiri jantung : MCL kiri
Auskultasi : S1S2tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : simetris statis dinamis, retraksi dinding dada ( )
Palpasi : vokal fremitus Normal/Normal

Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru


Auskultasi : Wheezing (+/+), Rhonki (+/+)
 Abdomen
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar tidak teraba, lien tidak teraba,tidak teraba balotement,
nyeri ketok sudut costo vertebral -/-
Perkusi : timpani
 Ekstremitas: Hangat (+/+), edema (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

V. Pemeriksaan Laboratorium

Darah rutin
Test Hasil Normal
Haemoglobin 7,8 14-18
Haemotocryt 23,9 40-50
Erytrosit 2,44 4,5-5,5
Leukosit 17,88 4,9
Tromosite 172 150-350
Kimia darah
Test Hasil Normal
Albumin 3,4 3,2-5,2
Total Bilirubin 1,6 0,3-1,0
Direct Bilirubin 0,4 0,0-0,7
SGOT 70 > 52
SGPT 60 >29
Urium 179 10-50
Creatinine 17,7 1,4
Uric Acid 20,17 3,4-7,0
Alk. Phospatase 540
KGDS 127 70-110

VI. DIAGNOSIS BANDING

o Chronic Kidney Disease ec Hipertensi


o Akut Kidney Disease
o Anemia ec Chronic Kidney Disease
o Asma Bronkhial

VII. DIAGNOSIS KERJA

o Chronic Kidney Disease On HD


o Anemia
VII. TERAPI
o Three Way
o Injeksi ceftriaxone 1 gram/12 jam
o Injeksi Furosemid 2 amp/12 jam
o Injeksi omeprazole 1gr/hari
o Pct 1fls/liter
o Transfusi PRC
o Hemodialisis

VIII. MONITORING
o Keluhan dan tanda vital
o Balance cairan

IX. PROGNOSIS
o Ad vitam : dubius ad bonam
o Ad Fungsionam : dubius ad bonam
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Di seluruh dunia, jumlah penderita Chronic Kidney Disease (CKD) terus


meningkat dan dianggap sebagai salah satu masalah kesehatan yang dapat
berkembang menjadi epidemi pada dekade yang akan datang. Konsekuensi kesehatan
utama dari CKD bukan saja perjalanan penyakit menjadi gagal ginjal, tapi juga
peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler.Bukti-bukti yang ditemukan
menunjukkan bahwa konsekuensi ini dapat diperbaiki dengan terapi yang dilakukan
lebih awal.

Pendekatan standar evaluasi terhadap anak dan remaja untuk menentukan apakah
mereka memiliki peningkatan resiko menderita CKD dan evaluasi lanjutan serta
penatalaksanaannya telah difasilitasi oleh the Kidney Disease Outcomes Quality
initiative (K/DOQI) dari the National Kidney Foundation (NKF) dalam suplemen
khusus dari American Journal of Kidney Disease (AJKD) pada Februari 2002 yang
berisi pedoman klinis praktis untuk CKD.

Pendekatan evaluasi yang tepat dapat membantu deteksi awal CKD pada anak-
anak dan remaja, dan dengan penatalaksanaan yang tepat dapat mencegah atau
menghilangkan komplikasi serta menghambat progresifitasnya sehingga tidak
menjadi gagal ginjal.
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi

Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau
fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan
glomerular filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai
suatu keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau
tanpa disertai kerusakan ginjal.

2.2 Anatomi Ginjal

Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting dalam
mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh dan mempertahankan
keseimbangan asam basa dalam darah. Produk sisa berupa urin akan meninggalkan
ginjal menuju saluran kemih untuk dikeluarkan dari tubuh. Ginjal terletak di belakang
peritoneum sehingga disebut organ retroperitoneal.Ginjal berwarna coklat kemerahan
dan berada di sisi kanan dan kiri kolumna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai
vertebra L3.Ginjal dexter terletak sedikit lebih rendah daripada sinistra karena adanya
lobus hepatis yang besar.

Masing-masing ginjal memiliki fasies anterior, fasies inferior, margo


lateralis, margo medialis, ekstremitas superior dan ekstremitas inferior. Bagian luar
ginjal dilapisi oleh capsula fibrosa, capsula adiposa, fasia renalis dan corpus
adiposum pararenal.Masing masing ginjal memiliki bagian yang berwarna coklat
gelap di bagian luar yang disebut korteks dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna coklat lebih terang.Medulla renalis terdiri dari kira-kira 12 piramis renalis
yang masing- masing memiliki papilla renalis di bagian apeksnya.Di antara piramis
renalis terdapat kolumna renalis yang memisahkan setiap piramis renalis.
Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari arteri renalis sinistra yang membawa
darah dengan kandungan tinggi CO2 masuk ke ginjal melalui hilum renalis. Secara
khas, di dekat hilum renalis masing-masing arteri menjadi lima cabang arteri
segmentalis yang melintas ke segmenta renalis .

Beberapa vena menyatukan darah dari ren dan bersatu membentuk pola yang
berbeda-beda, untuk membentuk vena renalis.Vena renalis terletak ventral terhadap
arteri renalis, dan vena renalis sinistra lebih panjang, melintas ventral terhadap
aorta.Masing-masing vena renalis bermuara ke vena cava inferior.Arteri lobaris
merupakan arteri yang berasal dari arteri segmentalis di mana masing-masing arteri
lobaris berada pada setiap piramis renalis.Selanjutnya, arteri ini bercabang menjadi 2
atau 3 arteri interlobaris yang berjalan menuju korteks di antara piramis renalis.Pada
perbatasan korteks dan medula renalis, arteri interlobaris bercabang menjadi arteri
arkuata yang kemudian menyusuri lengkungan piramis renalis.Arteri arkuata
mempercabangkan arteri interlobularis yang kemudian menjadi arteriol aferen.
2.3 Fisiologi Ginjal

Fungsi ginjal secara keseluruhan dibagi menjadi dua kelompok :

1. Fungsi Ekskresi

a. Mengekskresi sisa metabolisme protein, yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat


anorganik, dan asam urat.
b. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
c. Menjaga keseimbangan asam basa.

2. Fungsi Endokrin

a. Berpartisipasi dalam eritropoesis. Menghasilkan eritropoetin yang berperan


dalam pembentukan sel darah merah.
b. Menghasilkan renin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan darah.
c. Merubah vitamin D menjadi metabolit aktif yang membantu penyerapan
kalsium.
d. Memproduksi hormon prostaglandin yang mempengaruhi pengaturan garam
dan air serta tekanan vaskular.
2.4 Etiologi

Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi,
yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015).
Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah penyakit
peradangan seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, malformasi saat
perkembangan janin dalam rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu ginjal, tumor atau
pembesaran kelenjar prostat, dan infeksi saluran kemih yang berulang.

2.5 Klasifikasi

Stadium Deskripsi GFR


(mL/menit/1.73 m2 )

1 Fungsi ginjal normal, ≥90


tetapi temuan urin,
abnormalitas struktur
atau ciri genetik
menunjukkan adanya
penyakit ginjal.

2 Penurunan ringan fungsi 60-89


ginjal, dan temuan lain
(seperti pada stadium 1)
menunjukkan adanya
penyakit ginjal.

3a Penurunan sedang fungsi 45-59


ginjal.

3b Penurunan sedang fungsi 30-44


ginjal.

4 Penurunan fungsi ginjal 15-29


berat.
5 Gagal ginjal. <15

Sumber: (The Renal Association, 2013)

LFG (ml/mnt/1,73 m2) = ( 140 – umur ) x BB / 72 x kreatinin plasma (mg/dl)


* Pada perempuan dikalikan 0,85
Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh
pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD
yang dialami, maka nilai GFRnya akan semakin kecil (National Kidney Foundation,
2010). Chronic Kidney Disease stadium 5 disebut dengan gagal ginjal. Perjalanan
klinisnya dapat ditinjau dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan
GFR sebagai presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar
blood urea nitrogen (BUN). Kadar BUN dapat diukur dengan rumus berikut (Hosten,
1990):

20
BUN = Urea darah x 60

Perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama
merupakan stadium penurunan cadangan ginjal dimana pasien tidak menunjukkan
gejala dan kreatinin serum serta kadar BUN normal. Gangguan pada fungsi ginjal
baru dapat terdeteksi dengan pemberian beban kerja yang berat seperti tes pemekatan
urin yang lama atau melakukan tes GFR yang teliti.Stadium kedua disebut dengan
insufisiensi ginjal.Pada stadium ini, ginjal sudah mengalami kehilangan fungsinya
sebesar 75%.Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat melebihi nilai normal,
namun masih ringan.Pasien dengan insufisiensi ginjal ini menunjukkan beberapa
gejala seperti nokturia dan poliuria akibat gangguan kemampuan pemekatan.

Stadium akhir dari gagal ginjal disebut juga dengan endstage renal disease
(ESRD).Stadium ini terjadi apabila sekitar 90% masa nefron telah hancur, atau hanya
tinggal 200.000 nefron yang masih utuh. Peningkatan kadar BUN dan kreatinin
serum sangat mencolok. Bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 mL per menit atau
bahkan kurang.Pasien merasakan gejala yang cukup berat dikarenakan ginjal yang
sudah tidak dapat lagi bekerja mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolit.Pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010, urin menjadi isoosmotis dengan
plasma.Pasien biasanya mengalami oligouria (pengeluran urin < 500mL/hari).
Sindrom uremik yang terjadi akan mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh dan
dapat menyebabkan kematian bila tidak dilakukan RRT.

2.5 Patofisiologi

Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit


glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis
interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2
mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan
selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis,
atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme
kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron
yang tersisa.

Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi
terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah
dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk
mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini akan
mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan
menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus
ini akan menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi.
Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan
hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan
glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan
tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat
menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular,
meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan
melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan
fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis
matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen
tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan
atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan
akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.

Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi


ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal
antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli,
penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.

Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah


bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan
fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem
reproduksi.

Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan


intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal
dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan intraglomerular
dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres
oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan
kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi
CKD.

Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena


banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau
kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga
terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan
hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder
yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadap PTH.
Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan
hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.

Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk
mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan
inhibisi 1- α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena
inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi
resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak
berjalan.Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul
hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan
depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin
yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme
sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis
fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi.

Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya


dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi
terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini
akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak
arrest pada pasien.

Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi adanya


anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal tidak
mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk
mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium.
Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi
karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion – anion lain yang tidak terekskresi
dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan
metabolisme protein.Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor
dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.

Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa


nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen
akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang
bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf
perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan
trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan
meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang
menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan
menyebabkan pasien merasa gatal – gatal.

Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid,
gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun,
maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya
aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung.

Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada


hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu anemia
dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat pengaruh dari
sindrom uremia.Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.

2.6 Perubahan fungsi ginjal dan efeknya terhadap agen-agen anastesi


Banyak obat-obatan sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi.
Sehingga modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau
metabolit aktif.
Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensi kerja farmakologikal dari
agen-agen ini. Observasi terakhir bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan
obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier,
atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal ginjal.
2.6.1 Agen Intravena
a.Propofol & Etomidate
Secara Farmakokinetik tidak mempunyai efeknya secara signifikan pada
gangguan fungsi ginjal.

b. Barbiturat
o Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi.
Mekanismenya dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena
ikatan dengan protein yang berkurang.
o Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan
meningkatkan fraksi non ion pada obat.

c.Ketamin
o Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa
metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi
potensial akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek
ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.
d.Benzodiazepin
o Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena
eliminasi di urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein,
peningkatan sensitivitas bisa terlihat pada pasien-pasien hipoalbuminemia.
o Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena
potensi akumulasi metabolit aktifnya.
e. Opioid
o Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi
oleh hati, beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik
remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang
cepat di dalam darah.
o Kecuali morfin dan meferidin, Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan
metabolit meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan
pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine,
metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-kejang.
o Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak
terpengaruh oleh gagal ginjal.
2.6.2Agen-Agen Antikolinergik
o Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena
lebih dari 50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di
urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang.
o Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf
pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.

2.6.3 Agen-agen inhalasi


a. Agen-agen volatile
o Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal
karena tidak tergantungnya pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk
mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal
pada aliran darah ginjal.
o Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL)
dengan GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion
coefficient atau kurangnya MAC.
o Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan
untuk pasien-pasien dengan penyakit ginjal pada prosedur lama karena potensi
akumulasi fluoride.

b. Nitrous Oxide
o Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai
50% dengan tujuan untuk meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan
anemia.
2.6.4 Obat-obat anastesi dan gagal ginjal kronik
Obat yang aman digunakan Obat yang aman dengan Obat yang
dosisilebih kecil kontraindikasi

Premedikasi Lorazepam,midazolam,temazepam

Induksi Propofol,tiopental,etomidat Ketamin

Maintenance Isofluran,desfluran,halotan,propofol Sevofluran Enfluran

Pelumpuh Suksinil kolin,sisatrakurium Vekuronium,rokuronium Pankuronium


otot
Opioid Alfentanil, ramifentanil Fentanil,morfin Meperidin

Anastesi Bupivakain,lidokain
lokal
Analgesik Asetaminofen NSAID

2.6.5 Manajemen Perioperatif.

Hemodialysis perioperatif
Pasien harus menjalani dialysis dalam 24 jam sebelum operasi elektif
untukmeminimalkan kemungkinan kelebihan cairan tubuh, hyperkalemia dan
perdarahanuremic. Tergantung dari rencana operasi, penggunaan heparin harus
dihindari atau di minimalisir selama hemodialysis preoperative.

2.6.6 Pertimbangan Pre Operatif.

a. Evaluasi Preoperatif
Evaluasi preoperative pada pasien dengan CKD meliputi fungsi ginjal,
proses patologis yang mendasari, dan kondisi komorbid. Evaluasi serum kreatinin san
gat bermanfaat untuk menilai fungsi ginjal. Status volume darah dapat diukur dengan
membandingkan berat badan sebelum dan sesudah hemodialysis, monitoring tanda-
tanda vital (hipotensi ortostatik, takikardia), dan menilai tekanan pengisian
atrial.Pengukuran kadar gula juga perlu dilakukan karena diabetes sering menjadi
penyakit penyerta.
Tekanan darah harus terkontrol dengan baik sebelum pembedahan elektif.Pen
gobatan anti hipertensi sebaiknya dilanjutkan, tetapi golongan penghambat ACEdan
ARB sebaiknya dihentikan pada hari operasi untuk meminimalisir terjadinyahipotensi
intra operatif.Pengobatan preoperative harus disesuaikan per individu.Rekomendasi
umum untuk serum kalium tidak melebihi 5.5 mEq/L pada hari operasi.Pasien harus
diperiksa terhadap adanya anemia.Adanya koagulopati preoperative harusditangani
dengan pemberian desmopressin. Aspirasi lambung harus dipertimbangkan,terutama
pada pasien dengan penyakit penyerta diabetes. Tetapi semua penghambatreseptor H-
2 diekskresikan melalui ginjal, maka penyesuaian dosis harus dilakukan.

b. Toksisitas Obat

Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel


dariuremia harus dikontrol.Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau
harisebelumnya dibutuhkan.Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada
fungsi jantung dan pernafasan. Tanda-tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus
dapatdiketahui.Kekurangan volume intravaskuler sering disebabkan oleh
dialisisyang berlebihan. Perbandingan berat pasien sebelum dan sesudah dialisis mun
gkinmembantu.Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna
dalamkesan klinis.Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia
danmengevaluasi status asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.
EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia
atauhipokalimia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular
hipertropi.Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung
pada pasiendibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi
ejeksi fraksidari ventrikel, seperti halnya mendeteksi dan kuantitatif hipertropi,
pergerakan abnormal pembuluh darah, dan cairan perikard adanya gesekan bisa tidak
terdengar pada auskultasi pada pasien dengan efusi perikard.
c. Premedikasi

Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis
dari opioid atau benzodiazepin. Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2blocker
diindikasikan pada pasien mual, muntah atau perdarahan saluran cerna.
Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam
mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan menurunkan resiko
aspirasi. Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan
sampai pada saat pembedahan.

2.6.6 Manajemen cairan dan keluaran urinea.

Terapi Cairan
Cairan infus ringer laktat ataupun cairan infus lain yang mengandung kalium
harus digunakan secara hati-hati. Menjaga keluaran urine paling sedikit 0.5mL/kg/
jam secara umum dapat diterima. Penyebab terbanyak terjadinya oliguria adalah tidak
cukupnya volume cairan, pemberian diuretic pada pasien ini akan semakin
memperparah fungsi ginjal. Keluaran urin dapat diganti dengan
pemberian NaCl 0.45%. Pasien yang tergantung pada hemodialisa memerlukan perhat
ian khusus terhadap manajemen cairan perioperative. Hilangnya fungsi ginjal
menyebabkan sempitnya batas keamanan apakah cairan yang diberikan kurang
atau bahkan berlebihan. Operasi non invasif memerlukan penggantian cairan hanya
sebatas IWL (insensible water loss). Operasi daerah dada dan perut dapat
menyebabkan kehilangan cairan intravascular dalam jumlah besar. Kehilangan cairan
tersebut dapat diganti dengan pemberian balanced solution ataupun koloid. Transfusi
darah dipertimbangkan bila diperkirakan pasien membutuhkan peningkatan
kapasitas penghantaran oksigen ataupun bila terjadi perdarahan yang banyak. Penguk
uran tekanan vena sentral sangat berguna dalam menentukan penggantian cairan.
2.6 Manifestasi dari Gagal Ginjal

A. Metabolik

o Pasien dengan gagal ginjal dapat berkembang dengan abnormalitas dari


metabolik yang multipel termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia,
hipokalemia, hipermagnesemia, hiperuricemia, dan hipoalbuminemia.
o Retensi air dan natrium akan mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia
dan cairan ekstra seluler yang berlebihan.
o Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil
mengakibatkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi.
o Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang.
o Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki
efek pada jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin
klirens < 5 mL/menit, namun dapat berkembang secara cepat pada pasien
dengan klirens yang lebih tinggi oleh karena dengan masukan kalium yang
besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi kalium).
o Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat
(umumnya dari antasida yang mengandung magnesium).
o Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme yang
diakibatkan oleh deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh karena
hiperphospatemia, resistensi dari hormon paratiroid dan penurunan absorbsi
usus halus secara sekunder menurunkan sintesa renal dari 1,25-dihidroksi
kolekalsiferol.Gejala dari hipokalsemia jarang berkembang kecuali pasien
dalam kondisi alkalosis.
o Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan
sehingga menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan
dialisis (terutama dialisis peritonium) juga berperan.
B. Hematologik

o Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit.


Konsentrasi hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi
eritropoetin menurunkan produksi sel darah merah, dan menurunkan
pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk perdarahan saluran cerna,
hemodilusi, dan penekanan sumsum tulang dari infeksi sebelumnya.
Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat sampai 9
gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya
dapat mengoreksi anemia. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat bertanggung
jawab dalam penurunan kapasitas pembawa oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi
pelepasan oksigen dari hemoglobin. Asidosis metabolik juga mengakibatkan
pergeseran ke kanan pada kurva oksigen-hemoglobin dissosiasi.
o Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal.
Secara klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan
dan gampang terkena infeksi. Pada pasien dengan penurunan aktivitas platelet
faktor III, dan juga penurunan ikatan dan agregrasi platelet. Pasien yang
dihemodialisa juga memiliki efek sisa antikoagulan dari heparin.

C. Kardiovaskuler
o Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen
delivery pada penurunan kapasitas pembawa oksigen.
o Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin berakibat
pada hipertensi sistemik arteri. Left ventrikuler hipertropi umum dijumpai
pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang berlebihan oleh karena
retensi natrium bersamaan dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu
oleh karena anemia dan hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan
edema pulmonum. Peningkatan permeabilitas dari membran kapiler alveoli
dapat menjadi faktor predisposisi.
o Blok konduksi sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium
dari sistem konduksi.
o Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan
metabolik.
o Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa
asimptomatis , yang ditandai dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya
tamponade jantung.
o Pasien dengan gagal ginjal kronis juga dikarakteristikan dengan peningkatan
pembuluh darah perifer dan penyakit arteri koroner.
o Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal
ginjal akut jika replacement cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul
jika terlalu banyak cairan yang terlalu banyak dikeluarkan ketika dialisis.
D. Pulmonary
o Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan
ventilasi permenit untuk mengkompensasikan asidosis metabolik.
o Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk
interstitial edema, mengakibatkan perluasan gradien alveolar ke arterial
oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia. Peningkatan permeabilitas
dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan edema paru
walaupun dengan tekanan kapiler paru yang normal, karakteristik pada foto
toraks menyerupai ”butterfly wings”.
E. Endokrin
o Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut
dari resistensi perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah
dengan jumlah besar dan jarang menggunakannya.
o Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis
dapat mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan
fraktur.
o Kelainan metabolisme lemak sering mengakibatkan hipertrigliseridemia dan
kemungkinan berperan dalam atherosklerosis.
o Peningkatan dari tingkat protein dan polipeptida yang biasanya segera
didegradasikan di ginjal sering terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon
para- tiroid, insulin, glukagon, growth hormon, luteinizing hormone, dan
prolaktin.
F. Gastrointestinal
o Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan
dengan azotemia.
o Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan
perdarahan saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien.
o Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom
dapat mencetuskan adanya aspirasi perioperatif.
o Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap virus
hepatitis (tipe B dan C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik.
G. Neurologis
o Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari
uremik encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat
azotemia.
o Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal
ginjal kronis. Neuropati perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas
distal bagian bawah.
2.7 Diagnosis
a. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
o Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi,
LupusEritomatosus Sistemik (LES),dll.
o Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.
o Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium,kalium, khlorida).

b. Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
o Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
o Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
o Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis
metabolik
o Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria.

c. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi:
o Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
o Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
o Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
o Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi
o Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.

2.8 Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit GGK sesuai dengan derajatnya :
Derajat LFG(ml/mnt/1,73m²) Rencana Tatalaksana

1 >90 terapi penyakit dasar, kondisi


komorbid,
evaluasi pemburukan (progession)
fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler

2 60-89 menghambat pemburukan


(progession)
fungsi ginjal

3 30-59 evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 persiapan untuk terapi pengganti


ginjal

5 ≤ 15 terapi pengganti ginjal


Terapi Non farmakologis
a. Pengaturan asupan protein
LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari

>60 tidak dianjurkan

20-60 0,6-0,8/kg/hari

5-25 0,6-0,8/kg/hari atau


tambahan 0,3 g asam amino
esensial atau asam keton

≤60 0,8/kg/hari(=1 gr protein /g


proteinuria atau 0,3g/kg
tambahan asam amino
esensial atau asam keton

b. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari.


c. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung
jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
e. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
f. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
g. Fosfor:5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
h. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
i. Besi: 10-18mg/hari
j. Magnesium: 200-300 mg/hari
k. Asam folat pasien HD: 5mg
l. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)
Terapi Farmakologis :
a. Kontrol tekanan darah
o Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi kreatinin
dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul
hiperkalemia harus dihentikan.
o Penghambat kalsium
o Diuretik
b. Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin dan
c. Obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM
tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
d. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
e. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
f. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
g Koreksi hiperkalemia
h. Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
i. Terapi ginjal pengganti.

Hemodialisis
Hemodialisis adalah proses pembuangan limbah metabolik dan kelebihan
cairan tubuh melalui darah. Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti
ginjal selain transplantasi ginjal bagi pasien penyakit ginjal kronik. Pada
hemodialisis, penyaringan terjadi di luar tubuh menggunakan mesin dialisis. Prinsip
utama hemodialisis adalah difusi partikel melewati suatu membran semipermeabel
dengan kompartemen dialisat. Tujuan utama dari hemodialisis adalah untuk
mengembalikan kedaan cairan intraselular dan ekstraseslular ke keadaan normal.
Indikasi terapi dialysis pada gagal ginjal kronik adalah jika laju filtrasi
glomerulus kurang dari 5ml/menit/1,73m3 atau memenuhi salah satu criteria :
o Keadaan umum buruk dengan gejala uremi.
o K serum kurang dari 6 mEq/L
o Ureum darah >200 mg/dl
o pH darah kurang dari 7,1
o Anuria berkepanjangan (>5 hari)
o Fluid overloaded
Komplikasi dari terapi hemodialisis antara lain demam, hipotensi, hemolisis,
demensia, kejang, perdarahan daan nyeri otot.1 selain itu dapat pula terjadi reaksi
hipersensifitas terhadap dialiser, thrombosis, iskemia, serta amiloidosis yang
berhubungan dengan dialisis. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada pasien
hemodialisis adalah terjadinya dialysis disequilibrium syndrome, gejala dan tanda
dari sindrom ini diantaranya adalah pusing, edema cerebri, peningkatan tekanan intra
cranial, koma, hingga dapat menyebabkan kematian.

2.9 Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya
buruk atau dubia et malam, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan
yang dilakukan sekarang ini hanya bertujuan untuk mencegah perogresifitas dari
GGK itu sendiri.Selain itu, biasanya GGk sering terjadi tanpa disadari sampai
mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali
terlambat.
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan

Penyakit ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3

bulan yang dengan atau tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m2, yang

bersifat progresif dan irreversible. Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah

edema, hipertensi dan anemia. Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi

5 stage yang dinilai dari LFG. Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar,

gejala sindrom uremikum serta gejala komplikasi CKD. Penatalaksanaan CKD

disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal. Pada kasus, pasien didiagnosis

dengan CKD. Sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti

ginjal berupa hemodialisis. Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa

terapi penunjang lainnya, yang disesuaikan dengan manifestasi klinis yang muncul.

Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi penyakit dengan tepat, serta perubahan

pola diet yang disesuaikan denganfungsi ginjal diharapkan akan membantu mencegah

perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke


Sistem. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p.
463-503.

2. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta : IPD FK UI ; 2009. p. 1035-1040

3. Clinical practice guidelines for chronic kidney disase : evaluation,


classification, and stratification, New York National Kidney
Foundation, 2015.

Anda mungkin juga menyukai