Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara tropis dengan suhu dan kelembaban yang cukup tinggi sangat
memudahkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme yang dapat
tumbuh dengan baik di Indonesia adalah jamur. Kondisi kulit yang mudah berkeringat dan
lembab, kebersihan diri yang tidak terjaga dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan
merupakan faktor yang memungkinkan pertumbuhan jamur yang dapat menyebabkann penyakit
kulit.1
Prevalensi penyakit kulit karena infeksi jamur cukup tinggi di Indonesia. Dermatofitosis
merupakan salah satu infeksi jamur yang paling banyak ditemukan, yaitu sekitar 52% dari
seluruh infeksi jamur. Dermatofitosis merupakan infeksi jamur superfisial yang dapat menyerang
kulit, kuku maupun kepala . Klasifikasi disesuaikan dengan lokasi tubuh yang terserang, yaitu
tinea kapitis (kulit dan rambut kepala), tinea barbae (dagu dan jenggot), tinea korporis (pada
permukaan kulit yang tidak berambut kecuali telapak tangan,telapak kaki, dan bokong), Tinea
kruris (genitalia, area pubis, perineal dan perianal), Tinea pedis (kaki), tinea manuum (tangan),
tinea unguium (kuku jari tangan dan jari kaki), tinea imbrikata (susunan skuama yang
konsentris).1,2
Secara klinis, pada pasien biasanya hanya terdapat satu jenis tinea, namun dapat pula
ditemukan lebih dari satu. Tinea korporis et kruris merupakan salah satu yang paling sering
dialami masyarakat di Indonesia. Hal ini diakibatkan masyarakat yang tidak menyembuhkan
salah satu tinea yang dideritanya yang kemudian terjadi penyebaran dan menyebabkan timbulnya
tinea yang lainnya.2
Berikut dilaporan sebuah kasus tinea korporis et kruris pada pasien seorang remaja laki-
laki berusia 14 tahun. Penentuan diagnosis yang tepat serta edukasi terhadap masyarakat
sangatlah penting untuk mengobati dan mencegah penyebaran penyakit ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tinea Kruris dan Korporis3


Tinea kruris adalah infeksi jamur dermatofita pada daerah kulit lipat paha,
daerah pubis, perineum dan perianal. Tinea korporis merupakan infeksi jamur
dermatofita pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) di daerah muka,
lengan, tungkai, badan, dan bokong. Tinea korporis dan tinea kruris merupakan
infeksi jamur superfisial pada jaringan yang terdapat zat tanduk (berkeratin),
jarang mengenai lapisan yang lebih dalam, ditandai dengan lesi inflamasi maupun
non inflamasi, mengenai stratum korneum pada kulit.

B. Etiologi dan Faktor-Faktor Pencetus4


Infeksi jamur yang sering menyebabkan dermatofitosis adalah genus
Tricophyton, Microsporum dan Epidermophyton. Transmisi dermatofitosis
menyebar melalui 3 cara yakni Antropofilik, Zoofilik, dan Geofilik. Transmisi
antropofilik merupakan penularan dari manusia ke manusia, Zoofilik adalah
penularan dari hewan ke manusia, dan Geofilik adalah penularan dari tanah ke
manusia. Transmisi antropofilik dan zoofilik dapat berupa transmisi secara
langsung maupun tidak langsung. Trycophyton rubrum, Trycophyton
mentagrophytes dan Microsporum canis merupakan agen penyebab paling sering
pada infeksi tinea korporis dan tinea kruris.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah
iklim panas, lembab, higiene sanitasi, pakaian serba nilon, pengeluaran keringat
yang berlebihan, trauma kulit, dan lingkungan. Maserasi dan oklusif pada regio
kruris memberikan kontribusi terhadap kondisi kelembaban sehingga
menyebabkan perkembangan infeksi jamur. Tinea kruris sangat menular dan
epidemik minor dapat terjadi pada lingkungan sekolah dan komunitas semacam
yang lain. Tinea kruris dan korporis umumnya terjadi akibat infeksi
dermatofitosis yang lain pada individu yang sama melalui kontak langsung
dengan penderita misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan seksual.

2
Tetapi bisa juga melalui kontak tidak langsung melalui benda yang
terkontaminasi,”pakaian, handuk, sprei, bantal dan lain-lain”. Obesitas,
penggunaan antibiotika, kortikosteroid serta obat-obat imunosupresan lain juga
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jamur.

C. Patogenesis4
Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit
yangluka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masu
knyaartrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas,
yaitupada stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi
reaksiinflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan
patogendari tempat infeksi sehingga patogen akan mecari tempat yang baru di
bagiantubuh. Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis
yang khas berupa central healing.
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena
stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan
untuk pertumbuhan miselia jamur. Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga tahap:
adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia
sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme ini harus
dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembaban,kompetisi
dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yang
dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi
pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi keratinase, proteinase,
lipase, dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini.
Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor yang
penting juga pada patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada dinding sel
jamur menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit.

3
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun penderita
dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel yang mengalami
inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur
menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan juga oleh bakteri. Jamur
juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, yang kemudian
menghasilkan faktor kemotaktik berasal dari komplemen.
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat namun
tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan dermatofita.
Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ yang diatur oleh sel
Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan dermatofita
sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan inflamasi yang ringan dan
testrikopitin biasanya menunjukkan hasil yang negatif. Infeksi akan tampak
sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai hasil dari percepatan tumbuhnya
keratinosit. Ada yang mengungkapkan hipothesis bahwa antigen dari dermatofita
lalu diproses oleh sel Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada
sel limfosit T. Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat
infeksiuntuk melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi inflamasi
danbarier epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan perindahan sel.
Sebagai akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi menjadi sembuh spontan.
Dalamhal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan penyembuhan
terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat.
Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga
dapatmenginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1). Mekanisme imun
yang terlibat di dalam patogenesis infeksi jamur masih perlu diteliti lebih jauh
lagi. Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon imun
berupa reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat (tipe IV) terjadi
pada individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita menstimulasi produksi IgE,

4
yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat, terutama pada penderita
dermatofitosis kronik. Dalam prosesnya, antigen dermatofita melekat pada
antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian menyebabkan cross-linking dari
IgE. Hal ini dapat menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan
histamin serta mediator proinflamasi lainnya.

D. Manifestasi Klinis3,4
Manifestasi klinis tinea kruris dan tinea korporis adalah rasa gatal atau
terbakar pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus, daerah perineum, badan,
lengan, tungkai dan bokong. Gejala Klinis tinea yang khas adalah gatal yang
meningkat saat berkeringat, dengan bentuk lesi polisiklik / bulat berbatas tegas,
efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif. Tinea biasanya tampak sebagai
papulovesikel eritematosa yang multipel dengan batas tegas dan tepi meninggi.
Adanya central healing yang ditutupi skuama halus pada bagian tengah
lesi. Tepi yang meninggi dan merah sering ditemukan pada pasien. Pruritus sering
ditemukan, seperti halnya nyeri yang disebabkan oleh maserasi ataupun infeksi
sekunder. Pasien juga merasakan gatal yang menyebabkan ketidaknyamanan dan
iritasi yang memberikan sensasi terbakar di daerah yang terkena.

E. Diagnosis5
Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan
kulit berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih nyata
daripada bagian tengahnya.
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan mikologi
ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopik
langsung memakai larutan KOH 10-20% Pemeriksaan KOH paling mudah
diperoleh dengan pengambilan sampel dari batas lesi. Hasil pemeriksaan
mikroskopis KOH 10 % yang positif, yaitu adanya elemen jamur berupa hifa yang
bercabang dan atau artrospora. Pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur
diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit.

5
Gambar 1. Hifa panjang bersepta dan antrospora

F. Penatalaksanaan7
Penatalaksanaan tinea kruris et korporis dapat dibedakan menjadi dua
yaitu non farmakologi (higienis sanitasi) dan terapi farmakologi.
Penatalaksanaan non farmakologi adalah sebagai berikut:
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi
atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran
infeksi ke bagian tubuh lainnya.
b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian
dengan orang lain untuk mencegah penyebaran.
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk
mencegah penyebaran jamur tersebut. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan
sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah
tumbuh.
d. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang
dapat menghambat sirkulasi udara.

Pengobatan farmakologi tinea kruris et korporis terdiri dari pengobatan lokal dan
pengobatan sistemik. Pada tinea dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat topikal.
Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau
kombinasi obat oral dan topikal diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens.
Anti jamur topikal yang dapat diberikan yaitu derivate imidazole, toksiklat,
6
haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang
disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres basah secara
terbuka.
Pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea adalah:
 Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk anak-anak
10-25 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari selama 2-4
minggu.
 Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang resisten terhadap
griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari selama -4
minggu.
 Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin dikatakan
cukup memuaskan untuk pengobatan tinea kruris et korporis.

G. Prognosis5,7
Pengobatan yang tepat memberikan prognosis yang baik, dengan angka
kesembuhan 70-100%. Tinea Kruris et Korporis tidak menyebabkan kematian
tetapi sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

7
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : M.F
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 14 Tahun
Alamat : Waena (Gang Teratai)
Kebangsaan : Indonesia
Suku Bangsa : Bugis
Agama : Islam
Pekerjaaan : Pelajar SMP
Tanggal Berobat : 28 Desember 2017

B. ANAMNESIS
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluahan Utama : Bercak kemerahan di lengan kiri, perut bagian atas dan bawah,
serta kedua lipat paha.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang berobat dengan keluhan timbul bercak kemerahan di lengan kiri,
perut bagian atas dan bawah, kedua lipat paha. Awalnya sekitar 1 bulan lalu timbul
bercak kemerahan yang terasa gatal pada lipat paha sebelah kiri, gatal dirasakan
semakin bertambah terutama saat cuaca panas dan pasien berkeringat. Saat terasa gatal
pasien menggaruk. Bercak tersebut semakin lama semakin melebar dan bertambah
banyak.
Lama kelamaan bercak tersebut tersebar di bagian tubuh lainnya seperti lipat paha
kanan, perut bagian atas dan bawah, lengan kiri, dan tungkai. Bercak-bercak ini awalnya
kecil kurang lebih sebesar koin 500 rupiah namun lama-kelamaan semakin membesar,
kelainan ini tidak diawali dengan muncul bintil –bintil merah.

8
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.

Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi terhadap makanan, udara, suhu, dll.

Riwayat Sosial dan Ekonomi


Pasien merupakan seorang pelajar SMP Kelas IX. Awalnya pasien tinggal
bersama orang tuanya di gang buntu perumnas I tetapi sudah 6 bulan terakhr ini pasien
tinggal di pondok pesantren. Pasien punya kebiasaan mandi sehari 2x, menggunaakan
sabun mandi. Air yang digunakan adalah air sumur, kadang juga air PAM.
Pasien suka berolahraga, jika berkeringat pasien tidak langsung mengganti
pakaian dan mandi. Pasien sering bertukar pakaian dengan teman-teman pesantren
lainnya. Pasien punya kebiasaan memakai pakaian terutama celana yang lebih ketat.
Pasien tidak menggunakan obat-obatan tertentu dalam jangka waktu lama.
Pasien berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,2oC
Berat Badan : 44 kg
Tinggi Badan : 156 cm

9
Kepala
Mata
- Konjungtiva : Anemis -/-
- Sklera : Ikterik -/-
- Pupil : Bulat isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

Thoraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris,
Palpasi : Stem fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor pada kedua paru
Auskultasi : Suara paru vesikuler, rhonki (-/+), wheezing (-/-),
Bunyi jantung I-II Reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, Lemas
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Palpasi :Lemas, nyeri tekan tidak ada, hepar & lien tidak teraba, massa (-)
Perkusi :Shifting dullness (-), timpani (+)

Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-)

Status Dermatologis
1. Regio Antebrachi Anterior Sinistra, tampak patch eritematosa, berbatas tegas, tepi
ireguler dengan ukuran nummular, tepi aktif, penyembuhan sentral disertai
dengan skuama kutikular diatasnya.

Gambar 2. Regio Antebrachi Anterior Sinistra

10
2. Regio Brachii Posterior Dextra tampak patch eritematosa, berbatas tegas, tepi ireguler
dengan ukuran plakat, tepi aktif, penyembuhan sentral disertai dengan skuama
kutikular diatasnya.

Gambar 3. Regio Brachii Posterior Dextra

3. Regio Epigastrica tampak patch eritematosa, berbatas tegas, tepi ireguler dengan
ukuran plakat, tepi aktif, penyembuhan sentral disertai dengan skuama kutikular
diatasnya.
4. Regio Pubica tampak patch eritematosa, berbatas tegas, tepi ireguler dengan ukuran
plakat, tepi aktif, penyembuhan sentral disertai dengan skuama kutikular
diatasnya.
5. Regio Inguinalis Dextra et Sinistra tampak patch eritematosa, berbatas tegas, tepi
ireguler dengan ukuran plakat, tepi aktif, penyembuhan sentral disertai dengan
skuama kutikular diatasnya.

Gambar 4. Regio Epigastrica & Regio Inguinalis Dextra et Sinistra

11
D. RESUME
Seorang remaja laki-laki, 14 tahun datang dengan keluhan timbul bercak
kemerahan di lengan kiri, perut bagian atas dan bawah, serta kedua lipat paha. Awalnya
timbul bercak kemerahan pada lipat paha sebelah kiri yang lama kelamaan semakin
membesar dan meyebar ke bagian tubuh lain seperti lipat paha kanan, perut, dan lengan
kiri. Bercak tersebut terasa sangat gatal terutama saat cuaca panas dan pasien
berkeringat.
Pasien tinggal di pesantren sekolah (Asrama). Pasien punya kebiasaan mandi
sehari 2x, menggunaakan sabun mandi. Air yang digunakan adalah air sumur, kadang
juga air PAM. Pasien suka berolahraga, jika berkeringat pasien tidak langsung mengganti
pakaian dan mandi. Pasien sering bertukar pakaian dengan teman-teman pesantren
lainnya. Pasien punya kebiasaan memakai pakaian terutama celana yang lebih ketat.
Pasien tidak menggunakan obat-obatan tertentu dalam jangka waktu lama.
Pada pemeriksaan fisik umum penderita tampak sakit ringan. Status Dermatologis
pada regio Antebrachi Anterior Sinistra, tampak patch eritematosa, berbatas tegas, tepi
ireguler dengan ukuran nummular, tepi aktif, penyembuhan sentral disertai dengan
skuama kutikular diatasnya. Regio Brachii Posterior Dextra, Regio Epigastrica, Regio
Pubica dan Regio Inguinalis Dextra et Sinistra tampak patch eritematosa, berbatas tegas,
tepi ireguler dengan ukuran plakat, tepi aktif, penyembuhan sentral disertai dengan
skuama kutikular diatasnya.

E. DIAGNOSIS BANDING
1. Kandidosis Kutis
2. Psorisis
3. Dermatitis (Seboroik)
4. Eritrasma

F. DIAGNOSIS KERJA
Suspect Tinea Kruris et Korporis

G. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi:
 Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air (Mandi 2-3 kali/hr)
 Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi terinfeksi
 Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas

12
 Memakai pakaian dengan bahan yang menyerap keringat dan tidak ketat

Farmakologi:
Griseovulvin 1x500 mg
Loratadin 1x10 mg

H. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Bonam
Quo Ad sanasionam : Dubia ad malam
Quo Ad fungsionam : Bonam

I. FOLLOW UP

Tanggal 04 Januari 2018


S : Bercak kemerahan di lengan kiri, perut bagian atas dan bawah, serta kedua lipat paha
memudar / menggelap, gatal (-)
O: Status Dermatologis:
 Regio Antebrachi Anterior Sinistra, tampak patch hiperpigmentsi, berbatas
tidak tegas, tepi ireguler dengan ukuran nummular, tepi aktif, penyembuhan
sentral disertai dengan skuama kutikular diatasnya.
 Regio Brachii Posterior Dextra tampak patch hiperpigmentasi, berbatas tidak
tegas, tepi ireguler dengan ukuran plakat, tepi aktif, penyembuhan sentral
disertai dengan skuama kutikular diatasnya.

Gambar 5. Regio Brachii Posterior Dextra

13
 Regio Epigastrica tampak patch hiperpigmentasi, berbatas tidak tegas, tepi
ireguler dengan ukuran plakat, tepi aktif, penyembuhan sentral disertai
dengan skuama kutikular diatasnya.
 Regio Pubica tampak patch hiperpigmentasi, berbatas tidak tegas, tepi
ireguler dengan ukuran plakat, tepi aktif, penyembuhan sentral disertai
dengan skuama kutikular diatasnya.
 Regio Inguinalis Dextra et Sinistra tampak patch hiperpigmentasi,
berbatas tidak tegas, tepi ireguler dengan ukuran plakat, tepi aktif,
penyembuhan sentral disertai dengan skuama kutikular diatasnya.

Gambar 6. Regio Epigastrica & Regio Inguinalis Dextra et Sinistra

A : Tinea Kruris et Korporis


P : Griseovulvin 1x500 mg

14
BAB IV
PEMBAHASAN
Dilaporkan kasus seorang remaja laki-laki, 14 tahun dengan Tinea Kruris et
Korporis. Diagnosis kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pada kasus ini, pasien mengeluh timbul bercak kemerahan di lengan kiri, perut
bagian atas dan bawah, serta kedua lipat paha. Awalnya timbul bercak kemerahan pada
lipat paha kiri yang lama kelamaan semakin membesar dan meyebar ke bagian tubuh lain
seperti lipat paha kanan, perut, dan lengan kiri. Bercak tersebut terasa sangat gatal
terutama saat cuaca panas dan pasien berkeringat.
Bedasarkan kepustakaan, tinea kruris merupakan infeksi jamur dermatofita pada
daerah kulit lipat paha, daerah pubis, perineum dan perianal sedangkan tinea korporis
infeksi jamur dermatofita pada muka, lengan, tungkai, badan, dan bokong. Gejala Klinis
tinea yang khas adalah gatal yang meningkat saat berkeringat. Gejala objektif yaitu
macula/patch eritematous atau hiperpigmentasi dengan tepi yang lebih aktif. Oleh karena
gatal dan digaruk, lesi akan meluas terutama pada daerah yang lembab.
Pada kasus, ada riwayat tinggal di pesantren sekolah (asrama) dan sering bertukar
pakaian dengan teman-teman. Hal ini berkaitan dengan penularan jamur secara
antropofilik yaitu penularan dari manusia ke manusia. Ada riwayat sering berkeringat dan
tidak langsung mengganti pakaian serta ada kebiasaan memakai pakaian yang lebih
ketat. Hal ini berkaitan dengan faktor predisposisi penyakit jamur yaitu iklim yang
panas dan lembab sehingga mempermudah pertumbuhan jamur.
Pemeriksaan fisik pada kasus ini meliputi pemeriksaan secara umum dan
pemeriksaan dermatologis. Pemeriksaan secara umum tidak ada masalah.
Status Dermatologis pada regio Antebrachi Anterior Sinistra, Regio Brachii
Posterior Dextra, Regio Epigastrica, Regio Pubica dan Regio Inguinalis Dextra et Sinistra
tampak patch eritematosa, berbatas tegas, tepi ireguler dengan ukuran nummular sampai
plakat, tepi aktif, penyembuhan sentral disertai dengan skuama kutikular diatasnya.
Hal ini sesuai dengan efloresensi yang terdapat pada tinea kruris et korporis yaitu lesi
dapat berbentuk macula, patch/ plak merah/ hiperpigmentasi, bulat atau lonjong, berbatas
tegas dengan tepi aktif dan penyembuhan sentral. Timbulnya kelainan pada kulit ini
disebabkan oleh dermatofit melepaskan enzim keratolitik yang berdifusi ke

15
jaringan epidermis menimbulkan peradangan. Respon terhadap inflamasi dapat
berupa eritema, papulasi, dan kadang vesikulasi. Karena pertumbuhan jamur dengan
pola radial di dalam stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan
batas yang jelas dan meninggi pada tepiya.2,3
Diagnosis banding pada kasus ini antara lain, Kandidosis kutis, psoriasis vulgaris
dermatitis seboroik,dan eritrasma. Pada kandidosis lesi akan tampak sangat merah, tanpa
adanya central healing, dan lesi biasanya berbentuk satelit (Lesi Satelit). Lesi pada
psoriasis akan tampak plak eritema berbatas tegas yang ditutupi oleh skuama tebal
berlapis-lapis dan berwarna putih mengkilat. Pada dermatitis seboroik lesi akan tampak
makula atau plak eritema yang disertai skuama dan krusta tipis sampai tebal yang kering,
basah atau berminyak. Eritrasma sering ditemukan pada lipat paha dengan lesi berupa
eritema dan skuama tapi dengan mudah dapat dibedakan dengan tinea kruris
menggunakan lampu wood dimana pada eritrasma akan tampak fluoresensi merah (coral
red).3
Penatalaksanaan pada kasus ini meliputi penatalaksanaan non-farmaolgis dan
farmakologis. Pentalalaksanaan non-farmakologis dilakukan degan memberikan
edukasi pada pasien untuk meningkat kebersihan pribadi dan mencegah penularan
jamur ke bagian tubuh yang lain. Hal ini berkaitan dengan pemutusan faktor predisposisi
dan penularan.2
Pada penatalaksanaan fakmakologis diberikan Grieovulvin 1x500 mg dan
Loratadin 1x10. Berdasarkan kepustakaan pengobatan sistemik diindikasian untuk infeksi
jamur yang luas. Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang bersifat fungistatik,
berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur. Secara umum
griseovulfin dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g
untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat badan. Griseofulvin sangat sedikit
diabsorbsi dalam keadaan perut kosong. Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan
makanan berkadar lemak tinggi, dapat meningkatkan absorbis mengakibatkan level
griseofulvin dalam serum akan lebi tinggi. Lama pengobatan bergantung pada lokasi
penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di
lanjutkan 2 minggu agar tidak residif.8 Loratadin merupakan antihistamin H1 untuk

16
mengatasi rasa gatal, mekanisme kerjanya yaitu inhibisi selektif dari reseptor H perifer.
Obat ini efek mengantuknya minimal, dosis yang diberikan adah 1x10 mg sehari.7,8
Prognosis kasus ini, quo ad vitam adalah bonam karena tinea kruris et korporis
tidak mengancam nyawa. Untuk prognosis quo ad functionam adalah bonam, karena
aktivits tidak tergangu. Dan prognosis quo ad sanactionam adalah dubia ad malam,
karena penyakit ini berhubungan dengan kebiasaan sehingga ada kemungkinan bisa
kambuh kembali. Berdasarkan kepustakaan Pengobatan yang tepat memberikan
prognosis yang baik, dengan angka kesembuhan 70-100%. Tinea Kruris et Korporis tidak
menyebabkan kematian tetapi sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.4,5

17
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus Tinea Kruris et Korporis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada kasus ini juga telah dilakukan pendekatan
farmaologis dan non farmakologis sehingga secara keseluruhan memberikan prognosis yang
baik.
Tinea kruris et korporis adalah penyakit karena infeksi jamur dermatofita dimana
predileksinya adalah pada daerah lipat paha, daerah pubis, perineum, perianal, muka, lengan,
tungkai, badan, dan bokong. Gambaran klinis bermula sebagai bercak-patch eritematosa yang
gatal dan lama kelamaan semakin meluas dengan tepi lesi yang aktif (peradangan pada tepi lebih
nyata dari pada daerah tengahnya),central healing, batas tegas, bentuk bervariasi, ditutupi
skuama, dan kadang-kadang dengan banyak papul dan vesikel kecil-kecil. Penatalaksanaan tinea
tidak hanya secara medikamentosa, namun juga dilakukan secara nonmedikamentosa guna
mencegah kekambuhan dan penularanya.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. Hidayati AN, Suyoso S, Hinda PD, Sandra E. Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi
Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun
2003–2005. 2009.h. 1-8.
2. Siregar RS. Penyakit Jamur Kulit. Edisi ke-2: Jakarta: EGC; 2004. h.1-13.
3. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:FKUI; 2013.
4. Kurniati CR. Etiopatogenesis Dermatofitosis. FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo.
2008. h.1-8.
5. Budimulya U, Widaty S. Dermatofitosis. In: Djuanda A. Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin (7th ed). Jakarta: Badan penerbit FKUI. 2015. h. 09-16.
6. Sutedjo AY. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Edisi Revisi: Yogyakarta: Amara Books; 2008. h. 204.
7. Setiabudy R, Bahry B. Obat Jamur. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5: FKUI: Jakarta;
2007 .h. 571-584.
8. Lubis RD. Pengobatan Dermatomikosis. FKUSU: Medan; 2008. h. 8-10.
.

19

Anda mungkin juga menyukai