1. Parastesi
Kerusakan saraf alveolaris inferior atau lingual permanen sangat jarang terjadi namun
merupakan salah satu resiko yang umum diketahui dalam pembedahan gigi molar tiga.
Perlukaan saraf alveolaris inferior atau lingual selama pencabutan gigi molar tiga rahang
bawah merupakan penyebab utama tuntutan hukum dalam kedokteran gigi. Kedekatan
anatomis saraf-saraf tersebut dengan gigi molar tiga membuatnya beresiko mengalami
kerusakan. Insiden komplikasi langka ini bervariasi dalam setiap penelitian dan sulit untuk
ditentukan dengan pasti karena populasi penelitian kecil. Insiden lesi saraf alveolaris inferior
permanen berkisar antara 0% smapai 0,9%. Jumlah komplikasi untuk perlukaan saraf lingual
sementara adalah 0,4% dan lebih rendah untuk perlukaan saraf lingual permanen.
Parastesi terjadi akibat trauma yang mengenai nervus alveolaris inferior,nervus lingualis
atau nervus maxillaris. Adapun manifestasi klinis parestesi yaitu berupa hilangnya sensasi
pada bagian tertentu dari wajah, biasanya pada bibir atau dagu. Penanganan yang dapat
a. Pemijatan
Pemijatan dilakukan menggunakan jari yang bertujuan untuk mengurangi
cairan inflamasi pada lokasi peradangan serta mengurangi pertumbuhan jaringan ikat
fibrinogen. Terlalu banyak jaringan fibrous akan menimbulkan scar. Selama fase
cedera saraf atau setelah tindakan OD. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi
obat atau bahan kimia melalui kulit, salah satunya pasta lidokain dan deksametasone
yang berguna untuk mengurangi edema dan juga mengontrol rasa sakit. Terapi ini
kompleks atau methylcobalt selama 6-8 minggu memberikan pengaruh yang baik
diberikan pada pasien pasca OD, idealnya sehari setelah pencabutan gigi. Pada pasien
yang mengalami parastesi ringan bisa diberikan anti-inflamasi seperti ibuprofen atau
bukti bahwa capsaicin yg digunakan secara tertur akan meredakan rasa sakit. Dosis yg
dianjurkan 5kali per hari selama 5 hari. Kemudian 3 kali per hari selama 3 minggu.
(Damayanti, 2012)
2. Trismus
Menurut Dhanrajani (2002), penatalaksaan trismus berdasarkan gejala yang
timbul dan dirasakan oleh pasien. Biasaya terismus menyebabkan rasa tidak nyaman
dan disfungsi dari rahang. Tingkatannya bervariasi dari ringan sampai parah. Namun
yang sering adalah ringan.jika terdapat rasa nyeri dan difungsi terapi yang bisa
diberikan adalah :
Terapi ini dilakukan dengan meletakkan handuk basah yang panas pada daerah
b. Pemberian analgesic
Pemberian aspirin digunakan untuk menangani nyeri yang timbul saat trismus
sekaligus memberikan efek anti-inflamasi. Selain itu, dapat digunakan juga analgesic
d. Terapi fisik
untuk mengemablikan fungsi TMJ. Menggerakkan ke arah lateral dan membua tutup
3. Dry socket
Dry soket merupakan alveolus yang setelah pencabutan gigi tidak terisi dengan koagulum
darah dan terasa sangat sakit, biasanya rasa sakit terjadi pada hari ke 3-5 setelah
pembedahan). Dry soket merupakan komplikasi yang sering terjadi. Jika tidak dilakukan
perawatan pada dry soket, kondisi ini dapat sembuh secara spontan, tetapi membutuhkan
waktu hingga 4 minggu dan selama masa waktu tersebut rasa nyeri tetap terjadi.(Lucky,2002)
Penangananya dengan cara irigasi soket bekas pencabutan dengan larutan salin isotonic
steril hangat, larutan garam normal yang hangat atau larutan hydrogen peroksida yang
dicairkan oleh aplikasi obtudent (eugenol) atau anstesi topical. Sebagai tambahan terapi lokal,
analgesik antipiretik atau narkotik seperti kodein sulfat (1/2 gram) atau meperidin (50 mg)
setiap 3-4 jam hars diberikan kepada pasien. Pemilihan obat tergantung keparahan dari rasa
nyeri (Lucky, 2002). Prosedur lain penaganan dry soket seperti pembersihan alveolus yang
kering, pemberian anastesi lokal, penghalusan tulang yang tajam, melukai dinding alveolus
sebelah dalam dengan sonde atau scaler supaya alveolus berdarah, alveolus diisi dengan
Menurut Starshak (1980) Infeksi dental akut harus dievaluasi tergantung kondisi
pasien. Pasien dalam kondisi toksik dengan demam tinggi berbeda perawatannya dengan
pasien dengan kondisi sehat,walaupun keduanya mempunyai infeksi dental dengan inflamasi
lokal ataupun menyebar. Objek utama adalah untuk mencegah penyebaran infeksi dan
mengembalikan kesehatan. Contohnya, satu pasien baik dilakukan pemberian antibiotik, jika
drainase diberikan untuk kasus abses. Pada pasien lainnya, pencabutan gigi secara langsung
dapat mengurangi sumber infeksi dan membatasi penyebaran infeksi. Dokter gigi dapat
memberika resep berupa antibiotik utnuk pasien yang beresiko terkena infeksi sebelum
dilakukan pencabutan.
Gigi sisa akar yang memiliki kelainan pada periapikal yang bersifat akut, sebaliknya
dilakukan terapi medikasi terlebih dahulu, seperti ekstraksi gigi apabila gigi memiliki abses
didaerah periapikalnya. Apabila dalam keadaan infeksi akut, sebaiknya dihilangkan dulu
infeksinya kemudian di lakukan ekstrasi. Hal tersebut karena ekstrasi pada stadium infeksi
akut tidak hanya dikuatirkan terjadi penyebaran infeksi tetapi juga kerja anstesi lokal yang
kurang efektif, sehingga menimbulkan rasa sakit yang menambah penderitaan pasien.
(Susanto,1992)
Damayanti, Anisa. Penatalaksaan Parastesi Pasca Pencabutan Molar Tiga Rahang Bawah Impaksi.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Gigi Univ. Prof. Dr. Moestopo. 2012
Dhanrajani. P. J dan o. Jonaidel. 2002. Trismus: Aetiology, Differential
Diagnosis and Treatment. Dent Update 2012; 29: 88–94.
Hendaya hedis, Kasim alwin.Parastesia sebagai komplikasi pasca bedah molar tiga bawah impaksi.
Fakultas Kedokteran Gigi Updm(b). Jakarta
Susanto, Herdarmin. Penjalaran infeksi odontogenik.dalam kumpulan makalah ilmiah kongres PDGI
XVIII. Semarang. 1992
Tjiptono TR, Harahap S, Arnus S, Osmani S.ilmu bedah mulut . edisi keenam. Medan:cahaya
Sukma.1982: 92-124