Anda di halaman 1dari 5

Islam

dalam Persimpangan
Nalar Kedamaian dan Kekerasan

Aksin Wijaya1

Al-Qur’an menegaskan Islam adalah agama yang mengajarkan


kedamaian. Hal itu bisa dilihat dari makna istilah “Islam” itu sendiri yang
berakar kata: s-l-m, silm dan al-salam yang bermakna ketaatan dan
kedamaian. Istilah “Islam” bagi agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu
sendiri bukanlah buatan manusia sebagaimana nama-nama agama lainnya,
melainkan diberikan oleh Tuhan sendiri, yakni al-Islam. Dengan berbagai
derivasinya, istilah al-Islam meminjam salah satu nama Tuhan, yakni al-
salam, dan nama salah satu surga-Nya, dar al-salam. Ungkapan Al-salam pun
digunakan di dalam berbagai konteks, seperti dalam ibadah shalat yang biasa
diucapkan di dalam tasyahud, “al-salamu alaikum warahmatullahi
wabarkatuh”, dan digunakan dalam bermuamalah dengan orang lain dengan
anjuran memulai dengan mengucapkan, al-salamu alaiukm, dan jawaban,
wa’alaikum Salam; serta ketika hendak memasuki rumah, baik rumah sendiri
maupun rumah orang lain. Karena itu, subyek dari al-Islam, yakni al-muslim
(orang yang beragama Islam) menurut Nabi Muhammad adalah orang yang
secara aktif menciptakan kedamaian, baik melalui lisannya (wacana) maupun
tangannya (kekuatannya), al-muslim, man salima al-muslimun min lisanihi wa
yadihi.
Akan tetapi, jika melihat realitas kehidupan manusia saat ini, konsep
Islam kedamaian itu mulai dipertanyakan otentisitas dan fungsinya dalam
menciptakan kedamaian. Bukan hanya oleh orang-orang Barat yang selama ini
menjadi korban kekerasan sebagian kecil orang-orang Islam, tetapi juga oleh
orang-orang Islam sendiri sebagai penganutnya (Muslim). Sebab, kini mulai
bermunculan gerakan Islam radikal yang melegalkan kekerasan, baik
kekerasan wacana seperti menuduh sesat pihak lain, maupun kekerasan fisik
seperti pemukulan, pengrusakan dan pembunuhan terhadap pihak lain dengan
mengatasnamakan agama dan Tuhan. Seolah kekerasan menjadi bagian dari
agama dan perintah Tuhan. Selain menjustifikasi tindakannya dengan
menggunakan al-Qur’an dan hadis dengan jargon “amar makruf nahi
mungkar”, mereka juga menggunakan ungkapan suci yang biasa diucapkan di
dalam ibadah shalat, “Allahu Akbar” dalam melakukan kekerasan.
1 Dosen IAIN Ponorogo. Disampaikan dalam ARICIS II-ICAIOS VII di UIN AR-RANIRI ACEH, 7-9
Agustus 2018.
Pertanyaannya, mengapa mereka merasa absah melakukan tindakan
kekerasan dengan mengatasnamakan Agama dan Tuhan? Apa sejatinya yang
kita lakukan untuk mendeligitimasinya, sembari mengambalikan Islam pada
khitthahnya sebagai ajaran yang membawa dan menciptakan kedamaian?
Untuk menjawab kedua masalah ini, akan dilacak genealogi nalar kekerasan
yang mengatasnamakan agama dan Tuhan.

@@@
Pada periode awal Islam, Nabi Muhammad berhasil menciptakan
kesatuan umat dibawah bendera Islam, dan mengubur fanatisme kesukuan
yang selama ini menjadi pemicu keterpecahan ummat. Akan tetapi,
pascawafatnya Nabi agung umat Islam ini, bibit-bibit perpecahan mulai
muncul lagi ke permukaan terutama pada fase akhir kekhilafahan al-rasyidun
yang memuncak pada peristiwa sejarah yang dikenal dengan istilah tahkim.
Tahkim itu sejatinya bertujuan untuk mengahiri perpecahan, dan kembali pada
persatuan dan kedamaian. Yang terjadi justru sebaliknya, ia menjadi titik nadir
kehidupan umat Islam. Sejak itu, umat Islam pecah menjadi tiga kelompok
utama, yakni kelompok yang mempolitisasi agama yang ditokohi Muawiyah;
kelompok yang berusaha melepaskan agama dari tarikan ideologi politik yang
dipimpin Ali bin Abi Thalib; dan kelompok kaku dan keras dalam memahami
agama yang diwakili oleh Khawarij. Tiga gerakan Islam periode awal itu
melahirkan beberapa retakan lahirnya gerakan Islam kontemporer, yakni Islam
Khawariji-Wahhabi, Islam Islamisme dan Islam pluralis.
Titik beda ketiga gerakan Islam kontemporer itu terletak pada metode
yang digunakan, yakni metode berfikir atau caranya dalam menalar Islam,
konsepnya tentang al-hakimiyah dan Jihad fi Sabilillah. Islam Khawariji-
Wahhabi yang ditokohi Abdul Wahhab menggunakan metode berfikir
dialektika-dokotomis, memahami Islam secara teosentris, dan
menteosentriskan politik dengan memberikan justifikasi teologis terhadap
pemerintahan menjadi pemerintahan Tuhan (al-hakimiyah al-Ilahiyah).
Namun karena kala itu dunia dikuasai oleh manusia, kelompok ini
mengharuskan adanya gerakan revolusioner melalui jihad fi Sabilillah dengan
tujuan untuk merebut kekuasan pemerintahan yang dikuasai manusia yang
mereka sebut thaghut. Kelompok ini tidak disibukkan dengan upaya
mendirikan pemerintahan Tuhan yang baru, karena mereka bekerjasama
dengan pemerintah yang ada dibawah pimpinan Ibnu Saud. Mereka justru
disibukkan dengan visi keagamaannya yang kaku dan purifikatif untuk
membersihkan Islam dari pengaruh tradisi lokal yang disebut bid’ah, khurafat,
tahayyul dan kufur.
Islam Islamisme, yang ditokohi al-Maududi dan Sayyid Qutub,
menggunakan metode berfikir dialektika-dikotomis, memahami Islam secara
teosentris, dan menteosentriskan politik dengan menawarkan konsep
pemerintahan Tuhan (al-hakimiyah al-ilahiyah), dan mencanangkan gerakan
revolusioner dalam bentuk jihad fi sabilillah. Selain ada kesamaanya dengan
kelompok pertama, juga ada perbedaan titik tekan. Kelompok ini disibukkan
dengan perjuangan mendirikan pemerintahan Tuhan, dan berusaha merebut
kekuasaan politik dari manusia, terutama yang didirikan oleh orang-orang
Barat dengan menggunakan bahasa, jihad fi sabilillah
Kedua nalar gerakan Islam itu bersifat dinamis dan toleran ketika masih
berposisi sebagai metode pemikiran. Ia mulai keras, kaku dan intoleran ketika
berubah menjadi ideologi yang disemaikan melalui organisasi dan lembaga
gerakan. Nalar yang keras, kaku dan intoleran menciptakan pemahaman
keislaman yang keras, kaku dan intoleran. Kekerasan, kekakuan dan
intoleransi dianggap bagian dari ajaran Islam, dan merasa absah secara teologi.
Mereka merasa absah melakukan tindakan kekerasan seperti pemukulan dan
pembunuhan terhadap pihak lain di luar kelompoknya. Tentu saja tidak semua
dari mereka menggunakan tindakan seperti itu. Setidaknya, nalar seperti itu
memungkinkan mereka melakukannya. Saat itulah, diperlukan nalar lain yang
mampu menetralisir nalar seperti itu, yakni Islam pluralis.
Islam pluralis, yang ditokohi Asymawi, Haj Hammad dan Syahrur,
menggunakan metode berfikir demonstratif-pluralis, menawarkan Islam
inklusif dan universal. Di antara mereka sendiri, mereka mempunyai
kesamaan sekaligus perbedaan. Ketiganya menggunakan metode berfikir yang
sama dan menawarkan Islam yang damai dan rahmah, tetapi menawarkan
analisis konseptual yang berbeda terutama terkait dengan bentuk pemerintahan
yang direstui Islam. Asymawi masih mengapresiasi konsep pemerintahan (al-
hakimiyah) dengan menampilkan keragaman dan dinamika pemerintahan
dalam Islam; Haj Hammad menampilkan pemaknaan baru terhadap konsep al-
hakimiyah, yakni sebagai bentuk keterlibatan langsung dan tidak langsung
Tuhan dalam kehidupan manusia; dan Syahrur lebih fakus pada pemaknaan
al-hakimiyah ke dalam wilayah pembuatan hukum Tuhan dan manusia, bukan
dalam bentuk pendirian pemerintahan.
Ketiga gerakan Islam ini masuk ke Indonesia dengan membawa
pengaruh yang berbeda. Dua kelompok pertama yang disebut dengan Islam
transnasional bisa membawa pengaruh negatif jika tidak dijalankan dengan
cara yang elegan, seperti lahirnya konflik kehidupan keberagamaan dan
berbangsa. Sebab, ideologinya yang keras, kaku, dan intoleran bisa mengusik
kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang sudah mapan sesuai
konsensus para pendiri Negara ini. Karena itu, sebagai bagian dari orang
Indonesia yang beragama Islam, sejatinya kita membawakan konsep
keIslaman antroposentris, visi pemerintahan etis-humanis yang sesuai dengan
kondisi Indonesia, dengan menjadikan jihad wathaniyah sebagai strategi
membela bangsa dan Negara Indonesia yang berbentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dan bermottokan Bhinnika Tunggal Ika ini.

@@@
Aksin Wijaya, Sumenep pada 1 Juli 1974. Menyelesaikan pendidikan
dasarnya di SDN Cangkreng, Kec. Lenteng (1987) dan di Pondok Pesantren
Khairul Ulum Desa Cangkreng, Kec. Lenteng, Sumenep (1980-1986); MTs. di
Pondok Pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk, Sumenep (1989-1992); MAPK
(MAN I) Jember (1992-1995); Program Sarjana (S-1) di Universitas Islam
Jember (UIJ) Fakultas Hukum (1996-2001); dan di Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Jember Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal ash-
Shakhsyiah (1997-2001); Program Magister (S-2) di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Filsafat Islam
(2002-2004); dan Program Doktor (S-3) juga di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (2004-2008). Saat ini berstatus sebagai dosen Jurusan Ushuluddin
dan Pascasarjana IAIN Ponorogo dan Kediri.
Beberapa penghargaan: wisudawan terbaik ke-3 di STAIN Jember
(2001); wisudawan terbaik dan tercepat di Program S-2 UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (2004); penghargaan predikat Cumlaude pada ujian terbuka
(promosi) doktor di UIN Sunan Kalijaga; penghargaan sebagai doktor ke-200
di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; juara II Thesis Award (lomba tesis tingkat
nasional di kalangan dosen PTAI) se-Indonesia yang diadakan oleh Depag RI
tahun 2006, dengan judul “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas
Nalar Tafsir Gender”; dan penghargaan sebagai juara II Dosen Teladan
Nasional, bidang Islamic Studies yang diadakan oleh Kementerian Agama
(Kemenag) RI, Desember 2015.
Beberapa kegiatan ilmiyah: mengikuti Program Sandwich Penelitian
Desertasi Tafsir di Mesir yang diadakan oleh Depag, Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan PSQ Jakarta (Maret-Juli 2007); mengikuti kursus
bahasa Arab di lembaga Lisan al-Arabi di Mesir (Maret-Juli 2007); mengikuti
pelatihan Filologi (Studi Naskah Keagamaan) pada Puslitbang Lektur
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Depag RI di Jakarta (2007); mengikuti
Program Post-Doktoral yang diadakan oleh Depag RI di Mesir (2010);
mengikuti program POSFI oleh Kemenag RI di Maroko (2013); dan mengikuti
Program KSL oleh Kemenag RI di Maroko, (2014-2015).
Beberapa karya tulis dan terjemahan yang dihasilkannya adalah: (1)
Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas Nalar Tafsir Gender (Safiria
Insania Press Yogyakarta, 2004); (2) Metodologi Perubahan Sosial Berbasis
Participatory Action Reseach (STAIN Ponorogo Press, 2007); (3) Teori
Interpretasi Alqur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hermeneutis (LKiS
Yoyakarta, 2009); (4) Hidup Beragama: Dalam Sorotan UUD 45 dan Piagam
Madinah (STAIN Ponorogo Press, 2009); (5) Arah Baru Studi Ulum
Alqur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2009); (6) Metode Kritik Filsafat Ibnu Rusyd [Terjemahan, dari
judul asli Manhaj al-Naqdi Fi Falsafah Ibnu Rusyd, karya Muhammad Atif al-
Iraqi] (Ircisod Yoyakarta, 2003); (7) Nalar Filsafat dan Teologi Islam
[Terjemahan, dari judul asli Al-Kasyfu an-Manahij Adillah Fi ‘Aqa’id al-
Millah, Komentar Muhammad Abid al-Jabiri atas karya Ibnu Rusyd]
(IRCISOD:Yogyakarta, 2003); (8) Mendamaikan Agama dan Filsafat
[Terjemahan, dari judul asli Falsafah Ibnu Rusyd: Fasl al-Maqal wa al-
Kasyfu, karya Ibnu Rusyd] (Philar Media dan Tsawrah Institut Yogyakarta,
2005/edisi terbaru diterbitkan di penerbit Yogyakarta: Kalimedia, 2016); (9)
Menusantarakan Islam: Menelusuri Jejak Pergumulan Islam yang tak
Kunjung Usai di Nusantara (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press/Nadi
Pustaka/Kemenag RI, 2011/2012);
(10) “Eksistensialis Teosentris: Musa Asy’arie” dalam, Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam Alqur’an”, dalam (al-Makin: Editor), Mazhab
Kebebasan Berpikir dan Komitmen Kemanusiaan: Ulasan Pemikiran Musa
Asy‘arie, (Yogyakarta: ELSAF, 2011); (11) Nalar Kritis Epistemologi Islam
(Yogyakarta: Nadi Pustaka/KKP, dan Teras, 2012); (12) Jejak Pemikiran
Sufisme Indonesia: Konsep Wujud dalam Tasawuf Syekh Yusuf al-Makassari
(Yogyakarta: Pustaka Ilmu, Nadi Pustaka dan KKP, 2012); (13) Satu Islam,
Ragam Epistemologi: dari epistemologi Teosentrisme ke Antroposentrisme
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2014); (14) Problematika Pemikiran Arab
Kontemporer [judul asli Iskaliyat al-Fikri al-Arabi al-Muasyir, karya
Muhammad Abed al-Jabiri] (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015); (15) Sejarah
Kenabian: dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah,
(Bandung: Mizan, 2016); (16) Kritik Nalar Agama (terjemahan karya Ibnu
Rusyd), (Yogyakarta: Lentera, 2016); (17) Visi Humanis-Pluralis Islam Faisal
Ismail, (Yogyakarta:Dialektika); (18) Menalar Islam:Menyingkap Argumen
Epistemologis Abdul Karim Soroush dalam Memahami Islam (Yogyakarta:
Magnum Pustaka, 2017); dan (19) Dari Membela Tuhan ke Membela
Manusia: Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan (Bandung:Mizan, 2018).

Anda mungkin juga menyukai