Anda di halaman 1dari 10

Konsep agropolitan, yaitu pengembangan wilayah perdesaan atau kota-kota perdesan yang

aktifitas utamanya adalah kegiatan agribisnis. Agropolitan merupakan bentuk pembangunan


yang memadukan pembangunan pertanian yang merupakan basis utama di perdesaan dengan

sektor industri yang selama ini terpusat dikembangkan di perkotaan.

Secara luas, pengembangan agropolitan berarti mengembangkan perdesaan dengan cara


memperkenalkan industri modern yang disesuaikan dengan lingkungan perdesaan. Dengan
membangun agribisnis perdesaan, laju perpindahan penduduk dari desa kekota bisa ditekan. Hal
ini terjadi karena desa dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang mampu memberikan
penghidupan layak bagi masyarakatnya. Selain itu desa sudah berubah menjadi bentuk campuran
yang dinamakan agropolis atau kota di ladang.

Melalui pengembangan agropolitan, diharapkan terjadi interaksi yang kuat antara pusat kawasan
agropolitan dengan wilayah produksi pertanian dalam sistem kawasan agropolitan. Melalui
pendekatan ini, produk pertanian dari kawasan produksi akan diolah terlebih dahulu di pusat
kawasan agropolitan sebelum di jual (ekspor) ke pasar yang lebih luas sehingga nilai tambah
terhadap produk pertanian tetap berada di kawasan agropolitan sehingga dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat pertanian.

Konsep agropolitan ini dapat dibentuk dengan dua faktor utama yaitu: 1)Penerapan teknologi
tepat guna untuk meningkatkan produktivitas pertanian, infrastruktur (transportasi, irigasi, air
bersih, listrik, serta teknologi komunikasi dan informasi) dan fasilitas sosial ekonomi perdesaan
yang memadai termasuk lembaga keuangan.

Kawasan pertanian yang dipilih sebaiknya adalah kawasan pertanian yang sudah ditumbuh
kembangkan oleh Pemerintah Daerah dan Kementerina Pertanian. Kawasan tersebut antara lain
Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), Kawasan Peternakan, Kawasan
Hortikultura atau Kawasan Tanaman Pangan. Program untuk kawasan yang akan dikembangkan
menjadi kawasan agropolitan dilakukan melalui kerjasama dengan masyarakat, swasta serta
kerjasama lintas sektoral dan lintas pusat dan daerah yang diorganisasikan oleh manajemen yang
efisien, dan harus menjadi komitmen dari pemerintah daerah (Bupati/ Walikota, DPRD,
masyarakat setempat). Pada kawasan ini peranan masyarakat cukup dominan dan berperan aktif
dalam pembangunan kesejahteraannya, sedangkan peranan pemerintah bersifat memberikan
fasilitasi, membangun infrastruktur, memberikan dukungan iklim kondusif dan pembuatan
peraturan perundang-undangan untuk berkembangnya dinamika pembangunan dan melindungi
eksistensi program.

Berikut Definisi dan makna yang berhubungan dengan agrowisata menurut Ramiro Lobo, Farm
Advisor UC Cooperative Extension, San Diego County (2007).

Agrowisata yakni kegiatan atau wisata yang mengacu pada kegiatan melakukan perkunjungan
kepada petani yang sedang bekerja di lahan pertanian mereka artinya wisatawan mungkin akan
melihat-lihat proses pembibitan, penanaman, pemanenan, bahkan kegiatan pengolahan produk
pertanian menjadi produk olahan dalam konteks kegiatan agribisnis.

Agrowisata adalah jenis wisata yang didukung oleh masyarakat tani dari sisi penawaran para
petani siap dengan produk mereka dan para wisatawan mengharapkan suguhan produk yang
ditawarkan oleh wisatawan. Proses terjadinya produksi agrowisata adalah ketika terjadi
“perkunjungan” yang mempertemukan antara penawaran dan permintaan.

Agrowisata merupakan pemasaran langsung produk pertanian karena para petani dapat menjual
secara langsung hasil pertaniannya tanpa melalui saluran distribusi. Petani bias mebuat stand
hasil pertaniannya di sepanjang jalur yang dilintasi oleh para wisatawan. Wilayah agrowisata
dapat secara otomatis perfungsi sebagai pasar yang mempertemukan antara para petani sebagai
penghasil produk pertanian dengan para wisatawan sebagai penikmat produk. Produk yang
dimaksud tidak sebatas yang berwujud seperti buah-buahan atau sayur-sayuran, tetapi dapat
berupa jasa misalnya mengukir buah, jasa lokal guide, dan mungkin atraksi tari-tarian para
petani lokal yang mengekpresikan kehidupan bertanian mereka.

Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha pertanian (agro)
sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi,
dan hubungan usaha dibidang pertanian. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan
budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan petani
sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal
(indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya
(http://database.deptan.go.id)

Sutjipta (2001) mendefinisikan, agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan yang terpadu dan
terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata sekaligus pertanian, dalam kaitannya dengan
pelestarian lingkungan, peningkatan kesajahteraan masyarakat petani.

Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism), yaitu kegiatan


perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi
dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai
sarana pendidikan (Deptan, 2005)

Antara ecotourism dan agritourism berpegang pada prinsif yang sama. Prinsif-prinsif tersebut,
menurut Wood, 2000 (dalam Pitana, 2002) adalah sebagai berikut:

a) Menekankan serendah-rendahnya dampak negatif terhadap alam dan kebudayaan yang dapat
merusak daerah tujuan wisata.

b) Memberikan pembelajaran kepada wisatawan mengenai pentingnya suatu pelestarian.

c) Menekankan pentingnya bisnis yang bertanggung jawab yang bekerjasama dengan unsur
pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan penduduk lokal dan memberikan
manfaat pada usaha pelestarian.

d) Mengarahkan keuntungan ekonomi secara langsung untuk tujuan pelestarian, menejemen


sumberdaya alam dan kawasan yang dilindungi.

e) Memberi penekanan pada kebutuhan zone pariwisata regional dan penataan serta pengelolaan
tanam-tanaman untuk tujuan wisata di kawasan-kawasan yang ditetapkan untuk tujuan wisata
tersebut.

f) Memberikan penekanan pada kegunaan studi-studi berbasiskan lingkungan dan sosial, dan
program-program jangka panjang, untuk mengevaluasi dan menekan serendah-rendahnya
dampak pariwisata terhadap lingkungan.
g) Mendorong usaha peningkatan manfaat ekonomi untuk negara, pebisnis, dan masyarakat
lokal, terutama penduduk yang tinggal di wilayah sekitar kawasan yang dilindungi.

h) Berusaha untuk meyakinkan bahwa perkembangan pariwisata tidak melampui batas-batas


sosial dan lingkungan yang dapat diterima seperti yang ditetapkan para peneliti yang telah
bekerjasama dengan penduduk lokal.

i) Mempercayakan pemanfaatan sumber energi, melindungi tumbuh-tumbuhan dan binatang liar,


dan menyesuaikannya dengan lingkungan alam dan budaya.

Di beberapa negara, agritourism bertumbuh sangat pesat dan menjadi alternatif terbaik bagi
wisatawan, hal ini disebabkan, agritourism akan membawa seseorang mendapatkan pengalaman
yang benar-benar berbeda dari rutinitas kesehariannya. Mereka ingin keluar dari kejenuhan,
tekanan kemacetan lalulintas, telepon selular, suasana kantor dan hiruk pikuk keramaian. Orang
tua ingin anak-anak mereka dapat mengetahui dari mana sebenarnya makanan itu berasal atau
mengenalkan bahwa susu itu dari seekor sapi bukan rak supermarket (www.farmstop.com)

Pada era ini, manusia di bumi hidupnya dipenuhi dengan kejenuhan, rutinitas dan segudang
kesibukan. Untuk kedepan, prospek pengembangan agrowisata diperkirakan sangat cerah.
Pengembangan agrowisata dapat diarahkan dalam bentuk ruangan tertutup (seperti museum),
ruangan terbuka (taman atau lansekap), atau kombinasi antara keduanya. Tampilan agrowisata
ruangan tertutup dapat berupa koleksi alat-alat pertanian yang khas dan bernilai sejarah atau
naskah dan visualisasi sejarah penggunaan lahan maupun proses pengolahan hasil pertanian.
Agrowisata ruangan terbuka dapat berupa penataan lahan yang khas dan sesuai dengan
kapabilitas dan tipologi lahan untuk mendukung suatu sistem usahatani yang efektif dan
berkelanjutan.

Komponen utama pengembangan agrowisata ruangan terbuka dapat berupa flora dan fauna yang
dibudidayakan maupun liar, teknologi budi daya dan pascapanen komoditas pertanian yang khas
dan bernilai sejarah, atraksi budaya pertanian setempat, dan pemandangan alam berlatar
belakang pertanian dengan kenyamanan yang dapat dirasakan. Agrowisata ruangan terbuka dapat
dilakukan dalam dua versi/pola, yaitu alami dan buatan (http://database.deptan.go.id)
Selanjutnya agrowisata ruangan terbuka dapat dikembangkan dalam dua versi atau pola, yaitu
alami dan buatan, yang dapat dirinci sebagai berikut:

Agrowisata Ruang Terbuka Alami

Objek agrowisata ruangan terbuka alami ini berada pada areal di mana kegiatan tersebut
dilakukan langsung oleh masyarakat petani setempat sesuai dengan kehidupan keseharian
mereka. Masyarakat melakukan kegiatannya sesuai dengan apa yang biasa mereka lakukan tanpa
ada pengaturan dari pihak lain. Untuk memberikan tambahan kenikmatan kepada wisatawan,
atraksi-atraksi spesifik yang dilakukan oleh masyarakat dapat lebih ditonjolkan, namun tetap
menjaga nilai estetika alaminya. Sementara fasilitas pendukung untuk kenyamanan wisatawan
tetap disediakan sejauh tidak bertentangan dengan budaya dan estetika asli yang ada, seperti
sarana transportasi, tempat berteduh, sanitasi, dan keamanan dari binatang buas. Contoh
agrowisata terbuka alami adalah kawasan Suku Baduy di Pandeglang dan Suku Naga di
Tasikmalaya, Jawa Barat; Suku Tengger di Jawa Timur; Bali dengan teknologi subaknya; dan
Papua dengan berbagai pola atraksi pengelolaan lahan untuk budi daya umbi-umbian.

Agrowisata Ruang Terbuka Buatan

Kawasan agrowisata ruang terbuka buatan ini dapat didesain pada kawasan-kawasan yang
spesifik, namun belum dikuasai atau disentuh oleh masyarakat adat. Tata ruang peruntukan lahan
diatur sesuai dengan daya dukungnya dan komoditas pertanian yang dikembangkan memiliki
nilai jual untuk wisatawan. Demikian pula teknologi yang diterapkan diambil dari budaya
masyarakat lokal yang ada, diramu sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan produk atraksi
agrowisata yang menarik. Fasilitas pendukung untuk akomodasi wisatawan dapat disediakan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, namun tidak mengganggu keseimbangan
ekosistem yang ada. Kegiatan wisata ini dapat dikelola oleh suatu badan usaha, sedang pelaksana
atraksi parsialnya tetap dilakukan oleh petani lokal yang memiliki teknologi yang diterapkan.

Location Quotient Analysis (LQ)

Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat spesialisasi sektor-sektor ekonomi
di suatu daerah atau sektor-sektor apa saja yang merupakan sektor basis atau leading sektor. Pada
dasarnya teknik ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di daerah
yang diselidiki dengan kemampuan sektor yang sama pada daerah yang menjadi acuan. Satuan
yang digunakan sebagai ukuran untuk menghasilkan koefisien LQ tersebut nantinya dapat berupa
jumlah tenaga kerja per-sektor ekonomi, jumlah produksi atau satuan lain yang dapat digunakan
sebagai kriteria.

Teknik analisis ini belum bisa memberikan kesimpulan akhir dari sektor-sektor yang
teridentifikasi sebagai sektor strategis. Namun untuk tahap pertama sudah cukup memberi
gambaran akan kemampuan suatu daerah dalam sektor yang teridentifikasi. Rumus matematika
yang digunakan untuk membandingkan kemampuan sektor-sektor dari daerah tersebut adalah
(Warpani, 1984:68) :

𝑆𝑖/𝑁𝑖 𝑆𝑖/𝑆
Location Quotient Analysis (LQ) Dimana : LQ = =𝑁𝑖/𝑁
𝑆/𝑁

Si = Jumlah buruh sektor kegiatan ekonomi i di daerah yang diselidiki

S = Jumlah buruh seluruh sektor kegiatan ekonomi di daerah yang diselidiki

Ni = Jumlah sektor kegiatan ekonomi i di daerah acuan yang lebih luas, di mana daerah
yang di selidiki menjadi bagiannya

N = Jumlah seluruh buruh di daerah acuan yang lebih luas

Itu jika menggunakan data buruh atau tenaga kerja. Demikian pula jika menggunakan data lain,
seperti PDRB.

Dari perhitungan Location Quotient (LQ) suatu sektor, kriteria umum yang dihasilkan adalah :

a) Jika LQ > 1, disebut sektor basis, yaitu sektor yang tingkat spesialisasinya lebih tinggi dari
pada tingkat wilayah acuan

b) Jika LQ < 1, disebut sektor non-basis, yaitu sektor yang tingkat spesialisasinya lebih rendah
dari pada tingkat wilayah acuan
c) Jika LQ = 1, maka tingkat spesialisasi daerah sama dengan tingkat wilayah acuan.

Asumsi metoda LQ ini adalah penduduk di wilayah yang bersangkutan mempunyai pola
permintaan wilayah sama dengan pola permintaan wilayah acuan. Asumsi lainnya adalah
permintaan wilayah akan suatu barang akan dipenuhi terlebih dahulu oleh produksi wilayah,
kekurangannya diimpor dari wilayah lain.

Keunggulan Analisis LQ:

Location Quotient merupakan suatu alat analisa yang digunakan dengan mudah dan cepat. LQ
dapat digunakan sebagai alat analisis awal untuk suatu daerah, yang kemudian dapat dilanjutkan
dengan alat analisis lainnya. Karena demikian sederhananya, LQ dapat dihitung berulang kali
untuk setiap perubahan spesialisasi dengan menggunakan berbagai peubah acuan dan periode
waktu. Perubahan tingkat spesialisasi dari tiap sektor dapat pula diketahui dengan
membandingkan LQ dari tahun ke tahun.

Kelemahan Analisis LQ:

Perlu diketahui bahwa nilai LQ dipengaruhi oleh berbagai faktor. Nilai hasil perhitungannya
bias, karena tingkat disagregasi peubah spesialisasi, pemilihan peubah acuan, pemilihan entity
yang diperbandingkan, pemilihan tahun dan kualitas data.

Masalah paling mendasar pada model ekonomi basis ini adalah masalah time lag. Hal ini diakui,
bahwa base multiplier atau pengganda tidak berlangsung secara tepat, karena membutuhkan time
lag antara respon dari sektor basis terhadap permintaan dari luar wilayah dan respon dari sektor
non basis terhadap perubahan sektor basis. Pendekatan yang biasanya dilakukan terhadap
masalah ini adalah mengabaikan masalah time lag ini, namun dalam jangka panjang masalah ini
pasti terjadi.

Pengganda basis dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Budiharsono, 2001:31) :

𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎


Pengganda basis = 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑏𝑎𝑠𝑖𝑠
𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎
Atau Pengganda Basis = 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑏𝑎𝑠𝑖𝑠

Atau: ▲T = (i/(1-dl0)) ▲X

Keterangan :

T = Total Tenaga Kerja

X = Jumlah Tenaga Kerja Pada Sektor Basis

1/(1-dl) = Multiplier. (Ma’rif : 2000)

Pada umumnya jika dilakukan dengan hati-hati dan menggunakannya dengan hati-hati pula,
maka model ekonomi basis ini merupakan alat yang baik untuk mengeksplorasi, mengevaluasi
dan memberikan dugaan permintaan basis untuk masa mendatang dan memprediksi tenaga kerja,
pendapatan, populasi, investasi, kebutuhan pelayanan masyarakat dan sebagainya.

Menurut teori ini, sektor ekspor merupakan sektor yang paling penting dalam pembangunan
daerah, karena (1) ekspor akan secara langsung menimbulkan kenaikan pendapatan faktor-faktor
produksi dan pendapatan daerah, (2) pengembangan ekspor akan menimbulkan permintaan atas
produksi industri lokal (residentary industry), yaitu industri di daerah yang memproduksi untuk
memenuhi pasaran di daerah tersebut. Walaupun sebetulnya ada faktor lain yang tidak kalah
pentingnya dalam pembangunan daerah, yaitu pertambahan penduduk dan modal yang besar ke
daerah tersebut.

Dalam perkembangannya, teori ekspor base dikembangkan lagi oleh Perlof dan Wingo ke dalam
teori resource base yang didasarkan pada pengalaman empirik sejarah perkembangan daerah di
Amerika Serikat (Sukirno,1982). Teori ini menganggap bahwa di samping ekspor, peranan
kekayaan alam suatu daerah juga menentukan perkembangan daerah tersebut.

Shift – Share Analysis

Metoda ini digunakan untuk mengetahui kinerja perekonomian daerah, pergeseran struktur,
posisi relatif sektor-sektor ekonomi dan identifikasi sektor unggulan daerah dalam kaitannya
dengan perekonomian wilayah acuan (wilayah yang lebih luas) dalam dua atau lebih kurun
waktu.

Analisis ini bertolak pada asumsi bahwa pertumbuhan sektor daerah sama dengan pada tingkat
wilayah acuan, membagi perubahan atau pertumbuhan kinerja ekonomi daerah (lokal) dalam tiga
komponen :

1) Komponen Pertumbuhan Wilayah Acuan (KPW), yaitu mengukur kinerja perubahan ekonomi
pada perekonomian acuan. Hal ini diartikan bahwa daerah yang bersangkutan tumbuh karena
dipengaruhi oleh kebijakan wilayah acuan secara umum.

2) Komponen Pertumbuhan Proporsional (KPP), yaitu mengukur perbedaan pertumbuhan sektor-


sektor ekonomi acuan dengan pertumbuhan agregat. Apabila komponen ini pada salah satu
sektor wilayah acuan bernilai positif, berarti sektor tersebut berkembang dalam perekonomian
acuan. Sebaliknya jika negatif, sektor tersebut menurun kinerjanya.

3) Komponen Pergeseran atau Pertumbuhan Pangsa Wilayah (KPK), yaitu mengukur kinerja
sektor-sektor lokal terhadap sektor-sektor yang sama pada perekonomian acuan. Apabila
komponen ini pada salah satu sektor positif, maka daya saing sektor lokal meningkat
dibandingkan sektor yang sama pada ekonomi acuan, dan apabila negatif terjadi sebaliknya.

Dengan demikian apabila perubahan atau pertumbuhan kinerja ekonomi kota adalah PEK, maka
persamaannya dapat diformulasikan sebagai berikut (Ma’rif, 2000:3):

PEK = KPW + KPP + KPK

Pergeseran Netto (PN) dihitung dengan rumus : PN = KPP + KPK

Selain data pendapatan dapat juga dipergunakan data kesempatan kerja.

Keunggulan Shift – Share Analysis:

a) Digunakan untuk memperileh gambaran rinci mengenai pergeseran struktur ekonomi


b) Menggambarkan posisi relatif masing-masing sektor perekonomian daerah terhadap wilayah
acuan

c) Menggambarkan sektor-sektor unggulan yang dapat dipacu untuk mendorong pertumbuhan


ekonomi

d) Menggambarkan sektor yang posisinya relatif lemah, namun dianggap strategis untuk dipacu
(pertimbangan penyerapan tenaga kerja)

Kelemahan Shift – Share Analysis:

a) Asumsi yang digunakan bahwa sektor-sektor ekonomi acuan tumbuh dengan tingkat yang
sama,

b) Pergeseran posisi sektor dianggap linier.

Anda mungkin juga menyukai