Anda di halaman 1dari 38

PRESENTASI KASUS

INFARK MIOKARD ST ELEVASI (STEMI)

Disusun Oleh:
Dista Arifany Luthfi
NIM. 20130310181
NIPP. 20174011143

Pembimbing:
dr. Widodo, Sp. PD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul

INFARK MIOKARD ST ELEVASI (STEMI)

Disusun oleh:
Nama: Dista Arifany Luthfi
No. Mahasiswa: 20130310181

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Senin, 12 Maret 2017

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Widodo, Sp. PD

i
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 60 tahun
Alamat : Rembes, Watuagung, Tuntang, Semarang
Status nikah : Menikah
Status Asuransi : BPJS
Masuk RS : 24 Februari 2018
No. CM : 10-11-162845

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri dada sebelah kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri sejak ± 8jam
sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk menjalar ke
lengan kiri dengan derajat nyeri yang tidak bisa ditahan oleh pasien. Nyeri mulai
dirasakan saat pasien beristirahat dan dirasakan tidak kunjung mereda melainkan
semakin bertambah parah. Pasien mengeluhkan sesak napas saat beraktivitas sehari-
hari. Pasien tidak mengeluhkan mual dan muntah. Pasien mengaku pernah mengalami
sesak sebelumnya namun membaik dengan sendirinya.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi, diabetes militus, dan asma disangkal oleh pasien
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kondisi yang serupa pasien.
Riwayat diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung disangkal oleh pasien.
e. Riwayat Personal Sosial
Pasien merupakan seorang perokok aktif kurang lebih selama 40 tahun. Dalam
sehari rata – rata menghabiskan 4 bungkus rokok. Pasien baru berhenti merokok
sekitar 2 bulan yang lalu. Riwayat minum minuman berakhohol disangkal oleh
pasien.

1
f. Anamnesis sistem
 Kepala dan leher : tidak ada keluhan
 THT : tidak ada keluhan
 Respirasi : tidak ada keluhan
 Kardiovaskuler : nyeri dada kiri
 Gastrointestinal : tidak ada keluhan
 Perkemihan : tidak ada keluhan
 Reproduksi : tidak ada keluhan
 Kulit dan ekstremitas : tidak ada keluhan

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum Lemah

Kesadaran Compos mentis (E4V5M6)


Tekanan darah = 132/93 mmHg
Nadi = 64 kali/menit, reguler, isi dan tekanan cukup
Respirasi = 28 kali/menit, tipe eupnea
Vital sign
Suhu = 36.50C
SpO2 = 99%
VAS = 8
Kepala dan Leher
Bentuk kepala Normocephali
Wajah Simetris, deformitas (-)
Edema palpebra (-/-)
Mata Conjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Inspeksi: bentuk tidak nampak kelainan, deviasi trakea (-)
Leher
Palpasi: trakea teraba di garis tengah, pembesaran limfonodi (-)

Thorax
Inspeksi: bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis, ketertinggalan
gerak (-), pernapasan torakoabdominal, retraksi (-)
Pulmo
Palpasi: pengembangan dada simetris, vocal fremitus simetris, nyeri (-)
Perkusi: pekak di hemithorax dextra bagian atas, sonor (+/+), batas paru-

2
hepar dalam batas normal
Auskultasi: suara nafas vesikuler +/+, reguler, suara ronkhi -/-, wheezing
+/+
Inspeksi: tidak nampak pulsasi di ictus cordis
Palpasi: teraba ictus cordis di sic V linea midclavicularis kiri, diameter 2
cm, kuat denyut, thrill (-)
Perkusi: batas kanan bawah paru-jantung pada sic V line sternalis kanan,
Cor batas kanan atas paru-jantung pada sic III line sternalis kanan. Batas kiri
paru-jantung pada sic V linea midclavicularis kiri, batas atas kiri paru-
jantung pada sic III linea parasternalis kiri.
Auskultasi: BJ 1 dan BJ 2 reguler, punctum maximum pada sic V linea
midclavicularis kiri, murmur (-), gallop (-), splitting (-)
Abdomen
Inspeksi Simetris, caput medusa (-), tidak nampak distensi
Auskultasi Bising usus (+)
Palpasi Distensi (-), defans muskular (-)
Timpani pada semua lapang perut, shfting dullness (-), liver span lobus
Perkusi dexter 11 cm, lobus sinister 6 cm.
Area traube timpani.
Extremitas
Inspeksi Jaringan nekrosis (-), ulkus (-)
Palpasi Capillary refill time < 2 detik, akral hangat
- -
Edema pitting
- -

IV. ASSESSMENT AWAL


1) Acute Coronary Syndrome
2) Chest pain
3) Hiperpnea

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium (24/02/2018)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
HEMATOLOGI
Leukosit 14.12 4.5 – 11 103/uL

3
Eritrosit 4.21 4–5 106/uL
Hemoglobin 13.8 14 – 18 g/dL
Hematokrit 41.6 38.00 – 47.00 %
MCV 98.7 86 – 108 fL
MCH 32.8 28 – 31 pg
MCHC 33,2 30 – 35 g/dL
Trombosit 210 150 – 450 103/uL
HITUNG JENIS
Eosinofil% 0.7 1-6
Basofil% 0.5 0.0-1.0
Limfosit% 11.8 20-45
Monosit% 2.7 2-8
Neutrofil% 74.3 40-75
KIMIA
Glukosa Darah Sewaktu 130 <140 mg/dL
Ureum 26 10-50 mg/dL
Creatinin 1.1 1.1-1.3 U/L
Cholesterol Total 171 <200 mg/dL
Trigliserida 65 <150 mg/dL
HDL Cholesterol 55 >45
LDL Cholesterol 132 <100
Asam Urat 4.9 L: 3,4-7,0 W: 2,4-5,7
SGOT 30 L:<37 W: <31 U/L
SGPT 35 L: <42 W<32 U/L
ELEKTROLIT
Natrium 136 135-155 mml/e
Kalium 4.1 3.6-5.5 mml/e
Chlorida 105 95-108 mmol/l
Kalsium 9.0 8.4-10.5 mg/%
Magnesium 1.8 1.70-2.5 /mg/dl

4
b. Pemeriksaan Elektrokardiogram

Interpretasi:
Irama : Sinus Interval PR : 0.12 detik
Regularitas : Reguler Kompleks QRS : 0.12 detik
Frekuensi : 60 kali/menit
Axis : Normo Axis
Segmen ST : ST elevasi di lead II, III. AVF
Gelombang P : Normal Gelombang T : Normal

Kesimpulan : Normal sinus Rytem, STEMI Inferior

5
VI. ASSESSMENT
1) Infark Miokard ST elevasi
2) Dislipidemia

VII. PLAN
 Di IGD:
1) O2 3 liter permenit via nasal kanul
2) Infus Ringer Asering 20 tetes permenit
3) Injeksi Ranitidin 2 x 1 ampul intravena (IV)
4) Ketoprofen 3x1 PO
5) Omeprazole 2X 40 mg PO
6) Clopidogrel 4 x 75 mg peroral (PO)
7) ISDN 5 mg 2 x 1 Sublingual (SL)
8) Amlodipin 1x5mg
9) Aristra 1x 2,5 mg
10) Morphin 1x 2,5 SC (K/P)
11) Alprazolam 1x0,5 mg
 ICU
1) O2 3 liter permenit via nasal kanul
2) Infus Ringer Laktat 30 tetes permenit
3) Injeksi Ranitidin 2x 1 ampul
4) Omeprazole 1x 40mg PO
5) Clopidogrel 1 x 75 mg PO
6) Aspilet 1 x 60 mg PO
7) ISDN 3x1 mg SL
8) Aspirin 2x8mg
9) Simvastatin 1x 20mg

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ACUTE CORONARY SYNDROME


a. Definisi
Acute coronary syndrome (ACS) atau sindrom koroner akut merupakan suatu istilah
yang mengambarkan gejala dan tanda klinis iskemia pada miokardium serta mencakup
spektrum klinis berupa angina tidak stabil (unstable angina/UA), infark miokard non-ST
elevasi (non-ST elevation myocardial infarction/NSTEMI), dan infark miokard ST-
elevasi (ST-elevation myocardial infarction/STEMI) (Overbaugh, 2009; Rhee, 2011).

b. Epidemiologi
ACS menjadi salah satu kondisi medis yang mengancam jiwa. Di Amerika, sebanyak
lebih dari 1,4 juta pasien dilarikan ke rumah sakit karena ACS dan 38% diantaranya
meninggal (Rhee, 2011).
Di Indonesia, berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi ACS pada tahun 2013 sebesar
0,5% atau 883.447 orang. Sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5%
atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang. Dari jumlah ini, estisasi jumlah penderita ACS
terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat yakni 160.812 orang (0,5%) (Kemenkes RI,
2014).

c. Etiologi, Faktor Risiko, dan Patogenesis


Hampir 90% kejadian ACS timbul akibat gangguan pada plak aterosklerotik yang
diikuti dengan agregasi trombosit dan pembentukan trombus intrakoroner. Selanjutnya
trombus dapat mengoklusi pembuluh darah koroner dan menyebabkan
ketidakseimbangan antara suplai oksigen koroner dan kebutuhan oksigen jantung (Rhee,
2011).
Terdapat dua faktor risiko utama sindrom koroner akut:
1) Faktor yang tidak dapat diubah (nonmodifiable)
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Riwayat penyakit jantung dalam keluargan
2) Faktor yang dapat diubah (modifiable)
a. Hipertensi

7
b. Dislipidemia
c. Merokok
d. Obesitas
e. Diabetes mellitus
f. Hiperurisemia
g. Gaya hidup sedenter (Huma, 2012).

Atherosklerosis

Ruptur plak Disfungsi endotel

Perdarahan Pengeluaran Terpaparnya Aliran ↓ efek ↓ efek


intraplak tissue factor kolagen darah vasodilator antitrombotik
subendotel turbulen

Aktivasi
↓ diameter Aktivasi dan Vasokonstriks
kaskade agregasi i
lumen vasa
koagulasi trombosit

Trombosis koroner

Sumber: Rhee, 2011


Spektrum klinis ACS yang terjadi akan bergantung pada derajat obstruksi koroner dan
iskemia yang terjadi (Rhee, 2011).
Trombus yang mengoklusi secara parsial adalah kausa yang berkaitan dengan sindrom
UA dan NSTEMI. Jika trombus dapat mengobstruksi arteri koronaria secara total maka
iskemia yang terjadi semakin berat dan lebih banyak jaringan yang mengalami nekrosis
sehingga dimanifestasikan sebagai STEMI (Overbaugh, 2009; Rhee, 2011).

d. Patofisiologi
Pada kondisi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokardium maka
miosit-miosit akan mengalami perubahan jalur metabolik dari aerobik menjadi anaerobik.
Pengurangan hasil ATP pada metabolisme anaerobik akan mengganggu interaksi protein

8
dan menyebabkan penurunan kontraksi sistolik dan relaksasi diastolik ventrikel.
Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri yang terjadi terus menerus akan merambat ke
pembuluh darah pulmoner yang dapat menyebabkan kongesti pulmoner ditandai dengan
munculnya gejala sesak napas (dispnea). Produk metabolit seperti laktat, serotonin, dan
adenosin akan menumpuk secara lokal dan dapat mengaktifkan reseptor nyeri perifer di
cervical 7 hingga thoracal 4 sehingga terjadi rasa tidak nyaman pada dada yang menjalar
ke rahang dan lengan kiri. Ketika kadar O2 turun drastis akibat oklusi koroner maka
akumulasi asam laktat dapat menurunkan pH dan mengurangi produk fosfat. Kekurangan
energi fosfat dapat mengganggu kanal Na+ K+ ATPase yang mengakibatkan peningkatan
konsentrasi Na+ intraselular dan menyebabkan edema selular. Bocornya membran sel
akibat gangguan kanal Na+ K+ ATPase dapat mengganggu potensial listrik transmembran
sehingga berisiko terjadi aritmia letal (Rhee, 2011).

e. Penegakan Diagnosis
Definisi kasus ACS yang digunakan oleh World Health Organization (1959) dan
American Heart Association (1964) didasarkan pada nyeri dada yang khas, perubahan
EKG, dan pemeriksaan biomarker enzim jantung (Mendis, 2010). Bila terdapat dua dari
tiga kriteria tersebut maka diagnosis ACS dapat ditegakkan.
1. Anamnesis: ditemukan gejala kardial, yakni nyeri dada yang tipikal (Mendis,
2010)
Nyeri dada tipikal atau angina merupakan gejala kardinal pasien ACS. Sifat
nyeri dada angina adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Karakteristik Angina pada ACS
ANGINA INFARK
Position Difus, substernal, retrosternal, difus, substernal,
dan prekordial. retrosternal, dan prekordial.
Provocation Latihan fisik, stres emosi, Tidak ada.
udara dingin, dan sesudah
makan.
Quality Rasa sakit, seperti ditekan, rasa rasa sakit, seperti ditekan,
terbakar, ditindih benda berat, rasa terbakar, ditindih
seperti ditusuk, rasa diperas, benda berat, seperti ditusuk,
dan dipelintir. rasa diperas, dan dipelintir.
Radiation Menjalar ke bahu, punggung, Menjalar ke bahu,
tangan, leher, rahang punggung, tangan , leher,
(dermatom C7-T4). rahang (dermatom C7-T4).
Relief Istirahat dan/atau nitrat. Tidak hilang dengan
istirahat dan nitrat.

9
Severity VAS 1-6 VAS 6-10
Symptoms Stimulasi simpatis: takikardi, Stimulasi simpatis tinggi.
diaforesis, mual, dispnea,
lemas.
Timing Onset baru, 5 detik sampai 10 Lebih dari 20 menit.
menit.
Sumber: Rhee, 2011

2. Pemeriksaan Fisik:
Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Seringkali ekstremitas pucat disertai
keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal dan banyak keringat dicurigai
kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan
hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardia dan/atau hipotensi). Bila terjadi disfungsi ventrikular maka dapat
ditemukan S3 dan S4 gallop, penurunan intensitas bunyi S1 dan split
paradoksikal bunyi S2 (Alwi, 2014; Rhee, 2011).

3. Perubahan EKG
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksan ini harus dilakukan
segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG perlu diulang
setiap keluhan angina timbul kembali. Bila EKG awal didapatkan hasil
normal/nondiagnostik, namun keluhan angina masih dirasakan maka EKG dapat
diulang 10-20 menit kemudian (American Heart Association, 2015; Alwi, 2014).
Jika pada EKG ulangan tetap normal namun keluhan angina masih ada dan
sangat sugestif pada ACS, maka perlu dilakukan pemantauan 12-24 jam dan
pengulangan EKG setiap 6 jam dan setiap keluhan angina muncul (Alwi, 2014).
Perubahan-perubahan EKG yang mengindikasikan adanya iskemia onset baru
adalah:
Tabel 2. Perubahan EKG pada Kondisi Acute Coronary Syndrome
Segmen ST
 Elevasi: Dikatakan elevasi segmen ST bila segmen ST berada >1 mV diatas garis
isoelektrik pada lead ekstremitas atau >2 mV diatas garis isoelektrik pada lead
prekordial.
 Depresi: Dikatakan depresi segmen ST bila segmen ST berada >1 mV dibawah
garis isoelektrik pada semua lead.
Gelombang T

10
 Inversi gelombang T >0,2 mV yang simetris
Right Bundle Branch Block dengan elevasi ST
Left Bundle Branch Block baru atau diduga baru
Sumber: AHA, 20157, PERKI, 20158
Jika ditemukan perubahan-perubahan tersebut maka harus diikuti dengan
penentuan lokasi infark:
Tabel 3. Lokasi Infark berdasarkan Perubahan pada Lead EKG
Sadapan dengan Perubahan Segmen ST Lokasi Iskemia/Infark
V1-V6 Anterior ekstensif
V1-V2 Septal
V3-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular Indonesia, 2015;
Pratanu, 2014

4. Peningkatan enzim jantung


Terdapat banyak biomarker enzim jantung yang dapat digunakan untuk
deteksi adanya iskemia atau infark miokardium, diantaranya adalah:
 Mioglobin
Terdapat pada otot skelet dan otot jantung. Pada infark miokard akut,
mioglobin cepat dilepas dibanding CKMB dan troponin serta dapat dideteksi
didalam darah dalam waktu 2 jam, dan menghilang dalam waktu <24 jam
setelah infark.
 CK-MB
Creatinin kinase adalah enzim yang mengkatalis jalur kreatin phosphat dalam
sel otot dan otak. Pada kasus ACS, isoenzim CK-MB akan meningkat 4-8
jam setelah infark dan mencapai puncak 12-24 jam kemudian menurun pada
hari ke-3.
 Troponin I dan T
Troponin adalah kompleks protein kontraktil yang terdapat paa filamen
serabut otot termasuk otot jantung. Kadar meningkat 2-8 jam, mencapai
puncak 12-96 jam kemudian dan mulai menurun setelah hari ke-14.
Dibandingkan biomarker lainnya, troponin I dan T merupakan biomarker
yang paling sensitif terhadap adanya iskemia atau infark otot jantung dan
berguna dalam penegakan diagnosis, stratifikasi risiko, dan penentuan

11
prognosis. Peningkatan kadar troponin berkorelasi dengan peningkatan risiko
mortalitas (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).

f. Spektrum Klinis
Derajat oklusi arteri koronaria berkolerasi dengan gejala yang ditimbulkan dan
variasi penanda enzim jantung serta penemuan elektrokardiografi (EKG) (Rhee,
2011).
Trombus koroner

Trombus Trombus oklusi Trombus


kecil oklusi total
(nonoklusif)
Iskemia
Iskemia
berkepanjangan
transien

Depresi segmen Elevasi segmen


Tidak ada ST
perubahan ST dan/atau T
EKG inversi
Enzim Enzim Enzim
jantung (-) jantung (+) jantung (+)

Penyembuhan
dan
pembesaran UA NSTEMI STEMI

Sumber: Rhee, 2011


1. Angina Tidak Stabil (Unstable Angina) dan Infark Miokard Non-ST Elevasi
(NSTEMI)
Presentasi klinik UA dan NSTEMI pada umumnya berupa:
a) Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh
sebagian besar pasien (80%).
b) Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovascular Society. Terdapat pada 20% pasien.
c) Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau
kresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat;
minimal kelas III klasifikasi CCS.
d) Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah
infark miokard (American Heart Association, 2015; Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).

12
Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin
timbul pada saat istirahat atau saat beraktivitas ringan. Nyeri dada dapat disertai
keluhan sesak napas, mual bahkan hingga muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin.
Pemeriksaan fisik meskipun tidak khas namun dalam kondisi ini dapat
membantu pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding dan
mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan dengan
keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri
dada sebagai representasi ACS (Trisnohadi, 2014).

Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015


Pemeriksaan EKG sangat penting terutama untuk diagnosis maupun
stratifikasi risiko pasien angina tidak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru
menunjukkan kemungkinan iskemia akut. Gelombang T inversi juga salah satu
tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan segmen ST dan gelombang T yang
nonspesifik seperti depresi ST <0,55 mm dan gelombang T inversi <2 mm tidak
spesifik untuk iskemia (Pratanu, 2014).

13
Pada angina tidak stabil exercise test dengan alat treadmill dapat dilakukan
pada pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan
adanya risiko tinggi. Bila hasil negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila
hasilnya positif terutama bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner dalam rangka menilai
keadaan pembuluh darah koronernya apakah perlu dilakukan tindakan
revaskularisasi (Percutaneus Coronary Intervention/PCI atau Coronary Artery
Bypass Graft/CABG) karena risiko komplikasi kardiovaskular cukup besar.
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tidak
stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri,
adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung,
menandakan prognosis kurang baik. Ekokardiografi stres dapat membantu
menegakkan adanya iskemia miokardium (Trisnohadi, 2014).
a) Stratifikasi Risiko UA dan NSTEMI
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk
ACS. Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan
selanjutnya (konservatif atau intervensi segera) bagi pasien NSTEMI (Harun,
2014).
Penilaian klinis dan EKG, keduanya merupakan parameter utama dalam
pengenalan dan penilaian risiko NSTEMI. Jika ditemukan risiko tinggi, maka
keadaan ini perlu diberika terapi awal yang segera. Skor risiko yang digunakan
untuk stratifikasi risiko dan angka faktor risiko yakni Skor Risiko TIMI.
Stratifikasi risiko Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) III Registry
ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel. Skor ini umumnya digunakan pada
STEMI dan UA (Harun, 2014; Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2015).
Tabel 4. Variabel dan Skor pada Thrombolysis in Myocardial Infarction
(TIMI) III Registry
Variabel TIMI Skor
Usia ≥65 tahun 1
≥3 faktor risiko PJK (riwayat keluarga, 1
hipertensi, hiperkolesterolemia, DM, merokok)
Stenosis sebelumnya ≥50% 1
Deviasi segmen ST ≥0,05 mm 1
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 1
Angina berat ≥2 episode dalam waktu ≤244 jam 1
Peningkatan enzim jantung 1

14
Tabel 5. Derajat Risiko Menurut Skor TIMI III
Total Skor Risiko Risiko Kejadian Kedua
0-2 Rendah <8,3%
3-4 Menengah <19,9%
5-7 Tinggi ≤41%

Klasifikasi GRACE ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di


rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit.
Tabel 6. Variabel pada Klasifikasi GRACE
Prediktor Skor
Usia dalam tahun
<40 0
40-49 18
50-59 36
60-69 55
70-79 73
80 91
Laju denyut jantung (kali permenit)
<70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
150-199 36
>200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)
<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Kreatinin (μmol/L)
0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
≥354 31
Gagal jantung berdasarkan klasifikasi Killip

15
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba di RS 43
Peningkatan enzim jantung 15
Deviasi segmen ST 30

Tabel 7. Prediksi kematian di rumah sakit berdasarkan Skor GRACE


Total Skor Derajat Risiko
≤108 Risiko rendah (risiko kematian <1%)
109-140 Risiko menengah (risiko kematian 1-3%)
>140 Risiko tinggi (risiko kematian >3%)

Tabel 8. Prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit
berdasarkan Skor GRACE
Total Skor Derajat Risiko
≤88 Risiko rendah (risiko kematian <3%)
89-118 Risiko menengah (risiko kematian 3-8%)
>118 Risiko tinggi (risiko kematian >8%)

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko


berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard
akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari.
Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel dalam klasifikasi
GRACE.
Tabel 9. Derajat Gagal Jantung berdasarkan Kelas Killip
Kelas Killip Temuan Klinis Mortalitas
I Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapat 6%
ronkhi maupun S3)
II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 17%
dan ronkhi basah pada setengah lapangan
paru
III Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi 38%
basah di seluruh lapangan paru
IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh 81%
tekanan darah sistolik <90 mmHg dan tanda
hipoperfusi jaringan

2. Infark Miokard ST Elevasi (STEMI)


STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koronaria berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak

16
menimbulkan STEMI karena berkembangnya banyak vaskular kolateral sepanjang
waktu (Rhee, 2011). Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi. Penelitian histologis menunjukkan bahwa plak yang
cenderung rentan ruptur jika plak tersebut memiliki fibrous cap tipis dan inti kaya
lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich
red thrombus, sehingga ini menjadi dasar STEMI memberikan respon terhadap
terapi trombolitik (Alwi, 2014; Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2015; Rhee, 2011).
Karakteristik utama STEMI adalah angina tipikal dan perubahan EKG dengan
gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI. Pada hampir setengah kasus,
terdapat faktor presipitasi sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres
emosi, atau penyakit medis lain atau bedah. Walaupun STEMI terjadi sepanjang hari
atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Pada
pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi
awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang
akhirnya didiagnosis sebagai old myocardial infarction atau infark miokard
gelombang Q (Alwi, 2014; Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
2015).
Pada STEMI terjadi peningkatan kadar biomarker jantung dalam serum.
Pemeriksaan CK-MB dan atau troponin I dan T dapat dilakukan secara serial.
Troponin I harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal karena pada kondisi ini juga akan diikuti peningkatan
CK-MB.

g. Diagnosis Banding
Berikut beberapa kondisi yang dapat menyerupai gejala pada sindrom koroner akut.
Tabel 12. Diagnosis banding pada nyeri dada
Kondisi Hal Pembeda
17
Kardiak
Acute coronary syndrome  Rasa menekan di retrosternal,
menjalar ke leher, rahang, atau bahu
dan lengan kiri. Dirasakan lebih berat
dan lebih lama dibandingan serangan
sebelumnya.
 EKG: Segmen ST elevasi atau depresi
yang terlokalisasi
Perikarditis  Nyeri pleuritik tajam (memberat saat
inspirasi)
 Nyeri bervariasi tergantung posisi
(membaik bila duduk condong
kedepan)
 Auskultasi: friction rub di precordial
 EKG: Segmen ST elevasi yang difus
Diseksi aorta  Nyeri seperti teriris yang menhalar ke
dada dan punggung
 Tekanan darah asimetris di kedua
tangan
 Rontgen thorax: Mediastinum
melebar
Pulmo
Emboli pulmo  Nyeri pleuritik yang terlokalisasi,
disertai dispnea
 Friction rub
 Terdapat kondisi predisposisi untuk
trombosis vena
Pneumonia  Nyeri dada pleuritik
 Batuk dan produksi sputum
 Auskultasi dan perkusi paru abnormal
karena konsolidasi
 Rontgen thorax: infiltrat
Pneumothorax  Nyeri dada pleuritik, tajam, tiba-tiba,
di unilateral hemithorax
 Penurunan suara dasar nafas dan
hipersonor pada area yang terkena
 Rontgen thorax: hiperlusensi dan
hilangnya corakan bronkovaskular
Gastrointestinal
GERD  Rasa terbakar di retrosternal
 Dicetuskan oleh beberapa jenis
makanan, memberat pada posisi
berbaring
 Membaik dengan antasida
Ulkus peptikum  Nyeri atau rasa terbakar di
epigastrium
 Nyeri setelah makan
 Membaik dengan antasida

18
Spasme esofagus  Nyeri retrosternal, memberat saat
menelan
 Riwayat disfagia
Kolesistitis akut  Nyeri tekan di lobus kanan atas
 Disertai mual
 Riwayat intoleransi makanan
berlemak

Muskuloskeletal
Sindrom kostokondral  Nyeri sternal yang memberat dengan
pergerakan dada
 Nyeri tekan pada artikulasio
kostokondral
 Membaik dengan obat anti-inflamasi
Radikulitis servikal  Pegal atau nyeri yang terus menerus,
sesuai distribusi dermatom
 Memberat bila leher digerakkan
Sumber: Rhee, 2011

19
h. Penatalaksanaan

Sumber: American Heart Association, 2015


Sekitar separuh pasien ACS meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Ventrikel fibrilasi
atau ventrikel takikardi tanpa nadi merupakan pencetus henti jantung pada kebanyakan
kematian ACS, dan umumnya berkembang di fase awal evolusi ACS (American Heart

20
Association, 2015). Oleh karena itu setiap waktu pada periode ACS sangat penting untuk
dilakukan tindakan tata laksana yang tepat disetiap fasenya:
1) Emergency Medical Service (EMS) di Ambulans
Petugas medis harus mengenali manifestasi klinis ACS dan mampu menentukan onset
gejala. Petugas harus selalu memonitor tanda-tanda vital dan bersiap untuk memberikan
resusitasi jantung paru dan defibrilasi bila diperlukan. Dapat diberikan O2 selama
penilaian awal pasien dengan kecurigaan ACS. Jika pasien mengalami dispnea,
hipoksemia, atau terdapat tanda nyata gagal jantung, maka petugas perlu mentitrasi terapi
O2 berdasarkan saturasi oksihemoglobin hingga mencapai 94%.
Dikarenakan aspirin harus diberikan segera mungkin setelah onset gejala, maka
petugas dapat menginstruksikan pasien dengan tidak ada riwayat alergi aspirin atau tanda
perdarahan gastrointestinal untuk mengunyah aspirin dengan dosis 160-325 mg.
Nitrat dapat diberikan hingga 3 dosis setiap 3-5 menit. Nitrat, dalam bentuk sediaan
apapun dikontraindikasikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau
>30 mmHg dibawah rata-rata tekanan darah pada pasien dengan infark ventrikel kanan.
Bila dari pemeriksaan EKG didapatkan adanya STEMI inferior maka harus dievaluasi
apakah adanya infark ventrikel kanan. Pemberian nitrat harus dengan hati-hati pada
pasien dengan STEMI inferior dan suspek keterlibatan ventrikel kanan karena pasien
tersebut membutuhkan preload ventrikel kanan yang adekuat. Nitrat dikontraindikasikan
pada pasien dengan riwayat konsumsi obat phosphodiesterase-5 (PDE-5) inhibitor dalam
24 jam atau 48 jam untuk tadalafil. Morfin diberikan dengan indikasi pasien STEMI
yang tidak respon terhadap nitrat. Pemberian morfin perlu dilakukan dengan hati-hati
pada pasien UA dan NSETMI karena dapat meningkatkan mortalitas (American Heart
Association, 2015).
2) Di Instalasi Gawat Darurat
Penilaian awal pasien ACS harus dinilai dalam waktu kurang dari 10 menit dan harus
segera diberikan terapi umum. Penilaian awal berupa:
 pemeriksaan tanda-tanda vital,
 evaluasi saturasi O2,
 mempersiapkan akses intravena,
 anamnesis dan pemeriksaan fisik secara singkat,
 pemeriksaan EKG bila belum dilakukan di fase sebelumnya,
 pemeriksaan enzim jantung, elektrolit serum, dan koagulasi, serta

21
 foto rontgen thorax.
Penilaian awal tersebut diikuti dengan pemberian terapi segera berupa:
 Dilakukan tirah baring
 O2 jika saturasi <90% melalui non-rebreathing mask dengan kecepatan 4L/menit,
titrasi sesuai saturasi O2
 Aspirin tidak bersalut dengan dosis 160-320 mg dikunyah jika belum diberikan di
fase sebelumnya. Dilanjutkan dengan dosis 80-160 mg/hari.
 Penghambat reseptor adenosine diphosphate (ADP), yakni ticagrelor dengan
loading dose 180 mg dilanjutkan maintenance 2 x 90 mg/hari kecuali pada STEMI
yang direncanakan untuk reperfusi dengan agen fibrinolitik atau clopidogrel 300
mg dilanjutkan dengan dosis maintenance 75 mg/hari (diberikan terutama pada
STEMI yang direncanakan terapi reperfusi dengan agen fibrinolitik).
 Nitrogliserin sublingual atau semprot dengan dosis 5-10 mg, dapat diulang setiap
lima menit hingga maksimal tiga kali pemberian. Setelah itu dapat diberikan
nitrogliserin intravena.
 Morfin dengan dosis 1-5 mg secara intravena bila nyeri tidak berespon terhadap
nitrogliserin. Pemberian dapat diulang setiap 10-30 menit.
Jika hasil EKG sudah ada, maka penting bagi klinisi untuk segera menginterpretasi
hasil EKG tersebut apakah masuk ke kelompok STEMI yang ditandai dengan adanya
elevasi segmen ST atau kelompok UA/NSTEMI yang nantinya dapat dibedakan
dengan pemeriksaan biomarker enzim jantung (American Heart Association, 2015).
3) Terapi farmakologis pada ACS
 Anti Iskemia
o Beta blocker
Keuntungan utama terapi β-blocker terletak pada efeknya terhadap reseptor β-
1 yang mengakibatkan penurunan konsumsi O2 miokardium. β-blocker
hendanya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi
atrioventrikular yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel
kiri. Pada kebanyakan kasus preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.
β-blocker direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika
terdapat hipertensi dan /atau takikardia, dan selama tidak terdapat
kontraindikasi. β-blocker oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama.

22
β-blocker Selektivitas Aktivitas Dosis untuk angina
agonis parsial
Atenolol β-1 - 50-200 mg/hari
Bisoprolol β-1 - 10 mg/hari
Carvedilol α dan β + 2 x 6,25 mg/hari,
titrasi sampai
maksimum 2 x 25
mg/hari
Metoprolol β-1 - 50-200 mg/hari
Propanolol Nonselektif - 2 x 20-80 mg/hari
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

o Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga
konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi
pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.
a) Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut
dari episode angina
b) Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali
pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena
jika tidak ada kontraindikasi.
c) Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung,
atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan
menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang
terbukti menurunkan mortalitas seperti β-blocker atau angiotensin
converting enzymes inhibitor (ACE-I).
d) Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan.
e) Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang
tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat
ditentukan.

23
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5-15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2 x 20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitrogliserin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg-1,5 mg
(Trinitrin, TNT, gliseril trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

o Calcium Channel Blockers (CCB)


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit
atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan
diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan
sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek
dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan
dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik.
Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan
hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
a) CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien
yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
b) CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan
kontraindikasi terhadap penyekat beta.
c) CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta.
d) CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik.
e) Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.
CCB Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting) 30-90 mg/hari
Amlodipine 5-10 g/hari
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

24
o Antiplatelet
a) Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda kontraindikasi dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya
untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang
diberikan.
b) Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra
seperti risiko perdarahan berlebih.
c) Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor
ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran
cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan
beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta
konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid.
d) Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan
sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
e) Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan
pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel
kemudian dihentikan).
f) Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiap hari.
g) Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg
diikuti dosis tambahan 300 mg saat PCI) direkomendasikan untuk pasien
yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan
ticagrelor.
h) Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP
tanpa risiko perdarahan yang meningkat.

25
i) Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP
yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk
CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari
setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis
memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi.
j) Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
k) Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-
2 selektif dan NSAID non-selektif).
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100
mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90
mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

o Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard
yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung
klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut,
walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti
menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
a) Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali
ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%
dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik
(PGK).
b) Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain
seperti di atas. Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah
direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada.
c) Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard
yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung.
Inhibitor ACE Dosis
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg

26
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

o Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.
a) Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan
terapi antiplatelet.
b) Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia,
dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.
c) Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding
risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari
secara subkutan.
d) Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat PCI.
e) Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan
risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
f) Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin
berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin
tidak tersedia.
g) Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
h) Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.
Antikoagulan Dosis
Fondaparinux 2,5 mg subkutan
Enoxaparin 1 mg/kg BB, dua kali sehari
Heparin tidak terfraksi (UFH) Bolus i.v. 60 U/g dosis maksimal 4000 U
Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

o Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan

27
a) Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan
risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat.
b) Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat
indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan
dipilih targen INR terendah yang masih efektif.
c) Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada
penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih
terpilih.

4) Terapi definitif
 UA DAN STEMI
Berdasarkan stratifikasi risiko dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan
strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif
melibatkan dilakukannya angiografi dan ditujukan pada pasien dengan tingkat
risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan
berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori, yakni
1) Strategi invasif segera (<2 jam, urgent)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi.
2) Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam
Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu
kriteria risiko tinggi (high risk) primer.
3) Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk)
atau dengan gejala berulang.
4) Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif
Dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan
dianggap memiliki risiko rendah, yakni:
 Nyeri dada tidak berulang
 Tidak ada tanda-tanda gagal jantung
 Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-
6 hingga 9)
 Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tibat atau antara jam ke-6
hingga 9)

28
 Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia).

 STEMI
Pada STEMI terapi reperfusi segera baik dengan PCI atau farmakologis,
diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam
dengan elevasi segmen ST yang menetap atau LBBB yang (terduga) baru.
Terapi reperfusi (sedapat mungkin berupa PCI primer) diindikasikan bila
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung
bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan
perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada,
langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat
kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut kurang atau lebih
dari 2 jam. Jika membutuhkan waktu >2 jam, reperfusi pilihan adalah
fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien
dapat dikirim ke pusat kesehatan dengan fasilitas PCI.
a) PCI Primer
PCI primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam
120 menit dari waktu kontak medis pertama. PCI primer diindikasikan
untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik,
kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian PCI akan tertunda lama dan bila
pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih
disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk PCI primer. Tidak
disarankan untuk melakukan PCI secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil
tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis.
Bila pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antiplatelet
dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh
terhadap pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada
bare metal stents (BMS).
b) Terapi Fibrinolitik

29
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien STEMI dalam
waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan
dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra
apabila PCI primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang
datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan
risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu
antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit.
Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. Agen yang spesifik
terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase).
Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel diindikasikan
diberikan sebagai tambahan untuk aspirin.
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang
diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau
selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang digunakan
dapat berupa:
 Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin
tidak terfraksi).
 Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat
badan dan infus selama 3 hari.
 Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks
intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam
kemudian.
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan
PCI setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. PCI “rescue”
diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST
kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada. PCI
emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti
adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh
gambaran elevasi segmen ST kembali.
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya

30
fibrinolisis inisial. Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk
melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark)
diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi
untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam.

Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

Langkah-langkah Pemberian Fibrinolisis pada Pasien STEMI


1) Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
• Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam
dengan tanda dan gejala iskemik)
• Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis
• Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang
mampu melakukan PCI (<120 menit)
2) Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau
strategi invasif untuk kasus tersebut

31
Bila pasien <3 jam sejak serangan dan PCI dapat dilakukan tanpa
penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.
Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:
• Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat
halangan untuk strategi invasif
• Strategi invasif tidak dapat dilakukan
* Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
* Kesulitan mendapatkan akses vaskular
* Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu
melakukan PCI dalam waktu <120 menit
• Halangan untuk strategi invasif
* Transportasi bermasalah
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60
menit
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon
lebih dari 90 menit
Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:
• Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon
kurang dari 90 menit
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
• Risiko tinggi STEMI
* Syok kardiogenik
* Kelas Killip ≥ 3
• Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko
perdarahan dan perdarahan intrakranial
• Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
• Diagnosis STEMI masih ragu-ragu
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
 Stroke hemoragik atau stroke yang  Transient Ischemic Attack (TIA) dalam
penyebabnya belum diketahui, dengan 6 bulan terakhir
awitan kapanpun
 Stroke iskemik 6 bulan terakhir  Pemakaian antikoagulan oral
 Kerusakan sistem saraf sentral dan  Kehamilan atau dalam 1 minggu post-
neoplasma partum
 Trauma operasi/trauma kepala yang  Tempat tusukan yang tidak dapat

32
berat dalam 3 minggu terakhir dikompresi
 Perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan  Resusitasi traumatik
terakhir
 Penyakit perdarahan  Hipertensi refrakter (tekanan darah
sistolik >180 mmHg)
 Diseksi aorta  Penyakit hati lanjut
 Infeksi endokarditis
 Ulkus peptikum yang aktif
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut


Dosis awal Koterapi Kontraindikasi
antitrombin spesifik
Streptokinase 1,5 juta U dalam 100 Heparin i.v. selama Sebelum Sk atau
(Sk) mL D5% atau NaCl 24-48 jam anistreplase
0,9% dalam waktu 60
menit
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg intravena Heparin i.v. selama
0,75 mg/kg BB selama 24-48 jam
30 menit, kemudian 0,5
mg/kg BB selama 60
menit
Dosis total tidak lebih
dari 100 mg
Sumber: Perhimpunan Dokter Speasialis Kardiovaskular, 2015

i. Komplikasi
o Iskemia yang berulang
o Aritmia, seperti fibrilasi ventrikel, aritmia supraventrikular, blok konduksi
o Gagal jantung kongestif
o Syok kardiogenik
o Infark ventrikel kanan
o Komplikasi mekanis, seperti ruptur otot papilari,rupture septal ventrikel
o Perikarditis
o Tromboembolisme (Rhee, 2011).

33
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan
Tn. S, seorang laki-laki berusia 60 tahun datang ke IGD RSUD Kota Salatiga dengan
keluhan nyeri dada kiri menjalar ke lengan kiri yang sudah dirasakan sejak ± 8 jam
SMRS. Nyeri dada dirasakan hebat seperti ditusuk-tusuk dengan skala nyeri di angka 8.
Nyeri dada timbul saat pasien sedang beristirahat dan dirasakan tidak kunjung mereda
melainkan semakin bertambah parah.
Nyeri dada yang dirasakan oleh pasien tersebut dapat disebabkan oleh berbagai sistem
organ yang ada di sekitar regio dada, yakni sistem jantung, sistem paru, sistem
gastrointestinal, maupun sistem muskuloskeletal. Berdasarkan tabel 12, maka nyeri dada
yang dirasakan pasien ini menjurus pada kondisi yang disebabkan oleh sistem jantung.
Berdasarkan perunutan anamnesis dengan sistem P-Q-R-S-T (Position, Provocation,
Quality, Radiation, Relief, Severity, Symptoms, dan Timing) nyeri dada yang dirasakan
pasien sudah mengarah pada angina pectoris dengan infark.
Diketahui bahwa pasien memiliki riwayat perokok aktif berat yakni konsumsi rokok 2
4 pack/hari selama 40 tahun. Informasi tersebut mengindikasikan adanya faktor yang
meningkatkan risiko pasien terhadap penyakit kardiovaskular.
Pada pemeriksaan fisik head to toe tidak didapatkan kelainan. Gejala yang dirasakan
oleh pasien mengarah pada gangguan sistem jantung dan usia pasien >40 tahun
merupakan suatu indikasi yang kuat untuk dilakukan pemeriksaan elektrokardiogram.
Dari pemeriksaan EKG didapatkan adanya elevasi segmen ST di lead II, III, AVF
Menurut kriteria WHO, suatu kondisi dapat dikatakan sebagai acute coronary
syndrome apabila telah memenuhi dua dari tiga kriteria berikut yakni:
1) Nyeri dada tipikal angina
2) Perubahan EKG
3) Peningkatan enzim jantung
Pasien ini telah memenuhi adanya gejala nyeri dada khas angina pektoris infark
dengan temuan EKG berupa elevasi segmen ST yang terlokalisasi di lead II, III, AVF.
Selain dapat menegakkan acute coronary syndrome, penemuan EKG tersebut juga dapat
menegakkan diagnosis ST-elevation Myocardial Infarction atau STEMI.
STEMI merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan pada jantung yang memiliki
golden period selama 12 jam sejak onset gejala. STEMI akan muncul bila terjadi

34
sumbatan total pada arteri koronaria. Untuk memastikan lebih lanjut diagnosis STEMI
dapat dilakukan pemeriksaan biomarker jantung yakni Troponin I.
Tata laksana awal pasien pada kasus harus dilakukan primary survey berupa penilaian
Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Dari langkah ini tidak
ditemukan adanya gangguan pada ABCD, serta tidak dijumpai adanya jejas. Tata laksana
berupa MONACO yakni pemberian O2 dengan kecepatan 3 L/menit melalui nasal kanul
untuk mempertahankan saturasi O2 sehingga diharapkan oksigenasi jaringan tetap dalam
kondisi baik, ISDN sublingual dengan dosis 5 mg sebanyak 2 kali pemberian dengan
selang 5 menit untuk mengurangi nyeri angina yang dirasakan pasien, clopidogrel 1 x 75
mg secara peroral sebagai antitrombus, serta morfin secara intravena dengan dosis 2,5
mg diencerkan serta aspirin 2 x 80 mg, pemberian aspirin merupakan salah satu terapi
dini pada pasien ACS sebagai antiplatelet yang bertujuan mencegah pembentukan
impending trombus. Pasien diberikan antikoagulan yakni Aristra 1x 2,5 mg.
Pada kasus STEMI dalam golden period maka terapi reperfusi merupakan suatu terapi
wajib untuk meningkatkan prognosis pada pasien STEMI. Terapi reperfusi dapat
dilakukan dengan medikamentosa maupun nonmedikamentosa. Hal ini bergantung pada
fasilitas apakah ada rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada,
langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian
(baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut kurang atau lebih dari 2 jam. Jika
membutuhkan waktu >2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik
selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat kesehatan dengan
fasilitas PCI.

B. Kesimpulan
Berdasarkan perunutan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pada kasus ini pasien acute coronary syndrome dengan diagnosis anatomis yakni adanya
infark miokardium, diagnosis fungsional adalah fase kompensata, dan diagnosis
etiologinya berupa atherosclerosis-heart disease/ischemic heart disease tipe kronis..

35
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Idrus. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam A. W. Setiyohadi, B., Alwi I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing, 2014. p 1741-1756.
American Heart Association. Part 9: Acute Coronary Syndrome. American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care,
2015. p 1-56.
American Heart Association. Unstable Angina. 2017. Diakses 30 Oktober 2017 dari
http://www.heart.org
Harun, Sjaharuddin, I., Alwi. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. Dalam A. W.
Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata, M., Setiati, S. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing, 2014. p 1757-1766.
Huma, Sadia, R., Tariq, A., Fatima, et al. Modifiable and Non-modifiable predisposing Risk
Factors of Myocardial Infarction – A Review. Journal of Pharmaceutical Sciences and
Research, 2012. p 1649-1653.
Kemenkes Republik Indonesia. Situasi Kesehatan Jantung. 2014. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Mendis, Shanti, K., Thygesen, K. Kuulasmaa, et al. World Health Organization definition of
myocardial infarction: 2008-09 revision. Oxford University Press, 2010. p 139-146.
Overbaugh, Kristen J. Acute coronary syndrome. AJN, 2009. p. 42-52.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana Sindrom
Koroner Akut. Edisi Ketiga. 2015.
Pratanu, Sunoto, M., Yamin, S., Harun. Elektrokardiografi. Dalam A. W. Setiyohadi, B.,
Alwi I., Simadibrata, M., Setiati, S. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing, 2014. p 1523-1538.
Rhee, June-Wha, M., Sabatine, L., Lily. Acute coronary syndrome. Dalam Lily, Leonard.
Pathophysiology of Heart Disease. Edisi 5. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2011. p 161-189.
Thaler, Malcolm S. Satu-satunya Buku EKG yang Anda Perlukan. Jakarta: EGC, 2006.
Trisnohadi, Hanafi B. Angina Pektoris Tak Stabil. Dalam A. W. Setiyohadi, B., Alwi I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing, 2014. p 1728-1734.

36

Anda mungkin juga menyukai