Anda di halaman 1dari 27

“Inovasi Sediaan Patch Transdermal Dari Ekstrak Daun Teh Hijau

Sebagai Anti-Biofilm untuk Mencegah Terjadinya Resistensi Antibiotik


Terhadap Penyakit Menular Staphylococcal Scalded Skin Syndrome”

Karya Tulis Ini Diajukan Untuk Mengikuti Pemilihan Mahasiswa Berprestasi


Tahun 2018

Oleh :
Ardiyah Nurul Fitri Marzaman
N111 15 319

UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang
berjudul “Inovasi Sediaan Patch Transdermal Dari Ekstrak Daun Teh Hijau
Sebagai Anti-Biofilm untuk Mencegah Terjadinya Resistensi Antibiotik
Terhadap Penyakit Menular Staphylococcal Scalded Skin Syndrome”.
Karya tulis ilmiah ini membahas mengenai pemanfaatan bahan alam
yaitu kandungan senyawa fenolik dari ekstrak teh hijau sebagai bahan baku
utama dalam formulasi sediaan patch transdermal. Tujuannya adalah
pemanfaatan sifat dari senyawa fenolik sebagai anti-biofilm terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dalam usaha mengurangi terjadinya resistensi
antibiotik..
Penulis berharap informasi-informasi yang terdapat dalam karya tulis
ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini
masih terdapat banyak kekurangan maka penulis mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata maupun informasi yang kurang berkenan di hati pembaca.
Untuk itu, penulis mohon saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.
Terima kasih.

Makassar, 5 Maret 2018

Penulis
Ardiyah Nurul Fitri Marzaman

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................................................i


KATA PENGANTAR .......................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang ..................................................................................1
I.2 Perumusan Masalah ..........................................................................4
I.3 Tujuan ................................................................................................ 5
I.4 Manfaat .............................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome...........................................6
II.2 Biofilm ............................................................................................... 6
II.2.1 Proses Terbentuknya Biofilm................................................7
II.3 Staphylococccus aureus dan biofilmnya .........................................8
II.4 Uraian Daun Teh..............................................................................10
II.4.1 Klasifikasi Daun Teh ............................................................. 10
II.4.2 Morfologi Daun Teh............................................................... 10
II.4.3 Kandungan Senyawa Daun Teh ...........................................11
II.5 Patch Transdermal ..........................................................................12
BAB III METODE PENULISAN
III.1 Kerangka Konsep ...........................................................................13
III.2 Pemilihan Masalah .........................................................................13
III.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 14
III.4 Pengolahan Data .............................................................................14
III.5 Analisis Data ...................................................................................14
III.6 Penarikan Kesimpulan...................................................................14
III.7 Perumusan Saran ...........................................................................15
BAB IV PEMBAHASAN
IV.1 Pemanfaatan Ekstrak Daun Teh sebagai Anti-biofilm ...............16
IV.2 Manfaat Formulasi .........................................................................17
IV.3 Formulasi Patch Transdermal....................................................... 17
IV.4 Uji Toksisitas ...................................................................................17
IV.5 Pencampuran Bahan ......................................................................18
IV.5.1 Pembuatan Lapisan Film ..................................................... 18
IV.5.2 Pembuatan Patch ..................................................................18
IV.5.3 Evaluasi Karakterisasi Sediaan ...........................................18
IV.5.4 Uji Permeasi Ex Vivo ............................................................ 19
BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan ....................................................................................... 20
V.2 Saran ..................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21

iii
“CARRIPRO”: INOVASI TABLET HISAP PENGGANTI PERMEN DARI
KOMBINASI EKSTRAK TEH HIJAU DAN PROBIOTIK UNTUK
MENGATASI KARIES GIGI DAN SUPLEMENTASI BAKTERI BAIK
PADA ANAK”
Ardiyah Nurul Fitri Marzaman1 Nur Atika Nadya2 Julio Valentino Kentjem3
Rangga Meidianto Asri, S.Si, M.Si, Apt.
Jurusan Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar

ABSTRAK
Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan
jaringan, dimulai dari permukaan gigi pada bagian email gigi, dentin, dan meluas
hingga ke arah pulpa. Pada anak, karies gigi merupakan masalah yang penting
karena tidak saja menyebabkan keluhan rasa sakit, tetapi juga menyebarkan
infeksi ke bagian tubuh lainnya sehingga mengakibatkan menurunnya
produktivitas. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 di Sulawesi Selatan
menunjukkan prevalensi karies sebesar 37,6%. Sedangkan salah satu penyakit
yang juga sering terjadi pada anak adalah diare dengan angka kesakitan (Incidence
Rate/IR) pada tahun 2013 di Makassar adalah sebesar 21,3 per 1.000 penduduk.
Pengobatan penyakit diare dan penanganan masalah karies gigi pada anak
kurang mendapatkan perhatian dari khalayak umum sehingga berdasarkan hal
tersebut untuk memberikan solusi terbaru perihal penanggulangan penyakit diare
dan karies gigi, dikembangkan formulasi obat dalam bentuk tablet hisap
(lozenges) dari bahan alam ekstrak daun teh dikombinasikan dengan bakteri
prebiotik Lactobacillus Casei. Beberapa penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa kandungan polifenol pada ekstrak daun teh hijau dapat
digunakan dalam mengatasi masalah karies gigi dan bakteri prebiotik merupakan
bakteri yang baik bagi pencernaan.
Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan ekstrak teh hijau dan
bakteri prebiotik dalam satu sediaan yang memberikan efek ganda sehingga
memenuhi efektivitas dan efisiensi dari suatu sediaan. Implementasi tablet hisap
mikroenkapsulasi dari ekstrak daun teh hijau dan prebiotik ini memiliki banyak
manfaat karena bentuk sediaan lozenges dianggap sebagai bentuk yang paling
cocok untuk diberikan pada anak-anak yang biasanya masih kesulitan dalam
mengkonsumsi obat, keuntungan sediaan ini yaitu mudah dikonsumsi dan rasanya
yang tidak pahit. Hal ini juga dapat meningkatkan peluang Indonesia dalam
persaingan produk obat terutama di era MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)
dengan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia sebagai bahan baku obat.

Kata Kunci: Karies Gigi, Diare, Lozenges, Ekstrak Daun teh, Prebiotik.

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan penyakit kulit
akibat toksin oleh galur tertentu bakteri Staphylococcus. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada anak-anak yang biasanya terjadi di bawah usia 5 tahun. Usia anak
merupakan faktor predisposisi penyakit ini karena imunitas tubuhnya yang masih
rendah dan kemampuan ginjal yang masih belum cukup kuat dalam proses
pembersihan toksin (toksin eksfoliatif S. aureus). Tanda dan gejala berupa infeksi
S. aureus pada kulit, ditunjukkan dengan terbentuknya ruam kemerahan pada
wajah, badan dan ekstermitas bawah (Ferra O. Mawu, 2015).
Staphylococcus aureus adalah salah satu flora normal manusia dan
diketahui juga memiliki kemampuan membentuk biofilm. S. aureus merupakan
bakteri yang paling banyak menyebabkan infeksi pada berbagai jaringan manusia,
meskipun sifatnya hanya sporadik bukan endemik (Anonim, 1993). Dalam bentuk
biofilmnya, S. aureus mampu menyebabkan penyakit yang lebih kompleks pada
manusia, salah satunya Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) pada anak-
anak maupun orang dewasa (Ferra O. Mawu, 2015).
Terapi antibiotik merupakan terapi yang umum dijumpai pada kasus
infeksi oleh bakteri S.aureus. Beberapa antibiotik yang secara luas dipakai dalam
terapi adalah eritromisin, streptomisin, dan kloramfenikol. Sayangnya penggunaan
antibiotik tersebut juga tidak terlepas dari masalah resistensi. Penelitian
menunjukkan rendahnya sensitivitas antibiotik-antibiotik di atas terhadap MRSA
(Onwubiko dan Sadiq, 2011). Penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka
panjang, seperti pada kasus penyakit kronis, sering menimbulkan masalah akibat
munculnya efek samping dari antibiotik yang bersangkutan. Eritromisin dalam
dosis besar mampu menimbulkan gangguan jantung yang menimbulkan aritmia
hingga toksisitas kardiak terutama pada pasien dengan gangguan jantung
sebelumnya (Berthet dkk., 2010). Kejadian ototoksisitas terjadi pada pasien yang
mendapat terapi streptomisin selama beberapa minggu (McDermott, 1947).

1
Kloramfenikol juga diketahui memiliki efek samping yang besar yakni supresi
sumsum tulang belakang dan aplastic anemia (Abdollahi dan Mostafalou, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Rebiahi dkk. (2014) menunjukkan bahwa
biofilm S. aureus berperan dalam timbulnya infeksi dan terbukti bahwa
pembentukan biofilm dari bakteri ini 100 kali lebih resisten terhadap konsentrasi
beberapa antibiotik. Biofilm mendorong pembentukan sel S. aureus yang toleran
terhadap antibiotik serta menciptakan sel persister yang mampu beradaptasi
terhadap antibiotik dengan cara mengurangi ketergantunganya terhadap bagian sel
yang menjadi target antibiotik maupun menghentikan produksi target antibiotik di
dalam sel (Lewis, 2010).
Resistensi S. aureus menjadi masalah yang cukup mengkhawitrkan saat
ini. S. aureus memang secara lumrah diketahui peka terhadap semua jenis
antibiotik yang pernah dikembangkan, namun juga diketahui bahwa S. aureus
memiliki kemampuan untuk menjadi resisten terhadap semua jenis antibiotik
(Chambers dan DeLeo, 2009). Resistensi S.aureus diawali dengan resistensinya
terhadap penisilin, dimana 20 tahun setelah penggunaan penisilin, sebanyak 80%
S. aureus diketahui sudah resisten terhadap penisilin. Kejadian ini diikuti dengan
berbagai macam bentuk resistensi S.aureus lainnya seperti Methicillin Resistance
S. aureus (MRSA) hingga Vancomycin Resistance S. aureus (VRSA), tak lama
setelah dikenalkannya antibiotik metisilin dan vankomisin (Lowy, 2003).
Pada masa sekarang ini, berbagai tanaman telah diketahui mengandung
berbagai kandungan yang aktif secara biologis, serta bermanfaat dalam
pengobatan terutama dalam terapi antimikroba (Yoo, et al., 2007).
Kandungan senyawa fenolik yang tersedia dalam jumlah banyak pada
tumbuhan yaitu daun teh memiliki beberapa mekanisme aktivitas antibakteri telah
yang telah diketahui antara lain; senyawa ini mampu berinteraksi dengan protein
bakteri dan struktur dinding sel, dapat menyebabkan kerusakan pada membran
sitoplasma, mengurangi fluiditas membran, menghambat sintesis asam nukleat,
sintesis dinding sel, atau menghambat metabolisme energi pada bakteri (Daglia,
M et al. 2012). Di sisi lain, penelitian aktivitas antibiofilm pada senyawa fenolik
yang ada pada tumbuhan telah dijelaskan, selain aktivitas destruktif pada bakteri,

2
fenolik juga memiliki aktivitas yang menyebabkan penekanan biofilm dengan
mempengaruhi mekanisme peraturan bakteri seperti quorum sensing atau sistem
pengatur global lainnya, tanpa efek pada pertumbuhan bakteri (Rutherford, S.T,
2012)
Senyawa turunannya yaitu Asam Tannic dari daun teh (Camellia sinensis)
mampu menghambat pembentukan biofilm S. aureus tanpa menghambat
pertumbuhan bakteri melalui mekanisme yang bergantung pada enzim yang
diduga yaitu transglycosylase IsaA, dan asam ini juga telah terbukti menghambat
kolonisasi bakteri pada faring dalam model tikus in vivo yang diinduksi dengan
bakteri S. aureus (Taylor, P.W, 2013).
Tanin memiliki aktivitas antibakteri baik terhadap bakteri gram positif dan
Gram negatif. Misalnya, katekin mampu menembus dan berinteraksi dengan
lapisan lipid bilayers pada kulit (Taylor, P.W. et al, 2013). Sebagai alternatif,
mereka dapat menyebabkan fusi membran, sebuah proses yang menyebabkan
kebocoran material dan agregat intramembran (Ikigai, H, et al., 1993). Teh hijau
(Camellia sinensis) yang kaya akan katekin memiliki kemampuan untuk
mengembalikan resistensi methicillin pada isolat MRSA pada konsentrasi yang
jauh lebih rendah daripada yang dibutuhkan untuk menghasilkan penghambatan
pertumbuhan bakteri (Yam, T.S, et al., 1998). Penelitian yang dilakukan Roccaro
dkk, mengacu pada efek modulasi katekin gallate terhadap resistensi antibiotik.
Telah ditunjukkan bahwa epigallocatechin gallate (EGCg) memiliki beberapa
aktivitas antibakteri, membatasi pertumbuhan bakteri dengan menginvasi sel
bakteri dan bertindak secara sinergis dengan beberapa antibiotik. Konsentrasi sub-
inhibitor EGCg mampu membalikkan resistensi tetrasiklin pada staphylococci
dengan menghambat pompa efflux Tet (K), sebagai tambahan untuk
meningkatkan sensitisasi terhadap bakteri staphylococcal yang rentan terhadap
antibiotik ini (Sudano Roccaro, et al., 20014). Mengenai pembentukan biofilm S.
aureus, EGCg pada konsentrasi sub-inhibit telah menunjukkan penurunan
produksi lendir, sehingga menghambat pembentukan biofilm oleh spesies bakteri
ini.

3
Salah satu bentuk pemanfaatan yang baik dari tanaman obat adalah
sebagai bahan kombinasi untuk meningkatkan efikasi dari antibiotik dan
mencegah timbulnya kasus resistensi bakteri akibat obat sintetik (Hemaiswarya,
2008).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, terlihat bahwa tanaman teh hijau
merupakan sumber bahan antibiofilm yang potensial. Ekstrak daun teh hijau
diharapkan mampu menghambat pembentukan biofilm S. aureus melalui
kandungan fenolik dan tannin yang dimiliki, sehingga membantu penetrasi
antibiotik untuk melewati biofilm S. aureus dan meningkatkan efikasi antibiotik.
Diharapkan terjadi peningkatan efektivitas antibiotik serta mencegah timbulnya
resistensi S. aureus terhadap antibiotik-antibiotik tertentu. Bila ditemukan
sinergisme yang diharapkan, maka hasil penulisan ini dapat dikembangkan ke
tahap formulasi untuk pemanfaatannya. Formula yang dapat dikembangkan yaitu
sediaan transdermal patch untuk mengobati infeksi biofilm S. aureus di kulit,
terutama untuk pasien dengan penyakit Staphylococcal scalded skin syndrome
(SSSS).
Oleh karena itu, beberapa sistem penghantaran dalam formulasi sediaan
telah dikembangkan untuk mencapai bioavailabilitas yang lebih baik, salah
satunya adalah patch transdermal. Penulis kemudian akan merancang formulasi
ekstrak daun teh menjadi sediaan berbentuk patch yang dapat diaplikasikan
langsung pada kulit, sehingga diharapkan dapat menjadi alternatif pengobatan
penyakit infeksi akibat bakteri S.Aureus.
I.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan diselesaikan dalam penyusunan karya tulis ilmiah yang
berjudul “Inovasi Sediaan Patch Transdermal Dari Ekstrak Daun Teh Hijau Sebagai
Anti-Biofilm untuk Mencegah Terjadinya Resistensi Antibiotik Terhadap Penyakit
Menular Staphylococcal Scalded Skin Syndrome” adalah:
1. Apa yang menyebabkan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome serta apa
permasalahan yang ditimbulkan?
2. Apa yang menyebabkan terjadinya resistensi antibiotik dalam pengobatan
penyakit Staphylococcal Scalded Skin Syndrome?

4
3. Bagaimana potensi ekstrak daun teh hijau (Camelia Sinensis) sebagai anti-
biofilm terhadap bakteri Staphylococcus aureus?
4. Apa kelebihan sediaan transdermal patch?
5. Bagaimana formulasi sediaan transdermal patch dari ekstrak daun teh hijau
(Camelia Sinensis) sebagai anti-biofilm terhadap bakteri Staphylococcus
aureus?
I.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari Penulisan ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah
terkait formulasi dan manfaat dari ekstrak daun teh hijau (Camelia Sinensis)
sebagai anti-biofilm terhadap bakteri Staphylococcus aureus untuk mengatasi
masalah resistensi antibitok dalam pengobatan penyakit menular Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome yang diformulasi dalam bentuk sediaan patch transdermal
yang lebih efektif karena dapat memberikan bioavailabilitas lebih cepat
dibandingkan sediaan oral.
I.4. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah untuk memberikan
informasi ilmiah terkait inovasi sediaan transdermal patch ekstrak daun (Camelia
Sinensis) sebagai anti-biofilm terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang
merupakan pengembangan obat berbasis bahan alam sehingga mendorong
pemanfaatan daun teh ke ranah pelayanan kesehatan formal melalui penyediaan
formula dengan karakteristik yang diketahui, serta memperkaya penelitian
diinstitusi Universitas Hasanuddin terkait permasalahan kesehatan, khususnya
untuk masalah pengobatan yang paling sering muncul yaitu resistensi antibiotik.
Sediaan patch transdermal juga diharapkan dapat dijadikan pengembangan
strategi pengobatan dalam mengontrol penyakit infeksi khususnya yang terkait
dengan biofilm.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Staphylococcal scalded skin syndrome


Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) yang disebut juga penyakit
Ritter von Ritterschein pada bayi baru lahir atau penyakit Ritter atau
staphylococcal epidermal necrolysis atau pemfigus neonatorum adalah kelainan
kulit yang disebabkan eksotoksin galur stafilokokus. Toksin eksfoliatif yang
dilepaskan oleh Staphylococcus aureus yaitu exfoliatin type A dan B (ETA dan
ETB) adalah karakteristik toksin yang menyebabkan terbentuknya vesikel, bula,
dan terjadinya eksfoliasi kulit. Toksin ini berikatan dengan desmoglein-1 sehingga
fungsi adhesi antar sel menjadi berkurang (Hanakawa, et al., 2004). Sindrom ini
memiliki gambaran klinis mulai bentuk makula eritem yang diikuti lepuhan dan
atau eksfoliasi difus di area kulit yang terbatas hingga luas. Area kulit yang sering
terlibat adalah area fleksural, sedangkan membran mukosa tidak terlibat. Gejala
lain ialah adanya rasa tidak nyaman, nyeri kulit, dan demam. Pada kasus yang
berat, dapat terjadi gangguan sistemik (Millet CR, et al., 2011).
Penanganan paling utama adalah dengan perawatan intensif, pemberian
antibiotik sistemik, serta keseimbangan cairan dan elektrolit. Terapi
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) adalah penggunaan antibiotik yang
tepat dikombinasikan dengan perawatan kulit suportif, mempertahankan
keseimbangan cairan, dan inkubator untuk mempertahankan kelembaban dan suhu
tubuh. Kombinasi ini sangat membantu mempercepat penyembuhan. Pilihan
terapi antibiotik intravena adalah penisilin, penisilinaseresisten penisilin,
aminopenisilin, sefalosporin, eritromisin, dan tetrasiklin. Topikal antibiotik
dengan asam fusidat, mupirosin, basitrasin, atau perak sulfadiazine (Millet CR, et
al., 2011).
II.2 Biofilm
Biofilm adalah lapisan yang merupakan koloni dari mikroba yang
menempel dan menutupi suatu permukaan benda padat di lingkungan. Biofilm
merupakan sebuah struktur komunitas dari bakteri, algae atau jenis sel lainnya

6
yang menghasilkan matriks polimerik dan melekat pada permukaan. Secara fisik,
keberadaan biofilm dapat dicirikan sebagai berikut:
a) Jarak ketebalan dari beberapa mikron sampai lebih dari 1000 mikron.
b) Permukaan tidak rata (kasar)
c) Spesies heterogen
d) Tersusun dari dua bagian, yaitu dasar biofilm dan permukaan biofilm.
Walaupun banyak bakteri dapat tumbuh pada keadaan bebas (free-living)
atau planktonik, secara umum bakteri melekat ke suatu permukaan dengan
menghasilkan polisakarida ekstra seluller (EPS) atau pada beberapa kasus dengan
menggunakan holdfast. Pelekatan ini menghasilkan mikrokoloni, sebagai awal
perkembangan biofilm yang dimulai dari satu sel tapi sering berkembang menjadi
beberapa bakteri membentuk matriks (Chung, dkk. 2014).
II.2.1 Proses Terbentuknya Biofilm
Bakteri di habitat alamiah umumnya dapat hidup dalam dua lingkungan
fisik yang berbeda, yaitu dalam keadaan planktonik, berfungsi secara individu dan
dalam keadaan diam dimana mikroorganisme melekat ke suatu permukaan
membentuk biofilm dan berfungsi sebagai matriks pelindung dari faktor
lingkungan.
Proses terbentuknya biofilm dibagi menjadi 5 tahap (Paraje, 2011):
1. Tahap pelekatan awal : pada tahap ini mikroba meleket pada permukaan benda
padat dengan perantara fili (rambut halus). Contoh bakteri yang dapat melekat
dan membentuk koloni adalah Pseudomonas aeruginosa, bakteri gram negatif
dengan molekul sinyal utama homoserin lakton. Pelekatan awal ini disebabkan
oleh sifat hidrofobik dan elektrostatik (medan listrik statik).
2. Tahap pelekatan permanen : mikroba semakin menempel dengan diprakarsai
oleh matriks polimer ekstraseluler dengan bantuan eksopolisakarida (EPS).
3. Maturasi I : Terjadi penarikan pada bakteri lain membentuk polisakarida
ekstraseluler dan sel bakteri terus tumbuh dan berkembang. Pada tahap ini
ketebalan biofilm lebih dari 10 µm.
4. Maturasi II : Pada tahap ini ketebalan biofilm mencapai 100 mm. Bakteri yang
terakumulasi membentuk beberapa lapisan. Bakteri yang ada dilapisan dalam

7
akan lebih terlebih terlindungi dari pada bakteri yang berada pada lapisan luar.
Koloni ini akan membentuk nutriennya sendiri, karena bakteri yang mati dapat
menjadi nutrien bagi yang hidup.
5. Dispersi : Pada tahap ini biofilm yang sudah terbentuk dapat mengalami
pelepasan sel secara erosi atau sloghing. Erosi terjadi secara berkala karena
geseran dari cairan yang mengalir. Sloghing adalah pelepasan banyak sel yang
terjadi secara acak karena adanya perubahan dalam medium pertumbuhan.

Gambar 2. Proses terbentuknya biofilm. (Paraje, 2011)


Beberapa sel pada populasi yang berbeda dari bakteri planktonik menempel ke
berbagai macam permukaan. Pada medium cair yang mengalir, bakteri yang
melekat memperoleh akses ke sumber nutrien yang berkelanjutan yang dibawa
oleh aliran medium. Setelah melekat ke permukaan, mikroorganisme tumbuh
menjadi ukuran yang normal kemudian memulai reproduksi sel. Pelekatan yang
terus menerus menunjang pembentukan biofilm.
III. 3 Staphylococcus aureus dan biofilmnya
S. aureus adalah bakteri berdiameter 0,8-1,0 mikron, tidak bergerak, tidak
berspora, dan merupakan bakteri Gram positif (Anonim, 1993). Bila sudah tua, sel
S. aureus cenderung menjadi bersifat Gram negatif dan tumbuh paling cepat pada
suhu 37°C, membentuk pigmen paling baik pada suhu 20°C yang menjadikan
bakteri S. aureus berwarna kuning keemasan (Jawetz dan Ade, 1986). Sifat utama

8
dari koloni Staphylococcus adalah membentuk agregat berbentuk anggur serta
infeksinya menimbulkan nanah pada kulit manusia. S. aureus dapat menghasilkan
toksin yang mampu menyebabkan keracunan makanan bila tertelan (Hugo dan
Russel, 1987). Biofilm dari S. aureus bersama dengan biofilm S. epidermidis
merupakan penyebab utama dari infeksi nosokomial dan implan alat medis pada
manusia (Otto, 2008). Biofilm S. aureus juga mampu menyebabkan penyakit
kronis seperti chronic rhinosinusitis dengan menginfeksi sinus penderita hingga
terjadi hilangnya sel silia dan sel goblet (Kamath dkk., 2013; Hamilos, 2014;
Ramadan dkk., 2005). Infeksi lain terkait biofilm S. aureus termasuk
osteomyelitis dan endokarditis. Terapi antibiotik untuk infeksi-infeksi diatas
umumnya terhalangi oleh kehadiran biofilm (Costerton dkk., 1999). Biofilm
S.aureus memang telah diketahui terlibat dalam resistensi terhadap antibiotik.
Moghadam dkk. (2014) menemukan bahwa biofilm MRSA pada pasien infeksi
luka bakar, resisten terhadap amikacin, ceftriaxone, siprofloksasin, eritromisin,
gentamisin, tetrasiklin, dan tobramisin. Amorena dkk. (1999) menduga resistensi
ini dapat terjadi akibat beberapa hal seperti penurunan difusi antibiotik akibat
matriks biofilm yang kompleks, aktivitas metabolisme yang terjadi di biofilm, dan
interaksi antibiotik dengan produk hasil metabolisme bakteri yang mengubah
aktivitas antibiotik, Pembentukan biofilm S. aureus telah banyak diteliti secara
mendalam. Archer dkk. (2011) merangkum dalam jurnalnya mengenai berbagai
jalur pembentukan biofilm S. aureus yang diketahui dapat membentuk biofilm
melalui jalur PIA-dependent, PIA-independent, serta eDNA. PIA (polysaccharide
intercelluler antigen) diproduksi S.aureus secara in vitro dari UDP-N-
acetylglucosamine melalui produk lokus intercellular adhesion (ICA). Pada jalur
PIA-dependent, PIA terbukti sangat penting dalam pembentukan biofilm serta
berperan dalam pertumbuhan anaerobik. Saat PIA diproduksi maka biofilm juga
akan ikut terbentuk. Biofilm juga dapat terbentuk melalui jalur PIA-independent,
yang mana tidak mementingkan lokus gen ICA. Penghapusan lokus ICA terbukti
tidak menurunkan virulensi biofilm S. aureus. Pada mutan S. aureus dengan delesi
ica, ditemukan bahwa protein A (SpA) yang berperan penting dalam pembentukan
biofilm. Jalur lain yang cukup penting dalam pembuatan biofilm adalah eDNA

9
(extracellular DNA). S. aureus memiliki kemampuan menambahkan DNA pada
matriks awal biofilm, yang mendukung struktur pembentukan biofilm.
Biofilm S. aureus diatur oleh 2 regulator utama yakni staphylococcal
accessory regulator (sarA) dan accessory gene regulator (agr) (Fournier dkk.,
2001). SarA berperan dalam pertumbuhan biofilm S. aureus dan dapat mencegah
degradasi eDNA dan protein yang menjadi struktur utama biofilm. Regulator agr
sendiri berperan pada quorum sensing dari S. aureus dengan menurunkan tingkat
perlekatan S. aureus dengan permukaan, sehingga terjadi penurunan tingkat
pembentukan biofilm. Penekanan agar penting untuk pembentukan biofilm,
sedangkan induksi agar penting untuk penyebaran biofilm yang telah matang
(Boles dan Horswill, 2008).
III.4 Uraian Daun Teh
Tumbuhan teh (Camellia sinensis) familia dari Theaceae, diperkirakan berasal
dari pegunungan Himalaya dan daerah – daerah pegunungan yang berbatasan
dengan Republik Rakyat Cina, India, dan Birma.Tanaman ini dapat tumbuh di
daerah tropis dan subtropis, dengan menuntut cukup sinar matahari dan hujan
sepanjang tahun (Spillane, 1992).
III.4.1 Klasifikasi Daun Teh
Menurut Hutapea (2001) tanaman the Camellia sinensis diklasifikasikan
sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan biji)
Sub divisi : Angiospermae (tumbuhan biji terbuka)
Kelas : Dicotylledoneae (tumbuhan biji belah)
Sub Kelas : Dialypetalae
Ordo : Guttiferalses (Clusiales)
Familia : Camelliaceae (Theaceae)
Genus : Camellia
Spesies : Camellia sinensis
III.4.2 Morfologi Daun Teh Hijau
Camellia sinensis, suatu tanaman yang berasal dari famili theaceae,
merupakan pohon berdaun hijau yang memiliki tinggi 10 - 15 meter di alam bebas

10
dan tinggi 0,6 - 1,5 meter jika dibudayakan sendiri. Daun dari tanaman ini
berwarna hijau muda dengan panjang 5 - 30 cm dan lebar sekitar 4 cm. Tanaman
ini memiliki bunga yang berwarna putih dengan diameter 2,5 - 4 cm dan biasanya
berdiri sendiri atau saling berpasangan dua-dua (Ross, 2005). Buahnya berbentuk
pipih, bulat, dan terdapat satu biji dalam masing-masing buah dengan ukuran
sebesar kacang (Biswas, 2006).
III.4.3 Kandungan Daun Teh Hijau
Teh hijau terdiri atas kandungan kimia yang kompleks. Teh mengandung
alkaloid, saponin, tanin, katekin dan polifenol. Senyawa tanin dalam teh dapat
berguna sebagai hemostatik, yaitu menghentikan pendarahan dari pembuluh darah
yang terluka. Dengan cara ini, tanin akan mengendapkan protein darah sehingga
terjadi gumpalan yang dapat menghambat aliran darah (Fenglin et al., 2003).
Tanin dapat mengobati luka karena dapat meningkatkan proses granuloma,
memecah kekuatan granulasi jaringan, dan mempercepat masa epitelisasi (Agreen,
et al., 1998).
Teh hijau mengandung polifenol tertinggi diantara jenis teh hitam dan teh
oolong karena teh hijau mengalami prosesoksidasi dalam jumlah minimal, begitu
juga kandungan vitamin E, vitamin C dan vitamin lainnya. Unsur utama yang
berupa polifenol dalam teh hijau sangat berpengaruh terhadap penyembuhan luka
khususnyasebagai antibakteri. Sub kelas dari polifenol inimeliputi flavones,
flavonols, flavonones,catechin, dan isoflavone. (Oktanauli P,2011)
Jenis katekin dalam daun teh hijau yaitu: epigallocatechin gallate (EGCG),
epigallocatechin (EGC), epicatechin gallate (ECG), dan epicatechin (EC). EGCG
adalah komponen katekin yang paling poten, paling banyak terdapat dalam daun
teh hijau dan secara kimia mempunyai aktivitas biologis yang paling kuat. EGCG
dalam teh hijau mempunyai efek antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, antiviral,
antienzymatic effects, dan probiotik pada manusia dan hewan maupun studi in
vitro. Penggunaan bahan yang memiliki efek antiinflamasi, antibakteri, dan
kemampuan regenerasi sel sekaligus dalam satu formulasi akan sangat efektif
dalam mempercepat proses penyembuhan luka. Berdasarkan khasiat tersebut,
adanya kandungan EGCG dalam sediaan patch yang digunakan secara klinis

11
diharapkan dapat mempengaruhi proses penyembuhan dengan efek samping yang
minimal pada pasien. (Voung QV, 2010)
II.5 Patch Transdermal
Patch merupakan sediaan yang memiliki sifat fleksibilitas yang baik
sehingga lebih dapat ditoleransi oleh pasien dibandingkan dengan sediaan tablet.
Patch juga lebih dapat menjamin keakuratan dosis dibandingkan dengan sediaan
gel atau salep (Shravan dkk, 2012).
Obat yang mengalami first pass effect serta obat bagi pasien dengan
kondisi khusus merupakan kandidat terbaik untuk dibuat dalam sediaan patch. Zat
aktif dapat ditambahkan sebesar 5-25% w/w dari bobot total polimer. Polimer
mukoadesif digunakan untuk menghantarkan zat aktif ke tempat spesifik dan
untuk mengoptimalkan penghantaran obat dikarenakan adanya kontak yang lebih
lama. Polimer pada lapisan ini akan berkontak dengan mukosa yang merupakan
faktor penting dalam keberhasilan penghantaran obat. Plasticizer merupakan
komponen yang digunakan untuk membentuk film tipis yang halus dan fleksibel
dari satu jenis polimer atau campuran polimer.Plasticizer dapat mencegah film
pecah, mudah sobek dan mengelupas (Yoganda & Rakesh, 2012).
Sistem penghantaran obat dengan memanfaatkan polimer yang larut dalam
air serta dapat melekat. Oleh karena itu dapat digunakan untuk menetapkan
sasaran obat pada suatu daerah tertentu di tubuh untuk periode waktu yang lama
(Kumar dkk, 2011).

12
BAB III
METODE PENULISAN
III.1 Kerangka Konsep
Penyakit

Bahan Alam Biofilm

Daun Teh

Ekstraksi
(Maserasi)

Polifenol , Tannin Resistensi Antibiotik


Formulasi

Transdermal Patch

III.2 Pemilihan Masalah


Penulis mengangkat permasalahan berdasarkan penyakit infeksi akibat
bakteri S. Aureus yang berbahaya bagi tubuh manusia. Penyakit ini dapat
menyebabkan ruam merah pada kulit yang berujung pada infeksi dengan kondisi
terburuk yaitu dapat menybabkan kematian. Karena kurangnya kepedulian
masyarakat umum terhadap penyakit ini yang dianggap sebagai masalah sepele.
Dari sudut pandang yang berbeda penulis melihat potensi zat aktif yang dimilki
oleh daun teh yang dapat menghambat merusak lapisan biofilm yang melindungi
bakteri sehingga resisten terhadap beberapa golongan antibiotik. Oleh karena itu
dengan menghubungkan aspek ini, penulis menjelaskan cara pemanfaatan lain
dari daun teh sebagai alternatif pengobatan dalam bentuk sediaan transdermal
patch yang dapat diaplikasikan langsung pada kulit yang terkena infeksi sehingga
diharapkan efeknya lebih cepat melewati membran dan menambah efektivitas dari
antibiotika yang digunakan.

13
III.3 Teknik Pengumpulan Data dan Informasi
Proses pengumpulan data karya tulis ini melalui studi pustaka terhadap
jurnal penelitian dan mengumpulkan data terkait penyakit, solusi, dan penanganan
terhadap penyakit infeksi akibat bakteri S.Aureus. Jurnal penelitian mengenai
pengembangan sediaan patch transdermal dan penggunaan daun teh yang mampu
berperan sebagai anti-biofilm juga menjadi acuan kami dalam mengembangkan
sediaan ini.
III.4 Pengolahan Data dan Informasi
Data dan informasi yang penulis dapatkan dari berbagai sumber, diolah
dan dikaitkan menggunakan pendekatan ilmu yang sesuai dengan bidang
penulis, yaitu farmasi untuk mendapatkan solusi. Penulis tidak terpaku hanya
pada teori dari satu bidang ilmu farmasi, tetapi mengaitkan beberapa
pengetahuan dari berbagai bidang ilmu farmasi, diantaranya bidang herbal
(obat bahan alam) dan teknologi sediaan farmasi.
III.5 Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis adalah dengan
mengembangkan rumusan masalah berdasarkan atas latar belakang yang
diangkat. Kedua aspek ini dihubungkan untuk mencari solusi sesuai dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh penulis, sehingga didapatkan solusi yang tepat
dan berfokus pada tema karya tulis ilmiah yaitu obat bahan alam.
Data yang dikumpulkan dari berbagai sumber menunjukkan bahwa
potensi daun teh yang diproduksi cukup besar di salah satu daerah di Makassar
merupakan faktor pendukung utama dalam pembuatan sediaan patch
transdermal ini, yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan terkait.
Informasi-informasi yang diperoleh melalui studi literatur sangat membantu
dalam merealisasikan ide ini.
III.6 Penarikan Kesimpulan
Data yang telah dikumpulkan sangat menunjang terealisasinya gagasan
yang diiajukan oleh penulis, hal ini mampu menunjukkan bahwa daun teh dengan
komoditi yang cukup besar dapat berpeluang mengatasi masalah resistensi
antibiotika akibat terbnetuknya lapisan biofilm pada bakteri, sehingga dibutuhkan

14
suatu komponen kimia yang dapat bersifat sebagai anti-biofilm, diantaranya
adalah komponen atau senyawa yang terdapat dalam daun teh. Gagasan ini
merupakan solusi terkini dalam penanganan resistensi bakteri.
III.7 Perumusan Saran atau Rekomendasi
Saran atau rekomendasi yang penulis berikan dalam karya tulis ini adalah
pembuatan solusi dari rumusan masalah didasarkan pada data yang empiris dan
solutif terhadap permasalahan yang terjadi. Saran atau rekomendasi yang
diberikan bersifat membangun dan objektif, sehingga diharapkan dapat
memperbaiki permasalahan yang ada dengan mencoba mengaplikasikannya dan
memperkirakan hasilnya.

15
BAB IV
PEMBAHASAN

IV.1 Pemanfaatan Ekstrak Daun Teh sebagai anti-biofilm


Indonesia telah dikenal sebagai negara dengan kekayaan alam yang
melimpah. Berbagai macam tanaman dapat tumbuh subur di negara beriklim
tropis ini. Salah satu kekayaan alam yang berlimpah ada di Indonesia adalah daun
teh. Komoditas daun teh di daerah Malino yang berajarak 60 km dari kota
Makassar merupakan salah satunya di Indonesia.
Penulis memilih daun teh sebagai solusi dari masalah resistensi antibiotik
akibat adanya lapisan biofilm. Selain karena kemudahan akses untuk memperoleh
daun teh di Indonesia, juga karena efektivitasnya sebagai antibakteri. Teh
mengandung senyawa bioaktif seperti senyawa polifenol, alkaloid, asam amino,
tanin, katekin dan flavonoid. Senyawa Tannin ditemukan paling banyak di dalam
teh. Menurut beberapa penelitian terhadap aktivitas antibiofilm pada senyawa
fenolik yang ada pada the yang bersifat destruktif pada bakteri, fenolik juga
memiliki aktivitas yang menyebabkan penekanan biofilm dengan mempengaruhi
mekanisme peraturan bakteri seperti quorum sensing atau sistem pengatur global
lainnya, tanpa efek pada pertumbuhan bakteri. Selain senyawa fenol, juga terdapat
Asam Tannic dari daun teh (Camellia sinensis), berdasarkan penelitian Taylor,
P.W, et al, asam tanat mampu menghambat pembentukan biofilm S. aureus tanpa
menghambat pertumbuhan bakteri melalui mekanisme yang bergantung pada
enzim yang diduga yaitu transglycosylase IsaA, dan asam ini juga telah terbukti
menghambat kolonisasi bakteri pada faring dalam model tikus in vivo yang
diinduksi dengan bakteri S. aureus.
Tanin pada daun teh juga memiliki aktivitas antibakteri baik terhadap
bakteri gram positif dan Gram negatif. Salah satunya yaitu katekin yang mampu
menembus dan berinteraksi dengan lapisan lipid bilayers pada kulit sehingga
mampu berperan efektif sebagai anti-biofilm bakteri S. Aureus. Teh juga aman
dikonsumsi sehingga memiliki efek samping yang sedikit jika digunakan
sebagaimana mestinya.

16
IV.2 Manfaat Formulasi
Salah satu sistem penghantaran obat yang telah banyak diminati saat ini
adalah sistem penghantaran obat melalui kulit dalam bentuk sediaan patch
transdermal. Sediaan ini banyak diminati sebab memiliki banyak kelebihan
dibandingkan bentuk sediaan lainnya misalnya sediaan oral.
Sistem penghantaran patch transdermal telah dikembangkan untuk beberapa
pengobatan neurologi dan memiliki keuntungan praktis dan farmakokinetik
dibandingkan pada penggunaan oral. Kelebihan dari sistem penghantaran ini
adalah nyaman dalam penggunaannya karena diaplikasikan satu kali sehari dan
dapat digunakan untuk pengobatan yang tidak dapat diaplikasikan melalui mulut.
Patch transdermal dapat digunakan untuk pengobatan lokal pada titik aplikasi.
Aplikasi transdermal memungkinkan pengobatan pada area target dan dapat
membatasi paparan terhadap obat.
IV.3 Formulasi Patch Transdermal
IV.3.1 Pengambilan dan Penyiapan Sampel
Sampel yang digunakan adalah daun teh (Camelia sinensis) yang dicuci
bersih dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran yang menempel.
IV.3.2 Ekstraksi Daun Teh
Cuci bersih sampel daun teh dengan air mengalir untuk menghilangkan
kotoran yang menempel lalu dirajang dan dikeringkan hingga menjadi simplisia.
Simplisia daun teh selanjunya digiling dan diayak (no.mesh 8) sehingga
berbentuk serbuk halus. Bubuk halus daun teh dibuat dalam tipe ekstrak etanol.
Ekstrak etanol dibuat dari bahan 200 g simplisia yang dimaserasi (direndam
dalam wadah tertutup tanpa pemanasan) kemudian ditambahkan dengan etanol
95%, lalu didiamkan selama 24 jam. Filtrat yang diperoleh kemudian dipekatkan
dengan rotavapor tekanan rendah sehingga diperoleh ekstrak kental etanol.
Ekstrak kental kemudian dikeringkan di atas penangas air hingga diperoleh
ekstrak etanol kering.
IV.4 Pengujian Toksisitas
Aktivitas antikanker diukur berdasarkan kemampuan ekstrak tanaman
dalam membunuh sebanyak 50% larva udang Artemia salina Leach melalui

17
metode Brine Shrimp Lethality Test. Sampel dibuat dalam seri konsentrasi yang
beragam kemudian ditambahkan dengan larva udang, nutrisi, dan air laut buatan
ke dalamnya kemudian disimpan selama 48 jam di bawah lampu yang menyala.
Setelah disimpan, diamati dan dihitung berdasarkan nilai LC50 untuk mengetahui
efek toksisitasnya.
IV.5 Pencampuran Bahan
Tabel 1. Formula Patch Trandermal
No. Nama Bahan Formula Patch
I II III IV
1 Ekstrak daun Konsentrasi disesuaikan
the
2 HPMC 3% 3,5% 4% 4,5%
3 PVP 3% 3% 3% 3%
4 Na. Alginat 2% 2% 2% 2%
5 Gliserin 10% 15% 20% 25%
6 Aquades 100 ml 100 ml 100 ml 100 ml
IV.5.1 Pembuatan Lapisan Film
Ditimbang HPMC, PVP, dan natrium alginat secara akurat, kemudian
dilarutkan menggunakan 80 ml air pada gelas Beaker dibantu dengan
homogenizer hingga homogen dan membentuk larutan kental. Ekstrak temu putih
dilarutkan menggunakan 20 ml aquades pada erlenmeyer hingga larut. Setelah
terbentuk larutan kental matriks, dimasukkan larutan ekstrak kedalam larutan
kental matriks kemudian ditambahkan gliserin ke dalam campuran tersebut.
Campuran kemudian dihomogenkan pada homogenizer dengan kecepatan 1500
rpm selama 20 menit hingga terbentuk larutan film yang homogen.
IV.5.2 Pembuatan Patch
Tahap selanjutnya larutan film dituang ke dalam beberapa cawan petri
kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 600C selama kurang lebih 24 jam.
Setelah kering, lapisan film kemudian dikeluarkan dari cawan petri dan disimpan
dalam deksikator hingga terbentuk massa yang konstan. Kemudian dipotong –
potong dengan ukuran diameter 5 cm.
IV.5.3 Evaluasi Karakterisasi Sediaan
a. Uji Organoleptis
Uji organoleptis meliputi pengujian warna pada patch dan tekstur patch.

18
b. Uji ketebalan patch
Pengujian ketebalan patch masing-masing formula dilakukan dengan
mengukur ketebalan patch satu persatu menggunakan jangka sorong dan
dilakukan pada 3 titik yang berbeda dari masing-masing patch (Parivesh
dkk., 2010).
c. Uji Bobot patch
Pengujian variasi bobot patch pada tiap formula dilakukan dengan cara
menimbang satu persatu patch. Penimbangan dilakukan replikasi 3 kali
pada patch yang berbeda dari formula yang sama, kemudian dihitung
bobot rata-ratanya (Parivesh dkk., 2010).
d. Folding endurance
Uji folding endurance dilakukan dengan melipat patch berkali-kali pada
tempat yang sama sampai patch tersebut patah. Jumlah pelipatan yang
telah dilakukan dianggap sebagai nilai ketahanan lipatan (Parivesh dkk.,
2010).
e. Loss on drying
Patch ditimbang satu persatu dan dimasukkan dalam moisture balance
pada suhu 1050C hingga layar pada alat menunjukkan angka susut
pengeringan (Patel, 2009).
IV.5.4 Uji Permeasi Ex Vivo
Formula dengan karakteristik terbaik dilanjuttkan ke pengujian permeasi
ex vivo untuk mengetahui profil pelepasan obat dari sediaan. Membran yang
digunakan adalah vaginal dari sapi. Profil pelepasan obat ditentukan berdasarkan
jumlah kurkumin yang terlepas ke kompartemen donor. Pengukuran kadar
kurkumin dilakukan dengan metode spektrofotometer (Patel et al, 2015).

19
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Biofilm juga terbukti menyebabkan timbulnya kasus-kasus resistensi mikroba
terhadap senyawa antimikroba. Bakteri S. aureus adalah salah satu bakteri dengan
kasus resistensi antibiotik yang tinggi. S. aureus memiliki kemampuan untuk
membentuk biofilm dan penelitian menunjukkan bahwa biofilm S. aureus
menunjukkaan resistensinya terhadap pemberian antibiotik. Penggunaan zat
antimikroba dalam bentuk kombinasi memiliki keuntungan yaitu melalui efek
sinergisme atau adisi, mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi selain dapat
meningkatkan efektivitas pengobatan, terutama jika keduanya memiliki
mekanisme aksi yang berbeda tetapi saling mendukung. Indonesia merupakan
negara yang memiliki berbagai kekayaan alam dengan potensi besar memiliki
senyawa bersifat farmakologis. Tanaman teh merupakan salah satu tanaman
Indonesia yang telah digunakan sejak lama dalam dunia pengobatan.
Kandungan senyawa daun teh sendiri telah diketahui memiliki potensi antibakteri
yang baik. Penelitian juga mendukung kemampuan daun teh dalam menghambat
pertumbuhan biofilm S. aureus. daun the diketahui mengandung banyak senyawa
fenolik, asam tanat dan tannin yang aktif menekan pertumbuhan biofilm.
Kandungan asam tanat juga diketahui menghambat quorum sensing dalam
pembentukan biofilm dari bakteri. Sehingga diharapkan terjadi peningkatan
efektivitas dari penggunaan antibiotik setelah penggunaan patch transdermal daun
the pada kulit.
V.2 Saran
Sebaiknya dilakukan beberapa uji untuk sediaan ini seperti uji pre-klinik
dan klinik sehingga dapat dijadikan sebagai sediaan yang komersil dan dapat
diaplikasikan langsung pada kulit yang mengalami infeksi bakteri S.Aureus.

20
DAFTAR PUSTAKA
Abdollahi, M., Mostafalou, S., 2014, Encyclopedia of Toxicology, Academic
Press, London.
Agren, M.S., Jorgensen L.N., Andersen M., Viljanto J., Gottrup F. 1998. Matrix
metalloproteinase 9 level predicts optimal collagen deposition during early
wound repair in humans. Br J Surgery
Amorena, B., Gracia,E., Monzón, M., Leiva, J., Oteiza, C., Perez, M., Alabart, J.,
Hernández-Yago, J., 1999, Antibiotic Susceptibility Assay for
Staphylococcus aureus in Biofilms Developed in vitro, J. Antimicrob.
Chemotherapy
Anonim, 1993, Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta
Archer, N.K., Mazaitis, M.J., Costerton, J.W., Leid, J.G., Powers, M.E., Shirtliff,
M.E., 2011, Staphylococcus aureus Biofilms: Properties, Regulation and
Roles in Human Disease, Virulence
Berthet, S., Charpiat, B., Mabrut, J.Y., 2010, Erythromycin as a Prokinetic Agent:
Risk Factors, J. Visc. Surgery
Biswas, K.P., 2006. Description of Tea Plant. In: Encyclopaedia of Medicinal
Plants. New Delhi: Dominant Publishers and Distributors
Boles, B.R., Horswill, A.R., 2008, Agr-mediated Dispersal of Staphylococcus
aureus Biofilms, PLoS. Pathog
Chambers, H.F., De Leo, F.R., 2009, Waves of Resistance: Staphylococcus aureus
in The Antibiotic Era, Nat. Rev. Microbiology
Chung, P.Y., Toh, Y.S., 2014. Anti-Biofilm Agents: Recent Breakthrough Againts
multi-drug resistant Staphylococcus aureus. Pathogen and Disease
Costerton, J.W., Stewart, P.S., Greenberg, E.P., 1999, Bacterial Biofilms: A
Common Cause of Persistent Infections, Science
Daglia, M. 2012. Polyphenols as antimicrobial agents. Curr. Opin. Biotechnology.
Fenglin, H., Lu R., Huang B., dan Ming L. 2003. Free Radical Scavenging
Activity of Extracts Prepared from Fresh Leaves of Selected Chinese
Medicinal Plants. Fitoterapia. Vol. 75
Ferra O. Mawu, Herry E. J. Pandaleke. 2015. Satu Kasus Staphylococcal scalded
skin syndrome (SSSS). Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. dr. R. D. Kandou, Manado
Fournier, B., Klier, A., Rapoport, G., 2001, The Two-component System
ArlSArlR is A Regulator of Virulence Gene Expression in Staphylococcus
aureus, Mol. Microbiol
Hamilos, D.L., 2014, Host-microbial Interactions in Patients with Chronic
Rhinosinusitis, J. Allergy Clin. Immuno
Hanakawa Y, Stanley JR. 2004. Mechanisms of blister formation by
staphylococcal toxins. J Biochemistry.
Hemaiswarya, S., Kruthiventib, A.K., Doble, M., 2008, Synergism Between
Natural Products and Antibiotics Against Infectious Diseases,
Phytomedicine
Hugo, W.B., Russell, A.D., 1987, Pharmaceutical Microbiology, Blackwell
Scientific Publications, Oxford

21
Hutapea, J. R. 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I) Jilid 2. Jakarta:
Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Ikigai, H.; Nakae, T.; Hara, Y.; Shimamura, T. 1993. Bactericidal catechins
damage the lipid bilayer. Biochim. Biophys. Acta.
Jawetz, L. M., Ade, A., 1986, Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, EGC
Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta
Kamath, M.P., Shenoy S., V., Mittal, N., Sharma, N., 2013, Microbiological
Analysis of Paranasal Sinuses in Chronic Sinusitis – A South Indian
Coastal Study, EJENTAS
Lewis, K., 2010, Persister Cells, Annu. Rev. Microbiology.
Lowy, F.D., 2003, Antimicrobial Resistance: The Example of Staphylococcus
aureus, J. Clin. Invest
McDermott, W., 1947, Toxicity of Streptomycin, Am. J. Med
Millett CR, Heymann WR, Manders SM. 2011. Pyodermas and toxin-mediated
syndromes. Dalam: Irvine AD, Hoeger PH, Yan AC. Harper's textbook of
pediatric dermatology. Edisi ke-3. England: Blackwell Publishing Ltd
Mogadham, S.O., Pourmand, S.R., Aminharati, F., 2014, Biofilm Formation and
Antimicrobial Resistance in Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
Isolated from Burn Patients, Iran, JIDC
Oktanauli P, Nuning F, Lidiawati. 2011. Efek Antimikroba Polifenol Teh Hijau
terhadapStreptococcus mutans.JITEKGI
Onwubiko, N.E., Sadiq, N.M., 2011, Antibiotic Sensitivity Pattern of
Staphylococcus aureus from Clinical Isolates in a Tertiary Health
Institution in Kano, Northwestern Nigeria, PAMJ
Otto, M., 2008, Staphylococcal Biofilms, Curr. Top., Microbiology. Immunology
Paraje, M.G. 2011. Antimicrobial resistane in biofilms. Science Against Microbial
Pathogens: Communicating Current Research and Technology. Formatex.
R. Yoganda dan Rakesh Bulugondha. 2012. An Overview on Mucoadhesive
Buccal Patches. Int J Universal Pharm and Life Sci
Ramadan, H.H., Sanclement, J.A., Thomas J.G., 2005, Chronic Rhinosinusitis and
Biofilms, Otolaryngol. Head Neck Surg
Rebiahi, S.A., Rahmoun, M., Seddiki, K., Kadi, K., Belhadji, F., Chabni, N.,
Kunkel, D., 2014, Infections Nosocomiales Causées par Staphylococcus
aureus Producteur de Biofilm Dans L’unité de Néonatologie de
L’établissement Hospitalier Spécialisé Mère-enfant de Tlemcen, Algérie,
J. de Pdiatrie. et de Puriculture
Rutherford, S.T.; Bassler, B.L. 2012. Bacterial quorum sensing: Its role in
virulence and possibilities for its control. Cold Spring Harb. Perspect.
Med.
Shravan, K. Y, et al. 2012. Comprehensive Review on Buccal Delivery.
International Journal of Pharmacy Vol 2(1)
Spillane, J.J., 1992. Komoditi Teh Peranannya Dalam Perekonomian
Indonesia.Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Sudano Roccaro, A.L.; Blanco, A.R.; Giuliano, F.; Rusciano, D.; Enea, V. 2004.
Epigallocatechin-gallate enhances the activity of tetracycline in

22
staphylococci by inhibiting its efflux from bacterial cells. Antimicrobial.
Agents Chemotherapy.
Taylor, P.W. 2013. Alternative natural sources for a new generation of
antibacterial agents. International. Journal. Antimicrobial. Agents
Taylor, P.W.; Hamilton-Miller, J.M.T.; Stapleton, P.D. 2005. Antimicrobial
properties of green tea catechins. Food Sci. Technol. Bull.
Voung QV, Golding JB, Nguyen M, Roach PD. 2010.Extraction and isolation of
catechins from tea. J Sep Sci
Yam, T.S.; Hamilton-Miller, J.M.T.; Shah, S. 1998. The effect of a component of
tea (Camellia sinensis) on methicillin resistance, PBP20 synthesis, and β-
lactamase production in Staphylococcus aureus. J. Antimicroba.
Chemotherapy .
Yoo, H.H., Park, J.H., Kwon, S.W., 2007. In vitro Cytotoxic Activity of Some
Korean Medicinal Plants on Human Cancer Cell Lines: Enhancement in
Cytotoxicity by Heat Processing

23

Anda mungkin juga menyukai