Oleh :
MUHAMMIDA FAHRIANA SYAHHAQ
201410330311024
Kelompok 1
ETLS 27.1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN 2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syok adalah kurangnya perfusi terhadap jaringan akibat tidak terpenuhinya
kebutuhan tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan massif kebutuhan
metabolik (konsumsi oksigen) atau penurunan pasokan metabolik (penghantaran
oksigen). Patofisiologi syok bervariasi sesuai dengan etiologinya dan mempunyai
gambaran klinis yang berbeda pula. Salah satu etiologi terjadinya syok adalah
reaksi anafilaksis.1
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik berat yang dapat
menyebabkan kematian dan terjadi secara tiba-tiba setelah terpapar oleh alergen
maupun pencetus yang lainnya. Anafilaksis melibatkan imunoglobulin E (IgE)
diperantarai reaksi hipersensitif yang dihasilkan dalam rilis mediator kimia ampuh
dari sel mast dan basofil sehingga berpengaruh pada sistem kardiovaskular,
pernapasan, dan gastrointestinal.1,6
Insiden terjadinya reaksi anafilaksis pada anak di Indonesia khususnya di
bali pada tahun 2005 sebanyak 0,02% (2 per 10.000), dan pada tahun 2006 sebanyak
0,04% (4 per 10.000).7 Sedangkan di Amerika Serikat kejadian anafilaksis pada
seluruh populasi yaitu sebesar 0,021% (21 per 100.000) dan 0,002%-nya
meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa syok anafilaktik merupakan keadaan
kegawatdaruratan pada anak.2,3,4
Penyebab dari syok anafilaktik bermacam-macam seperti obat-obatan,
makanan, seragga, latex, agen biologis, dan olahraga, sehingga pemberian
obatobatan dan makanan tertentu perlu diwaspadai utuk mencegah terjadinya syok
anafilaktik. Manifestasi klinis yang muncul pada reaksi anafilaktik dapat terjadi
beberapa detik maupun menit, baik lokal maupun sistemik. Bentuk reaksi ringan
dapat berupa urtikaria dan reaksi berat seperti respirasi distress atau syok. Jika
sudah terjadi respirasi distress dan syok, maka harus ditangani lebih cepat dengan
penatalaksanaan yang tepat dikarenakan anafilaksis merupakan reaksi alergi yang
dapat mengancam jiwa sehingga dapat menurunkan mortalitas.1,6 Oleh karena itu
pentingnya memahami dan mengetahui tentang syok anafilaktik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) tetapi justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan
dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).5
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator
kimia seperti sel mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem
kardiovaskuler yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang
menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi nafas, dan sistem
gastrointestinal.1,6
Syok anafilaktik disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan
syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi
mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat
menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan,
tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena
anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis
dengan gejala utama obstruksi saluran napas.1,6,7
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu: 1) Rapid
reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
alergen 2) Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar
dengan alergen 3) Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar
dengan alergen.1,7
2.2 Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi. Di Indonesia, khususnya di Bali,
angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus / 10.000 total pasien
anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun
2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.7 Anafilaksis dapat terjadi
pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih
sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden
lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak
dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.6
2.3 Etiologi
Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis
populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit
atopi. Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan
reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin lama interval
pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan
muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis
dari IgE spesifik seiring waktu.8,9
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan
pemberian adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal. 9 Faktor-
faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur
pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacangkacangan, biji-bijian,
buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu
reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik
khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,
vitamin B1, asam folat, dan lainlain. Media kontras intravena, transfusi darah,
latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.9,10
Tabel 2.1 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis Anafilaksis (melalui IgE)
2.7 Penatalaksanaan
Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa tahap,
yaitu :
1. Posisikan pasien
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi
dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Posisi terlentang dengan kaki lebih
tinggi mungkin membantu, kecuali pada kondisi terlarang, misalnya dispnea atau
emesis. Konsultasi dini dengan anestesi sangatlah dianjurkan.15
2. Penilaian airway, breathing, circulation
3. Pemberian epinephrine
Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat
penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun epinefrin
memiliki indeks terapeutik yang sempit (rasio risiko-manfaat), epinefrin
mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting dalam membalikan gejala
anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh darah perifer
meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi edema
mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis b1. Stimulasi
dari reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan pelepasan mediator
sel mast dan basofil.10,15
Secara historis, rute administrasi epinefrin subkutan administrasi
disarankan. Namun, penelitian telah menyimpulkan bahwa, baik anak-anak dan
orang dewasa, rute intramuskular lebih unggul dibandingkan rute subkutan dalam
mencapai kadar konsentrasi plasma puncak, lebih cepat dan kadarnya lebih tinggi.
Hal ini mungkin akibat penurunan perfusi kulit dalam upaya untuk
mempertahankan tekanan darah sistemik selama proses anafilaksis. Epinefrin
konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara intramuskular dengan dosis
0,01 mg / kg (0,01 ml / kg), dengan dosis maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika
dosis awal tidak efektif, mungkin harus diulang pada interval 5 hingga 15 menit.
Dosis dewasa dapat diberikan langsung 0,3-0,5 mg. Solusi 1:1000 tidak
diindikasikan untuk penggunaan intravena.10,15
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4
ug/menit. Paha anterolateral adalah tempat yang direkomendasikan untuk
dilakukannya injeksi.10,15
Epinefrin inhalasi sebaiknya tidak diberikan sebagai pengganti epinefrin
intramuskular dalam manajemen akut anafilaksis pada anak-anak. Peneliti
menetapkan bahwa anak-anak tidak efektif pada menghirup jumlah yang cukup dari
epinefrin menggunakan inhaler dosis terukur meskipun pelatihan ahli. Sebagai
alternatif untuk injeksi intramuskular, rute sublingual administrasi epinefrin-baru
ini telah diselidiki dengan menggunakan model kelinci. Meskipun hasil yang
menjanjikan, ada data yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan rutin
dalam pengobatan anafilaksis pada manusia. 10,15
Tabel 2.2 Dosis Adrenalin
Usia Dosis Adrenalin
Dewasa 500 mikrogram im (0,5 ml)
Anak lebih dari 12 tahun 500 mikrogram im (0,5 ml)
Anak 6-12 tahun 300 mikrogram im (0,3 ml)
Anak kurang dari 6 tahun 150 krogram im (0,15 ml)
Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin, resusitasi cairan
agresif, maka epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah dengan
solusi epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg), dengan dosis
maksimal 1 mg. Sebuah infus epinefrin terus menerus mungkin diperlukan untuk
mempertahankan tekanan darah. Jika hipotensi terus meskipun disebutkan di atas
intervensi, vasopresin atau vasopressor potensial lainnya (agonis a1) mungkin lebih
efektif. 10,15
4. Obat tambahan
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah
termasuk antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk
menyadari bahwa antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat
memblokir peristiwa yang terjadi setelah pengikatan reseptor histamin.
Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi telah dilaporkan lebih
efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada antihistamin
H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama, dapat diberikan
parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan anafilaksis. 10,15
Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis
awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.15