Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

ILMU KEDOKTERAN ANAK


SYOK ANAFILAKTIK

Oleh :
MUHAMMIDA FAHRIANA SYAHHAQ
201410330311024
Kelompok 1
ETLS 27.1

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN 2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syok adalah kurangnya perfusi terhadap jaringan akibat tidak terpenuhinya
kebutuhan tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan massif kebutuhan
metabolik (konsumsi oksigen) atau penurunan pasokan metabolik (penghantaran
oksigen). Patofisiologi syok bervariasi sesuai dengan etiologinya dan mempunyai
gambaran klinis yang berbeda pula. Salah satu etiologi terjadinya syok adalah
reaksi anafilaksis.1
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik berat yang dapat
menyebabkan kematian dan terjadi secara tiba-tiba setelah terpapar oleh alergen
maupun pencetus yang lainnya. Anafilaksis melibatkan imunoglobulin E (IgE)
diperantarai reaksi hipersensitif yang dihasilkan dalam rilis mediator kimia ampuh
dari sel mast dan basofil sehingga berpengaruh pada sistem kardiovaskular,
pernapasan, dan gastrointestinal.1,6
Insiden terjadinya reaksi anafilaksis pada anak di Indonesia khususnya di
bali pada tahun 2005 sebanyak 0,02% (2 per 10.000), dan pada tahun 2006 sebanyak
0,04% (4 per 10.000).7 Sedangkan di Amerika Serikat kejadian anafilaksis pada
seluruh populasi yaitu sebesar 0,021% (21 per 100.000) dan 0,002%-nya
meninggal dunia. Hal ini menunjukkan bahwa syok anafilaktik merupakan keadaan
kegawatdaruratan pada anak.2,3,4
Penyebab dari syok anafilaktik bermacam-macam seperti obat-obatan,
makanan, seragga, latex, agen biologis, dan olahraga, sehingga pemberian
obatobatan dan makanan tertentu perlu diwaspadai utuk mencegah terjadinya syok
anafilaktik. Manifestasi klinis yang muncul pada reaksi anafilaktik dapat terjadi
beberapa detik maupun menit, baik lokal maupun sistemik. Bentuk reaksi ringan
dapat berupa urtikaria dan reaksi berat seperti respirasi distress atau syok. Jika
sudah terjadi respirasi distress dan syok, maka harus ditangani lebih cepat dengan
penatalaksanaan yang tepat dikarenakan anafilaksis merupakan reaksi alergi yang
dapat mengancam jiwa sehingga dapat menurunkan mortalitas.1,6 Oleh karena itu
pentingnya memahami dan mengetahui tentang syok anafilaktik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) tetapi justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan
dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).5
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator
kimia seperti sel mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem
kardiovaskuler yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang
menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi nafas, dan sistem
gastrointestinal.1,6
Syok anafilaktik disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan
syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi
mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat
menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan,
tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena
anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis
dengan gejala utama obstruksi saluran napas.1,6,7
Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu: 1) Rapid
reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
alergen 2) Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar
dengan alergen 3) Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar
dengan alergen.1,7
2.2 Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi. Di Indonesia, khususnya di Bali,
angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus / 10.000 total pasien
anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun
2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.7 Anafilaksis dapat terjadi
pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih
sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden
lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak
dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.6

2.3 Etiologi
Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis
populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit
atopi. Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan
reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin lama interval
pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan
muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis
dari IgE spesifik seiring waktu.8,9
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan
pemberian adrenalin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal. 9 Faktor-
faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur
pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacangkacangan, biji-bijian,
buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu
reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik
khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,
vitamin B1, asam folat, dan lainlain. Media kontras intravena, transfusi darah,
latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.9,10
Tabel 2.1 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis Anafilaksis (melalui IgE)

Anafilaksis (melalui IgE)


Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
Ekstrak allergen (tawon, polen)
Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
Enzim (kemopapain, tripsin)
Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung
Obat (opiat, vankomisin, kurare)
Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah lainnya)
Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
Asam asetilsalisilat NSAIDs
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Jilid 1, Balai Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.

Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak


alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal,
makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan
derivatnya, basitrasin, neomisin, terasiklin, streptomisin, sulfonamid, dan lain-lain.
Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, atau serum ATS,
ADS dan anti bisa ular.10
Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan
dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein,
benzilpenisiloil-polilisin. Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain
atau lidokain. Bisa yang dapat menimbulkan anafilasik misalnya bisa ular, semut,
dan sengatan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan
kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan yang telah dikenal
sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang, kacangkacangan,
ikan, telur dan udang.10,11
2.4 Patofisiologi
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type
reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan
dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan
IgE pada sel mast, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi.
Reaksi ini terjadi melalui 2 fase: 8,9
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang sama dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.

Gambar 2.1 Patofisiologi Reaksi Anfilaksis 10


Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor
permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan basofil
menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP
kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula
kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat
pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler
ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah
katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya
aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-
mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder
dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan
berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat
yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk
keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.8,10,11
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang
sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan
memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang
di sebut dengan istilah preformed mediators.11,12
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators.
Fase efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik
pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi
mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF)
berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.12,13
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita.12
2.5 Gejala Klinis
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau
menit sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam
meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi
berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Gejala dapat terjadi segera setelah
terpapar dengan antigen, yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara
lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan
sistem saluran kencing. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah
rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.13,14
Gejala yang timbul pada organ ialah:
a) Kardiovaskuler
Dapat terjadi sentral maupun perifer. Gangguan pada sirkulasi perifer dapat
dilihat dari pucat dan ekstremitas dingin. Selain itu kurangnya pengisian vena
perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah. Dapat pula terjadi
tekanan darah rendah, vena perifer kolaps, CVP rendah, palpitasi, takikardi,
hipotensi, aritmia, penurunan volume efektif plasma, nadi cepat dan halus sampai
tidak teraba, renjatan, pingsan, pada EKG dapat ditemukan aritmia, T mendatar
atau terbalik, irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai asistol.
b) Respirasi
Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung,
batuk, sesak, mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai apnea,
kongesti hidung, edema dan hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas, bronkospasme,
hipersekresi mukus, wheezing dispnea, dan kegagalan pernafasan.
c) Gastrointestinal
Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual,
muntah, sakit perut, diare.
d) Kulit
Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.
e) Mata
Gatal, lakrimasi, merah, bengkak.
f) Susunan saraf pusat
Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma. g. Sistem saluran
kencing Produksi urin berkurang. 13,14
Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan
yang ireversibel. Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ.
Manifestasi klinik syok Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat
ringannya, yaitu sebagai berikut:
a) Ringan
1. Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.
2. Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata
berair.
3. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.8
b) Sedang
1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.
3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.8,9
c) Berat/parah
1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang
sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat ke
arah bronkospame, edema laring, dispnea berat dan sianosis.
2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.
3. Henti jantung dan koma jarang terjadi.8,9

2.6 Diagnosis Banding


1. Urtikaria
Urtikaria akut biasanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari
(kurang dari 6 minggu) dan umumnya penyebabnya dapat diketahui. Urtikaria
kronik, yaitu urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dan urtikaria
berulang biasanya tidak diketahui pencetusnya dan dapat berlangsung sampai
beberapa tahun.2
2. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien
tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi
anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.
Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya
tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. 1
3. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau
tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak
tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri
dada.1
4. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab
lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan
darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi
saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran
napas.1
5. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi,
atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara.
Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.1
6. Carsinoid syndrome
Pada sindrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala,
diare, serangan sesak napas seperti asma.1
7. Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada
beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1 gr, bila penggunaan
lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan
denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.2
8. Asma bronkial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas
yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti
debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.1
9. Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal
hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor
pencetus, mis. debu, terutama di udara dingin.dan hampir semua kasus asma
diawali dengan RA.1

2.7 Penatalaksanaan
Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa tahap,
yaitu :
1. Posisikan pasien
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi
dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Posisi terlentang dengan kaki lebih
tinggi mungkin membantu, kecuali pada kondisi terlarang, misalnya dispnea atau
emesis. Konsultasi dini dengan anestesi sangatlah dianjurkan.15
2. Penilaian airway, breathing, circulation
3. Pemberian epinephrine
Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat
penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun epinefrin
memiliki indeks terapeutik yang sempit (rasio risiko-manfaat), epinefrin
mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting dalam membalikan gejala
anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh darah perifer
meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi edema
mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis b1. Stimulasi
dari reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan pelepasan mediator
sel mast dan basofil.10,15
Secara historis, rute administrasi epinefrin subkutan administrasi
disarankan. Namun, penelitian telah menyimpulkan bahwa, baik anak-anak dan
orang dewasa, rute intramuskular lebih unggul dibandingkan rute subkutan dalam
mencapai kadar konsentrasi plasma puncak, lebih cepat dan kadarnya lebih tinggi.
Hal ini mungkin akibat penurunan perfusi kulit dalam upaya untuk
mempertahankan tekanan darah sistemik selama proses anafilaksis. Epinefrin
konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara intramuskular dengan dosis
0,01 mg / kg (0,01 ml / kg), dengan dosis maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika
dosis awal tidak efektif, mungkin harus diulang pada interval 5 hingga 15 menit.
Dosis dewasa dapat diberikan langsung 0,3-0,5 mg. Solusi 1:1000 tidak
diindikasikan untuk penggunaan intravena.10,15
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4
ug/menit. Paha anterolateral adalah tempat yang direkomendasikan untuk
dilakukannya injeksi.10,15
Epinefrin inhalasi sebaiknya tidak diberikan sebagai pengganti epinefrin
intramuskular dalam manajemen akut anafilaksis pada anak-anak. Peneliti
menetapkan bahwa anak-anak tidak efektif pada menghirup jumlah yang cukup dari
epinefrin menggunakan inhaler dosis terukur meskipun pelatihan ahli. Sebagai
alternatif untuk injeksi intramuskular, rute sublingual administrasi epinefrin-baru
ini telah diselidiki dengan menggunakan model kelinci. Meskipun hasil yang
menjanjikan, ada data yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan rutin
dalam pengobatan anafilaksis pada manusia. 10,15
Tabel 2.2 Dosis Adrenalin
Usia Dosis Adrenalin
Dewasa 500 mikrogram im (0,5 ml)
Anak lebih dari 12 tahun 500 mikrogram im (0,5 ml)
Anak 6-12 tahun 300 mikrogram im (0,3 ml)
Anak kurang dari 6 tahun 150 krogram im (0,15 ml)
Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin, resusitasi cairan
agresif, maka epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah dengan
solusi epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg), dengan dosis
maksimal 1 mg. Sebuah infus epinefrin terus menerus mungkin diperlukan untuk
mempertahankan tekanan darah. Jika hipotensi terus meskipun disebutkan di atas
intervensi, vasopresin atau vasopressor potensial lainnya (agonis a1) mungkin lebih
efektif. 10,15
4. Obat tambahan
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah
termasuk antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk
menyadari bahwa antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat
memblokir peristiwa yang terjadi setelah pengikatan reseptor histamin.
Administrasi antihistamin H1 dan H2 dalam kombinasi telah dilaporkan lebih
efektif dalam memperbaiki beberapa manifestasi anafilaksis daripada antihistamin
H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin H1 generasi pertama, dapat diberikan
parenteral dan paling sering digunakan dalam pengelolaan anafilaksis. 10,15
Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis
awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.15

Gambar 2.2 Algoritma penanganan syok anafilaktik 15


5. Resusitasi Jantung Paru
RJP dilakukan apabila terdapat tanda-tanda kagagalan sirkulasi dan
pernafasan. Untuk itu tidakan RJP yang dilakukan sama seperti pada umumnya. 10,15
Bilamana penderita akan dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih baik
fasilitasnya, maka sebaiknya penderita dalam keadaan stabil terlebih dahulu.
Sangatlah tidak bijaksana mengirim penderita syok anafilaksis yang belum stabil
penderita akan dengan mudah jatuh ke keadaan yang lebih buruk bahkan fatal. Saat
evakuasi, sebaiknya penderita dikawal oleh dokter dan perawat yang menguasai
penanganan kasus gawat darurat.10,15
Penderita yang tertolong dan telah stabil jangan terlalu cepat dipulangkan
karena kemungkinan terjadinya reaksi lambat anafilaksis. Sebaiknya penderita tetap
dimonitor paling tidak untuk 12-24 jam. Untuk keperluan monitoring yang kektat
dan kontinyu ini sebaiknya penderita dirawat di Unit Perawatan Intensif. 10,15
6. Pengamatan
Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang
mengalami reaksi anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan jarang
dapat terjadi pada 72 jam akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu untuk observasi
harus didasarkan pada keparahan dari reaksi awal, kecukupan pengawasan,
ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke perawatan medis. Banyak penulis
menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam, namun waktu pengamatan
hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien.10,15
BAB 3
KESIMPULAN
1.1 Kesimpulan
Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang
terjadi bila oxygen delivery (DO2) ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia
tidak mampu memenuhi kebutuhan oxygen consumtion (VO2). Syok anafilaktik
adalah suatu respons hipersensitivitas yang mengancam jiwa yang diperantarai oleh
IgE (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan COP dan tekanan arteri yang
menurun hebat.
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak
alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal,
makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Berbagai manifestasi klinis yang timbul
dalam reaksi yang muncul dalam reaksi anafilaktik pada umumnya disebabkan oleh
pelepasan mediator oleh mastosit/basofil baik yang timbul segera (yang timbul
dalam beberapa menit) maupun yang timbul belakangan (sesudah beberapa jam).
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau
menit sesudah terpajan alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam
meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi
berat, tetapi kadang-kadang langsung berat.
Penatalaksanaan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab
penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik
tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat
darurat serta dilakukan secepat mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson, Richard.E, et al.2002.Nelson Text Book of Pediatric.Philadelphia:
W.B Saunders Company. Page 797-799.
2. Bohlke K, Davis RL, et al.2004. Epidemiology Of Anaphylaxis Among
Children And Adolescents Enrolled In A Health Maintenance Organization.
Journal Allergy Clin Immunology. 113(3):536 – 542.
3. Yocum MW, Butterfield JH, et al. 1999.Epidemiology Of Anaphylaxis In
Olmsted County: A Population-Based Study.J Allergy Clin Immunol.104(2
Pt 1):452 – 456
4. Neugut AI, Ghatak AT,et al.2001. Anaphylaxis in the United States: an
investigation into its epidemiology. Arch Intern Med.161(1):15 – 21.
5. Steven E. 2000. The American Heritage Dictionary of the English
Language, Fourth Edition. copyright by Houghton Mifflin Company.
6. Simon, Ledit R, et al.2011.World Allergy Organization anaphylaxis
guidelines.J Allergy Clin Immunol.p ; 587-593
7. Mangku, G.2007. Diktat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar.Denpasar: FK UNUD.
8. Koury SI, Herfel LU . 2000. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In
:International edition Emergency Medicine.Eds
:Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto.pp
242-6
9. Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2001. Anaphylaxis in the United States,
An Investigation Into Its Epidemiology. Arch Intern Med. Page 161:15-21.
10. Johnson RF, Peebles RS. 2011. Anaphylactic Syok: Pathophysiology,
Recognition, and Treatment. Medscape. Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498_2 [8 September 2018]
11. Ewan, PW. 1998. Anaphylaxis. ABC of Allergies; BMJ. Vol 316. Hal
14421445
12. Suryana K. 2003. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi
Alergi Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS
Sanglah, Denpasar.
13. Rengganis Rengganis I. Rejatan Anafilaktik. Dalam : Sudoyo A ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th Ed. Jilid I. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, p: 190-193
14. Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2009. Imunologi Dasar. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna Publising, Jakarta.
15. Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et
al.2007. The Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of
the European academy of allergology and clinical immunology. Allergy.
2007;62:857-71

Anda mungkin juga menyukai