Anda di halaman 1dari 34

Responsi

IKTERUS NEONATORUM

Oleh :

Komang Satrya Wirawan (1302005231)

Pembimbing

dr. Ketut Ngurah Alit Widiada, Sp.A


dr. I Nyoman Suciawan, Sp.A

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUD SANJIWANI
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan responsi yang berjudul “Ikterus
Neonatorum” ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
tulisan ini, diantaranya :

1. dr. Putu Triyasa, Sp.A


2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis menerima segala kritik dan saran demi penyempurnaan tugas berikutnya.

Gianyar, Juni 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
2.1. Definisi ..................................................................................................... 3
2.2. Etiologi ..................................................................................................... 4
2.3. Metabolisme Bilirubin .............................................................................. 8
2.4. Diagnosis ................................................................................................ 10
2.4.1. Anamnesis ....................................................................................... 10
2.4.2. Pemeriksaan Fisis ............................................................................ 11
2.4.3. Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 13
2.5. Tatalaksana Ikterus Neonatorum ............................................................ 13
2.5.1. Fototerapi ........................................................................................ 16
2.5.2. Transfusi Tukar ............................................................................... 17
2.6. Pencegahan ............................................................................................. 19
RESPONSI KASUS .............................................................................................. 22
3.1. Identitas Pasien ....................................................................................... 22
3.2. Heteroanamnesis (Ibu kandung Pasien) ................................................. 22
3.3. Pemeriksaan Fisis ................................................................................... 24
3.4. Diagnosis Sementara .............................................................................. 24
3.5. Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 25
3.6. Diagnosis Kerja ...................................................................................... 25
3.7. Penatalaksanaan ...................................................................................... 25
PEMBAHASAN ................................................................................................... 26
4.1. Anamnesis dan Diagnosis ...................................................................... 26
4.2. Tatalaksana ............................................................................................. 27
SIMPULAN .......................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikterus pada neonatus terjadi akibat kondisi hiperbilirubinemia yakni
peningkatan kadar bilirubin darah. Hiperbilirubinemia ditandai dengan manifestasi
berupa warna kuning pada kulit neonatus dan merupakan hal yang umum terjadi
pada sebagian besar kelompok neonatus. Warna kuning tersebut merupakan hasil
akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi (indirek) pada kulit, namun juga dapat
disebabkan karena deposisi pigmen dari bilirubin terkonjugasi (direk) (Kliegman et
al. 2015).
Hiperbilirubinemia sering ditemukan baik pada bayi cukup bulan (50-70%)
maupun bayi prematur (80-90%). Sebagian besar hiperbilirubinemia adalah
fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari
bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan
terjadinya hiperbilirubinemia berat (IDAI 2011). Dari 2748 neonatus yang berasal
dari orang tua dengan ras asia, 235 (8,6%) diantaranya mengalami ikterus fisiologis.
Sedangkan kejaidan ikterus neonatorum pada neonatus dengan kedau orang tua dari
ras kulit putih hanya sebanyak 169 (6,1%) kasus (Setia et al. 2002).
Kondisi hiperbilirubinemia dapat disebabkan karena kondisi fisiologis
ataupun patologis. Pada kondisi ikterus fisiologis umumnya ikterus muncul pada
hari kedua sampai hari ketiga sejak neonatus dilahirkan dan menurun setelah hari
kelima. Ikterus fisiologis terjadi karena proses perkembangan yang terjadi dalam
tubuh neonatus antara lain, peningkatan produksi bilirubin, peningkatan sirkulasi
enterohepatik, defek serapan bilirubin oleh hati, dan penurunan ekskresi hepatik.
Sedangkan ikterus patologis menandakan adanya gangguan dalam sistem fisiologis
tubuh neonatus, antara lain ditandai dengan ikterus yang muncul sebelum usia 24
jam, bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum, penurunan
berat badan, apne, takipnu, instablilitas suhu), peningkatan bilirubin serum >5
mg/dL/24 jam , dan ikterus yang menetap > 2 minggu (IDAI 2011).
Faktor risiko terjadinya ikterus pada bayi hampir aterm dapat diperoleh dari
riwayat klinis. Faktor-faktor tersebut antara lain, usia gestasi 35-37 minggu,

1
polisitemia, persalinan yang dibantu oleh instrumen (vakum atau forsep), trauma
saat proses persalinan, ibu dengan diabetes, ras asia,inkompatibilitas golongan
darah, praktik menyusui yang kurang baik, atau adanya riwayat saudara kandung
dengan ikterus (Ali et al. 2012).
Serangkaian pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mendukung
diagnosis dan memantau kondisi neonatus. Bilirubin serum total untuk memantau
tingkat bilirubin tidak terkonjugasi dan terkonjugasi, darah lengkap dan apusan
darah tepi, Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk mencari penyakit hemolitik, dan
kadar enzim G6PD pada eritrosit. Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji
fungsi hati, pemeriksaan urin untuk mencari infeksi saluran kemih, serta
pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis, defek metabolik, atau
hipotiroid (IDAI 2011).
Peningkatan bilirubin indirek dapat memberikan dampak neurotoksik
karena bilirubin inderk larut dalam lemak sehingga dapat melewati sawar darah
otak dan akan menggangu fungsi sel-sel otak mulai dari nekrosis fokal dari neuron
dan glia yang berujung pada kondisi esepalopati bilirubin akut (kernicterus). Area
otak yang paling sering terkena dampak adalah basal ganglia dan nukleus batang
otak yang bertugs mengatur okulomotor dan auditori. (Rehan Ali). Walaupun
bilirubin direk merupakan jenis yang tidak neurotoksik, namun peningkatan
berlebih kadar bilirubin direk mengindikasikan kelainan hati yang serius atau
adanya penyakit sistemik (Kliegman et al. 2015).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Ikterus (jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah
(hiperbilirubinemia), sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus)
tampak kekuningan. Pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL
( > 86 µmol/L) sedangkan pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum
bilirubin > 2 mg/dL (> 17 µmol/L) (IDAI 2011).
Hiperbilirubinemia merupakan hal yang umum terjadi pada sebagian besar
kelompok neonatus. Warna kuning tersebut merupakan hasil akumulasi bilirubin
tidak terkonjugasi (indirek) pada kulit, namun juga dapat disebabkan karena
deposisi pigmen dari bilirubin terkonjugasi (direk). Bilirubin indirek merupakan
produk akhir dari proses katabolisme heme-protein dalam jaringan
retikuloendotelial, sedangkan bilirubin direk merupakan bilirubin indirek yang
telah mengalami konjugasi di dalam liver dengan bantuan enzim uridine
diphosphoglucuronic acid (UDP)–glucuronyl transferase (Kliegman et al. 2015)
Hiperbilirubinemia sering ditemukan baik pada bayi cukup bulan (50-70%)
maupun bayi prematur (80-90%). Sebagian besar hiperbilirubinemia adalah
fisiologis. Peningkatan bilirubin indirek dapat terjadinya karena proses fisologis
maupun patologis yang dapat memberikan dampak neurotoksik karena bilirubin
inderk larut dalam lemak sedangkan peningkatan bilirubin direk dapat
mengindikasikan kelainan hati atau adanya penyakit sistemik (Kliegman et al.
2015). Ikterus dapat ditemukan selama minggu pertama kehidupan setelah lahir.
Dari 2748 neonatus yang berasal dari orang tua dengan ras asia, 235 (8,6%)
diantaranya mengalami ikterus fisiologis. Sedangkan kejaidan ikterus neonatorum
pada neonatus dengan kedau orang tua dari ras kulit putih hanya sebanyak 169
(6,1%) kasus (Setia et al. 2002)

3
Gambar 2.1. Normogram Bhutani (J.M & Kendall 2013)

2.2. Etiologi
Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dapat disebabkan atau ditingkatkan
oleh berbagai faktor yang
1) Meningkatkan jumlah bilirubin yang harus dimetabolisme oleh liver
(anemia hemolitik, polisitemia, memar atau perdarahan internal,
pemendekan usia hidup eritrosit karena imaturias atau transfusi,
peningkatan sirkulasi enterohepatik, infeksi)
2) Merusak atau menurunkan aktivitas enzim transferase atau enzim
lain yang berhubungan (defisiensi genetik, hipoksia, infeksi,
defisiensi tiroid)
3) Adanya kompetisi atau blokade dari kerja enzim transferase (obat-
obatan dan senyawa lainnya yang membutuhkan konjugasi asam
glukoronik); atau
4) Menyebabkan absennya atau menurunnya jumlah enzim atau
menunnya serapan bilirubin oleh sel hati (defek genetik dan
prematuritas).

4
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor (Gomella n.d.; Bhutani et al. 2004).

Produksi yang berlebihan


Produksi bilirubin melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya
pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah
lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. Pada
breastfeeding jaundice terjadi produksi bilirubin berlebih karena produksi atau
intake ASI inadekuat dan rendahnya asupan kalori meningkatan waktu transit usus
yang menyebabkan peningkatan reabosrbsi bilirubin tidak terkonjugasi menuju
plasma melalui sirkulasi enterohepatik.

Gangguan dalam proses penyerapan dan konjugasi hepar


Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar).
Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting
dalam uptake bilirubin ke sel hepar. Selain itu, dikenal juga breast milk jaundice
yang disebabkan oleh substansi metabolit progesterone (pregnane-3-alpha 20 beta-
diol) pada ASI yang dapat menghambat uridine diphosphoglucuronictransferase
(UDPGT) yang bertugas dalam proses konjugasi bilirubin di hepatosit.

Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
tidak terkonjugasi yang larut dalam lemak dan bebas dalam darah yang mudah
bereaksi dengan sel otak.

Gangguan dalam ekskresi


Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan
di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

5
Dampak neurotoksik berhubungan secara langsung tidak saja dengan
permeabilitas sawar darah otak dan mebran sel saraf, tapi juga kerentanan neuron
terhadap kerusakan, yang semuanya diperburuk oleh adanya asfiksia, prematuritas,
hiperosmolaritas, dan infeksi. Makan awal menurun, sedangkan konsumsi ASI dan
dehidrasi meningkatkan kadar bilirubin serum. Keterlambatan pengeluaran
mekonium, yang mengandung 1 mg bilirubin/dL, dapat berkontribusi terhadap
kejadian ikterus melalui sistem sirkulasi enterohepatik setelah dekonjugasi bilirubin
oleh enzim glukoronidasi pada usus (Kliegman et al. 2015).

Gambar 2.2. Proses terjadinya resirkulasi bilirubin melalui sirkulasi enterohepatik


Produksi bilirubin neontal sebanyak 6-8 mg/kg/24 jam, sedangkan pada
dewasa sebanyak 3-4 mg/kg/24 jam. Bilirubin tidak terkonjugasi, yang tidak larut
dalam air, berikatan dengan albumin di dalam plasma. Pada antarmuka plasma-
hepatosit, karier membran liver (bilitranslokase) mentranspor bilirubin ke cytosolic
binding protein (ligandin atau Y protein, sekarang dikenal sebagai glutathione S-
transferase), yang mencegah penyerapan kembali bilirubin ke dalam plasma.
Selanjutnya bilirubin dikonversi menjadi bilirubin monoglucuronide (BMG). Pada
fetus, bilirubin terkonjugasi BMG dan bilirubin diglucuronide (BDG) yang larut
dalam air harus dikonjugasikan oleh β-glucuronidases jaringan untuk memfasilitasi
transfer plasental dari bilirubin tidak terkonjugasi melalui membran lipid plasenta.
Setalah lahir, glukuronidase intestinal atau yang terkandung dalam susu
berkontribusi dalam resirkulasi bilirubin melalui sirkulasi enterohepatik dan
memungkinkan terjadinya hiperbilirubinemia (Kliegman et al. 2015).

6
Berikut adalah 2 tipe ikterus
Ikterus Fisiologis
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada
hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis
tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit
neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya
fungsi hepar (IDAI 2011; J.M & Kendall 2013). Adapun tanda-tandanya sebagai
berikut:
1. Onset setelah 24 jam, memuncak pada 3-5 hari dan menurun setelah 7 hari.
2. Pada bayi neonatus cukup bulan, kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10
mg/dL. Ikterus fisiologis berlebihan adalah ketika bilirubin serum puncak antara
7-15 mg/dl.
3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5/dL per hari.
4. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg/dL.
5. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
6. Ikterus pada neonatus kurang bulan awitan lebih dini, puncak lebih lambat, kadar
puncak lebih tinggi dan menghilang sampai dengan 2 minggu.

Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Tingginya kadar
bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologis tersebut tidak selalu sama pada
tiap bayi (IDAI 2011). Adapun tanda-tandanya sebagai berikut:
1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan atau melebihi
12,5mg/dL pada neonatus kurang bulan.
3. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg/dL per hari.
4. Ikterus menetap lebih dari 8 hari pada bayi cukup bulan dan lebih dari 14 hari
pada bayi kurang bulan.
5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dL.
6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

7
2.3. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin diproduksi oleh sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir
katabolisme heme dan dibentuk melalui reaksi oksidasi-reduksi. Sekitar 75%
bilirubin berasal dari degradasi hemoglobin, tetapi regradasi myoglobin, sitokrom,
dan katalase juga berkontribusi terhadap pemnbentukan bilirubin.
Pada tahap oksidasi pertama, biliverdin dibentuk dari heme melalui kerja
dari heme oksigenase dengan melepas besi dan karbon monoksida. Besi selanjutnya
disimpan untuk penggunaan berikutnya sedangkan karbon monoksida diekskresi
melalui paru-paru. Selanjutnya, biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi
bilirubin yang bersifat hidrofobik. Karena sifatnya yang hidrofobik, bilirubin tidak
terkonjugasi berikatan dengan albumin selama di dalam plasma. Ikatan bilirubin
kepada albumin setelah lahir meningkat seiiring usia dan berkurang jika bayi sakit.
Keberadaan kompetitor endogen dan eksogen, seperti obat-obatan, juga
menurunkan afinitas albumin terhadap bilirubin. Sebagian kecil dari bilirubin tidak
terkonjugasi dalam serum merupakan bilirubin bebas yang tidak berikatan dengan
albumin dan bisa melintasi membran yang mengandung lipid, termasuk sawar darah
otak yang dapat menyebabkan neurotoksisitas. Pada masa fetal, bilirubin yang tidak
berikatan dengan albumin dapat melintasi plasenta dan diekskresi melalui
organisme maternal.
Saat mencapai hati, bilirubin ditranspor menuju sel hati dan berikatan
dengan ligandin. Penyerapan bilirubin ke dalam hepatosit meningkat seiiring
peningkatan konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin masih rendah saat lahir
tetapi meningkat dengan cepat pada beberapa minggu awal kehidupan dan
konsentrasi ligandin dapat ditingkatkan dengan pemberian agen farmakologis
seperti fenobarbital. Selanjutnya bilirubin berikatan dengan asam glukoronic
(tekonjugasi) di dalam endoplasmik retikulum hepatosit melalui reaksi yang
dikatalisasi oleh uridine diphosphoglucuronyltransferase (UDPGT) (WR Hansen
2016).

8
Gambar 2.3. Metabolisme bilirubin pada neonatus
Monokonjugat akan terbentuk lebih awal dan mendominasi pada bayi baru
lahir sedangkan Dikonjugat dibentuk pada membran sel dan membutuhkan
ketersediaan tetramer UDPGT. Aktivitas UDPGT masih rendah saat lahir, namun
meningkat menuju kadar dewasa pada usia 4-8 minggu dan beberapa obat-obatan
(fenobarbital, deksametason, clofibrat) dapat diberikan untuk meingkatkan
aktivitas UDPGT.
Konjugasi bilirubin merupakan proses kritikal karena proses tersebut
mentransformasi molekul bilirubin yang tidak larut dalam air menjadi molekul yang
larut dalam air sehingga bilirubin yang terkonjugasi dapat diekskresikan melalui
empedu. Setelah bilirubin diekskresikan ke dalam empedu dan dialirkan menuju
usus, bilirubin akan direduksi menjadi tetrapyrroles tidak berwarna oleh mikroba
di dalam kolon. Selain proses reduksi bilirubin oleh mikroba, juga akan terjadi
beberapa proses dekonjugasi di bagian proksimal usus halus melalui aktivitas enzim
B-glucuronidase pada brush border. Bilirubin yang tidak terkonjugasi ini dapat
direabsorbsi ke dalam sirkulasi dan meingkatkan jumlah total bilirubin plasma.
Siklus mulai dari penyerapan, konjugasi, ekskresi dekonjugasi, dan reabsorpsi

9
dinamakan sirkulasi enterohepatik. Proses ini mungkin akan terjadi secara luas pada
neonatus, sebagian karena asupan nutrisi neonatus terbatas pada bebrapa hari awal
kehidupan sehingga memperpanjang waktu transit usus.
Pada ibu yang mengalami kesulitan dalam memberikan ASI, serta
pemberian cairan dan nutrisi yang tidak adekuat untuk bayi sering menyebabkan
kehilangan berat badan post natal pada bayi. Bayi dengan kondisi tersebut memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami ikterus melalui peningkatan sirkulasi
enterohepatik dan kejadian seperti ini biasa disebut sebagai breastfeeding jaundice.
Faktor tertentu yang ada dalam ASI dapat berkontribusi dalam meingkatkan
sirkulasi enterohepatik dari bilirubin. Kondisi ini disebut sebagai breast milk
jaundice. β-glucuronidase memainkan peran dalam melepaskan bilirubin dari
ikatannya dengan asam glukoronik yang menjadikannya dapat direabsorpsi.
Meskipun iketrus neonatorum merupakan kondisi transisional dari banyak
bayi, beberapa kondisi dapat lebih menonjol. Inkompatibilitas golongan darah
dapat meningkatkan produksi bilirubin melalui peningkatan hemolisis. Kelainan
hemolisis nonimun (spherocytosis, defisiensi G-6-PD) juga dapat meningkatkan
kejadian ikterus (WR Hansen 2016).

2.4. Diagnosis
Ikterus menyebar secara sepalokaudal, dimulai dari wajah dan sklera yang
mulai nampak kuning jika kadar bilirubin 6-8 mg/dL (103 to 137 μmol/L).
Penyebaran ini lalu berlanjut ke seluruh tubuh termasuk tangan dan kaki jika kadar
bilirubin 12 to 13 mg/dL (205 to 222 μmol/L) (Ali et al. 2012).

2.4.1. Anamnesis
1. Riwayat keluarga (IDAI 2011)
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi
glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD)
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia,
penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice

10
2. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau
toksoplasma, riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM,
gawat janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal).
3. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada
bayi dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
4. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau
hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan
intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia
neonatal dan peningkatan bilirubin.
2.4.2. Pemeriksaan Fisis
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir,
bergantung etiologi penyebab dari ikterus tersebut. Ikterus dapat dideteksi secara
klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah dilakukan penekanan
menggunakan jari dengan menggunakan cahaya matahari dan dinilai menggunakan
skor kramer (Kramer 1969).
Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal (wajah ≈ 5
mg/dL; abdomen ≈ 15 mg/dL; telapak kaki, ≈ 20 mg/dL). Walaupun demikian
inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang andal untuk memprediksi kadar
bilirubin serum. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan
warna kulit dan jaringan subkutan. Hari 1, tekan pada ujung hidung atau dahi. Hari
2, tekan pada lengan atau tungkai. Hari 3 dan seterusnya, tekan pada tangan dan
kaki. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat
dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut (Madam et al. n.d.; Cooper et al.
2003).

11
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus
obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning
kotor. Penentuan kadar bilirubin bisa dilakukan dengan cara Kramer sesuai gambar
dan tabel berikut (Buonocore et al. 2012).

Gambar 2.4. Pembagian ikterus menurut Kramer (Kramer 1969)

Tabel 2.1. Hubungan kadar bilirubin dengan daerah ikterus (Kramer 1969)
Kadar bilirubin

Kramer Daerah Ikterus (mg/dL)

Prematur Aterm

1 Kepala dan leher 4–8 4–8


2 Dada sampai pusat 5 – 12 5 – 12
3 Pusat bagian bawah sampai lutut 7 – 15 8 – 16
4 Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu 9 – 18 11 – 18
sampai pergelangan tangan
5 Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan > 10 > 15
telapak tangan

12
2.4.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total, direk, dan indirek) harus
dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Kadar total serum bilirubin pada
bayi lahir cukup bulan umumnya mencapai konsentrasi puncaknya yakni 5-6 mg/dL
pada 72-96 jam pertama kehidupan dan tidak melebihi 17-18 mg/dL. Konsentrasi
puncak pada bayi dengan usia gestasi 35-37 minggu akan dicapai pada 7 hari
pertama kehidupan. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan
fototerapi sesegera mungkin, jangan menunda fototerapi dengan menunggu hasil
pemeriksaan kadar serum bilirubin (Cooper et al. 2003; Madam et al. n.d.).
Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya
valid untuk kadar bilirubin total <15 mg/dL (<257µmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada
kasus ikterus yang sedang mendapat fototerapi (Madam et al. n.d.; M.J et al. 2004).
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk mengevaluasi dan
menentukan penyebab ikterus antara lain (IDAI 2011) :
1. Golongan darah dan Coombs test
2. Darah lengkap dan hapusan darah
3. Hitung retikulosit, skrining G6PD
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur
untuk menentukan pilihan terapi (Cooper et al. 2003; Madam et al. n.d.).

2.5. Tatalaksana Ikterus Neonatorum


Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengontrol kadar bilirubin serum agar tidak mencapai nilai yang patologis
sehingga dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati
penyebab langsung ikterus. Kadar bilirubin serum total dapat dikurangi (atau
dicegah agar tidak meningkat) dengan beberapa cara (Buonocore et al. 2012).
1) Transfusi tukar yang berguna untuk menghilangkan secara mekanis
2) Fototerapi yang dapat mengubah bilirubin menjadi senyawa yang dapat
melewati proses konjugasi di hati dan diekskresikan ke dalam empedu tanpa
memerlukan metabolisme lagi

13
3) Terapi farmakologis yang mengeintervensi degradasi heme dan produksi
bilirubin, mempercepat proses metabolik normal bilirubin atau menghambat
sirkulasi enterohepatik
Tata laksana bayi dengan breastfeeding jaundice meliputi (IDAI 2011):
- Pemberian ASI sejak lahir minimal 8 kali sehari dan pantau kecukupan ASI
(tidak diperlukan pemberian air putih, air gula, dan formula pengganti)
- Pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi buang air kecil dan buang
air besar
- Jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, perlu dilakukan penambahan
volume cairan dan stimulasi produksi ASI dengan melakukan pemerasan
payudara.
- Pemeriksaan komponen ASI dilakukan bila hiperbilirubinemia menetap >6
hari, kadar bilirubin >20 mg/dL, atau riwayat terjadi breastfeeding jaundice
pada anak sebelumnya.

Terdapat dua pilihan tata laksana untuk bayi dengan breastmilk jaundice.
Kedua pilihan ini beserta untung-ruginya harus dijelaskan secara lengkap kepada
orangtua dan orangtua dilibatkan dalam mengambil keputusan (IDAI 2011).
1. American Academy of Pediatrics tidak menganjurkan penghentian ASI dan
merekomendasikan agar ASI terus diberikan.
2. Gartner dan Aurbach menyarankan penghentian ASI sementara untuk
memberi kesempatan hati mengkonjugasi bilirubin indirek yang berlebihan.
Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian ASI dilanjutkan sampai
24 jam dan dilakukan pengukuran kadar bilirubin tiap 6 jam. Bila kadar
bilirubin tetap meningkat setelah penghentian ASI selama 24 jam, maka jelas
penyebabnya bukan karena ASI. Air susu ibu kembali diberikan sambil
mencari penyebab hiperbilirubinemia yang lain. Jadi penghentian ASI untuk
sementara adalah untuk menegakkan diagnosis.
Panduan fototerapi untuk bayi dengan breastfeeding jaundice dan breastmilk
jaundice mengacu pada gambar 2.5.

14
Tabel 2.2. Penatalaksnaan ikterus bayi dengan usia gestasi ≥ 35 minggu
berdasarkan kadar serum bilirubin (American Academy Of Pediatrics 2004).
Indikasi fototerapi Indikasi transfusi tukar
Bilirubin serum total (mg/dL) Bilirubin serum total (mg/dL)

Usia
Risiko Risiko

Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi

0-24 jam 7-12 5-10 4-8 16-19 14-17 12-15

25-48 jam 12-15 10-13 8-12 19-22 17-19 15-17

49-72 jam 15-18 13-15 12-13 22-24 19-22 17-19

73-96 jam 18-20 15-17 13-14 24-25 22 19

Risiko rendah adalah bayi dengan usia gestasi ≥ 38 minggu dengan kondisi sehat.
Risiko sedang adalah bayi dengan ≥ 38 minggu disertai faktor risiko atau bayi
dengan usia gestasi 35-37 minggu dengan kondisi sehat. Risiko tinggi dialami oleh
bayi dengan getsasi 35-37 minggu disertai faktor risiko. Faktor risiko merupakan
risiko untuk terjadinya neurotoksisitas, yakni penyakit hemolisis isoimun,
defiseinsi G6PD, asfiksia, letargi yang signifikan, instabilitias temperatur, sepsis,
asisdosis, atau albumin < 3.0 g/dL (jika dilakukan pengukuran) (American
Academy Of Pediatrics 2004).

Tabel 2.3. Panduan tata laksana ikterus untuk bayi prematur berdasarkan kadar
serum bilirubin (IDAI 2011)
Indikasi fototerapi Indikasi transfusi tukar
Berat
Bilirubin serum total (mg/dL) Bilirubin serum total (mg/dL)
<1000 g Dimulai dalam 24 jam pertama 10-12
1000-1500 g 7-9 12-15
1500-2000 g 10-12 15-18
2000-2500 g 13-15 18-20

15
2.5.1. Fototerapi
Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi
senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk
isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke
dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan
bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus
meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus (American
Academy Of Pediatrics 2004).
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat
seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-
ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup, selama penyinaran kadar
bilirubin dan hemoglobin bayi dipantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila
kadar bilirubin total 13-14 mg/dL (American Academy Of Pediatrics 2004;
Ebbesen et al. 2003).

Gambar 2.5. Panduan fototerapi untuk bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu
(AAP)
Keterangan (American Academy Of Pediatrics 2004):
- Bilirubin yang digunakan adalah bilirubin serum total. Jangan menggunakan
nilai bilirubin tak terkonjugasi ataupun bilirubin terkonjugasi.
- Faktor risiko: penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi,
instabilitas suhu, sepsis, asidosis, atau albumin <3 g/dL

16
- Untuk bayi dengan usia gestasi 35-37 6/7 minggu, digunakan kurva risiko
medium (medium risk). Untuk bayi dengan usia gestasi mendekati 35 minggu,
dapat dipertimbangkan untuk mengintervensi pada kadar bilirubin serum total
yang lebih rendah dari cut-off point, sedangkan untuk bayi dengan usia gestasi
mendekati 37 6/7 minggu dapat dipertimbangkan untuk mengintervensi pada
kadar bilirubin serum total yang lebih tinggi dari cut-off point.
- Pada kadar bilirubin serum total lebih rendah 2-3 mg/dL dari cut-off point, dapat
dipertimbangkan fototerapi konvensional di rumah. Namun, fototerapi di rumah
tidak boleh dilakukan pada bayi yang memiliki faktor risiko.
Kecepatan penurunan bergantung pada efektivitas fototerapi dan penyebab
yang mendasari ikterus. Dengan fototerapi intensif, penurunan awal dapat mencapai
0,5 sampai 1,0 mg/ dl/ jam pada 4 sampai 8 jam pertama, kemudian menjadi lebih
lambat. Dengan fototerapi standar, penurunan yang diharapkan adalah 6% sampai
20% dari kadar bilirubin awal pada 24 jam pertama (American Academy Of
Pediatrics 2004; Ebbesen et al. 2003).
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping fototerapi. Beberapa efek samping yang perlu
diperhatikan antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan
minum, letargi, dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan
kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya
diperbaiki (American Academy Of Pediatrics 2004; Ebbesen et al. 2003).

2.5.2. Transfusi Tukar


Transfusi tukar dilakukan setelah fototerapi intensif gagal untuk
menurunkan kadar bilirubin hingga kadar yang aman atau risiko terjadinya kern
ikterus lebih besar dari risiko dilakukannya prosedur transfusi tukar (Buonocore et
al. 2012). Kegagalan fototerapi intensif terjadi ketika kadar bilirubin serum toal
tidak menurun 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam dari permulaan fototerapi (Ali et al. 2012).
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat dengan cepat menurunkan
bilirubin indirek dalam tubuh dan juga bermanfaat mengganti eritrosit yang telah
mengalami hemolisis serta membuang antibodi yang menimbulkan hemolisis.
Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan
komplikasinya yang mungkin timbul perlu diperhatikan. Kriteria melakukan

17
transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin
terhadap albumin (Tabel 2.4) (Buonocore et al. 2012).

Gambar 2.6. Panduan transfusi tukar untuk bayi dengan usia gestasi ≥35 minggu
(AAP)

Tabel 2.4. Kriteria transfusi tukar pada bayi berat lahir rendah berdasarkan serum
bilirubin and rasio bilirubin:albumin (Buonocore et al. 2012)

< 1250 g 1250–1499 g 1500–1999 g 2000–2499 g


Risiko Standar
Bilirubin total
13 (222) 15 (257) 17 (291) 18 (308)
mg/dL (μmol/L)
Rasio B/A mg/g
5.2 (0.61) 6.0 (0.71) 6.8 (0.80) 7.2 (0.85)
(μmol/μmol)
Risiko Tinggi*
Bilirubin total
10 (171) 13 (222) 15 (257) 17 (291)
mg/dL (μmol/L)
Rasio B/A mg/g
4.0 (0.47) 5.2 (0.61) 6.0 (0.71) 6.8 (0.80)
(μmol/μmol)

*Faktor risiko (Buonocore et al. 2012)


1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
3. pH < 7,15 selama 1 jam
4. Suhu rektal≤35OC.
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti.

18
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis.
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi≤1000 g

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang
akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah
ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positif. Pada keadaan
lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah
yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat
dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Jumlah darah yang
dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB (Ramasethu 2015).
Jenis Transfusi Tukar (Ramasethu 2015):
1. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan
dapat mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %
mengganti Hb bayi.
2. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65% Hb bayi.
3. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada
kasus polisitemia atau darah pada anemia
Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang dilengkapi
peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang dapat
mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya
komplikasi transfusi tukar seperti gagal jantung, hipoglikemia metabolik,
hiperkalemia, hipokalsemia, toksisitas sitrat, emboli udara, dan trombositopenia
(Ramasethu 2015; American Academy Of Pediatrics 2004).
2.6. Pencegahan
Berikut merupakan beberapa langkah skrining dan pencegahan terjadinya
hiperbilirubinemia pada neonatus (IDAI 2011)
- Evaluasi setiap bayi baru lahir dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan
memeriksa kadar bilirubin serum total lalu diplot pada normogram
(gambar2.6) atau pengkajian terhadap faktor risiko secara klinis (tabel 2.5).

19
- Saat ini tersedia alat noninvasif untuk memperkirakan kadar bilirubin pada
kulit dan jaringan subkutan, yaitu transcutaneus bilirubinometer. Hasil
pemeriksaan transcutaneus bilirubinometer dipengaruhi oleh usia gestasi,
keadaan sakit, edema, dan pigmentasi kulit serta membutuhkan nomogram
tersendiri. Belum ada studi yang mempelajari apakah bilirubin serum atau
bilirubin kulit yang lebih akurat untuk menggambarkan deposisi bilirubin
pada susunan saraf pusat.
- Setiap ibu hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah dan faktor
Rhesus.

Gambar 2.6. Normogram untuk menentukan risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat


pada bayi usia gestasi ≥36 minggu berdasarkan kadar bilirubin serum total dan usia (IDAI
2011)

20
Tabel 2.5. Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat pada bayi usia gestasi
≥35 minggu (IDAI 2011)
Faktor risiko mayor
Kadar bilirubin serum total sebelum dipulangkan berada pada zona risiko
tinggi (lihat gambar 2.6)
Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
Inkompatibilitas golongan darah dengan uji antiglobulin direk positif atau
penyakit hemolitik lain (misalnya, defisiensi G6PD)
Usia gestasi 35-36 minggu
Riwayat saudara kandung mendapat fototerapi
Sefalhematom atau memar luas
ASI eksklusif, terutama bila asupan tidak adekuat dan terdapat penurunan
berat badan berlebih
Ras Asia Timur
Faktor risiko minor
Kadar bilirubin serum total sebelum dipulangkan berada pada zona risiko
tinggi sedang
Usia gestasi 37-38 minggu
Ikterus terjadi sebelum dipulangkan
Riwayat saudara kandung dengan ikterus
Bayi makrosomia dari ibu DM

21
BAB III
RESPONSI KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : By. SUA
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 1 Juni 2018
Umur : 0 bulan 10 hari
Alamat : Desa Pejeng Kargin, Tampak Siring, Gianyar
Agama : Hindu
Nomor RM : 624663
Tanggal MRS : 6 Juni 2018

3.2. Heteroanamnesis (Ibu pasien)


Keluhan Utama:
Bayi Kuning
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Tumbuh Kembang RSUD Sanjiwani, Gianyar pada
tanggal 6 Juni 2018, diantar oleh kedua orangtua nya dengan keluhan tubuh kuning.
Keluhan tubuh kuning dikatakan menetap selama lima hari. Dikatakan keluhan
tubuh kuning disertai dengan mata berwarna kuning, pipis yang berwarna kuning
pekat dan juga disertai dengan BAB yang berwarna kehitaman. Pasien juga tetap
dikatakan menangis walaupun sudah diberi ASI. Dikatakan sejak tubuh pasien
kuning, konsumsi ASI pasien berkurang sejak 4 hari yang lalu. Dikatakan dalam
sehari diberikan ASI sebanyak 3-5 kali dengan lama hisap nya kurang dari 1 menit.
Dikatakan selama diberikan ASI, pasien tidak muntah ataupun demam namun
pasien terus-menerus menangis terutama setelah diberikan ASI.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien tidak memiliki riwayat terkena penyakit.
Riwayat Pengobatan:
Pasien langsung dirawat diruang Perinatologi RSUD Sanjiwani, Gianyar
Riwayat Keluarga/ Sosial

22
Pasien merupakan anak kedua. Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit
seperti ini sebelumnya. Riwayat penyakit kronis juga disangkal oleh keluarga
pasien.
Riwayat Kehamilan
Kehamilan saat mengandung pasien adalah kehamilan kedua ibu pasien.
Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara spontan, cukup bulan (40 minggu), segera menangis,
ditolong oleh dokter di RSUD Sanjiwani, Gianyar. Berat badan lahir (BBLR) 2900
gram, panjang badan 50 cm dan lingkar kepala 32 cm. Pasien lahir tanpa adanya
kelainan bawaan.
Riwayat Imunisasi
Pasien baru menerima imunisasi hepatitits B segera setelah lahir

Riwayat Nutrisi
ASI : sejak lahir, frekuensi on demand
Susu formula :-
Bubur susu :-
Nasi Tim :-
Makanan dewasa :-

Riwayat Tumbuh Kembang


Menegakkan kepala : belum
Membalikkan badan : belum
Duduk : belum
Berdiri : belum
Berjalan : belum
Bicara : belum

23
3.3. Pemeriksaan Fisis
Status Present
Kesan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : GCS E3V3M3
Nadi : 128 kali/menit, reguler, isi cukup.
Respiration Rate : 36 kali/menit (reguler).
tax : 36,4°C
Berat Badan : 2,9 kg
Panjang Badan : 49 cm
Lingkar Kepala : 32 cm

Status general
Kepala : Normocephali, ubun-ubun besar terbuka datar, cephal
hematome (-), wajah dismorfik (-)
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
THT : Napas cuping hidung (-), sianosis (-), hiperemia faring (-)
Leher : Kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah bening (-),
Thorax : Simetris (+), retraksi (+)
Cor : S1S2 normal, reguler, murmur (-)
Pulmo : Bronkovesikular +/+, Rales -/-, wheezing-/-,
Abdomen : Distensi (-), bising usus (+) normal
Extremitas : Akral hangat (+), sianosis (-), edema (-), capillary refill time
< 2 detik, plantar creases faint red marks
Kulit : Ikterus kramer V
Genitalia Eksterna : Perempuan, Anus (+)

3.4. Diagnosis Sementara


Neonatal Jaundice from other specified cause + Bacterial Infection +
Feeding problem of newborn unspecified

24
3.5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah lengkap dan bilirubin serum


Tabel 3.1. Pemeriksaan Darah Lengkap (9 Juni 2018)
Parameter Hasil Nilai Rujukan Interpretasi
WBC 15,6 4,0-10,0 Meningkat
 LY% 53,8 20,-40,0 Meningkat
 MID% 13,7 3,0-9,0 Meningkat
 GRA% 32,5 50,0-70,0

RBC 3,88 3,50-5.50


HGB 13,9 11.0-16.0
HCT 39,7 37.0-54.0
MCV 102,4 82.0-95.0 Meningkat
MCH 35,8 27.0-31.0 Meningkat
MCHC 35,0 32,0-36,0
RDW 15,6 11.5-14.5 Meningkat
PLT 396 150-450

Tabel 3.2. Pemeriksaan Bilirubin serum (9 Juni 2018)


Parameter Hasil Nilai Normal
Bilirubin Total 8,69 mg/dL 1,00 – 1,2
Bilirubin Direk 0,36 mg/dL <0,2
Bilirubin Indirek 6,33 mg/dL <0,75

3.6. Diagnosis Kerja


Ikterus Neonatorum ec Breast Feeding Jaundice
3.7. Penatalaksanaan
1. IVFD Tridex 100 -8 lpm mikro
2. Cefotaxim 2x150 mg iv
3. ASI personde (15 cc tiap 2 jam)
4. Fototerapi

25
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Anamnesis dan Diagnosis


Pasien bayi perempuan dikeluhkan orangtua nya mengalami kuning sejak 5
hari pasca dilahirkan (1 Juni 2018). Kuning disadari oleh ibu pasien pertama kali
muncul pada pagi hari dan sudah terlihat di seluruh badan. Setelah lahir ibu pasien
sempat memberikan ASI selama 5 hari. Keluhan kuning tidak disertai dengan
keluhan lain, seperti muntah dan demam.
Dari anamnesis tersebut didapatkan pasien mengalami gejala kuning pada
seluruh badan, yang mengarahkan kecurigaan pada kondisi ikterus neonatorum
(hiperbilirubinemia). Dari pemeriksaan fisik, inspeksi secara umum tubuh pasien
ditemukan kuning dan palpasi dilakukan penekanan pada dada warna kuning
terlihat semakin jelas. Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mendukung data klinis yang sudah
diperoleh. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan konsentrasi bilirubin serum
total 8,69 mg/dL, bilirubin direk 0,36 mg/dL, dan bilirubin indirek 8,33 mg/dL
sehingga pasien didiagnosis hiperbilirubinemi dengan penilaian kramer untuk bayi
ini didapatkan skor kramer V.
Ikterus dapat diklasifikasikan menjadi ikterus fisiologis dan patologis.
Gejala ikterus fisiologis biasanya muncul yang ditandai dengan kulit kuning pada
hari pertama hingga hari kedua kehidupan yang dimulai dari wajah dan dapat
menyebar hingga ke lengan atas, dada, dan sebagian perut. Gejala kuning ini tidak
disertai dengan adanya gejala demam, perdarahan, feses dempul atau tampak pucat
yang menandakan adanya kondisi patologis pada bayi. Dari pemeriksaan bilirubin
serum didapatkan kadar bilirubin indirek berkisar antara 6-8 mg/dL. Gejala kuning
ini akan hilang dengan sendirinya pada hari kelima hingga ketujuh.(IDAI 2011)
Penyebab dari gejala kuning pada pasien ini dicurigai karena
hiperbilirubinemia yang disebabkan karena kurangnya asupan ASI saat awal
kehidupan yang meningkatkan kadar bilirubin indirek pada darah. Kondisi ini biasa
disebut dengan breast feeding jaundice.
Pasien lahir cukup bulan dengan usia gestasi 40 minggu dengan jenis
kelamin perempuan serta berat badan lahir 2900 gram dan panjang badan lahir

26
49cm. Pasien dilahirkan dengan cara spontan. Pasien didiagnosis Ikterus
Neonatorum ec Breast Feeding Jaundice.
4.2. Tatalaksana
Kadar bilirubin serum total dapat dikurangi (atau dicegah agar tidak
meningkat) dengan beberapa cara agar tidak mencapai tingkat yang patologis, yaitu
transfusi tukar, fototerapi, dan terapi farmakologis. Pada ikterus neonatorum, kadar
bilirubin indirek mengalami peningkatan yang signifikan sehingga terapi berfokus
untuk menurunkan atau menghilangkan kadar bilirubin dalam sirkulasi dan
jaringan.
Fototerapi bekerja dengan mengubah bilirubin menjadi senyawa isomer.
Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar
ke dalam saluran empedu sehingga memudahkan ekskresi bilirubin. Transfusi tukar
dilakukan setelah fototerapi intensif gagal untuk menurunkan kadar bilirubin
hingga kadar yang aman. Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat
dengan cepat menurunkan bilirubin indirek dalam tubuh dan juga bermanfaat
mengganti eritrosit yang telah mengalami hemolisis serta membuang antibodi yang
menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi
efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu diperhatikan.
Terapi farmakologis dapat mempercepat klirens bilirubin, menghambat
sirkulasi enterohepatik, dan menghambat pembentukan bilirubin. Sekarang ini,
hanya terdapat intravenous immunoglobulin (IVIG) sebagai terapi farmakologis
standar untuk pengobatan hiperbilirubinemia IVIG dapat diberikan dengan dosis
500 mg/kg diberikan dalam 2-3 jam dan dapat diulang dalam 12 jam jika perlu
(Buonocore et al. 2012).
Pada pasien ini didapatkan kadar bilirubin serum total 8,69 mg/dL dan
bilirubin indirek 8,33 mg/dL yang menandakan peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi di dalam plasma. Setelah pemeriksaan bilirubin serum, pasien
diberikan fototerapi pada usia 3 hari untuk membantu mengurangi kadar bilirubin
plasma. Fototerapi pada bayi sesuai dengan panduan terapi hiperbilirubinemia yang
dikeluarkan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan untuk bayi
dengan usia gestasi kurang bulan disertai faktor risiko diberikan fototerapi jika

27
didapatkan kadar bilirubin >10 mg/dL pada 24 jam pertama. Pasien mendapatkan
fototerapi selama 3 hari, mulai dari 6 Juni 2018 sampai 9 Juni 2018.

28
BAB V
SIMPULAN

Ikterus neonatorum merupakan ikterus (jaundice) yang timbul akibat


adanya hiperbilirubinemia pada minggu awal kehidupan yang dilihat pada hasil
laboratorium. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (indirek) pada neonatus cukup
bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu berangsur turun,
sedangkan kadar bilirubin indirek pada bayi prematur memiliki kadar puncak lebih
tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang.
Ikterus pada neonatus dapat bersifat fisiologis dan patologis. Ikterus
fisiologis adalah ikterus yang mulai muncul dari hari kedua dan ketiga serta tidak
mempunyai dasar patologis pada bayi yang dapat ditelusuri melalui riwayat
kesehatan dan pemeriksaan lainnya. Ikterus neonatorum didiagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
ditanyakan riwayat ikterus pada anak sebelumnya, riwayat keluarga anemia dan
pembesaran hati dan limpa, riwayat penggunaan obat selama ibu hamil, riwayat
infeksi maternal, riwayat trauma persalinan, asfiksia. Sementara pemeriksaan fisik
meliputi umum : keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll),
serta khusus : dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan
dilakukan pada pencahayaan yang memadai.
Rencana penatalaksanaan bayi baru lahir dengan ikterus neonatorum
meliputi pencegahan, menelusuri penyebab, dan rencana terapi mengunakan
farmakologi, fototerapi atau transfusi tukar. Pada pasien ikterus neonatorum yang
belum atau tidak mendapat ASI, segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin.
Menyusui yang sering dengan waktu yang singkat lebih efektif. Sedangkan pasien
dengan ikterus neonatorum yang disebabkan karena konsumsi ASI, ASI dapat
dilanjutkan atau dihentikan bergantung pada penilaian kondisi kesehatan ibu dan
bayi.

29
DAFTAR PUSTAKA

Ali, R. et al., 2012. Icterus neonatorum in near-term and term infants an overview.
Sultan Qaboos University Medical Journal, 12(2), pp.153–160.

American Academy Of Pediatrics, 2004. CLINICAL PRACTICE GUIDELINE:


Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More
Weeks of Gestation. Pediatrics, 114(1), pp.297–316. Available at:
http://www.citeulike.org/group/11862/article/5941222.

Bhutani, V.K., Johnson, L.H. & Keren, R., 2004. Diagnosis And Management Of
Hyperbilirubinemia In The Term Neonate: For A Safer First Week. Pediatric
Clinics of North America, 51(4), pp.843–861.

Buonocore, G., Bracci, R. & Weindling, M., 2012. Neonatology: A Practical


Approach to Neonatal Diseases, Springer.

Cooper, P., Suryono, A. & F, I., 2003. Jaundice. In : Managing Newborn
Problems : A Guide For Doctor,Nurses and Midwives. WHO, p.F–77–F–89.

Ebbesen, F., G, A. & R, P., 2003. Phototherapy With Turquoise vs Blue Light. ,
88(5), p.430F–431.

Gomella, T.L., Neonatology: Management, Procedures, On-Call Problems,


Diseases, and Drugs,

IDAI, 2011. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 2,

J.M, R. & Kendall, G., 2013. A Manual of Neonatal Intensive Care,

Kliegman, R.M. et al., 2015. Nelson Textbook of Pediatrics 20th ed., Elsevier.

Kramer, L.I., 1969. Advancement of Dermal Icterus in the Jaundiced Newborn.


Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, 118(3), p.454.

M.J, M., E.W, O. & S, T., 2004. Evaluation of A New Transcutaneous


Bilirubinometer. Pediatrics, 113(6), pp.1628–1635.

Madam, A., Wong, R. & Stevenson, D., Clinical Features And Management Of
Unconjugated Hyperbilirubinemia In Term and Near Term Infants.

Ramasethu, J., 2015. Exchange Transfusions dalam: Atlas of Procedures in


Neonatology 3rd ed., Wolters Kluwer.

Setia, S. et al., 2002. Neonatal Jaundice in Asian, White, and Mixed-Race Infants.
Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, 156(3), p.276.

30
WR Hansen, T., 2016. Neonatal Jaundice. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/974786-overview#a7 [Accessed April
1, 2017].

31

Anda mungkin juga menyukai