BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tidur adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Istirahat dan tidur yang
cukup akan membuat tubuh dapat berfungsi secara optimal. Tidur menjadikan
perubahan status kesadaran, persepsi, dan reaksi individu terhadap
lingkungan menurun. Berbeda dengan keadaan koma, tidur adalah proses aktif
dan pada saat tidur interaksi antara kortikal, batang otak, diencephalik, dan
forebrain tetap ada. Metabolisme serebral dan konsumsi oksigen dalam otak
juga tetap signifikan. Sekalipun fungsi tidur masih diperdebatkan, tetapi dalam
observasi dikatakan tidur yang baik merupakan hal yang penting untuk
fungsi normal pada saat bangun. (Erna, 2015)
Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam dalam sehari.
Bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea
(henti napas pada waktu tidur) dengan gejalanya yang paling sering adalah
mendengkur (snoring).Gangguan tidur dapat disebabkan karena obstruksi
saluran pernapasan atas, yaitu Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
dengan persentase sekitar 95%. (Erna, 2015)
Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) adalah kelainan yang
merupakan bagian dari sleep-disorder breathing syndrome yang kompleks.
Sebenarnya gejala OSAS sering terjadi, namun sulit untuk dideteksi. OSAS
adalah salah satu bentuk gangguan napas saat tidur yang ditandai oleh episode
henti napas (apnea) minimal 10 detik/ episode.Apnea dapat didefinisikan
sebagai hilangnya aliran udara sedikitnya 10 detik. Penurunan volume tidal
melebihi 50% tetapi di bawah 75% dari nilai dasar dengan terhentinya aliran
udara sedikitnya 10 detik disebut hipopnea. Gabungan apnea/ hipopnea
merupakan patofisiologi obstructive apnea. Pada dewasa muda normal, sampai
dengan 5 apnea/ hipopnea perjam saat tidur adalah fisiologis, frekuensi ini
meningkat sesuai umur.(Mariani, 2015)
2
OSAS umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 40-50
tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak anak dan remaja. Berdasarkan
penelitian dilaporkan 24% pria dan 9% wanita dewasa mempunyai angka
kejadian lebih dari 5x/jam. Dilaporkan bahwa 4% pria, 2% wanita dan 1-3%
pada anak mempunyai gejala OSAS, termasuk adanya gejala daytime
hipersomnolence yang diakibatkan oleh kejadian apnea-hipopnea. (Mariani,
2015)
Secara epidemiologi, OSAS lebih sering terjadi pada orang dewasa
daripada anak-anak. Mendengkur karena kebiasaan, dijumpai pada masa anak-
anak yang terjadi pada 7-9% dari anak-anak pra sekolah dan anak usia
sekolah. Menurut Schechter mendapatkan prevalensi snoring berkisar antara
3,2-12,1% bergantung kriteria inklusi yang dipakai. Gangguan pernafasan
selama tidur didapat pada kira-kira 0,7-10,3% dari anak-anak berusia 4 - 5
tahun. (Bambang, 2005)
Kejadian OSAS terjadi pada anak semua umur termasuk neonatus. Pada
masa neonatus insidens apnea kira-kira 25% pada bayi dengan berat badan
lahir < 2500 gram dan 84% pada bayi dengan berat badan lahir < 1000
gram.Insidens tertinggi terjadi antara umur 3 - 6 tahun karena pada usia ini
sering terjadi hipertrofi tonsil dan adenoid. Pada anak, kejadian OSAS tidak
berhubungan dengan jenis kelamin, sedangkan pada dewasa lelaki lebih sering
dibandingkan perempuan yaitu sekitar 8:1. (Bambang, 2005)
1.2.Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menambahkan pengetahuan pembaca umumnya
dan penulis khususnya mengenai Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Saluran napas dibagi menjadi 2 yaitu saluran napas bagian atas (upper
respiratory tract) yang terdiri dari hidung, faring dan laring, dan saluran
napas bagian bawah (lower respiratory tract). Batas saluran napas bagian atas
dan bagian bawah adalah pinggir bawah kartilago krikoidea. Penjelasan
mengenai saluran napas bagian atas adalah sebagai berikut:
4
2.2.1. Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari
atas ke bawah: 1) Pangkal hidung (bridge), 2) Batang hidung (dorsum
nasi), 3) Puncak hidung (hip), 4) Ala nasi, 5) kolumela dan 6) Lubang
hidung (nares anterior). Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung
(os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os
frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 4)
tepi anterior kartilago septum.(Snell, 2013)
ini dilapisi oleh kulit yang mempunuyai banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.(Snell, 2013)
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media, lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. (Snell, 2013)
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat
rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada
tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus
inferior terletak di antara konka inferior dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. (Snell,
2013)
6
b. Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun
ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi
oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyak-nya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya oermukaan konka dan septum yang luas. Partikel
debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti-bulum nasi, b) silia, c)
palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
(Soepardi,2012)
c. Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan
adanya mu kosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum . Partikel bau dapat mencapai daera h ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atai bila menarik napas dengan
kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan,
seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau cokiat. Juga
untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
(Soepardi,2012)
d. Fungsi Fonetik
11
e. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung
akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau
tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
(Soepardi,2012)
2.1.2 Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong
ini mulai dari dasar tenngkorak terus menyambung ke esofagus setinggi
vertebra servikal VI. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang
dinding posterion faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian
ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring
dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Berdasarkan letaknya
faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan
laringofaring.(Soepardi,2012)
12
2.1.2.3 Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu
tonsil fa-ringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-
tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina
yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fossa tonsil. Pada kutub
atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai
celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa
yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral
tonsil melekat pada fasia faring yang serina juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a. palatina minor, a.
palatina asendens, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring asendens dan
a. lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi
dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk
oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang rnenunjukkan
penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting
bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
(Soepardi,2012)
a. Fungsi Menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase
faringal dan fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju
ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringal yaitu pada
waktu transpor bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak
sengaja (involuntary). Fase esofagal. Di sini gerakannya tidak
disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik
di esofagus menuju lambung. Proses menelan selanjutnya dibicarakan
dalam bab esofagus. (Soepardi,2012)
2.1.3 Laring
Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang
menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif
17
umum. Laring memiliki kegunaan penting yaitu (1) ventilasi paru, (2)
melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme sfingteriknya, (3)
pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara.
Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan
subglotis. Supraglotis terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago
aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan ventrikel laringeal.
Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik
memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid.
(Soepardi,2012)
1. Obesitas
Sekitar 80 % pasien OSAS memiliki obesitas. Obesitas merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya OSAS. Terdapat hubungan yang erat antara
indeks masa tubuh dengan kejadian OSAS. Peningkatan berat badan sebesar
10% akan meningkatkan AHI sebesar 32% dan meningkatkan kejadian OSAS
sebesar 6 kali lipat. Sedangkan penurunan berat badan sebesar 10% dapat
menyebabkan penuruan AHI 26%. Obesitas menyebakan penyempitan saluran
nafas bagian atas karena terjadi akumulasi jaringan lemak yang berlebihan
pada faring. Meskipun terdapat hubungan yang erat antara obesitas dan OSAS,
penting untuk diketahui bahwa tidak semua subyek yang memiliki obesitas
mengalami OSAS. (Antariksa, 2012)
2. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi OSAS yang tinggi pada usia
tua. Penelitian yang dilakukan Sleep Heart Health Study menunjukkan bahwa
25% laki-laki dan 11% wanita memiliki AHI yang tinggi pada kelompok umur
40-98 tahun. Puncak usia pasien yang terdiagnosis OSAS pertama kali secara
umum adalah pada usia 50 tahun. Namun demikian hubungan antara usia
dengan OSAS masih kontroversial karena banyaknya faktor perancu dan
penyakit-penyakit lain yang ikut mendasari terjadinya OSAS. (Antariksa,
2012)
3. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian epidemiologi melaporkan OSAS lebih sering terjadi
pada pria dibanding wanita. Selain itu, terdapat beberapa hipotesis yang
menjelaskan hubungan jenis kelamin dengan timbulnya OSAS antara lain
karena efek hormonal yang dapat mempengaruhi muskulatur saluran nafas
22
bagian atas, perbedaan distribusi lemak dan perbedaan struktur dan fungsi
faring. (Antariksa, 2012)
4. Ukuran lingkar leher
Ukuran lingkar leher merupakan prediktor yang kuat dan merupakan salah
satu karakteristik pemeriksaan fisik pada pasien dengan OSAS. Lingkar leher
merupakan ukuran leher yang melewati batas atas membran krikotiroid yang
diukur pada posisi berdiri. Penelitian melaporkan bahwa rata-rata ukuran
lingkar leher pada pasien OSAS adalah 43,7 cm sedangkan pada pasien non
OSAS adalah 39,6 cm. Penelitian lain melaporkan bahwa ukuran lingkar
leher (>42,5 cm) berhubungan dengan peningkatan AHI. (Antariksa, 2012)
5. Kelainan struktur saluran nafas bagian atas
Beberapa penelitian menunjukan bahwa terdapat kelainan struktur anatomi
pada kraniofasial sehingga berdampak pada menyempitnya saluran nafas
bagian atas. Secara umum, terdapat kelainan pada mandibula, maksila, dan
tulang hyoid. Mandibular yang kecil (micrognatia) dan retrognatia merupakan
faktor resiko timbulnya OSAS. Micrognatia dan retrognatia akan
menyebabkan palatum mole, lidah dan jaringan lunak sekitar faring terdorong
ke posterior sehingga saluran nafas akan menyempit. Selain itu, posisi
maksila yang terlalu posterior juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya
OSAS. Hal ini terjadi karena palatum durum dan jaringan lunak di sekitar
faring terdorong ke posterior sehingga ukuran lumen saluran nafas mengecil.
Kelainan pada tulang hyoid dapat menyebabkan terjadinya OSAS. Hyoid
yang terlalu inferior akan menyebabkan lidah tertarik ke posterior karena
hyoid menjadi salah satu insersio dari otot-otot pembentuk lidah. Kelainan
pada tonsil yang merupakan salah satu jaringan limfoid di saluran nafas atas
dapat menyebabkan OSAS. Hipertrofi tonsil dapat menyebabkan OSAS
terutama pada anak. (Antariksa, 2012)
Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum mole ke
belakang hingga menempel pada dinding faring posterior menyebabkan
23
Kombinasi aktifitas otot saluran napas atas yang turun saat tidur disertai
struktur faring kecil membentuk tekanan kritis kolaps saluran napas atas.
Lumen saluran napas lebih sempit pada pasien OSAS daripada orang normal.
Lumen yang sempit mengakibatkan tekanan negatif yang lebih besar sehingga
diperlukan tenaga yang lebih besar lagi untuk melawan efek kolaps akibat
tekanan negatif itu. Gambar menunjukan derajat obstruksi pada kondisi
OSAS. (Shidi, 2017)
Faktor kedua adalah ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot
dilator faring (m. pterigoid medial, m. tensor veli palatini, m. genioglosus, m.
geniohiod, dan 4 m. sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan
tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif intratorakal akibat
kontraksi diafragma. Kelainanfungsi kontrol neuromuskular pada otot dilator
faring berperan terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di
otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring,
saat pasien mengalami periode apneahipopnea (Walker, 2006)
1. Anamnesis
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur
yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas
terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mulamula timbul. Dengkuran pada
dapat terjadi secara terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu
saja. Pada OSAS, pada umumnya mendengkur setiap tidur dengan dengkuran
yang keras terdengar dari luar kamar dan terlihat episode apnea yang mungkin
diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun. Sebagian orang tidak
memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi berupa dengusan atau hembusan
nafas, noisy breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat terlihat dengan
adanya retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap, setengah duduk, atau
hiperekstensi leher untuk mempertahankan patensi jalan nafas. Selain itu gejala
lainnya yaitu mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada
waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai
impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa
dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat
mengganggu pada siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan,
pekerjaan, perubahan kepribadian, perubahan mood, hipertensi dan depresi
(Welch, 2008)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum seringkali normal pada pasien dengan OSA,
selain adanya obesitas, pembesaran lingkar leher, dan hipertensi. Lakukan
evaluasi saluran napas bagian atas pada semua pasien, tetapi terutama pada
orang dewasa nonobese dengan gejala yang sejalan dengan OSA. Temuan
pemeriksaan fisik yang mungkin adalah sebagai berikut:
a. Obesitas - indeks massa tubuh (BMI) lebih dari 30 kg / m2
b. Lingkar leher yang besar - Lebih dari 43 cm (17 inch) pada pria dan 37 cm
(15 inch) pada wanita. Lingkar leher 40 cm atau lebih memiliki sensitivitas
61% dan spesifisitas 93% untuk OSA, terlepas dari jenis kelaminnya.
Prediksi dalam hal ini menggunakan lingkar leher yang sudah
dirata-rata (average neck circumference / ANC). Lingkar leher pasien
diukur (dalam cm) pada tingkat tonjolan krikoid dalam posisi duduk dan
dirata-rata untuk faktor resiko pasti: hipertensi ditambah 4 cm terhadap
27
A. Polisomnografi (PSG)
Gambar polisomnografi pada obstructive sleep apnea. Perhatikan tidak adanya aliran
(panah merah) meskipun dilakukan upaya pernapasan paradoks (panah hijau).
B. Uji tapis
mulut. Cara tersebut mempunyai nilai sensitifitas 94%, spesifisitas 68%, nilai
prediksi positif 83%, dan nilai prediksi negatif 88%. Observasi selama tidur dapat
dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry. Pada saat tidur anak dipantau
penurunan nilai saturasi dengan menggunakan oksimetri. Pencatatan pulse
oximetry secara kontinyu selama tidur dianjurkan sebagai tes skrining dan dapat
memperlihatkan desaturasi secara siklik yang menjadi karakteristik suatu OSAS,
tetapi tidak akan mendeteksi pasien OSAS yang tidak berkaitan dengan hipoksia.
Dengan menggunakan metode di atas nilai prediksi positif sebesar 97% dan nilai
prediksi negatif 53%. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi
selama tidur maka kemungkinan menderita OSAS cukup besar tetapi apabila tidak
terdeteksi pada pemantauan dengan oksimetri maka di perlukan pemeriksaan
polisomnografi. (Schechter, 2002)
D. Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium rutin biasanya tidak membantu dalam menegakkan OSA tanpa
adanya indikasi tertentu. Sebuah tes tirotropin harus dilakukan pada setiap pasien
dengan kemungkinan OSA yang memiliki tanda-tanda lain atau gejala
hipotiroidisme, terutama pada orang tua. Sebuah studi oleh Cintra et al. (2011)
menetapkan bahwa kadar sistein lebih tinggi pada pasien dengan OSA
dibandingkan dengan subyek kontrol, dan kadar ini berkurang setelah pengobatan
OSA yang efektif. (Patil, 2007)
Kuisioner EES dan SSS dapat digunakan untuk menanyakan keluhan yang
berhubungan dengan gejala OSA. ESS digunakan untuk menilai bagaimana
kebiasan tidur dan rasa mengantuk pasien dalam kegiatan sehari-hari, sedangkan
SSS untuk mengetahui seberapa mengantuknya pasien pada kegiatan tersebut.
Multiple sleep latency testing (MSLT) adalah pemeriksaan yang bersifat objektif
untuk mengevaluasi derajat beratnya rasa mengantuk yang berlebihan di siang
hari. Pemeriksa juga harus menanyakan kepada pasien tentang. (Friedman, 2009)
diinstruksikan untuk melakukan inspirasi kuat sambil menutup hidung dan mulut.
Pada pemeriksaan ini dilakukan penilaian luas saluran napas atas pada ruang
retropalatal dan retroglosal. Penyempitan pada ruang ini dapat terjadi
anteroposterior, laterolateral atau konsentrik. (Friedman, 2009)
2.2.7. Penatalaksanaan
A. Terapi Non-Bedah
a. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
Terapi standar dan banyak digunakan untuk pasien OSAS adalah Continuous
Positive Airway Pressure (CPAP); terapi ini dapat menurunkan kejadian
apnea dan hypopnea, sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Terapi CPAP menjadi pilihan pertama pasien hipertensi dengan OSAS derajat
sedang ke berat (AHI ≥20 kali/jam).Beberapa penelitian telah
memperlihatkan penurunan tekanan darah sekitar 2 mmHg pada pasien OSAS
yang mendapat CPAP. Penurunan tersebut secara signifikan menurunkan
risiko dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler.
Efek ini lebih besar terlihat pada pasien hipertensi dengan OSAS derajat
berat; terapi CPAP pada pasien OSAS derajat berat yang disertai hipertensi
36
menjadi pilihan walaupun tidak ada gejala. Terapi CPAP menjadi pilihan
terapi pada OSA derajat ringan apabila disertai gejala atau komorbid
kardiovaskuler. Selain menurunkan tekanan darah, terapi CPAP dapat
memperbaiki fungsi sistolik dan diastolik ventrikel subjek normal yang
menderita OSA. Terapi CPAP juga dapat memperbaiki profil hormonal
pasien seperti plasma renin dan angiotensin II. (Haerani, 2006)
Alat ini dapat digunakan melalui masker nasal, masker oral atau variasi
variasi lain. Konsep CPAP antara lain bekerja melalui tekanan positif
(pneumatik) di jalan napas atas pada tingkat yang konstan atau berfungsi
untuk menjaga jalan napas atas tetap paten atau terbuka selama tidur dan
mempertahankan volume paru sehingga membantu faring tetap paten. Hal
tersebut dapat mencegah terjadinya apnea dan dapat mengeliminasi kejadian
mendengkur. Terapi menggunakan CPAP akan meningkatkan kualiti hidup
dan menurunkan tekanan darah. Terapi ini dianggap efektif untuk pasien OSA
sehingga merupakan terapi lini pertama dan pilihan utama serta merupakan
terapi seumur hidup karena jika pasien menghentikan pemakaian CPAP maka
gejalagejala OSA akan terulang kembali
CPAP mengurangi dengkur dan apnea dan membaiki gejala ketiduran pada
siang. CPAP 90-95% effective dalam eliminasi OSAS dan keefektifannya
tergantung pada compliance dan keteraturan penggunaan pasien. (Haerani,
2006)
b. Perubahan gaya hidup
Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala,
seperti penurunan berat badan, olahraga, mengurangi konsumsi alkohol,
khususnya sebelum tidur (4-6 jam sebelum tidur), tidur dengan posisi miring
(dibandingkan supinasi), good sleep hygiene, pemakaian Positive Airway
Pressure yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur.
Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan
kafein pada malam hari dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan
mekanisme pernapasan sentral. Kadar alkohol saat tidur (0,5-0,75 mL/kg)
dapat meningkatkan resistensi inspirasi selama stadium 2 non-rapid eye
37
movement (nREM) tidur pada lakilaki muda normal. Efek terhadap pusat
respirasi bervariasi tergantung dari metoda pengukuran yang digunakan.
Tekanan oklusi inspirasi yang diukur dengan menilai otot-otot inspirasi,
cenderung meningkat selama tidur setelah mengkonsumsi alkohol.
c. Mandibular advencement
Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat
mandibularadvancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada
gigi dan menahan mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang
bawah) sehingga dapat memaksimalkan diameter faring dan mengurangi
kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada
penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSAS yang
ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang
intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi
oklusi dan sendi temporomandibula sehingga pemakaiannya diperlukan
seorang ortodontic karena pembuatannya tergantung individu. (Haerani,
2006)
d. Oral Apliciances (OA)
Oral appliances dianjurkan pada pasien OSA ringan yang tidak respons
dengan melakukan perbaikan gaya hidup atau yang yang tidak tidak toleran
dengan pemberian tekanan positif jalan napas. OA diindikasikan untuk (1)
pasien dengan OSA ringan sampai sedang yang lebih memilih cara oral
daripada perangkat CPAP, (2) pasien dengan OSA ringan sampai sedang
yang tidak berespon dengan terapi CPAP, dan (3) pasien dengan OSA ringan
sampai sedang yang upaya pengobatan dengan perangkat CPAP gagal.
OA bertindak dengan memindahkan (menarik) lidah ke depan atau dengan
menggerakkan rahang dan langit-langit lunak anterior, memperbesar airspace
posterior, membuka atau melebarkan jalan napas selama tidur. Kontraindikasi
untuk pengobatan OA meliputi kurang dari 6-10 gigi di setiap arkus, pasien
tidak dapat menonjolkan mandibula ke depan dan membuka rahang secara
luas, terdapat kelainan sendi temporomandibular sebelumnya, bruxisme berat,
pasien dengan gigi palsu penuh. Komplikasi atau efek samping meliputi air
38
B. Terapi Bedah
Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan
bentuk saluran napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik.
Indikasi pembedahan OSA adalah AHI ≥ 20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan
esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti
aritmia dan hipertensi), gejala neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah
dan adanya kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak
ada satu teknik yang benar-benar baik untuk OSA.
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang
menyebabkan obstruksi saluran napas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep
endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan:
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSAS dengan tonsil
yang besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan
tidak memerlukan terapi CPAP.
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring
yang berlebih diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat
kaku dinding faring yang akan mencegah kolaps. Metode ini angka
keberhasilannya 50% dalam menyembuhkan OSA. Komplikasi metode ini
adalah terjadinya regurgitasi nasofaring saat minum namun hanya bersifat
sementara karena akan berkurang dalm 3 bulan.
3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus
endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila
sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita
yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.
4. Laser-Assisted Uvulopalatoplasty.Teknik yang digunakan oleh sebagian
besar ahli bedah menghapus bagian segitiga jaringan berdekatan dengan
setiap sisi akar dari uvula diikuti dengan pengurangan 50% dari uvula
39
C. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis umumnya bukan bagian dari rekomendasi pengobatan
primer. Acetazolamide, medroksiprogesteron, fluoxetine, dan protriptyline telah
40
digunakan untuk mengobati OSA namun obat - obat ini tidak dianjurkan.
Modafinil disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika untuk
digunakan pada pasien yang memiliki sisa EDS meskipun sudah menggunakan
CPAP optimal. Perbaikan paling baik terlihat pada pasien yang mengonsumsi
modafinil pada dosis 200-400 mg/hari. Armodafinil, R-enansiomer modafinil,
juga sekarang telah disetujui FDA untuk digunakan pada pasien ini. (Downey,
2014)
2.2.8. Kompikasi
1. Komplikasi neurobehavioral
2. Gagal tumbuh
3. Komplikasi kardiovaskular
kematian pasien OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi kor pulmonal.
Prevalensi hipertensi pulmonal pada anak dengan OSAS tidak diketahui.
Brouilette dkk4 melaporkan kor pulmonal terjadi pada 55% dari 22 anak dengan
OSAS dan Guilleminault dkk, melaporkan adanya cardio respiratory failure pada
20% dari 50 pasien. (Bambang, 2005)
4. Enuresis
5. Penyakit respiratorik
Laporan kasus telah melaporkan adanya gagal nafas pada pasien dengan
OSAS yang berat atau akibat komplikasi perioperatif. (Bambang, 2005)
2.2.9. Prognosis
setengah baya (40-60tahun) dengan OSAS secara signifikan lebih rendah dari
pada usia paruh baya. Waktu SaO2 <90% secara signifikan lebih lama pada
pasien yang berusia setengah baya daripada pasien pada berusia paruh baya tetapi
nilai AHI tidak berbeda antar kedua kelompok. Tingkat kelangsungan hidup
secara signifikan lebih rendah pada pasien hipertensi dibandingkan pada pasien
tanpa komplikasi. Prognosis pada populasi paruh baya mungkin tergantung pada
peran OSAS pada komplikasi hipertensi atau keparahan denaturasi oksigen.
(Noda, 1998)
43
BAB III
KESIMPULAN
OSAS paling banyak dialami oleh pria usia pertengahan dengan obesitas.
Gejala dari OSASantara lainmendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang
hari, tersedak, tidur tidak nyeyak, letih dan lesu sepanjang hari, penurunan
konsentrasi, serta riwayat OSAS dalam keluarga. Tanda dari OSASantara lain
obesitas, hipoplasia mandibula atau maksila, penyempitan orofaring, pembesaran
tonsil atau lidah, serta obstruksi nasal dan nasofaringeal
Diagnosis OSAS ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik untuk
mengetahui kelainan yang mungkin ada sebagai faktor penyebab dan pemeriksaan
penunjang. Gold standard diagnosa OSAS adalah dengan melakukan pemeriksaan
penunjang berupa polisomnografi. Terapi OSASdibagi menjadi terapi non bedah,
terapi bedah dan terapi farmakologi. Terapi non bedah dengan mengusahakan
tekanan positif untuk mengurangi obstruksi dan meminimalisir faktor penyebab
melalui perubahan gaya hidup, olah raga serta obat-obatan. Terapi bedah
dilakukan sesuai dengan indikasi. Terapi farmakologi bukan sebagai pengobatan
primer pada OSAS.
Komplikasi dari OSASdapat terjadi pada seluruh sistem dalam tubuh,
antara lain neurobehavioral, gagal tumbuh pada anak, komplikasi kardiovaskular,
enuresis, penyakit respiratorik, gagal nafas dan kematian.
44
DAFTAR PUSTAKA
Patil SP, Scheneider H, Schwartz AR, Smith PL. Adult obstructive sleep
apnea: pathophysiology and diagnosis. Chest Journal 2007; 132:325-37.
Welch KC, Goldberg AN. Sleep disorders. In: Lalwani AK, editor.
Current diagnosis & treatment, otolaryngology head and neck Surgery. 2nd ed.
New York: McGraw-Hill Companies LANGE; 2008. p.535-47
Walker RP. Snoring and obstructive sleep apnea. In: Bailey JB, Johnson
JT, editors. Head & neck surgeryotolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincontt
Williams & Wilkins; 2006. p.645-64.