Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Tidur adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Istirahat dan tidur yang
cukup akan membuat tubuh dapat berfungsi secara optimal. Tidur menjadikan
perubahan status kesadaran, persepsi, dan reaksi individu terhadap
lingkungan menurun. Berbeda dengan keadaan koma, tidur adalah proses aktif
dan pada saat tidur interaksi antara kortikal, batang otak, diencephalik, dan
forebrain tetap ada. Metabolisme serebral dan konsumsi oksigen dalam otak
juga tetap signifikan. Sekalipun fungsi tidur masih diperdebatkan, tetapi dalam
observasi dikatakan tidur yang baik merupakan hal yang penting untuk
fungsi normal pada saat bangun. (Erna, 2015)
Manusia dewasa memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam dalam sehari.
Bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep apnea
(henti napas pada waktu tidur) dengan gejalanya yang paling sering adalah
mendengkur (snoring).Gangguan tidur dapat disebabkan karena obstruksi
saluran pernapasan atas, yaitu Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
dengan persentase sekitar 95%. (Erna, 2015)
Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) adalah kelainan yang
merupakan bagian dari sleep-disorder breathing syndrome yang kompleks.
Sebenarnya gejala OSAS sering terjadi, namun sulit untuk dideteksi. OSAS
adalah salah satu bentuk gangguan napas saat tidur yang ditandai oleh episode
henti napas (apnea) minimal 10 detik/ episode.Apnea dapat didefinisikan
sebagai hilangnya aliran udara sedikitnya 10 detik. Penurunan volume tidal
melebihi 50% tetapi di bawah 75% dari nilai dasar dengan terhentinya aliran
udara sedikitnya 10 detik disebut hipopnea. Gabungan apnea/ hipopnea
merupakan patofisiologi obstructive apnea. Pada dewasa muda normal, sampai
dengan 5 apnea/ hipopnea perjam saat tidur adalah fisiologis, frekuensi ini
meningkat sesuai umur.(Mariani, 2015)
2

OSAS umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 40-50
tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak anak dan remaja. Berdasarkan
penelitian dilaporkan 24% pria dan 9% wanita dewasa mempunyai angka
kejadian lebih dari 5x/jam. Dilaporkan bahwa 4% pria, 2% wanita dan 1-3%
pada anak mempunyai gejala OSAS, termasuk adanya gejala daytime
hipersomnolence yang diakibatkan oleh kejadian apnea-hipopnea. (Mariani,
2015)
Secara epidemiologi, OSAS lebih sering terjadi pada orang dewasa
daripada anak-anak. Mendengkur karena kebiasaan, dijumpai pada masa anak-
anak yang terjadi pada 7-9% dari anak-anak pra sekolah dan anak usia
sekolah. Menurut Schechter mendapatkan prevalensi snoring berkisar antara
3,2-12,1% bergantung kriteria inklusi yang dipakai. Gangguan pernafasan
selama tidur didapat pada kira-kira 0,7-10,3% dari anak-anak berusia 4 - 5
tahun. (Bambang, 2005)
Kejadian OSAS terjadi pada anak semua umur termasuk neonatus. Pada
masa neonatus insidens apnea kira-kira 25% pada bayi dengan berat badan
lahir < 2500 gram dan 84% pada bayi dengan berat badan lahir < 1000
gram.Insidens tertinggi terjadi antara umur 3 - 6 tahun karena pada usia ini
sering terjadi hipertrofi tonsil dan adenoid. Pada anak, kejadian OSAS tidak
berhubungan dengan jenis kelamin, sedangkan pada dewasa lelaki lebih sering
dibandingkan perempuan yaitu sekitar 8:1. (Bambang, 2005)

1.2.Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menambahkan pengetahuan pembaca umumnya
dan penulis khususnya mengenai Obstructive Sleep Apnea Syndrom (OSAS).
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saluran Napas Atas

Gambar. Anatomi Saluran Napas potongan midsagital.(Paulsen,2013)

Saluran napas dibagi menjadi 2 yaitu saluran napas bagian atas (upper
respiratory tract) yang terdiri dari hidung, faring dan laring, dan saluran
napas bagian bawah (lower respiratory tract). Batas saluran napas bagian atas
dan bagian bawah adalah pinggir bawah kartilago krikoidea. Penjelasan
mengenai saluran napas bagian atas adalah sebagai berikut:
4

2.2.1. Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari
atas ke bawah: 1) Pangkal hidung (bridge), 2) Batang hidung (dorsum
nasi), 3) Puncak hidung (hip), 4) Ala nasi, 5) kolumela dan 6) Lubang
hidung (nares anterior). Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung
(os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os
frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 4)
tepi anterior kartilago septum.(Snell, 2013)

Gambar. Anatomi Hidung Luar(Yataco,2009)

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari


depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum
nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut
nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala
nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum
5

ini dilapisi oleh kulit yang mempunuyai banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.(Snell, 2013)
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media, lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. (Snell, 2013)
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat
rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada
tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus
inferior terletak di antara konka inferior dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. (Snell,
2013)
6

Gambar. Rongga Hidung.(Paulsen,2013)

2.1.1.1 Vaskularisasi dan Persarafan Hidung


Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.
karotis interna.Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari
cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina mayor
dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-
cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari
cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior
7

dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area).


Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan
hidung), terutama pada anak. (Snell, 2013)

Gambar. Vaskularisasi Hidung (Paulsen,2013)


Vena-vena hidung mempunyai nama sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
sampai ke intrakranial(Snell, 2013)
8

Gambar. Inervasi Hidung. (Paulsen,2013)

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris


dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris,
yang berasal dari n. Oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion
sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.
maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis
mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media. Fungsi penghidu berasal dari n. ofaktorius. Saraf ini turun
melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.(Snell, 2013)

2.1.1.2 Batas-batas Rongga Hidung


Dinding inferior adalah dasar dari rongga hidung dan dibentuk oleh
os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis, yang memisahkan rongga
9

tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis merupakan lempeng


tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa=saringan) dan tempat masuknya serabut-serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os
sfenoid. (Snell, 2013)

2.1.1.3 Kompleks Ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur
anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,
infundibulm etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat
ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu
sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.Jika terjadi obstruksi pada
celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang
signifikan pada sinus-sinus yang terkait.(Snell, 2013)

2.1.1.4 Fisiologi Rongga Hidung


a. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori
fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi
respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal, 2) fungsi penghidu karena terdapatnya
mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tuiang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringan-kan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
(Soepardi,2012).
10

b. Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun
ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi
oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyak-nya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya oermukaan konka dan septum yang luas. Partikel
debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
di hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti-bulum nasi, b) silia, c)
palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
(Soepardi,2012)

c. Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan
adanya mu kosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum . Partikel bau dapat mencapai daera h ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atai bila menarik napas dengan
kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan,
seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau cokiat. Juga
untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
(Soepardi,2012)

d. Fungsi Fonetik
11

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika


berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi
berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentu kan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsolian nasal (m, n,
ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk
aliran udara. (Soepardi,2012)

e. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung
akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau
tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
(Soepardi,2012)

2.1.2 Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong
ini mulai dari dasar tenngkorak terus menyambung ke esofagus setinggi
vertebra servikal VI. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang
dinding posterion faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian
ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring
dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Berdasarkan letaknya
faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan
laringofaring.(Soepardi,2012)
12

Gambar. Bagian-bagian Faring.(Paulsen,2013)

Nasofaring disebut juga Epifaring, merupakan yang terletak


dibelakang rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar
tengkorak. Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius
menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang
Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih
di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis
merupakan lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring.
(Sasaki,2003)
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikalis. struktur yang terdapat di
rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil
serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum. Laringofaring batas laingofaring di sebelah superior adalah tepi atas
epiglotis, batas anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta
batas posterior adalah vertebre servikal. (Sasaki,2003)
13

Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan


memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor
faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar.
Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup
sebagian otot bagian atas-nya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini
bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang
disebut "rafe faring" (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk
mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak
otot-otot ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan
faring dan menarik taring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus
orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini
bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting pada waktu menelan.
M.stilofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi
oleh n.X. Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu
dalam satu sarung fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor
veli palatini, m.palatoglosus, m.palatofaring dan m.azigos uvula. M.levator
veil palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius . Otot
ini dipersarafi oleh n.X.(Soepardi,2012)
M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya
untuk mengen-cangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M.palatoglosus membentuk arkus
anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus fa-ring. Otot ini
dipersarafi oleh n.X. M.palatofaring membentuk arkus poste-rior faring.
Otot ini dipersarafi oleh n.X. M.azigos uvula merupakan otot yang kecil,
kerjanya memperpendek dan menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini
dipersarafi oleh n.X. (Soepardi,2012)
14

2.1.2.1 Vaskularisari dan Inervasi

Gambar. Inervasi Faring. (Paulsen,2013)


Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang
tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang
faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna
yakni cabang palatina superior. (Soepardi,2012)
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus
faring yang eks-tensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari
n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring
dari n.vagus berisi serabut motorik. Dart pleksus faring yang ekstensif ini
keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX). (Soepardi,2012)

2.1.2.2 Kelenjar Getah Bening


Aliran limfa dari dinding faring dapat me-lalui 3 saluran, yakni
superior, media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar
getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas.
15

Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik dan


kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke
kelenjar getah bening servikal dalam bawah. (Soepardi,2012)

2.1.2.3 Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu
tonsil fa-ringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-
tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina
yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fossa tonsil. Pada kutub
atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai
celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa
yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral
tonsil melekat pada fasia faring yang serina juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a. palatina minor, a.
palatina asendens, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring asendens dan
a. lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi
dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk
oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang rnenunjukkan
penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting
bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
(Soepardi,2012)

2.1.2.4 Fisiologi Faring


Fungsi faring yang utama adalah untuk respirasi, pada waktumenelan,
resonansi suara dan untuk artikulasi.
16

a. Fungsi Menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase
faringal dan fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju
ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringal yaitu pada
waktu transpor bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak
sengaja (involuntary). Fase esofagal. Di sini gerakannya tidak
disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik
di esofagus menuju lambung. Proses menelan selanjutnya dibicarakan
dalam bab esofagus. (Soepardi,2012)

b. Fungsi Faring Dalam Proses Bicara


Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-
otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan
palatum mole ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini
terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.
palatofaring, kemudian m.levator veil palatini bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring
m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir
mengenai dinding pos-terior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh
tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi
akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan m.palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi
aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja
tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa
tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula
pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum. (Soepardi,2012)

2.1.3 Laring
Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang
menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif
17

umum. Laring memiliki kegunaan penting yaitu (1) ventilasi paru, (2)
melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme sfingteriknya, (3)
pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara.
Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan
subglotis. Supraglotis terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago
aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan ventrikel laringeal.
Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik
memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid.
(Soepardi,2012)

Gambar. Anatomi Laring(Paulsen,2013)


Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana
mukosa. Terletak di sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra
cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal dari os hyoideum dan lingua,
berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi oleh kulit
dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus.
Posisi laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi.
(Sasaki,2003)
Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu
kartilago tireoidea, krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang
berpasangan, yaitu kartilago aritenoidea, kartilago kornikulata, dan
18

kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh jaringan elastik. Di


sebelah superior pada kedua sisi laring terdapat membrana kuadrangularis.
Membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan
dinding superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik
lainnya adalah konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih
kuat dari pada membrana kuadrangularis dan bergabung dengan
ligamentum vokalis pada masing-masing sisi. (Sasaki,2003)
Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan
otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring,
sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi membuka rima glotidis sehingga
dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima glotidis dan
vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring
(trakea) pada waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan
(tension) plika vokalis ketika berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur
oleh medula oblongata secara otomatis, sedangkan yang terakhir oleh
korteks serebri secara volunter. (Sasaki,2003)
Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum
laring, dibatasi oleh aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus
laringis, yang dibatasi oleh rima vestibuli dan rima glotidis. Di dalamnya
berisi kelenjar mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang ketiga adalah
kavum laringis yang berada di sebelah ckudal dari plika vokalis dan
melanjutkan diri menjadi kavum trakealis. (Sasaki,2003)
Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher
dibandingkan orang dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku
dan lebih dapat ditekan oleh tekanan jalan nafas. Pada bayi laring terletak
setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada orang dewasa hingga C6. Ukuran
laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka sekitar 4
mm ke arah lateral. (Sasaki,2003)
Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan
aktifitas refleks. Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-
satunya otot abduktor adalah m. krikoaritenoideus posterior. Fungsi
19

adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda asing masuk ke


dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi
sebagai katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat
meningkatkan tekanan intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan
bersin. Plika vokalis berperan dalam menghasilkan suara, dengan
mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat menggetarkan
(vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan
oleh jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas
suara ditentukan oleh cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan
kavitas nasi serta sinus paranasalis. (Sasaki,2003)

2.2. Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS)


2.2.1. Definisi
Obstructive sleep apnea syndrom(OSAS) adalah salah satu bentuk
gangguan napas saat tidur yang ditandai oleh episode henti napas (apnea)
minimal 10 detik/ episode. Apnea dapat didefinisikan sebagai hilangnya aliran
udara sedikitnya 10 detik. Penurunan volume tidal melebihi 50% tetapi di
bawah 75% dari nilai dasar dengan terhentinya aliran udara sedikitnya 10
detik disebut hipopnea. Gabungan apnea/ hipopnea merupakan patofisiologi
obstructive apnea.(Mariani, 2015)
Diagnosis OSA ditegakkan jika jumlah frekuensi penurunan aliran udara
yang berhubungan dengan kolapsnya saluran napas atau Apnea-Hipopnea
Index (AHI), lebih dari 5 kali dalam 1 jam tidur. Hal tersebut dapat
menyebabkan terjadinya periode arousal (terbangun atau gelisah dalam
tidurnya) dan tidur kembali. AHI diperoleh dengan melakukan pemeriksaan
polisomnografi. (Arie, 2011).

2.2.2. Klasifikasi OSAS

Derajat beratnya OSAS dinilai berdasarkan nilai apnea-hypopnea index


(AHI) menggunakan polisomnografi. Derajat beratnya OSA dibagi menjadi: 1)
ringan AHI 5-14; 2) sedang AHI 15-29; 3) berat AHI ≥30. (Arie, 2011)
20

2.2.3. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi OSAS Beberapa faktor predisposisi OSAS antara lain


obesitas, ukuran lingkar leher, umur, jenis kelamin, hormon, dan kelainan anatomi
saluran napas. Obesitas dilaporkan sebagai faktor utama yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya OSA. Dari kepustakaan dinyatakan bahwapenderita OSA
setidaknya memiliki indeks massa tubuh (IMT) satu tingkat di atas normal (IMT
normal 20-25 kg/m2). Penelitian lain melaporkan bahwa ukuran lingkar leher
(>42,5 cm) berhubungan dengan peningkatan AHI. (Madani, 2007)
21

Obesitas dapat mengubah volume dan bentuk anatomi, lidah dapat


terangkat sehingga mengurangi volume saluran napas atas. Demikian juga
kelainan anatomi seperti hipertrofi tonsil, deviasi septum, hipertrofi konka dan
anomali maksilofasial seperti mikrognatia, retrognatia, hipertrofi adenoidtonsil,
makroglosia dan akromegali. (Madani, 2007)

1. Obesitas
Sekitar 80 % pasien OSAS memiliki obesitas. Obesitas merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya OSAS. Terdapat hubungan yang erat antara
indeks masa tubuh dengan kejadian OSAS. Peningkatan berat badan sebesar
10% akan meningkatkan AHI sebesar 32% dan meningkatkan kejadian OSAS
sebesar 6 kali lipat. Sedangkan penurunan berat badan sebesar 10% dapat
menyebabkan penuruan AHI 26%. Obesitas menyebakan penyempitan saluran
nafas bagian atas karena terjadi akumulasi jaringan lemak yang berlebihan
pada faring. Meskipun terdapat hubungan yang erat antara obesitas dan OSAS,
penting untuk diketahui bahwa tidak semua subyek yang memiliki obesitas
mengalami OSAS. (Antariksa, 2012)
2. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi OSAS yang tinggi pada usia
tua. Penelitian yang dilakukan Sleep Heart Health Study menunjukkan bahwa
25% laki-laki dan 11% wanita memiliki AHI yang tinggi pada kelompok umur
40-98 tahun. Puncak usia pasien yang terdiagnosis OSAS pertama kali secara
umum adalah pada usia 50 tahun. Namun demikian hubungan antara usia
dengan OSAS masih kontroversial karena banyaknya faktor perancu dan
penyakit-penyakit lain yang ikut mendasari terjadinya OSAS. (Antariksa,
2012)
3. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian epidemiologi melaporkan OSAS lebih sering terjadi
pada pria dibanding wanita. Selain itu, terdapat beberapa hipotesis yang
menjelaskan hubungan jenis kelamin dengan timbulnya OSAS antara lain
karena efek hormonal yang dapat mempengaruhi muskulatur saluran nafas
22

bagian atas, perbedaan distribusi lemak dan perbedaan struktur dan fungsi
faring. (Antariksa, 2012)
4. Ukuran lingkar leher
Ukuran lingkar leher merupakan prediktor yang kuat dan merupakan salah
satu karakteristik pemeriksaan fisik pada pasien dengan OSAS. Lingkar leher
merupakan ukuran leher yang melewati batas atas membran krikotiroid yang
diukur pada posisi berdiri. Penelitian melaporkan bahwa rata-rata ukuran
lingkar leher pada pasien OSAS adalah 43,7 cm sedangkan pada pasien non
OSAS adalah 39,6 cm. Penelitian lain melaporkan bahwa ukuran lingkar
leher (>42,5 cm) berhubungan dengan peningkatan AHI. (Antariksa, 2012)
5. Kelainan struktur saluran nafas bagian atas
Beberapa penelitian menunjukan bahwa terdapat kelainan struktur anatomi
pada kraniofasial sehingga berdampak pada menyempitnya saluran nafas
bagian atas. Secara umum, terdapat kelainan pada mandibula, maksila, dan
tulang hyoid. Mandibular yang kecil (micrognatia) dan retrognatia merupakan
faktor resiko timbulnya OSAS. Micrognatia dan retrognatia akan
menyebabkan palatum mole, lidah dan jaringan lunak sekitar faring terdorong
ke posterior sehingga saluran nafas akan menyempit. Selain itu, posisi
maksila yang terlalu posterior juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya
OSAS. Hal ini terjadi karena palatum durum dan jaringan lunak di sekitar
faring terdorong ke posterior sehingga ukuran lumen saluran nafas mengecil.
Kelainan pada tulang hyoid dapat menyebabkan terjadinya OSAS. Hyoid
yang terlalu inferior akan menyebabkan lidah tertarik ke posterior karena
hyoid menjadi salah satu insersio dari otot-otot pembentuk lidah. Kelainan
pada tonsil yang merupakan salah satu jaringan limfoid di saluran nafas atas
dapat menyebabkan OSAS. Hipertrofi tonsil dapat menyebabkan OSAS
terutama pada anak. (Antariksa, 2012)

2.2.4. Patogenesis dan patofisiologi OSAS

Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum mole ke
belakang hingga menempel pada dinding faring posterior menyebabkan
23

oklusi nasofaring dan orofaring. Tonus otot dilator faring mengalami


penurunan pada fase awal tidur sehingga faring mengalami kolaps secara total
atau parsial dan kemudian obstruksi terjadi. (Somers VK et al., 2008) Tidur
berbaring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas akibat pergerakan
mandibula, palatum mole dan lidah ke arah belakang. Faktor struktural dan
fungsional berperan penting dalam menentukan tekanan saat terjadi obstruksi
pada saluran napas atas. (Shidi, 2017)

Kombinasi aktifitas otot saluran napas atas yang turun saat tidur disertai
struktur faring kecil membentuk tekanan kritis kolaps saluran napas atas.
Lumen saluran napas lebih sempit pada pasien OSAS daripada orang normal.
Lumen yang sempit mengakibatkan tekanan negatif yang lebih besar sehingga
diperlukan tenaga yang lebih besar lagi untuk melawan efek kolaps akibat
tekanan negatif itu. Gambar menunjukan derajat obstruksi pada kondisi
OSAS. (Shidi, 2017)

Gambar. Obstruksi jalan napas secara total dan parsial

Pasien dengan OSAS mampu mempertahankan patensi saluran nafas


bagian atas selama bangun/tidak tidur, karena peningkatan tonus otot saluran
nafas akibat input dari pusat kortikal yang lebih tinggi. Namun selama tidur
kolaps jalan nafas bagian atas terjadi pada saat inspirasi dan kadang-kadang
meningkatkan usaha bernafas. Pada anak lebih sering mengalami periode
24

obstruksi parsial saluran nafas yang berkepanjangan dan hipoventilasi


dibandingkan orang dewasa. (Shidi, 2017)

Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSAS: faktor


pertama, obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan
palatum ke belakang yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan
orofaring, yang menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun pernapasan
masih berlangsung pada saat tidur. Hal ini menyebabkan apnea, asfiksia
sampai periode arousal (Walker, 2006).

Faktor kedua adalah ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot
dilator faring (m. pterigoid medial, m. tensor veli palatini, m. genioglosus, m.
geniohiod, dan 4 m. sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan
tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif intratorakal akibat
kontraksi diafragma. Kelainanfungsi kontrol neuromuskular pada otot dilator
faring berperan terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di
otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring,
saat pasien mengalami periode apneahipopnea (Walker, 2006)

Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai


hipofaring yang dapat menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas.
Kelainan daerah ini dapat menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini
juga merupakan predisposisi kolapsnya saluran napas atas. Kolaps nasofaring
ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSAS dan 75% di antaranya memiliki
lebih dari satu penyempitan saluran napas atas. Periode apnea adalah
terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih. Periode hipopnea adalah
terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak lebih-kurang 30% selama
10 detik yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen darah sebesar
4%. Apnea terjadi karena kolapsnya saluran napas atas secara total,
sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian, namun jika terjadi secara
terusmenerus dapat menyebabkan apnea (Walker, 2006)

2.2.5. Penegakan diagnosis


25

1. Anamnesis

Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur
yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas
terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mulamula timbul. Dengkuran pada
dapat terjadi secara terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu
saja. Pada OSAS, pada umumnya mendengkur setiap tidur dengan dengkuran
yang keras terdengar dari luar kamar dan terlihat episode apnea yang mungkin
diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun. Sebagian orang tidak
memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi berupa dengusan atau hembusan
nafas, noisy breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat terlihat dengan
adanya retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap, setengah duduk, atau
hiperekstensi leher untuk mempertahankan patensi jalan nafas. Selain itu gejala
lainnya yaitu mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada
waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai
impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa
dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat
mengganggu pada siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan,
pekerjaan, perubahan kepribadian, perubahan mood, hipertensi dan depresi
(Welch, 2008)

Algoritma yang digunakan dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai


OSA, berdasarkan American Academy of Sleep Medicine (AASM) :
26

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum seringkali normal pada pasien dengan OSA,
selain adanya obesitas, pembesaran lingkar leher, dan hipertensi. Lakukan
evaluasi saluran napas bagian atas pada semua pasien, tetapi terutama pada
orang dewasa nonobese dengan gejala yang sejalan dengan OSA. Temuan
pemeriksaan fisik yang mungkin adalah sebagai berikut:
a. Obesitas - indeks massa tubuh (BMI) lebih dari 30 kg / m2
b. Lingkar leher yang besar - Lebih dari 43 cm (17 inch) pada pria dan 37 cm
(15 inch) pada wanita. Lingkar leher 40 cm atau lebih memiliki sensitivitas
61% dan spesifisitas 93% untuk OSA, terlepas dari jenis kelaminnya.
Prediksi dalam hal ini menggunakan lingkar leher yang sudah
dirata-rata (average neck circumference / ANC). Lingkar leher pasien
diukur (dalam cm) pada tingkat tonjolan krikoid dalam posisi duduk dan
dirata-rata untuk faktor resiko pasti: hipertensi ditambah 4 cm terhadap
27

lingkar leher, kebiasaan mendengkur ditambah 3 cm, dan riwayat


perasaan tercekik atau sesak pada kebanyakan malam hari ditambah 3 cm.
ANC yang kurang dari 43 cm memberikan suatu kemungkinan klinis yang
rendah untuk OSA, ANC dari 43 hingga 48 cm merupakan sebuah
kemungkinan sedang, dan ANC yang lebih besar dari 48 cm merupakan
suatu kemungkinan yang tinggi
c. Skor Mallampati abnormal (meningkat)
Skor Mallampati telah digunakan selama bertahun-tahun untuk
mengidentifikasi pasien yang beresiko untuk intubasi trakea sulit.
Klasifikasi ini memberikan skor 1-4 berdasarkan pada fitur anatomi
saluran napas yang terlihat ketika pasien membuka mulutnya dan
menjulurkan lidah Setiap kenaikan 1 unit dalam skor Mallampati, rasio
kemungkinan memiliki OSA) meningkat sebesar 2,5.

d. Penyempitan dinding saluran napas lateral, yang merupakan prediktor


independen dari adanya OSA pada pria tapi tidak pada wanita.
e. Tonsil yang membesar
f. Langit-langit keras (palatum durum) melengkung tinggi
g. Hipertensi arteri sistemik, muncul pada sekitar 50% dari pasien dengan
OSA
28

h. Gagal jantung kongestif (CHF)


i. Hipertensi pulmonal
j. Stroke
k. Sindrom metabolik
l. Diabetes mellitus tipe 2
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pada hidung, orofaring, hipofaring,
laring, leher untuk menentukan adanya obstruksi pada bagian tersebut:7
i. Hidung :deviasi septum,hipertrofi adenoid, tumor atau polip nasal,
hipertrofi konka
ii. Orofaring : palatum molle yang besar, hipertrofi tonsil palatine,
makroglosia, penebalan(banding) dinding posterior faring
iii. Hipofaring : Kolaps dinding faring lateral, tumor hipofaring, hipertrofi
tonsil lingual, retrognathia dan micrognathia
iv. Laring : paralisis pita suara, tumor laring
v. Leher : ukur lilit leher
Pemeriksaan pada Paru-paru biasanya normal pada pemeriksaan
auskultasi. Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan tanda-tanda hipertensi
pulmonal misalnya peningkatan komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi
ventrikel kanan. Pemeriksaan neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi
tonus otot dan status perkembangan. (Bambang, 2005)

Kriteria diagnostik The New American Academy of Sleep Medicine (AASM)


untuk OSAS yang telah di kembangkan dalam Klasifikasi Internasional Gangguan
Tidur: Manual Diagnostik dan Coding, Edisi Kedua, tahun 2005. Setidaknya 1
dari kriteria berikut harus ada untuk menegakkan diagnosis OSA:

a. Pasien melaporkan kantuk di siang hari, tidur yang tidak menyegarkan,


kelelahan, insomnia, dan / atau episode tidur yang tidak disengaja selama
terjaga. Pasien terbangun dengan menahan napas, terengah-engah, atau
tersedak. Mitra tidur pasien melaporkan adanya dengkuran keras, interupsi
nafas, atau keduanya saat pasien tidur.
29

b. Polisomnografi (PSG) menunjukkan lebih dari 5 peristiwa pernapasan yang


dapat di skoring (misalnya, apnea, hipopnea, RERA) per jam tidur dan / atau
bukti adanya upaya pernapasan selama semua atau sebagian dari setiap
peristiwa pernapasan.
c. PSG menunjukkan lebih dari 15 peristiwa pernafasan yang dapat di skoring
(misalnya, apnea, hipopnea, RERA) per jam tidur dan / atau bukti upaya
pernapasan selama semua atau sebagian dari setiap peristiwa pernapasan.
d. Adanya gangguan tidur lain saat ini, gangguan medis atau neurologis,
penggunaan obat, atau penggunaan narkoba sebaiknya tidak diperhitungkan
untuk kondisi pasien.

2.2.6. Pemeriksaan Penunjang

A. Polisomnografi (PSG)

Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS dengan pemeriksaan


polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku
emas untuk menegakkan diagnosis OSAS. Polisomnografi juga akan
menyingkirkan penyebab lain dari gangguan pernafasan selama tidur.
Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif mengenai beratnya
penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi keadaannya
setelah operasi. Pemeriksaan terdiri dari elektroensefalogram (EEG),
elektromyogram (EMG), elektrookulogram (EOG), parameter respirasi,
electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen dan mikrofon untuk merekam
dengkuran. Penderita dimonitor selama 6 jam 10 menit. (Brouillette, 1984).

Pedoman AASM tahun 2005, indikasi dan kinerja PSG meliputi:

a. Tahapan tidur dicatat melalui EEG, elektrooculogram, dan elektromyogram


(EMG) dagu.
b. Irama Jantung dipantau dengan EKG lead tunggal.
c. Gerakan kaki dicatat melalui EMG tibialis anterior.
30

d. Pernapasan dimonitor, termasuk aliran udara di hidung dan mulut


(menggunakan sensor termal dan transduser tekanan hidung), usaha nafas
(menggunakan induktansi plethysmography), dan saturasi oksigen.
e. Pola pernapasan dianalisis untuk adanya apnea dan hipopnea, ditentukan sesuai
dengan definisi yang sudah distandarkan oleh AASM

Gambar polisomnografi pada obstructive sleep apnea. Perhatikan tidak adanya aliran
(panah merah) meskipun dilakukan upaya pernapasan paradoks (panah hijau).

RERA adalah suatu peristiwa di mana pasien memiliki serangkaian napas


dengan meningkatnya upaya pernapasan dalam waktu 10 detik atau lebih yang
menyebabkan arousal (bangun) dari tidur namun tidak memenuhi kriteria untuk
apnea atau hypopnea.Temuan PSG berikut merupakan ciri khas pada OSA:

a. Episode apnea terjadi dengan adanya usaha otot pernafasan.


b. Episode apnea yang berlangsung 10 detik atau lebih dianggap signifikan secara
klinis.
c. Episode apnea paling sering selama tidur
d. Pasien mungkin memiliki kombinasi apnea dan hipopnea, atau mereka
mungkin memiliki salah satunya saja.
e. Apnea campuran dapat terjadi.
f. Gangguan tidur karena arousal biasanya terlihat pada akhir episode apnea.
31

B. Uji tapis

Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal,


dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode lain
sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Brouillette dkk menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal
dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSAS.

Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83

•D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali2: sering, 3: selalu)

• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)

•S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai:

• Skor < -1 : bukan OSAS

• Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS

• Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS

Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS


meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor
>3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa peneliti
dapat menerima penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak
menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan
spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi. (Brouillette, 1984)

C. Observasi selama tidur

Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi langsung, anak di


suruh tidur di tempat praktek dokter demikian pula OSAS dapat didiagnosis
dengan melakukan review audiotapes/ videotapes yang dapat dilakukan di rumah.
Beberapa variabel yang dinilai adalah kekerasan dan tipe inspirasi, pergerakan
selama tidur, frekuensi terbangun, banyaknya apnea, retraksi, dan nafas dengan
32

mulut. Cara tersebut mempunyai nilai sensitifitas 94%, spesifisitas 68%, nilai
prediksi positif 83%, dan nilai prediksi negatif 88%. Observasi selama tidur dapat
dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry. Pada saat tidur anak dipantau
penurunan nilai saturasi dengan menggunakan oksimetri. Pencatatan pulse
oximetry secara kontinyu selama tidur dianjurkan sebagai tes skrining dan dapat
memperlihatkan desaturasi secara siklik yang menjadi karakteristik suatu OSAS,
tetapi tidak akan mendeteksi pasien OSAS yang tidak berkaitan dengan hipoksia.
Dengan menggunakan metode di atas nilai prediksi positif sebesar 97% dan nilai
prediksi negatif 53%. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi penurunan saturasi
selama tidur maka kemungkinan menderita OSAS cukup besar tetapi apabila tidak
terdeteksi pada pemantauan dengan oksimetri maka di perlukan pemeriksaan
polisomnografi. (Schechter, 2002)

D. Pemeriksaan Laboratorium

Tes laboratorium rutin biasanya tidak membantu dalam menegakkan OSA tanpa
adanya indikasi tertentu. Sebuah tes tirotropin harus dilakukan pada setiap pasien
dengan kemungkinan OSA yang memiliki tanda-tanda lain atau gejala
hipotiroidisme, terutama pada orang tua. Sebuah studi oleh Cintra et al. (2011)
menetapkan bahwa kadar sistein lebih tinggi pada pasien dengan OSA
dibandingkan dengan subyek kontrol, dan kadar ini berkurang setelah pengobatan
OSA yang efektif. (Patil, 2007)

E. Kuisioner Epworth sleepiness scale (ESS) dan Standford sleepiness scale


(SSS)

Epworth sleepiness scale (ESS) dan Standford sleepiness scale (SSS)


adalah kuisioner yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa mengantuk.
Skala ini tidak berhubungan secara langsung dengan indeks apnea-hipopnea.
Penyebab daytime hypersomnolence adalah karena adanya tidur yang
terputusputus, berhubungan dengan respons saraf pusat yang berulang karena
adanya gangguan pernapasan saat tidur. (Friedman, 2009)
33

Kuisioner EES dan SSS dapat digunakan untuk menanyakan keluhan yang
berhubungan dengan gejala OSA. ESS digunakan untuk menilai bagaimana
kebiasan tidur dan rasa mengantuk pasien dalam kegiatan sehari-hari, sedangkan
SSS untuk mengetahui seberapa mengantuknya pasien pada kegiatan tersebut.
Multiple sleep latency testing (MSLT) adalah pemeriksaan yang bersifat objektif
untuk mengevaluasi derajat beratnya rasa mengantuk yang berlebihan di siang
hari. Pemeriksa juga harus menanyakan kepada pasien tentang. (Friedman, 2009)

Pengalaman terbangun dari tidur karena tersedak, mendengkur (dapat


ditanyakan pada teman tidur) dan bangun dari tidur dengan badan terasa tidak
segar.3,8 Hal-hal yang harus dinilai pada pemeriksaan fisik adalah IMT, ukuran
lingkar leher, keadaan rongga hidung (deviasi septum, hipertrofi konka, polip,
riadenoid), perasat Mueller (untuk menilai penyempitan veloorofaring), penilaian
Friedman tounge position (modifikasi Mallampati), bentuk palatum mole, bentuk
uvula, palatal flutter, palatal floppy, ukuran tonsil dan penyempitan peritonsil
lateral. Populasi dewasa dengan IMT >30 kg/m2 memiliki prevalensi OSA >50%.
Perlu diketahui bahwa penilaian IMT dan lingkar leher tidak memiliki predictive
abilities pada wanita. Mendengkur memiliki positive predictive value (PPV) 63%
dan negative predictive value (NPV) 56% pada OSA.6 Pemeriksaan Oksimetri
pada saat tidur malam hari sebagai skrining OSA, memiliki sensitivitas sebesar
31%. Kombinasi dari semua faktor di atas dapat meningkatkan predictive abilities
antara 60-70%. (Friedman, 2009)
34

Untuk memudahkan penilaian saluran napas atas, Friedman membuat


standar pemeriksaan daerah naso-veloorofaring. Ada empat derajat Friedman
tounge position. Pasien membuka muluttanpa mengeluarkan lidah, dilakukan
observasi: derajat I, seluruh uvula tervisualisasi; derajat II, uvula tervisualisasi
tetapi tonsil tidak terlihat; derajat III, palatum mole tervisualisasi, tetapi uvula
tidak terlihat; derajat IV, hanya palatum durum yang tervisualisasi. Pemeriksaan
ini dapat memprediksi ada tidaknya OSAS. (Friedman, 2009).

F. Pemeriksaan perasat Mueller

Pemeriksaan perasat Mueller yang dilakukan saat terjaga, dapat


mencerminkan keadaan mendengkur pasien OSA saat tidur dan dapat digunakan
untuk memprediksi keberhasilan dari operasi uvulopalatopharyngealplasty
(UPPP). Caranya adalah dalam posisi duduk, dilakukan nasoendoskopi dan pasien
35

diinstruksikan untuk melakukan inspirasi kuat sambil menutup hidung dan mulut.
Pada pemeriksaan ini dilakukan penilaian luas saluran napas atas pada ruang
retropalatal dan retroglosal. Penyempitan pada ruang ini dapat terjadi
anteroposterior, laterolateral atau konsentrik. (Friedman, 2009)

G. Pemeriksaan Sleep Endoscopy

Pemeriksaan sleep endoscopy digunakan untuk memvisualisasikan


obstruksi jalan napas saat pasien tidur. Ada lima daerah yang perlu diperhatikan,
yaitu: palatum mole, dinding faring lateral, tonsil palatina, tonsil lingua/dasar
lidah dan epiglotis. Derajat obstruksi dibagi 7 menjadi empat kategori. Simple
palatal snoring, suara mendengkur berasal dari getaran palatum mole, dinding
sfingter velofaring dan orofaring bagian atas. Lateral wall collapse, penyebab
obstruksi berasal dari area orofaring dan tonsil palatina. Tounge base/epiglotis,
fungsi sfingter velofaring baik, obstruksi terdapat pada dasar lidah atau karena
hipertrofi tonsil lingua. Epiglotis mungkin memiliki kontribusi terhadap
dengkuran. Multi segmental collapse, tampak obstruksi pada beberapa tingkatan
anatomi. (Friedman, 2009)

2.2.7. Penatalaksanaan

A. Terapi Non-Bedah
a. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
Terapi standar dan banyak digunakan untuk pasien OSAS adalah Continuous
Positive Airway Pressure (CPAP); terapi ini dapat menurunkan kejadian
apnea dan hypopnea, sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Terapi CPAP menjadi pilihan pertama pasien hipertensi dengan OSAS derajat
sedang ke berat (AHI ≥20 kali/jam).Beberapa penelitian telah
memperlihatkan penurunan tekanan darah sekitar 2 mmHg pada pasien OSAS
yang mendapat CPAP. Penurunan tersebut secara signifikan menurunkan
risiko dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler.
Efek ini lebih besar terlihat pada pasien hipertensi dengan OSAS derajat
berat; terapi CPAP pada pasien OSAS derajat berat yang disertai hipertensi
36

menjadi pilihan walaupun tidak ada gejala. Terapi CPAP menjadi pilihan
terapi pada OSA derajat ringan apabila disertai gejala atau komorbid
kardiovaskuler. Selain menurunkan tekanan darah, terapi CPAP dapat
memperbaiki fungsi sistolik dan diastolik ventrikel subjek normal yang
menderita OSA. Terapi CPAP juga dapat memperbaiki profil hormonal
pasien seperti plasma renin dan angiotensin II. (Haerani, 2006)
Alat ini dapat digunakan melalui masker nasal, masker oral atau variasi
variasi lain. Konsep CPAP antara lain bekerja melalui tekanan positif
(pneumatik) di jalan napas atas pada tingkat yang konstan atau berfungsi
untuk menjaga jalan napas atas tetap paten atau terbuka selama tidur dan
mempertahankan volume paru sehingga membantu faring tetap paten. Hal
tersebut dapat mencegah terjadinya apnea dan dapat mengeliminasi kejadian
mendengkur. Terapi menggunakan CPAP akan meningkatkan kualiti hidup
dan menurunkan tekanan darah. Terapi ini dianggap efektif untuk pasien OSA
sehingga merupakan terapi lini pertama dan pilihan utama serta merupakan
terapi seumur hidup karena jika pasien menghentikan pemakaian CPAP maka
gejalagejala OSA akan terulang kembali
CPAP mengurangi dengkur dan apnea dan membaiki gejala ketiduran pada
siang. CPAP 90-95% effective dalam eliminasi OSAS dan keefektifannya
tergantung pada compliance dan keteraturan penggunaan pasien. (Haerani,
2006)
b. Perubahan gaya hidup
Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala,
seperti penurunan berat badan, olahraga, mengurangi konsumsi alkohol,
khususnya sebelum tidur (4-6 jam sebelum tidur), tidur dengan posisi miring
(dibandingkan supinasi), good sleep hygiene, pemakaian Positive Airway
Pressure yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur.
Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan
kafein pada malam hari dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan
mekanisme pernapasan sentral. Kadar alkohol saat tidur (0,5-0,75 mL/kg)
dapat meningkatkan resistensi inspirasi selama stadium 2 non-rapid eye
37

movement (nREM) tidur pada lakilaki muda normal. Efek terhadap pusat
respirasi bervariasi tergantung dari metoda pengukuran yang digunakan.
Tekanan oklusi inspirasi yang diukur dengan menilai otot-otot inspirasi,
cenderung meningkat selama tidur setelah mengkonsumsi alkohol.
c. Mandibular advencement
Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat
mandibularadvancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada
gigi dan menahan mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang
bawah) sehingga dapat memaksimalkan diameter faring dan mengurangi
kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada
penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSAS yang
ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang
intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi
oklusi dan sendi temporomandibula sehingga pemakaiannya diperlukan
seorang ortodontic karena pembuatannya tergantung individu. (Haerani,
2006)
d. Oral Apliciances (OA)
Oral appliances dianjurkan pada pasien OSA ringan yang tidak respons
dengan melakukan perbaikan gaya hidup atau yang yang tidak tidak toleran
dengan pemberian tekanan positif jalan napas. OA diindikasikan untuk (1)
pasien dengan OSA ringan sampai sedang yang lebih memilih cara oral
daripada perangkat CPAP, (2) pasien dengan OSA ringan sampai sedang
yang tidak berespon dengan terapi CPAP, dan (3) pasien dengan OSA ringan
sampai sedang yang upaya pengobatan dengan perangkat CPAP gagal.
OA bertindak dengan memindahkan (menarik) lidah ke depan atau dengan
menggerakkan rahang dan langit-langit lunak anterior, memperbesar airspace
posterior, membuka atau melebarkan jalan napas selama tidur. Kontraindikasi
untuk pengobatan OA meliputi kurang dari 6-10 gigi di setiap arkus, pasien
tidak dapat menonjolkan mandibula ke depan dan membuka rahang secara
luas, terdapat kelainan sendi temporomandibular sebelumnya, bruxisme berat,
pasien dengan gigi palsu penuh. Komplikasi atau efek samping meliputi air
38

liur berlebihan (salivasi), misaligment gigi dengan perubahan gigitan dan


perpindahan gigi. Pasien juga merasa keberatan jika harus menggunakan alat
ini sepanjang malam.

B. Terapi Bedah
Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan
bentuk saluran napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik.
Indikasi pembedahan OSA adalah AHI ≥ 20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan
esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti
aritmia dan hipertensi), gejala neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah
dan adanya kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak
ada satu teknik yang benar-benar baik untuk OSA.
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang
menyebabkan obstruksi saluran napas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep
endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan:
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSAS dengan tonsil
yang besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan
tidak memerlukan terapi CPAP.
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring
yang berlebih diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat
kaku dinding faring yang akan mencegah kolaps. Metode ini angka
keberhasilannya 50% dalam menyembuhkan OSA. Komplikasi metode ini
adalah terjadinya regurgitasi nasofaring saat minum namun hanya bersifat
sementara karena akan berkurang dalm 3 bulan.
3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus
endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila
sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita
yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.
4. Laser-Assisted Uvulopalatoplasty.Teknik yang digunakan oleh sebagian
besar ahli bedah menghapus bagian segitiga jaringan berdekatan dengan
setiap sisi akar dari uvula diikuti dengan pengurangan 50% dari uvula
39

distalsehingga memperpendek dan meningkatkan ukuran dan posisi


uvulopalatal kompleks.
5. Maxillofacial (Skeletal) Surgery.Teknik ini meningkatkan ukuran saluran
udarabagian atas dengan menggerakkanpangkal lidah jauh dari
hypopharyngeal posteriordan dinding orofaringeal, penurunan kolaps jalan
napas. Pasien ada yang dipilih berdasarkan tingkat keparahan mereka
apnea (sedang sampai berat), adanya kelainan kraniofasial, seperti
micrognathia atau retrognathia, atau kegagalan untuk menanggapi terapi
lain.
6. Radiofrequency Tissue Volume Reduction. Teknik ini dengan memasukkan
elektroda ke berbagai bagian langit-langit lunak
dan menerapkan energi panas, jaringan lunak akan mengalami
lesi termal akan timbul fibrosis jaringan. Prosedur ini dapat diulang
beberapa kali dan dalambeberapa sasaran situs dari saluran udara bagian
atas, termasuk tonsil dan pangkal lidah.
7. Pemasangan implan Pillar pada palatum. Implan Pillar atau implan palatal
merupakan teknik yang relatif baru, merupakan modalitas dengan invasi
minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA
ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan untuk memberi kekakuan
pada palatum mole. Tiga buah batang kecil diinsersikan ke palatum mole
untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan snoring.
8. Trakeostomi, tatalaksana surgical yang gold standard danterakhir apabila
metode lain tidak berhasiladalah trakeostomy. Trakeostomi dilakukan
dengan by pass obstruksi salur napas atas. Indikasi trakeostomi adalah
pasien dengan cor pulmunale, obesity hypoventilation syndrome, aritmia,
pasien yang tidak toleransi CPAP dan intervensi surgical lain gagal.
(Prasenohadi, 2011)

C. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis umumnya bukan bagian dari rekomendasi pengobatan
primer. Acetazolamide, medroksiprogesteron, fluoxetine, dan protriptyline telah
40

digunakan untuk mengobati OSA namun obat - obat ini tidak dianjurkan.
Modafinil disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika untuk
digunakan pada pasien yang memiliki sisa EDS meskipun sudah menggunakan
CPAP optimal. Perbaikan paling baik terlihat pada pasien yang mengonsumsi
modafinil pada dosis 200-400 mg/hari. Armodafinil, R-enansiomer modafinil,
juga sekarang telah disetujui FDA untuk digunakan pada pasien ini. (Downey,
2014)

2.2.8. Kompikasi

Komplikasi OSAS terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal, asidosis, sleep


fragmentation.:

1. Komplikasi neurobehavioral

Komplikasi neurobehavioral terjadi akibat hipoksia kronis nokturnal dan


sleep fragmentation. Rasa mengantuk pada siang hari yang berlebihan dilaporkan
terjadi pada 31% - 84% anak dengan OSAS. Keluhan lain yang dapat menyertai
OSAS adalah keterlambatan perkembangan, penampilan di sekolah yang kurang
baik, hiperaktifitas, sikap yang agresi/hiperaktif, penarikan diri dari kehidupan
sosial. Manifestasi gangguan kognitif yang lebih ringan dapat sering terjadi. Suatu
penelitian menunjukkan perbaikan OSAS dapat menyebabkan perbaikan yang
nyata pada fungsi kognitif. (Bambang, 2005)

2. Gagal tumbuh

Gagal tumbuh merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak


dengan OSAS kira-kira 27 56%. Penyebab gagal tumbuh pada anak dengan OSAS
adalah anoreksia, disfagia, sekunder akibat hipertrofi adenoid dan tonsil,
peningkatan upaya untuk bernafas, dan hipoksia. Pertumbuhan yang cepat terjadi
setelah dilakukan adenotonsilektomi. (Bambang, 2005)

3. Komplikasi kardiovaskular

Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis respiratorik dapat


mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang merupakan penyebab
41

kematian pasien OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi kor pulmonal.
Prevalensi hipertensi pulmonal pada anak dengan OSAS tidak diketahui.
Brouilette dkk4 melaporkan kor pulmonal terjadi pada 55% dari 22 anak dengan
OSAS dan Guilleminault dkk, melaporkan adanya cardio respiratory failure pada
20% dari 50 pasien. (Bambang, 2005)

4. Enuresis

Enuresis dapat merupakan komplikasi OSAS. Etiologinya mungkin akibat


kelainan dalam regulasi hormon yang mempengaruhi cairan tubuh. Enuresis
khususnya yang sekunder dapat membaik setelah obstruksi jalan nafas bagian atas
dihilangkan. (Bambang, 2005)

5. Penyakit respiratorik

Pasien dengan OSAS lebih mungkin mengaspirasi sekret dari respiratorik


atas yang dapat menyebabkan kelainan respiratorik bawah dan memungkinkan
terjadinya infeksi respiratorik. Keadaan ini dapat membaik setelah dilakukan
tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Beberapa anak dengan tonsil yang besar
mengalami disfagia atau merasa sering tercekik dan mempunyai risiko untuk
mengalami aspirasi pneumonia. (Bambang, 2005)

6. Gagal nafas dan kematian

Laporan kasus telah melaporkan adanya gagal nafas pada pasien dengan
OSAS yang berat atau akibat komplikasi perioperatif. (Bambang, 2005)

2.2.9. Prognosis

Berdasarkan penelitian dari Noda, 1998 prognosis pada pasien OSAS


berbeda pada usia muda (<40tahun), usia setengah baya (40-60 tahun) dan usia
paruh baya (>60 tahun). Tingkat kelangsungan hidup pada OSAS adalah 71,4%.
Dalam kelompok usia muda (<40tahun) hanya satu kematian terjadi secara tak
terduga saat tidur. Pasien menunjukan spnea/ hypopnea indeks (AHI) dari 33 jam
dan lamanya waktu saturasi oksigen malam hari (SaO2) turun di bawah 90%
(waktu SaO2 <90% dari 205 menit. Tinggat kelangsungan hidup pada usia
42

setengah baya (40-60tahun) dengan OSAS secara signifikan lebih rendah dari
pada usia paruh baya. Waktu SaO2 <90% secara signifikan lebih lama pada
pasien yang berusia setengah baya daripada pasien pada berusia paruh baya tetapi
nilai AHI tidak berbeda antar kedua kelompok. Tingkat kelangsungan hidup
secara signifikan lebih rendah pada pasien hipertensi dibandingkan pada pasien
tanpa komplikasi. Prognosis pada populasi paruh baya mungkin tergantung pada
peran OSAS pada komplikasi hipertensi atau keparahan denaturasi oksigen.
(Noda, 1998)
43

BAB III

KESIMPULAN

Obstructive sleep apnea syndrom(OSAS) adalah kelainan yang merupakan


bagian dari sleep-disorder breathing syndrome yang kompleks. Sebenarnya gejala
OSAS sering terjadi, namun sulit untuk dideteksi. OSAS adalah salah satu bentuk
gangguan napas saat tidur yang ditandai oleh episode henti napas (apnea) minimal
10 detik/ episode. Apnea dapat didefinisikan sebagai hilangnya aliran udara
sedikitnya 10 detik. Penurunan volume tidal melebihi 50% tetapi di bawah 75%
dari nilai dasar dengan terhentinya aliran udara sedikitnya 10 detik disebut
hipopnea. Gabungan apnea/ hipopnea merupakan patofisiologi obstructive apnea.

OSAS paling banyak dialami oleh pria usia pertengahan dengan obesitas.
Gejala dari OSASantara lainmendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang
hari, tersedak, tidur tidak nyeyak, letih dan lesu sepanjang hari, penurunan
konsentrasi, serta riwayat OSAS dalam keluarga. Tanda dari OSASantara lain
obesitas, hipoplasia mandibula atau maksila, penyempitan orofaring, pembesaran
tonsil atau lidah, serta obstruksi nasal dan nasofaringeal
Diagnosis OSAS ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik untuk
mengetahui kelainan yang mungkin ada sebagai faktor penyebab dan pemeriksaan
penunjang. Gold standard diagnosa OSAS adalah dengan melakukan pemeriksaan
penunjang berupa polisomnografi. Terapi OSASdibagi menjadi terapi non bedah,
terapi bedah dan terapi farmakologi. Terapi non bedah dengan mengusahakan
tekanan positif untuk mengurangi obstruksi dan meminimalisir faktor penyebab
melalui perubahan gaya hidup, olah raga serta obat-obatan. Terapi bedah
dilakukan sesuai dengan indikasi. Terapi farmakologi bukan sebagai pengobatan
primer pada OSAS.
Komplikasi dari OSASdapat terjadi pada seluruh sistem dalam tubuh,
antara lain neurobehavioral, gagal tumbuh pada anak, komplikasi kardiovaskular,
enuresis, penyakit respiratorik, gagal nafas dan kematian.
44

DAFTAR PUSTAKA

Antariksa B. Patogenesis, Diagnostik dan Skrining OSA (obstructive sleep


apnea).Available from:http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA% 2012.

Bambang Supriatno, Rusmala deviani. Obstructive Sleep Apnea Syndrom.


Journal ilmiah kedokteran. Vol 2. No3. 2015

Brouillette R, Hanson D, David R. A. Diagnostic Approach to Suspected


Obstructive Sleep Apnea in Children. J Pediatr 1984; 105:10

Arie Cahyono, Bambang Hermani et all. Hubungan Obstructive Sleep


Apne dengan Penyakit Sistem Kardiovaskular. 2011. Fakulas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Downey, R, Rowley, JA, Wickramasinghe, H, Gold, P.M. 2014.


Obstructive Sleep Apnea; diambil 2015 Juni 18. Diambil dari:
http://emedicine.medscape.com/article/295807-overview#showall.

Friedman M. Friedman tongue position and the staging of obstructive


sleep apnea/ hypopnea syndrome. In: Friedman M, editor. Sleep apnea and
snoring, surgical and non surgical therapy. China: Elsevier; 2009. p.1056.

Mariani, rasjid, Mohammad yogiarto. Obstructive sleep apnea (OSA).


Journal ilmiah kedokteran. Vol 2. No 3. 2015

Madani M. Snoring and Obstructive Sleep Apnea. Arch of Iranian Med


2007; 10(2):215- 26.

Noda A et all. Prognosis of the middle-aged and aged patients with


obstructive sleep apne syndrom. Psychiatry Clin Neurosci. 52(1) : 79-85. 1998.
Nagoya Universitas School of Health Sciences, Dapartement of Clinical
Laboratory Medicine, Nagoya University Hospital, Japan. Diambil dari :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/9682938

Prasenohadi. 2011. Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea.


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK UI. Jakarta.
45

Randerath, W.J, Steffen, A. 2014. Treatment Option For OSA.


Respiratory, European Medical Journal

Haerani, Rasyid, Rabiul Zatalia. Hubungan Obstruksi Sleep Apnea dengan


Hipertensi. CDK-244. Vol 43. No 9. 2016

Soepardi,E, Iskandar N, Bashiruddin J et all, Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke 6. Jakarta : balai
penerbit FKUI.

Schechter MS, Technical report: Diagnosis and management of childhood


obstructive sleep apnea syndrome. Pediatrics 2002; 109:1-20.

Shidi Laksono. Obstructive Sleep Apnea Syndrome Pada Gagal Jantung.


Jurnal kedokteran yarsi 25(3); 172-183. 2017

Snell, Richard S, Anantomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 9.


EGC. Jakarta.

Patil SP, Scheneider H, Schwartz AR, Smith PL. Adult obstructive sleep
apnea: pathophysiology and diagnosis. Chest Journal 2007; 132:325-37.

Welch KC, Goldberg AN. Sleep disorders. In: Lalwani AK, editor.
Current diagnosis & treatment, otolaryngology head and neck Surgery. 2nd ed.
New York: McGraw-Hill Companies LANGE; 2008. p.535-47

Walker RP. Snoring and obstructive sleep apnea. In: Bailey JB, Johnson
JT, editors. Head & neck surgeryotolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincontt
Williams & Wilkins; 2006. p.645-64.

Anda mungkin juga menyukai