Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SIMPLEKS PADA ANAK

PEMBIMBING:

dr. Rina Octaviana

PENYUSUN :

dr. Sashia Laras

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PUSKESMAS KECAMATAN DUREN SAWIT

05 Maret 2018 – 05 Juli 2018

1
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. T Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 3 tahun 3 bulan Suku Bangsa : Betawi
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 22 Januari 2015 Agama : Islam
Alamat : Jl. Cipinang Besar Selatan No. RM :
Jakarta Timur

I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. M (ibu kandung pasien)
Lokasi : Poli Umum Puskesmas Kecamatan Duren Sawit
Tanggal / waktu : 12 April 2018, pukul 13.25 WIB
Keluhan utama : Demam sejak 2 hari
Keluhan tambahan : Batuk, pilek, nyeri menelan, lemas dan nafsu makan berkurang

a. Riwayat Penyakit Sekarang :


Anamnesis dilakukan secara allo-anamnesis terhadap ibu pasien. Pasien datang ke
poli umum Puskesmas Kecamatan Duren Sawit dengan keluhan kejang sejak 15 menit
yang lalu di rumah dan saat perjalanan ke puskesmas. Kejang dirasakan berlangsung
selama  5 menit, kelojotan, mata mendelik, lidah tidak terggit, menangis dan lemas saat
selesai kejang. Ibu pasien juga mengeluhkan bahwa pasien demam sejak 2 hari yang lalu,
batuk berdahak, pilek dan nyeri menelan sejak 5 hari SMRS. Ingus berwarna putih bening
kental, namun tidak banyak. Demam hari pertama diukur hingga 39C, lalu menurun
berangsur-angsur dengan diberikan obat parasetamol oleh ibu pasien. Ibu pasien mengaku
hanya memberikan obat penurun panas saja, belum berobat kemana pun untuk batuk
pilek maupun demamnya. Riwayat kejang sebelumnya disangkal. Pusing, nyeri kepala
disangkal. Mual, muntah, sesak disangkal. BAK BAB normal seperti biasa, tidak terdapat
keluhan. Ibu pasien mengatakan pasien menjadi terlihat lemas selama sakit, padahal
biasanya pasien sangat aktif dalam beraktivitas dalam kesehariannya. Nafsu makan pun
juga berkurang dalam 5 hari terakhir.

b. Riwayat Penyakit yang pernah diderita

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteri (-) Penyakit ginjal (-)
Penyakit
Cacingan (-) Diare (-) (-)
jantung

2
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)
Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien tidak ada riwayat sakit
sebelumnya.
c. Riwayat Kehamilan / Kelahiran
Morbiditas kehamilan Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), anemia (-),
penyakit jantung (-), penyakit paru (-), infeksi
KEHAMILAN pada kehamilan (-), asma (-).
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke Puskesmas (selalu datang
sesuai anjuran bidan)
Tempat persalinan Rumah Bersalin
Penolong persalinan Bidan
Spontan pervaginam
Cara persalinan

Masa gestasi 39 minggu


Berat lahir : 3600 gram
Panjang lahir : 53 cm
KELAHIRAN
Lingkar kepala : tidak tahu
Langsung menangis (+)
Merah (+)
Keadaan bayi
Pucat (-)
Biru (-)
Kuning (-)
Nilai APGAR : tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan/kelahiran: pasien lahir spontan pervaginam, neonatus cukup
bulan dengan berat badan lahir sesuai masa kehamilan.

Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : sesuai dengan usia, tidak didapatkan
keterlambatan dalam perkembangan.

d. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 1 bulan X X
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan
Campak 9 bulan X X
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan

3
Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar lengkap sesuai jadwal

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi cukup
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 13 kg
Panjang Badan : 110 cm
Lingkar kepala : 46 cm (normocephali menurut Kurva Nellhaus)
Lingkar lengan atas : 11 cm

Status Gizi
- BB / U = 13/14 x 100 % = 92 % (Kurang)
- TB / U = 110/94 x 100 % = 117 % (Normal)
- BB / TB = 13/19 x 100 % = 83 % (kesan Gizi Kurang)
Kesimpulan status gizi : Menurut parameter BB/TB, gizi pasien termasuk dalam kategori gizi
cukup.

Tanda Vital

Tekanan Darah : Sulit dilakukan


Nadi : 96x / menit, kuat, isi cukup, equal kanan dan kiri, regular
Nafas : 24x / menit, tipe abdomino-torakal
Suhu : 38.9°C, frontalis (diukur dengan thermometer digital di frontalis)

KEPALA : Normocephali, deformitas (-), hematome (-), UUB sudah menutup, cekung (-)
RAMBUT : Rambut cokelat kehitaman, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, tebal
WAJAH : Wajah simetris, tidak ada luka atau jaringan parut
MATA: Alis mata merata, madarosis (-), Bulu mata hitam, merata, trikiasis (-)

Visus : kesan baik Ptosis : -/-


Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Endophtalmus : -/- Lensa jernih : +/+
Strabismus : -/- Pupil : bulat,isokor
Nistagmus : -/-
Refleks cahaya: langsung +/+ , tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-

4
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang +/+ Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung: -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/- Konka eutrofi :+/+
BIBIR : Simetris, Mukosa pucat, kering (-), sianosis (-)
MULUT : Trismus (-), oral hygiene baik, mukosa gusi dan pipi berwarna merah
muda
LIDAH : Normoglosia, atrofi papil (-), tremor (-), coated tongue (-), hiperemis (-),
TENGGOROKAN : Arkus faring simetris, hiperemis (+), uvula ditengah,
tonsil T1-T1 tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus (-),
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun
KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid
maupun KGB, trakea teraba di tengah
THORAKS : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas (-),retraksi suprasternal
(-), retraksi intercostal (-), retraksi subcostal (-)

JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra.
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra.
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra.
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-).

PARU
Inspeksi
-
Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang
tertinggal, tipe pernapasan abdomino-torakal, retraksi (-), tidak ditemukan efloresensi
pada kulit dinding dada.
Palpasi
-
Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal fremitus sama
kuat kanan dan kiri.
-
Angulus costae 75o.
Perkusi
-
Sonor di kedua lapang paru.
-
Batas paru dan hepar di ICS VI linea midklavikularis dextra.
Auskultasi

5
-
Suara napas vesikuler, reguler, ronkhi -/-, wheezing -/-.

ABDOMEN :
 Inspeksi : Perut datar, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut maupun
benjolan, roseola spot (-), kulit keriput (-), gerakan peristaltik (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) 4 kali / menit
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor kulit baik. Hepar 1/3-1/3, kenyal, licin, rata, tajam,
NT(-) dan lien tidak teraba membesar, ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-.
 Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen

ANOGENITALIA : Jenis kelamin perempuan, labia mayor dan minor oedem (-) darah mengalir
dari anus (-)
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar

ANGGOTA GERAK :

Ekstremitas : akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak ada edema, CRT < 2 detik.
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis + +
Refleks patologis - -
Edema - -

Kaki Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis + +
Refleks patologis - -
Edema - -

Tanda rangsang meningeal : (-)


Nervus Kranialis : Tidak diperiksa
KULIT : Warna sawo matang merata, pucat (-), ikterik (-), sianosis (-), turgor kulit baik, lembab
NEUROLOGIS

6
Refleks Patologis Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -

Rangsang meningeal
Kaku kuduk -
Kanan Kiri
Kerniq - -
Laseq - -
Bruzinski I - -
Bruzinski II - -

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dlakukan pemeriksaan penunjang.

IV. RESUME
Pasien An. K, laki-laki, usia 3 tahun 3 bulan datang ke poli umum Puskesmas Kecamatan
Duren Sawit dengan keluhan kejang sejak 15 menit yang lalu di rumah dan saat perjalanan ke
puskesmas. Kejang dirasakan berlangsung selama  5 menit, kelojotan, mata mendelik, lidah
tidak tergigit, menangis dan lemas saat selesai kejang. Ibu pasien juga mengeluhkan bahwa
pasien demam sejak 2 hari yang lal, batuk, pilek dan nyeri menelan sejak 5 hari SMRS. Ibu
pasien mengatakan pasien menjadi terlihat lemas selama sakit, padahal biasanya pasien sangat
aktif dalam beraktivitas dalam kesehariannya, nafsu makan pun juga berkurang dalam 5 hari
terakhir. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum suhu tubuh 38,9C, faring hiperemis.
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Dari penemuan yang didapatkan melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, pasien dapat di diagnosa mengalami kejang demam dan infeksi saluran
pernapasan atas.

V. DIAGNOSIS KERJA
- Kejang demam simpleks
- Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)

VI. DIAGNOSIS BANDING

7
-
Kejang demam kompleks

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN


- Pemeriksaan darah rutin, glukosa dan elektrolit

VIII. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa:
Non-medikamentosa
1. Komunikasi, informasi, edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien.
2. Observasi tanda vital dan keadaan umum.
3. Edukasi untuk lebih waspada apabila anak mengalami demam, cara mengatasi
demam dan kejang apabila berada di rumah.
4. Memperhatikan dan menyiapkan makanan dengan bersih, disarankan untuk
mengurangi jajan, menghindari faktor resiko yang menyebabkan ISPA dan demam.

Medikamentosa
- O2 nasal kanul 2-3 lpm
- Paracetamol per rektal 200mg

IX PROGNOSIS
- Ad Vitam : ad bonam
- Ad Sanationam : ad bonam
- Ad Fungsionam : ad bonam

8
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Kejang demam atau disebut juga febrile Convulsion adalah bangkitan kejang yang terjadi
pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun karena kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 oC,
dengan metode pengukuran suhu apapun) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang kembali tidak termasuk
dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak
termasuk kejang demam. Kejang demam merupakan bangkitan kejang pada bayi atau anak-anak
yang disebabkan oleh demam. (2)

Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitis dan ensefalopati. Kejang demam juga harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang
ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi 2
golongan, yaitu kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan kejang
umum (tonik dan atau klonik), tanpa gerakan fokal dan tidak berulang dalam 24 jam dan kejang
demam kompleks yang memiliki ciri salah satu dari: yang berlangsung lebih dari 15 menit,
kejang fokal, partial atau umum yang didahului kejang partial, dan terjadi secara multiple (lebih
dari 1 kali kejang dalam 24 jam). (2,3)

Etiologi

Pencetus terjadinya kejang ialah adanya demam yang disebabkan oleh adanya infeksi
pada bayi dan anak. Bentuk infeksi yang mungkin ditemukan adalah infeksi saluran pernapasan
atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Perlu diperhatikan untuk
menyingkirkan infeksi sistem saraf pusat sebagai penyebab kejang, baru memikirkan
kemungkinan adanya kejang demam. Pada banyak pasien kejang demam sering ditemukan
riwayat kejang demam pada keluarganya, oleh karena itu dicurigai adanya kecenderungan
genetik pada penyakit ini meskipun belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.4,5

Epidemiologi

9
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak usia dibawah 6 tahun. Puncaknya biasanya terjadi
pada usia 14-18 bulan. Sangat jarang ditemukan adanya kejang demam pada anak berusia diatas
6 tahun. Pada saudara kandung insidensinya berkisar 9–17%. Angka kejadian pada kembar
monozigot lebih besar daripada kembar dizigot. Dari semua kasus kejang demam, sekitar 80%
merupakan kejang demam sederhana dan 20% kejang demam kompleks. Adanya epilepsi pada
saudara kandung juga meningkatkan resiko kejang demam begitu pula sebaliknya. Insidensi
komplikasi berupa epilepsi berkisar 9% pada anak yang memiliki faktor resiko berupa riwayat
keluarga epilepsi positif dibandingkan dengan faktor resiko negatif yaitu sekitar 1%.2

Patofisiologi

Untuk mempertahankan kinerja otak diperlukan adanya energi yang didapatkan dari hasil
metabolisme. Bahan yang dibutuhkan mutlak disini adalah glukosa. Proses metabolisme ini juga
membutuhkan oksigen yang dihantar oleh paru-paru ke jantung kemudian ke otak. Sel syaraf,
seperti sel lainnya dikelilingi oleh suatu membrane yang permukaan dalamnya lipoid sedangkan
permukaan luarnya ionik. Dalam keadaan normal permeabilitas sel terhadap ion kalium lebih
tinggi dari ion natrium, sehingga kadar kalium dalam sel tinggi sedangkan kadar natrium dalam
sel rendah. Hal yang sebaliknya berlaku di luar sel saraf. Untuk menjaga homeostasis ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase. Keseimbangan potensial membrane ini
dapat diubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstrasel, rangsangan yang datang
mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya dan adanya perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena adanya penyakit atau pengaruh keturunan.3

Pada keadaan demam dengan kenaikan suhu 1o C menyebabkan kenaikan metabolisme


basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat hingga 20%. Pada seorang anak yang
berusia 3 tahun sirkulasi darah ke otak mencapai 65%, bandingkan dengan orang dewasa yang
hanya mencapai 30%. Jadi adanya kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membrane sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion natrium dan
kalium sehingga kesimbangannya tidak terjadi lagi. Lepas muatan ini akan meluas ke seluruh sel
maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan neurotransmitter. Tidak semua jenis
neurotransmitter dapat menyebabkan terjadinya perpindahan ini. Hanya neurotransmitter yang
bersifat eksitasi seperti glutamat dan asam aspartat yang dapat menyebabkan peningkatan
penyaluran impuls saraf. Adanya daerah neuron yang mati (misalnya oleh karena adanya glioma

10
tumbuh lambat, hematoma, gliosis dan malformasi arterivenosus) juga dapat meningkatkan
perkembangan sinaps hipereksitasi yang baru. Eksitasi berlebih ini yang akan disalurkan menuju
motor end plate sehingga menyebabkan kontraksi secara tiba-tiba dari otot-otot rangka.4 Setiap
anak memiliki ambang kejang yang berbeda-beda. Pada anak dengan ambang kejang rendah,
dapat timbul kejang pada suhu 38o C. Sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi,
dapat timbul kejang pada suhu 40o C atau lebih. Oleh karena itu perlu diperhatikan pada tingkat
suhu berapa penderita mengalami kejang.Kejang demam yang berlangsung singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang demam yang
berlangsung lama biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
disebabkan oleh karena metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang
tidak teratur dan suhu tubuh yang makin meningkat akibat peningkatan aktivitas otot dan
selanjutnya diikuti peningkatan metabolisme. Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan pada neuron otak setelah berlangsungnya kejang pada waktu yang cukup lama. Edema
otak juga dapat terjadi karena adanya gangguan peredaran darah yang menyebabkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler.5

11
Pathway Kejang Demam Anak

Infeksi bakteri rangsang mekanik dan biokimia.


Virus dan parasit gangguan keseimbangan cairan&elektrolit

Reaksi inflamasi perubahan konsentrasi ion


di ruang ekstraseluler
Proses demam
Ketidakseimbangan kelainan neurologis
Hipertermia potensial membran perinatal/prenatal
ATP ASE
Resiko kejang berulang
difusi Na+ dan K+

Pengobatan perawatan
Kondisi, prognosis, lanjut kejang resiko cedera
Dan diit

Kurang informasi, kondisi kurang dari lebih dari 15 menit


Prognosis/pengobatan 15 menit
Dan perawatan perubahan suplay
Tidak menimbulkan Darah ke otak
Kurang pengetahuan/ gejala sisa
Inefektif
Penatalaksanaan kejang resiko kerusakan sel
Cemas Neuron otak

12
Perfusi jaringan cerebral tidak efektif
Manifestasi Klinik

Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan
biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 38C atau lebih (rectal). Umumnya kejang
berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi
seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang
tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Sebagian besar kejang
berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% yang berlangsung lebih dari 15 menit.
Sering kali kejang berhenti sendiri setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah kejang
berhenti anak tampak capek, mengantuk, tertidur pulas, dan tidak memberikan reaksi apapun
untuk sejenak atau disebut periode mengantuk singkat pasca kejang, tetapi setelah beberapa detik
atau menit, anak terbangun dan akan mulai berangsur sadar tanpa defisit neurologis.. Biasanya,
kesadaran pulih sepenuhnya setelah 10 sampai 15 menit. Dalam masa ini, anak agak sensitif
(irritable) dan mungkin tidak mengenali orang di sekitarnya.Kejang demam yang berlangsung
lebih lama dari 15 menit sering bersifat fokal atau unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh
parese Tood (lumpuh sementara pasca serangan kejang) yang berlangsung beberapa jam sampai
beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
Bangkitan kejang yang berlangsung lama biasanya lebih sering terjadi pada kejang demam yang
pertama.6

Pemeriksaan Fisik

Tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik pada kejang demam. Umumnya dapat
dilakukan pemeriksaan tanda – tanda vital yaitu pemeriksaan suhu, frekuensi pernapasan, denyut
nadi serta tekanan darah pada penderita. Yang menonjol disini biasanya didapatkan peningkatan
suhu tubuh.2 Pemeriksaan tingkat kesadaran diperlukan pasca kejang untuk memperhatikan
apakah ada defisit neurologis atau tidak. Bentuk pemeriksaan kesadaran yang digunakan dapat
berbentuk pemeriksaan kualitatif maupun kuantitatif. Tingkat kesadaran kualitatif pasien terbagi
atas: a) Compos mentis: sadar terhadap diri dan lingkungan b) Delirium : gaduh gelisah,
kacau, disorientasi c ) Somnolen : mengantuk, mudah dibangunkan, menangkis nyeri d) Stupor:
dapat dibangunkan dengan rangsangan kuat, kemudian kesadaran turun lagi e) Koma : tanpa

13
gerakan sama sekali. Secara kuantitatif dapat digunakan Glasgow Coma Scale, tabel berikut akan
menjelaskan tentang Glasgow Coma Scale.

Gambar 1 . Tabel Glasgow Coma Scale3

Skor terendah ialah 3 yang berarti pasien dalam keadaan koma dalam dan yang tertinggi
15 berarti pasien dalam keadaan sadar sepenuhnya.Pemeriksaan tanda rangsang meningial dapat
digunakan untuk mengeksklusi adanya meningitis. Bentuk pemeriksaan tanda rangsang
meningeal meliputi kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Laseque dan tanda Brudzinsky.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan kadar elektrolit, glukosa
serum, pemeriksaan CSS serta pemeriksaan radiologik yang sesuai. Adanya pemeriksaan ini
bukan hanya untuk menegakkan diagnosis kejang demam namun juga untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya infeksi sistem saraf pusat yang membangkitkan serangan kejang. 3
Pemeriksaan elektrolit menunjukkan adanya hipokalsemia, hipomagnesia dan hiperfosfatemia.
Selain itu didapati penurunan kadar glukosa darah / hipoglikemia. Analisa cairan serebrospinal

14
dengan pungsi lumbal tidak selalu dilakukan pada kejang demam. Pemeriksaan ini dilakukan bila
ada kecurigaan adanya meningitis pada bayi dan anak. Pemeriksaan EEG tidak diindikasikan
pasca kejang demam sederhana karena umumnya gambarannya hanya akan membuktikan bentuk
normal dan tidak akan mengubah manajemen. EEG hanya diindikasikan pada kejang demam
atipik maupun anak yang beresiko berkembang menjadi epilepsi atau dilakukan apabila
bangkitan bersifat fokal. Kelainan EEG berupa perlambatan yang mencolok sering dialami pada
anak dengan kejang afebris rekuren dibandingkan anak normal. EEG tidak dapat digunakan
untuk memperkirakan anak mana yang akan mengalami kejang demam berulang atau yang
mengalami epilepsi. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan
pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat
indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis
nervus kranialis.

Diagnosa Kerja

Kejang demam sederhana merupakan suatu gambaran kejang yang berlangsung kurang
dari 15 menit, tidak menunjukkan adanya gambaran fokal yang signifikan, tidak berlangsung
dalam suatu rangkaian yang memiliki durasi total lebih dari 30 menit serta serangan hanya terjadi
satu kali dalam sehari.2,3 Modifikasi kriteria Livingstone dapat digunakan untuk menegakkan
kejang demam sederhana, yaitu:

 Umur ketika kejang antara 6 bulan – 4 tahun.


 Kejang berlangsung sebentar, tidak melebihi 15 menit.
 Kejang bersifat umum.
 Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
 Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
 Pemeriksaan EEG yang dibaut sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal tidak menunjukkan
adanya kelainan.
 Frekuensi bangkitan kejang dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

Kendala yang ditemukan dalam penggunaan kriteria Livingstone yaitu sulitnya menganamnesis
berapa lama demam sudah berlangsung sebelum pasien mengalami kejang.

Diagnosa Banding

Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu kejang yang ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam. Lalu, kejang demam juga harus dibedakan dengan meningitis

15
dimana dari pemeriksaan kaku kuduk dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosa tersebut.
Selain itu, definisi dari kejang demam itu sendiri menyingkirkan kejang yang disebabkan oleh
penyakit saraf seperti meningitis, ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini
mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya
mengenai sistem susunan saraf pusat.

Kejang Demam Kompleks / Atipikal

Merupakan kejang pada demam dengan manifestasi klinis yang lebih lama (lebih dari 15
menit) yang disertai dengan tanda fokal. Serangan kejang yang kompleks dapat terjadi lebih dari
satu kali dalam satu hari. Adanya kejang demam kompleks harus diwaspadai karena dapat
merupakan pertanda infeksi akut yang serius serta dapat menyebabkan komplikasi berupa
timbulnya epilepsi. Dua hal yang perlu diperhatikan untuk membedakan kejang demam
kompleks dan sederhana ialah lama berlangsungnya kejang serta jumlah serangan kejang yang
terjadi.4

Epilepsi

Epilepsi adalah salah satu penyakit akibat adanya kelainan pada otak, dimana pada otak
dapat ditemukan beberapa lokasi yang abnormal yang diyakini sebagai pemicu kejang. Epilepsi
memiliki beberapa tipe yaitu grandma, petitmal. Dll. Kejang pada epilepsy mirip dengan kejang
pada demam, namun ada beberapa hal yang membedakan yaitu onset serangan, kesadaran,
gerakan ekstrimitas, dan tahanan kejang. Pada epilespsi inset serangan biasanya gradual,
kesadaran pasca serangan adalah baik, gerakan ekstrimitas saat kejang tidak beraturan, dan
gerakan kejang bila mendapat tahanan dapat dihentikan. Pada epilepsy pun jika dilakukan
pemeriksaan EEG maka akan menunjukan adanya gambaran EEG abnormal, yaitu banyak
terdapat spike.

Meningitis

16
Merupakan infeksi pada meningen, yaitu selaput pembungkus otak. Infeksi ini dapat
disebabkan oleh bakteri seperti Stereptococcus pneumonia, Eschericia coli, dan Haemophilus
influenzae maupun virus seperti virus herpes zoster dan herpes simplex. Ada triad klasik dari
meningitis, yaitu berupa kaku kuduk, demam tinggi dan perubahan status mental. Selain itu dapat
dijumpai adanya fotofobia dan fonofobia. Jika tidak ada gejala klasik ini, maka sulit untuk
menegakkan diagnosis meningitis pada seseorang. Pada anak biasanya terlihat irritabel dan
kurang sehat. Pada bayi berusia hingga 6 bulan biasanya didapai penonjolan fontanella. Adanya
pemeriksaan analisa cairan serebrospinal dapat digunakan untuk menegakkan adanya meningitis.

Ensefalitis

Merupakan merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang umumnya disebabkan oleh
virus, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri. Mikroorganisme ini dapat masuk melalui kulit,
saluran nafas dan saluran cerna. Gejala yang dialami biasanya berupa demam tinggi, pusing
kepala, kebingungan dan terkadang kejang. Pada pasien anak umumnya dijumpai demam, tidak
nafsu makan dan irritabilitas. Adanya ensefalitis juga dapat diikuti dengan adanya meningitis.
Analisa cairan otak dapat menunjukkan peningkatan kadar protein dan sel darah putih,
sedangkan kadar glukosa darah normal. Pada beberapa pasien tidak dijumpai perubahan berarti
pada analisa cairan serebrospinal.4

Penatalaksanaan Non Medika Mentosa

Seringkali kejang yang terjadi akan berhenti dengan sendirinya. Penting untuk menjaga jalan
napas agar tetap lancar pada pasien yang mengalami serangan kejang demam.5

 Jika anak mengalami kejang, posisikan anak miring (semiposisi) dengan leher yang diekstensikan
sehingga sekresi dapat keluar secara lancar melalui mulut.
 Jika pernasapan sulit: buka saluran napas dengan ekstensi leher secara hati-hati, angkat rahang ke
depan. Jangan letakkan apapun ke dalam mulut. Berikan O 2 jika tersedia.
 Tetap perhatikan keadaan vital pasien seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan
fungsi jantung. Penting untuk mengetahui pada suhu berapa anak mengalami kejang sehingga kita
dapat mengetahui ambang kejang anak tersebut.
 Jangan letakkan apapun (sendok, jari) di mulut pasien.

17
 Suhu tubuh yang tinggi dapat diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik.
Antipiretik yang dapat digunakan pada anak adalah Paracetamol. Jangan gunakan asam salisilat
sebagai antipiretik karena dapat menyebabkan sindrom Reye.

Setelah kejang berhenti, periksa kadar glukosa dan elektrolit darah. Pada kejang demam biasanya
didapati peningkatan kadar fosfor, penurunan kadar magnesium dan kalsium serta penurunan
kadar glukosa darah.6 Hal yang perlu diperlukan adalah untuk menyingkirkan penyebab kejang
akibat infeksi pada sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses otak. Oleh karena
itu dapat dilakukan pungsi lumbal pada L4 – L5 untuk mengambil cairan serebrospinal. Cairan ini
kemudian dianalisa untuk mengetahui kemungkinan adanya infeksi pada sistem saraf pusat. 5,6
Namun, analisa cairan serebrospinal ini tidak dilakukan pada semua kasus kejang demam
melainkan hanya dilakukan pada: a) Kejang dengan usia pasien dibawah 1 tahun ; b) Kejang
yang berulang ; dan c) Adanya gejala-gejala gangguan sistem saraf pusat seperti adanya defisit
neurologis pasca kejang.

Penatalaksanaan Medikamentosa

Pengobatan pada anak harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu (1) fungsi ginjal dan
hati yang belum sesempurna orang dewasa, (2) dosis harus ditentukan menurut berat badan,
umur, atau luas permukaan tubuh untuk menjamin tidak terjadi kelebihan dosis obat, dan (3)
untuk antimikroba harus memperhatikan dosis karena keadaan tubuh anak-anak adalah lebih
bnyak cairan dan lebih sedikit protein globulin dalam peredaran, sehingga harus
memperhitungkan fraksi obat yang akan aktif dalam tubuh.
Pada saat kejang yang pertama perlu dilakukan adalah pembebasan jalan nafas dan
memiringkan posisi tubuh untuk mencegah aspirasi. Untuk pengobatan secara farmakologis,
dapat diberikan diazepam (5mg untuk BB<12kg dan 10mg untuk BB> 12kg) secara rectal.
Tunggu selama 5 menit, bila belum berhenti lakukan kembali dengan dosis yang sama. Bila
masih gagal juga dengan pemberian per rektal sebanyak dua kali, berikan diazepam i.v. dengan
dosis 0.2-0.5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 2mg/menit. Bila masih gagal juga
segera berikan fenitoin 10-20mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit. Setelah kejang
berhenti berikan dosis 4-8mg/kgBB/hari 12 jam setelah dosis awal. Bila cara-cara diatas masih
tidak dapat mengatasi kejang, segera larikan pasien ke ICU.

18
Bila pasien datang sudah tidak dalam keadaan kejang, turunkan suhu tubuh pasien
dengan pemberian antipiretik parasetamol 10-15mg/kgBB/kali diberikan setiap 4-6 jam atau
ibuprofen dengan dosis 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari dan antikonvulsan (oral 0.3
mg/kgBB/kali per oral tiap 8 jam atau rectal 0.5 mg/kgBB/kali tiap 8 jam pada suhu 38.5 oC
dengan dosis maksimum 7.5 mg/kali) untuk mencegah terjadinya kejang ulang. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
Pemberian obat rumatan boleh diberikan bila pasien menunjukan 1 dari ciri-ciri, yaitu (1)
kejang >15 menit, (2) adanya kelainan neurologis pra dan pasca kejang, (3) kejang fokal.
Pengobatan rumat dilakukan dengan asam valproat dosis 15-40 mg/kali/hari dibagi dalam 2 dosis
atau fenobarbital dosis 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Usahakan jangan memberikan obat anti
kejang berupa fenobarbital/luminal, karena obat tersebut menyebabkan efek samping yang cukup
mengganggu yaitu anak menjadi hiperaktif, gangguan belajar, dan agresif. Obat ini baru boleh
digunakan jika tidak ada obat lain yang efektif. Rumatan diberikan selama 1 tahun, penghentian
rumatan untuk kejang demam tidak membutuhkan tappering off, namun dilakukan saat anak
tidak sedang demam.7

Komplikasi

Epilepsi

Anak yang menderita kejang demam beresiko lebih besar mengalami epilepsi
dibandingkan dengan yang tidak. Besarnya resiko ini dipengaruhi banyak faktor yaitu:

1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum demam


pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%,
kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang
demam.

Prognosis

19
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara
25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat pada umur, jenis
kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan:

 Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50% dan pria
33%.
 Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang,
terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25%.

Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya


Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan Livingston (1954)
mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9% yang menjadi epilepsi dan dari
golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam temyata 97% yang menjadi epilepsi.
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung
dari faktor :

1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga


2. Usia kurang dari 12 bulan

3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celcius saat kejang

4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang

5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam
hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.7

20
Pencegahan

Pencegahan terutama dari kejang demam adalah mencegah agar suhu tubuh anak tidak terlalu
tinggi sehingga tidak menjadi faktor pemicu timbulnya kejang.3 Hal yang dapat dilakukan ialah:

 Memberi kompres air hangat pada anak yang demam.


 Tidak mengenakan baju yang tebal dan tertutup pada anak.
 Menggunakan obat penurun suhu tubuh, yaitu Paracetamol.

Kesimpulan

Kejang demam sederhana merupakan kejang akibat peningkatan suhu tubuh yang
umumnya terjadi bayi dan anak berusia 6 bulan – 5 tahun, dalam kurun waktu yang singkat
(kurang dari 15 menit) dan hanya terjadi satu kali dalam waktu 24 jam. Kejang ini memiliki
faktor genetik dan akan berhenti sendiri meskipun dibutuhkan pengobatan untuk mencegah
rekurensi. Keadaan kejang ini dapat dicegah dengan mengusahakan agar suhu tubuh anak tidak
terlalu tinggi. Umumnya kasus ini berprognosis baik dengan angka mortalitas yang sangat
rendah.

Daftar Pustaka

1. Bickley L.S. Anamnesis. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking.
International edition. 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins. Wolters Kluwer
Health; 2009.

21
2. Santoso M.,Kurniadhi D.,Tendean M.,Oktavia E.,Ciulianto R. Kejang demam. Panduan
Kepaniteraan Klinik Pendidikan Dokter. Fakultas Kedokteran Ukrida:2009. p831-3.
3. Abraham MR, Julien IE, Colin DR. Buku ajar pediatric Rudolph. Volume 3. Edisi 20.
Jakarta: EGC; 2007.h.2160-1.
4. Richard EB, Robert MK, Ann MA. Ilmu kesehatan anak nelson. Volume 3. Jakarta: EGC;
2004.h.2059-60.
5. Annegers JF, Hauser WA, Shirts SB, et al. Factor prognostic of unprovoked seizures after
febrile convulsions. N Eng J Med 316: p.493.
6. Staf Pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Volume 3.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.h.1190-2.
7. Mangunatmadja I. Kejang pada anak. In: Trihono PP, Purnamawati, Syarif DR, Hegar B,
Gunardi H, Oswari H, et al. Hot Topics in Pediatrics II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2002. 245-59.

22

Anda mungkin juga menyukai